• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP KESENIAN TRADISIONAL REOG PONOROGO. Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP KESENIAN TRADISIONAL REOG PONOROGO. Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..75 PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP

KESENIAN TRADISIONAL REOG PONOROGO Hery Sumanto 1) , Hirman 2)

1), 2) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun Abstract

This study aims to identify and analyze the legal protection of intellectual property rights to the traditional arts and analyze the legal consequences of their registration Copyright Reog Ponorogo in order to provide protection for traditional art using normative juridical.

Keyword : Protection , Law, HKI, Reog Ponorogo Pendahuluan

Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang

given dan inheren dalam sebuah

masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri.. HKI telah diatur dengan berbagai peraturan‐perundang‐undangan sesuai dengan tuntutan TRIPs, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 (Perlindungan Varietas Tanaman), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 (Desain Industri), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 (Paten), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (Merek), dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 (Hak Cipta).

HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan eksistensi

HKI sangat penting. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional (traditional knowledge), karya-karya seni, hingga apa yang dikenal sebagai indigenous science and technology.

Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini menjadi menarik karena rejim ini masih belum terakomodasi oleh pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual, khususnya dalam lingkup intenasional. Pengaturan hak kekayaan intelektual dalam lingkup internasional sebagaimana terdapat dalam Trade Related Aspects of

Intellectual Property Rights (TRIPs),

misalnya hingga saat ini belum mengakomodasi kekayaan intelektual masyarakat asli/tradisional.

Adanya fenomena tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan masyarakat asli tradisional hingga saat ini masih lemah. Sayangnya, hal ini justru terjadi di saat masyarakat dunia saat ini tengah bergerak menuju suatu trend yang dikenal dengan gerakan kembali ke alam (back to nature).

Hukum kekayaan intelektual bersifat asing bagi kepercayaan yang

(2)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..76 mendasari hukum adat, sehingga

kemungkinan besar tidak akan berpengaruh atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah di Indonesia. Hal inilah yang barangkali menjadi halangan terbesar yang dapat membantu melegitimasi penolakan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia yaitu konsep yang sudah lama diakui kebanyakan masyarakat Indonesia sesuai dengan hukum adat1.

Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual masyarakat asli tradisional. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian. Karena perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual masyarakat asli tradisional masih lemah, maka potensi yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah. Hingga saat ini, telah tercatat beberapa kasus pemanfaatan kekayaan intelektual masyarakat adat tanpa ijin oleh pihak asing, khususnya dalam bidang kesenian tradisional. Indonesia memiliki banyak komoditas asli. Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu "dicuri" pihak asing. Baru-baru ini Malaysia juga mengklaim tarian reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Kasus itu muncul dalam website Kementerian Kebudayaan, Kesenian,

1

Lindsey, dkk,2006, Hak Kekayaan

Intelektual (Suatu Pengantar), Alumni,

Bandung, hal. 71.

dan Warisan Malaysia.2 Gambar dadak merak reog terpampang di website itu dan di depannya terdapat tulisan "Malaysia". Tari reog Ponorogo versi Malaysia ini bernama tari Barongan, di mana cerita yang ditampilkan dalam tarian barongan, mirip dengan cerita pada tarian reog Ponorogo.

Sebagai salah satu isu penting yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual dewasa ini adalah sejauh mana pengetahuan tradisional (traditional knowledge) khususnya kesenian tradisional (folklore) mendapat perlindungan hukum.

Salah satu karya cipta intelektual yang berasal dari kebudayaan dan kesenian adalah kesenian Reog Ponorogo yang merupakan kebudayaan dan kesenian khas daerah Ponorogo. Untuk itu penulis tertarik untuk mencoba menganalisis secara mendalam dan hati-hati mengenai perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional Indonesia khususnya kesenian reog Ponorogo.

Bertolak dari uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari

adanya pendaftaran Hak Cipta Reog Ponorogo dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum hak kekayaan

2

website Kementerian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia,

http://www.heritage.gov.my. Diakses 2 April

(3)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..77 intelektual terhadap kesenian

tradisional.

2. Mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari adanya pendaftaran Hak Cipta Reog Ponorogo dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional.

Metode Penelitian Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan jenis penelitian hukum normatif (studi kepustakaan) yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tipe penelitian ini dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan mengkaji bahan-bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian hukum ini mencakup penelitian atas asas-asas, sistem dan taraf sinkronisasi hukum3.

Jenis Bahan Hukum

Penelitian Kepustakaan, di mana dilakukan dengan mempelajari bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang terdiri dari4: Bahan Hukum Primer yaitu : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari: Buku-buku tentang Hak Kekayaan Intelektual, Majalah, surat kabar, dan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian yang dibahas. Serta Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus

Metode Penelusuran Bahan Hukum

3

Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, 1986,

Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,

Jakarta hal 14 4

Ibid,

Di dalam penelusuran bahan hukum, baik yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Analisis bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian dilakukan penyeleksian data yang diperoleh sesuai relevansinya, kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan menggunakan metode kualitatif sehingga menghasilkan data yang diskriptif analisis.

Hasil dan Pembahasan

A. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Kesenian Tradisional Indonesia

Konsep perlindungan terhadap HKI pada dasarnya adalah memberikan hak monopoli, dan dengan hak monopoli ini, pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual yang didapatnya. Perlu diakui bahwa konsep HKI yang kita anut berasal dari Barat, yaitu konsep yang didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention).

Pemberian hak monopoli kepada individu dan perusahaan ini, sering bertentangan dengan kepentingan publik (obat, makanan, pertanian). Di samping itu, berbagai perundangan HKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius). Pengetahuan tradisional yang berkembang di negara seperti Indonesia, berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus (obat, herbs, lingkungan hidup).

(4)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..78 Dimasukannya masalah HKI kedalam

bagian dari GATT melalui TRIPS, menambah kesenjangan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual antara negara maju dan negara

industri baru/berkembang.5 HKI dibangun di atas landasan

“kepentingan ekonomi”, hukum tentang property (intellectual property). HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual sebagai suatu property. Perlindungan HKI menjadi tidak relevan apabila tidak dikaitkan dengan proses atau kegiatan komersialisasi HKI itu sendiri. Hal ini makin jelas dengan munculnya istilah “Trade Related Aspect of Intellectual Property

Rights” (TRIPs), dalam kaitannya

dengan masalah perdagangan internasional dan menjadi sebuah icon penting dalam pembicaraan tentang karya intelektual manusia. Ini pun berarti bahwa HKI lebih menjadi domainnya GATT-WTO, ketimbang WIPO. Karakter dasar HKI semacam itulah yang diadopsi ke dalam perundang-undangan Indonesia. apat dikatakan bahwa pembentukan hukum HKI di Indonesia merupakan transplantasi hukum asing ke dalam sistem hukum Indonesia.6

Hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, maka negaralah yang berhak memegang hak cipta atas karya peninggalan pra sejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya tersebut. Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya (Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUHC.

5

Rahardi Ramelan, 2011, Ekspresi Kebuyaan Tradisional dalam Globalisasi, Perlindungan HKI atau Pengakuan,

(www.leapidea.com, 2011). Diakses 2 April

2014 6

, Ibid.

Folklore dimaksudkan sebagai

sekumpulan cerita tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun termasuk sebagai berikut:

1. Cerita rakyat, puisi rakyat;

2. Lagu-lagu rakyat dan musik intrumen tradisional;

3. Tari-tarian rakyat, permainan tradisional ;

4. Hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik, dan tenun tradisional.

Rancangan Peraturan Pemerintah Mengenai "Hak Cipta atas folklore yang Dipegang oleh Negara", adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folkore dalam UUHC.

Di bawah UUHC tersebut Hak Cipta atas Folklore yang Dipegang oleh Negara. Dalam hal itu yang dimaksud dengan "folklore" adalah segala ungkapan budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional. Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Dalam hal mengenai perlindungan terhadap pemanfaatan oleh orang asing, di mana pihak pemanfaat itu harus lebih dahulu mendapat izin dari instansi pemerintah yang diberi kewenangan untuk itu, serta apabila perbanyakan dilakukan untuk tujuan komersial, harus ada "keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi" dari karya folklore tersebut.

