• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM DI NEGARA INDONESIA Marsudi Dedi Putra 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM DI NEGARA INDONESIA Marsudi Dedi Putra 2"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM

DI NEGARA INDONESIA Marsudi Dedi Putra2

Abstrak: Salah satu buah manis dari reformasi itu adalah kelahiran kemandirian kekuasaan

kehakiman yang lepas dari pengaruh kekuasaan politik dan eksekutif. Guna mendukung kemandirian itu lahirlah Komisi Yudisial yang selanjutnya disingkat KY sebagai pengawas eksternal kekuasaan kehakiman melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia Komisi Yudisial adalah: (a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan (b) Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim

Kata kunci: komisi yudisial, lembaga Negara, checks and balances system

Empat belas tahun silam, angin reformasi telah bergulir. Beragam perubahan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa telah terjadi hingga saat ini. Salah satu buah manis dari reformasi itu adalah kelahiran kemandirian kekuasaan kehakiman yang lepas dari pengaruh kekuasaan politik dan eksekutif. Guna mendukung kemandirian itu lahirlah Komisi Yudisial yang selanjutnya disingkat KY sebagai pengawas eksternal kekuasaan kehakiman melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Patmoko, 2011).

Ekspektasi masyarakat terhadap keberadaan Komisi Yudisial (KY) dalam penegakan hukum di Indonesia sebenarnya sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan telah diterimanya 9.876 laporan pengaduan dari berbagai lapisan masyarakat dan yang sudah diregistrasi sebanyak 2.412. Dalam rentang waktu lebih kurang 8 tahun semenjak pelantikannya komisi Yudisial telah menunjukkan kerja keras dengan berhasil memproses ribuan laporan pengaduan, dengan rekomendasinya antara lain ada 50 hakim diberi sanksi, baik dengan pemecatan dan hukuman administratif, sementara ada pula laporan yang tidak didukung dengan bukti-bukti yang relevan (Sutiyoso, 2011).

Apabila dilihat kembali keberadaan lembaga KY selama 8 tahun ke belakang sejak didirikan, nampaknya lembaga ini terbelenggu dalam posisi yang selalu absurd. Ketika wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan memberikan rekomendasi. Dengan minimnya kewenangan tersebut KY mencoba beberapa improvisasi, salah satunya melakukan pengawasan terhadap putusan hakim, tentu saja hal ini mendapatkan resistensi dari Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga ini akhirnya terlibat perseteruan yang berpuncak dengan adanya judicial review atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, sepanjang pasal-pasal mengenai pengawasan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya Komisi Yudisial kehilangan wewenang pengawasannya selama tahun 2006-2008, sebelum akhirnya dikembalikan lagi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang disahkan awal tahun 2009 (http://dimasprasidi.wordpress.com/menggagas-kembali-peranan-komisi-yudisial). Hal ini merupakan bentuk pengawasan dan pengimbangan (checks and balances system) dalam negara demokrasi.

Marsudi Dedi Putra adalahDosen FKIP Universitas Wisnuwardhana Malang Email: dedi_putra14@yahoo.co.id

(2)

Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber dari kekuasaan adalah rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang akan menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Agar itu bisa terlaksana, diperlukan sebuah peraturan bersama yang mendukung dan menjadi dasar pijakan dalam kehidupan bernegara untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat. Peraturan seperti ini biasa disebut konstitusi.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi yang menjadi pegangan adalah UUD 1945. Jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua kali. Pertama, pada Pembukaan, alinea keempat: ”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Kedua, pada Pasal 1 ayat (2) UUD hasil perubahan berbunyi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas mendasarkan pada pemerintahan demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat (Harjono, 2009).

Namun demikian dalam melaksanakan demokrasi harus didampingi dengan hukum. Sunarno Danusastro (2007:13) mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berbentuk demokrasi, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas, hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 24 UUD 1945. Independensi kekuasaan kehakiman (independency of judiary) merupakan sebuah prinsip yang harus ada dalam sebuah negara hukum yang dijamin oleh UUD 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka dari pengaruh atau intervensi cabang-cabang kekuasaan yang lain, terutama pemerintah.