FX Widaryanto menyatakan mengenai ekspresi seni sebagai berikut : ekspresi seni yang pada gilirannya "disepakati" sebagai sebuah produk yang tidak hanya merepresentasikan identitas individu,

(5)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..79 namun lebih jauh lagi bisa berbicara

banyak dalam representasi identitas kelompok. Selanjutnya ia menambahkan bahwa : “Nuansa keterkekangan versus kebebasan, keterpurukan ekonomi, kekuatan media elektronika visual, dsb telah banyak berpengaruh pada perubahan ekspresi seni, minat apresiasi seni, serta motif integrasi sosial yang terus bergerak seiring dengan gerak perimbangan politik yang semakin tidak karuan, namun masih tetap memiliki sikap yang sama, terutama pandangannya pada kekuatan seni sebagai ekspresi budaya, yang memiliki potensi besar kaitannya dengan kapasitas komunikatif yang dimilikinya.” Contohnya adalah : sebuah "mantra tubuh" Inul yang menyatukan banyak orang dalam kesatuan emosional.7

Seni dan budaya tidaklah statis, melainkan dinamis dan secara kontinu terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini dengan perubahan dan peningkatan. Misalnya adalah motif batik. Dalam kebudayaan Jawa telah mentradisi berupa sejumlah motif dasar, misalnya yang disebut truntum, semèn, kawung, parang, dll. Demikian juga dalam kain tenun seperti songket (Sumatera), lurik (Jawa), dll. Demikian juga dalam bidang kuliner, dikenal makanan “Coto Makassar” (Makasar), “Empe-empe” (Palembang), “Gudeg” Yogyakarta), dll.

Indonesia dengan beragam suku bangsa kaya akan hasil seni tradisional yang mempunyai nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional Solo, seni ukir Suku Asmat, kerajinan patung Bali, dan masih banyak lainnya. Karya seni tradisional ini selain memiliki nilai seni dan estetika juga memiliki nilai ekonomis serta yang sering tidak

diketahui bahwa di dalamnya

7 Ibid.

terkandung hak cipta yang dilindungi undang-undang. Sangat ironis bahwa banyak pencipta yang tidak memahami bahwa ia memiliki hak cipta atas karya cipta yang dihasilkan. Kebanyakan

pencipta cukup puas jika karya

ciptanya disukai banyak orang dan laku dijual, tanpa mengetahui dan memikirkan bahwa pencipta memiliki hak cipta yang perlu dilindungi dari eksploitasi secara ilegal oleh pihak yang tidak berhak. Sebagai ilustrasi dapat diuraikan tentang kejadian di Bali dimana ada turis Belanda yang memesan kerajinan patung kayu Bali ke pencipta kerajinan kayu tersebut dalam jumlah besar untuk dikirim ke Belanda. Pencipta tersebut merasa bangga karena karyanya disenangi, ia dapat uang banyak dan bangga hasil karyanya bisa diekspor ke luar negeri. Ternyata di Belanda hasil kerajinan tersebut didaftarkan dan pada produk kerajinan tersebut ditempelkan made in

Belanda. Tentunya eksploitasi

semacam ini tidak kita inginkan karena sangat ironis bahwa pencipta yang sesungguhnya tidak mendapatkan hak yang selayaknya menjadi miliknya secara optimal, padahal pencipta inilah yang telah berkorban baik waktu, tenaga pikiran maupun materi untuk menghasilkan ciptaannya.

Permasalahan lain yang muncul adalah dalam masyarakat tradisional

yang mempunyai sifat komunal

biasanya ciptaan yang telah dihasilkan seseorang akan dimanfaatkan secara kolektif oleh anggota masyarakat yang

lain, sehingga pencipta yang

sesungguhnya kurang dapat menikmati hak ciptanya secara eksklusif atau bahkan ciptaannya itu disalahgunakan

oleh anggota masyarakat untuk

keuntungan pribadinya.