Salah satu buah reformasi di bidang ketatanegaraan yang melahirkan organ konstitusi baru adalah lahirnya Komisi Yudisial yang kemudian disingkat dengan KY. Sebagai respon terhadap merosotnya kepercayaan pada kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung akibat sinyalemen judicial corruption yang meluas, telah diadopsi satu badan yang disebut Komisi Yudisial. Di masyarakat badan baru ini sangat didukung, karena berharap komisi ini akan melakukan gebrakan yang dapat secara cepat membuahkan hasil berupa lahirnya satu kekuasaan kehakiman yang bersih dan berwibawa Siahaan, 2007).

Suatu yang dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemerdekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah government (pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara. Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang

(3)

adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan lembaga negara lain (Saifudin, 2006).

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politica kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya bila adanya penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.

Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara. Kekuasaan yudkatif tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi.

Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances

system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang

mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.

Pasca perubahan ketiga UUD 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara. Kedudukan semua lembaga negara sederajat, adapun yang membedakan antara lembaga negara yang satu dengan lainnya adalah kewenangannya. Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari UUD 1945 (tertuang di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C), dengan demikian kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang sederajat.

Dibentuknya Komisi Yudisial (berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945), dapat dikemukakan: Pertama, dimaksudkan untuk membangun sistem check and balances, yakni untuk dapat melakukan upaya saling mengimbangi dan saling kontrol terhadap kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. Kedua, merupakan tanggapan atau reaksi sehubungan dengan telah terjangkitnya “penyakit” yang melanda badan peradilan di tanah air dan di hampir semua lingkungan peradilan di berbagai tingkatannya, yang biasa disebut dengan istilah “praktek mati peradilan” (Saifudin, 2006:3).

Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya selama ini telah banyak hal-hal positif yang dilakukan oleh KY terutama dalam melakukan seleksi calon hakim agung, namun dalam tugasnya menjaga kehormatan para hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-tindakan tidak profesional sesuai dengan kode etik (unprofessional

conduct) dari para hakim belum maksimal.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis berminat untuk mengangkat judul skripsi yang berkaitan dengan Komisi Yudisial sebagai salah satu dari lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari UUD 1945 yakni: ”Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Mewujudkan Checks and Balances

System di negara Indonesia”.

Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengkaji dan mendeskripsikan bagaimanakah kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia dan untuk mengkaji dan mendeskripsikan independensi Komisi Yudisial dalam mewujudkan checks and balances system di negara Indonesia.

(4)

METODE

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Komisi Yudisial sebagai lembaga negara sebagai hasil dari reformasi yang mempunyai kewenangan dalam mengawasi hakim di Indonesia, dengan spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

PEMBAHASAN

Kedudukan Komisi Yudisial dalam Ketatanegaraan Indonesia

Konsep tentang lembaga negara yang dalam bahasa Belanda biasanya disebut

staatsorgan, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia ialah alat perlengkapan negara,

badan negara, atau dapat disebut juga organ negara. Istilah alat kelengkapan negara, lembaga negara, badan negara, ataupun organ negara sering digunakan dalam konteks yang sama dan merujuk pada pengertian yang sama, yaitu yang membedakannya dengan lembaga swasta atau masyarakat. Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja (Asshiddiqie, 2006:31).

Jimly Asshiddiqie, mengkategorikan lembaga negara dalam lima lapisan atau bagian yang meliputi (Asshiddiqie, 2006:40-41):

1. Dalam arti yang luas, lembaga negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi menciptakan hukum (law creating) dan fungsi menerapkan hukum (law

applyng). Titik berat dari pengertian yang luas ini adalah kata-kata setiap individu.

Individu tersebut bisa siapa saja (baik rakyat atau pun ketiga cabang kekuasaan) dalam konteks law creating dan law applyng.

2. Pengertian kedua, yang cenderung luas namun lebih sempit dari pengertian pertama, menyebutkan bahwa lembaga negara mencakup fungsi tersebut diatas dan juga mempunyai posisi sebagai atau berada dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan. Kunci dari pengertian lembaga negara pada pengertian kedua ini terletak pada kata-kata individu yang menjabat posisi tertentu di pemerintahan atau kenegaraan. Jadi warga negara atau rakyat sudah tidak masuk dalam lembaga negara.

3. Pengertian ketiga mengartikan lembaga negara dalam arti sempit sebagai badan atau organisasi yang menjalankan fungsi menciptakan hukum dan fungsi menerapkan hukum dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Dalam pengertian yang terakhir ini, lembaga negara mencakup badan-badan yang dibentuk berdasarkan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan lain dibawahnya yang berlaku di suatu negara. Dalam pengertian ketiga ini lembaga yang mencakup badan-badan yang dibentuk berdasarkan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan lain dibawahnya yang berlaku di suatu negara. Dalam pengertian ketiga ini organ negara yang lebih sempit dari pengertian kedua dan diartikan sebagai badan atau organisasinya (bukan orang atau individunya), dalam konteks struktur kenegaraan. Dan tak kalah pentingnya bahwa lembaga negara itu meliputi lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden, ataupun oleh keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun daerah.

4. Pengertian organ negara yang keempat yang lebih sempit lagi, yaitu lembaga negara hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau peraturan yang lebih rendah. Yang menjadi kunci pokok untuk membedakan pengertian lembaga negara yang ketiga dan pengertian lembaga negara yang keempat ini adalah pada kata-kata “Keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun daerah”. Pengertian organ negara yang

(5)

ketiga mencakup lembaga negara mulai di tingkat pusat sampai di daerah, termasuk pula Kecamatan, Kelurahan, dan lain-lain (RT/Rukun Tetangga, RW/Rukun Warga). Sedangkan pengertian organ negara yang keempat hanya terbatas pada lembaga negara di tingkat pusat dan lembaga negara di tingkat daerah saja (hanya hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau DPRD saja).

5. Pengertian organ negara yang kelima, yaitu memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945. Lembaga-lembaga tersebut meliputi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sesuai dengan tema yang diangkat pada tulisan ini, maka penulis akan mengkhususkan objek kajian mengenai lembaga Komisi Yudisial. Lembaga ini merupakan lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD NRI Tahun 1945.

2.5.1.3 Sistem Mengawasi dan Mengimbangi (Checks and Balances System)

Sebagaimana telah menjadi kemakluman bersama, John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negari, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing (Asshiddiqie, 2006:15).

Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, dengan ada mekanisme kontrol yang harus dilalui. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.

Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi hakim dan melakukan seleksi hakim agung merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem

constitutional review itu tercakup dua tugas pokok sebagai wujud checks and balances,

yakni: (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau

(6)

melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin konstitusi (Asshiddiqie, 2006:18).

Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yag harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.

Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampaui batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances

system) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan

saling mengawasi satu sama lain, sehinga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain ((Asshiddiqie, 2006:17).

Kedudukan Komisi Yudisial, secara akademik masih menimbulkan kontroversi yang berkaitan dengan kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara. “Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, No. 005/PUU-IV/2006 pengaturan lembaga-lembaga dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs).

Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan dalam Jimmy Z. Usfunan (2008), mengatakan bahwa “Komisi Yudisial hanyalah organ pendukung (auxiliary agency) yang melakukan fungsi pengawasan kehakiman”. Lembaga negara Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dan ketua Mahkamah Agung itu tidak sesuai dengan perubahan UUD 1945 yang menghapuskan klasifikasi lembaga tertinggi dan tinggi negara, dimana setelah amandemen UUD tidak ada lagi hubungan antar lembaga negara yang bersifat hirarkis.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan,”hubungan antara Komisi Yudisial sebagai organ pembantu (supporting

organ) dan Mahkamah Agung sebagai organ utama (main organ) dalam bidang

pengawasan perilaku hakim seharusnya dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing. Padahal, secara logika relasi kemitraan seharusnya mensyaratkan adanya posisi yang sejajar. Sangatlah tidak mungkin suatu pengawasan itu berjalan efektif ketika pengawas dan obyek yang diawasi memiliki hubungan kemitraan. Dengan demikian, kedudukan antara Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi sejajar meskipun tanggung jawab, fungsi dan tugasnya Mahkamah Agung lebih luas daripada Komisi Yudisial.

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mempertegas bahwa Komisi Yudisial bagian dari kekuasaan kehakiman. Hal ini dibuktikan dengan tercantumnya Komisi Yudisial dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(7)

Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun Komisi Yudisial bukan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Eksisitensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan sebagai wujud prinsip

check and balances, dimana terdapat sistem saling mengawasi antara lembaga satu

dengan yang lain, sehingga dengan demikian dapat mencegah adanya suatu konsentrasi kekuasaan pada suatu kekuatan. Selama ini obyek check and balances system dalam hal ini pengawasan hanya kekuasaan eksekutif dan legislatif. Eksekutif diawasi oleh legislatif yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Presiden/Wakil Presiden beserta para pembantunya, yudikatif diawasi oleh Komisi Yudisial terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudisial. Undang-Undang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang diuji oleh Mahkamah Agung. Namun tidak ada kekuasaan yang mengawasi Yudisial, sehingga dikhawatirkan akan terjadi “tirani yudisial”, untuk itu keberadaan Komisi Yudisial yang direkrut oleh eksekutif dan legislatif, secara tidak langsung merupakan pengawasan pencegahan dari eksekutif dan legislatif terhadap Yudisial.