Dari uraian di atas terlihat bahwa pokok permasalahan adalah tingkat pemahaman dan kesadaran pencipta atas hak ciptanya masih sangat

(6)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..80 kendala bagi pencipta untuk memiliki

dan mendayagunakan hak ciptanya secara eksklusif dan melindungi hak tersebut dari pelanggaran hak oleh pihak lain. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang akan mengkaji

masalah yang berkaitan dengan

perlindungan hukum karya seni

tradisional dan upaya-upaya

peningkatan pemahaman dan

kesadaran pencipta karya seni

tradisional atas hak ciptanya guna menghindari eksploitasi oleh pihak lain yang tidak berhak. Sehingga dengan

penelitian ini diharapkan adanya

penghargaan terhadap pencipta karya seni tradisional melalui perolehan dan pemilikan haknya secara layak serta lebih lanjut akan berdampak lebih luas

bagi penghargaan karya seni

tradisional di dunia internasional. Dan

lebih utama diharapkan dapat

diciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan mencipta, sehingga secara stimulan dapat memberi pengaruh bagi

tumbuh suburnya kreativitas

masyarakat yang pada gilirannya dapat menciptakan stimulasi yang signifikan bagi lahirnya ciptaan-ciptaan baru yang beragam, berkualitas serta memberi manfaat bagi penggayaan khasanah kehidupan bangsa.

Dengan demikian karya seni

tradisional diartikan sebagai pernyatan ekspresi estetika bangsa Indonesia yang khas dan asli yang secara sosial dipantulkan dalam wujud yang nyata maupun hasil renungan dan kreasi bangsa baik komunal maupun pribadi. Karya seni tradisional ini antara lain bisa berupa seni rupa (seni ukir, seni

pahat, seni patung, seni lukis,

kaligrafi), kerajinan tangan, seni Batik, seni tenun, seni pertunjukan (seni tari, seni musik, seni teater) dan seni arsitektur. Karya seni tradisional sebagai salah satu bentuk ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta, asalkan memenuhi kriteria atau

syarat-syarat perlindungan hak cipta, yaitu :

1. Ciptaan tersebut merupakan ide

yang telah selesai diwujudkan

dalam bentuk yang khas dan dalam kesatuan yang nyata, sehingga dapat ditangkap oleh panca indera. Oleh karena itu ide, gagasan, cita-cita tanpa ada perwujudannya tidak dapat dilindungi hak cipta.

2. Menunjukkan keaslian atau

orisinalitas yang berarti ciptaan tersebut dihasilkan dari kemampuan

pikiran, kreativitas, imajinasi,

kecekatan, ketrampilan dan

keahlian pencipta yang bersifat pribadi.

3. Ciptaan tersebut dihasilkan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

B. Akibat Hukum Dari Pendaftaran Hak Cipta Reog Ponorogo

Dengan telah dilakukan pendaftaran hak cipta Reog Ponorogo, sehingga Reog Ponorogo telah masuk daftar umum ciptaan pada Direkorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI), dan telah diterbitkan Surat Pendaftaran Ciptaan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 1 Desember 2004 di Jakarta, yang dalam surat tersebut berdasar ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Hak cipta (UUHC) dinyatakan bahwa Pencipta dan Pemegang Hak cita atas ciptaan Reog Ponorogo adalah Pemerintah Kabupaten Ponorogo.

Berdasar pada pernyataan Surat Pendaftaran Ciptaan tersebut, dan juga pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 UUHC yang menyatakan:

Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah: a. Orang yang namanya terdaftar

dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direkotrat Jendral, atau

(7)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..81 b. Orang yang namanya disebut dalam

ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan.8

Maka dengan itu telah memiliki kekuatan hukum bahwa Pemerintah Kabupaten Ponorogo adalah Pencipta Reog Ponorogo dan juga pemegang Hak cipta Reog Ponorogo, yang tentunya dengan konsekuensi ketentuan Pasal 9 UUHC.