Kehadiran Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia memiliki dua fungsi penting: pertama, untuk merepresentasikan control public ke dalam lembaga peradilan dan kedua, berperan untuk ‘membentuk’ (reshaping) peradilan di Indonesia”. Tindakan Komisi Yudisial memanggil sejumlah hakim atas dugaan menerima suap pada saat menjatuhkan vonis, akan menjadi pelajaran berharga bagi hakim, para pejabat dan dapat dikatakan sebagai intervensi terhadap indepedensi (kenetralan) hakim, karena prinsip indepedensi itu berkaitan dengan putusan dan rasa keadilan, sehingga prinsip indepedensi itu tidak berlaku ketika putusan hakim tidak adil.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menganulir pasal-pasal terkait tata cara pengawasan Komisi Yudisial akan menjadi salah satu penyebab mafia peradilan semakin tumbuh subur di republik ini. Berdasarkan putusan tersebut, setidaknya pelaku-pelaku mafia peradilan yang selama ini “ketakutan” dengan Komisi Yudisial, mulai bernapas “lega” karena merasa bebas dari pengawasan.

Dengan adanya penganuliran pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan Komisi Yudisial, mengakibatkan tidak adanya lembaga yang berfungsi mengawasi jalannya lembaga yudisial di Indonesia saat ini. Memang benar kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, akan tetapi kemerdekaan itu tidak diartikan sebagai kekuasaan tanpa pengawasan.

Independensi Komisi Yudisial dalam Menciptakan Checks and Balances System di Indonesia

Pembahasan mengenai independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman atau lembaga yudikatif tidak dapat terlepas dari ketentuan-ketentuan tentang sistem ketatanegaraan yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum Amandemen UUD 1945, diatur di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”; dan ayat (2) menyatakan “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dan berdasarkan perubahan UUD 1945, juga tertuang di dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (1) menyatakan “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; pada ayat (2)

(8)

menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan pada ayat (3) menyatakan “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Masalah independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 UUD 1945, hal itu merupakan komitmen dan perwujudan tekad founding fathers untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum modern, yang menganut kaidah-kaidah paham negara modern yang konstitusional.

Di dalam konsideran bagian menimbang Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dinyatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ada lagi satu lembaga negara (baru) yang kewenangan ditentukan di dalam UUD 1945, yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini keberadaannya diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman, yang walaupun Komisi Yudisial ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman.

Amanah UUD 1945 hasil perubahan ketiga Pasal 24B tersebut, baru kemudian pada tanggal 13 Agustus 2004 dibentuk Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (terdiri dari 7 Bab 41 Pasal). Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Bab III tentang Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial.

Dalam Pasal 13 dinyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang : a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan b) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Eksistensi Komisi Yudisial yang memperoleh mandat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No. 22 Tahun 2004, dengan fungsi utama “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim” menjadi sangat penting dan strategis mengingat kedudukan hakim sebagai pengambil (yang menjatuhkan) putusan bagi pencari keadilan.

Pemahaman terhadap semangat dasar atau gagasan pembentukan Komisi Yudisial, akan memudahkan kita dalam memahami perbedaan kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial di bidang pengawasan. Sebagaimana diketahui secara internal Mahkamah Agung mempunyai unit pengawasan terhadap para hakim, yaitu melalui wakil ketua bidang non-yudisial yang membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan, dan juga ada Majelis Kehormatan Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No.5 Tahun 2004). Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung lebih fokus pada tugas yang terkait dengan :

1. Aspek teknis yudisial yang meliputi kemampuan teknis menangani perkara, penyusunan dan pengisian kegiatan persidangan, penyelesaian minutasi, kualitas putusan, dan eksekusi.

(9)

2. Aspek administrasi peradilan yang meliputi tertib prosedur penerimaan perkara, tertib registrasi perkara, tertib keuangan perkara, tertib pemeriksaan buku keuangan perkara, tertib kearsipan perkara, tertib pembuatan laporan perkara, dan eksekusi putusan. Rujukan hukum yang berkaitan dengan definisi dan klasifikasi mengenai tingkah laku dan perbuatan hakim, aspek teknis yudisial, dan aspek administrasi peradilan tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.005 Tahun 1994 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.006 Tahun 1994.

Adapun pengawasan Komisi Yudisial lebih fokus untuk mengawasi tingkah laku dan perbuatan hakim yang berkaitan dengan kedinasan, meliputi kesetiaan, ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, integritas, kejujuran, kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan serta yang berkaitan dengan di luar kedinasan yang meliputi keluarga dan hubungan baik dengan masyarakat. Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventive) dan menegakkan (corrective and represive) kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer. Walaupun hal-hal yang menjadi kewenangan pengawasan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial sudah ditentukan (diatas kertas), namun di lapangan sangat sulit untuk memisahkan antara aspek teknis yudisial dengan aspek non-yudisial, oleh karena itu kerja sama, koordinasi, dan/atau saling memberikan informasi diantara keduanya memang sangat diperlukan (Thaib, 2000).

Sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances system) adalah sistem dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran hak. Pengawasaan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju dan sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam

checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam

cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak ada lagi lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara, kini kedudukan lembaga-lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah sama. Dengan demikian maka setiap lembaga negara memiliki kekuasaan yang seimbang (Htpp://handamzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sistem perwakilan rakyat di indoensia).

Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaan maka diperlukan sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and

balances system). Dalam checks and balances system masing-masing kekuasaan saling

mengawasi. Checks and balances system yaitu sistem yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan batasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai UUD NRI Tahun 1945, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing. Sistem

checks and balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara

yang memberi kewenangan antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.

(10)

KESIMPULAN

Dalam rangka mendorong proses reformasi peradilan yang mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa dan dalam rangka tegaknya hukum di Indonesia, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai baerikut:

1. Kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia Komisi Yudisial adalah: (a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan (b) Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2. Peran Komisi Yudisial dalam penegakan hukum di Indonesia dengan Komisi

Yudisial dalam menjalankan wewenang dan tugasnya harus bersungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim agung dan hakim lainnya menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak hanya mendukung terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga mendukung terwujudnya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sehingga supremasi hukum atau penegakan hukum pun dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

SARAN

Dalam paparan ini penulis memberikan saran agar pelaksanaan kekuasaan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dan tumpang tindah dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sudah saatnya perlu adanya reformasi dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press.

Hakim, Lukman, Saifuddin, 2006. Komisi Yudisial dan Fungsi Checks and Balances

Dalam Kekuasaan Kehakiman, Dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi

Yudisial Republik Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial.

Harjono, 2009. Transformasi Demokrasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Thaib, Dahlan, 2000. Independensi dan Peran Mahkamah Agung (Kajian dari Sudut

Pandang Yuridis Ketatanegaraan) Jurnal Hukum No. 14 Vol. 7 Agustus 2000.

Usfunan, Jimmy, Z, 2008. Kewenangan Pengawasan Komisi Yudisial, Lembaga

Pengkajian Hukum dan HAM, Majalah Wawasan.

Bambang Sutiyoso, Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di

Indonesia, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011 Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia.

Patmoko, Sekapur Sirih, Komisi Yudisial, Buletin Komisi Yudisial Vol. V no. 6 Juni-Juli 2011, hal. 2.

http://dimasprasidi.wordpress.com/menggagas-kembali-peranan-komisi-yudisial.

(11)

Htpp://handamzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sistem perwakilan rakyat di indoensia. Diakses tanggal 20 Desember 2016.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2007. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat segala keterbatasan sumber daya yang ada, maka dalam perencanaan pembangunan perlu ditentukan sektor-sektor dan subsektor-subsektor ekonomi yang

Untuk meminimalisir penurunan akurasi Indoor Positioning System karena minimnya jumlah access point atau persebaran access point yang kurang merata, maka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh varibel motivasi dan disiplin kerja terhadap variabel kinerja karyawan pada Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju

Hydrogenated dimer reaction product from 1-decene and 1-dodecene Tidak

Tingkat Pendidikan dan pengetahuan merupakan faktor internal yang berhubungan dengan gejala akut keracunan pestisida golongan organofosfat pada responden,

Sluyter, Emotional Development and Emotional intelligence:Educational Implications _(pp.3-34). New York: Basic Books, Inc. Seven Steps To Effective Instructional