Adapun ketentuan pasal 44 UUHC yang menyatakan kekuatan hukum suatu pendaftaran ciptaan tersebut hapus karena:

a. Penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya sebagai pencipta atau pemegang hak cipta.

b. Lampau waktu sebagaimnana dimaksud dalam pasal 29, pasal 30, dan pasal 31 dengan mengingat pasal 32.

c. Dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Ponorogo mempunyai hak atas ciptaan Reog Ponorogo, yaitu hak cipta yang sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 1 UUHC, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembamtasan menurut Undang-Undang yang berlaku. Dijelaskan pada penjelasan pasal 2 ayat 1, yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak” termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual,

8

UUHC, Op Cit, pasal 5 ayat 1

menyesuaikan, menimjamkan, mengimpor,memamerkan,

mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.9

Dalam pengeretian hak cipta sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 UUHC dinyatakan selain hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan, pencipta atau penerima hak cipta juga mempunyai hak untuk memberikan ijin kepada pihak lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan atas ciptaan tersebut, yang mana ijin itu disebut Lisensi yang artinya sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 14, lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptanya atau prdouk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.10 Dalam UUHC dinyatakan bahwa pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepda pihak lain berdasarkan surat perjanjian untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana yang dimaksud pasal 2 UUHC11 yaitu perbuatan mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan.

Adapun ketentuan mengenai surat perjanjian lisensi, sebagaimana ketentuan pasal 47 UUHC, yang menyatakan:

1. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9

Ibid, Penjelasan Pasal 2 ayat 1 10

Ibid, pasal 1 angka 14 11

(8)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..82 2. Agar dapat mempunyai akibat

hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan di Direkorat Jenderal.

3. Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan keputusan presiden.

Kecuali diperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat 1 meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 berlangsung selama jangka waktu lisensi yang diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, 12 dan kecuali diperjanjikan lain pelaksanaan perbuatan tersebut disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada pemegang hak cipta oleh peenerima lisensi 13 yang mana jumlah royalti yang wajib dibayarkan tersebut adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak denga berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. 14

Dalam hal terhadap ciptaan Reog Ponorogo, pemerintah kabupaten Ponorogo berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk melakukan perbuatan sebagaimana pasal 2 terhadap ciptaan Reog Ponorogo seperti misalnya memamerkan, mempertunjukkan, dan memperbanyak atau membuat Reog Ponorogo, yang mana dari itu Pemerintah Kabupaten Ponorogo berhak atas royalti yang merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh penerima lisensi darinya. Dengan telah diberikannya lisensi kepada pihak lain, dalam UUHC juga mengatur ketentuan bahwa, kecuali diperjanjikan lain, dengan hak cipta tetap boleh melaksanakan sendiri

12

Ibid, pasal 45 ayat 2 13

Ibid, pasal 45 ayat 3 14

Ibid, pasal 45 ayat 4

atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga (pihak lain selain pihak yang lebih dulu diberikan lisensi oleh pemegang hak cipta) untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud asal 2 tersebut. 15

Setelah dialkukan pendaftaran hak cipta Reog Ponorogo dankemudian terbit surat pendaftaran ciptaan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia maka Pemerintah Kabupaten Ponorogo mendapatkan Hak atas Reog Ponorogo yang antara lain berupa hak moral dan hak ekonomi, yang mana hak moral adalah hak untuk mendapatkan pengakuan bahwa pihaknya aalah sebagai pencipta dan pemegang hak cipta Reog Ponorogo, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk memanfaatkan ciptaan dalam hal ini Reog Ponorogo, dan hak untuk mendapatkan dan menerima keuntungan finansial atau ekonomi dari pemanfaatan ciptaanya yaitu Reog Ponorogo oleh pihak lain yang menerima lisensi dari pihaknya, juga pihak penerima lisensi tersebut wajib membayar royalti kepada pihaknya. Namun dari hak-hak yang dimili pemerintah Kabupaten Pnorogo sebagai pemegang hak cipta Reog Ponorogo tersebut, hanya hakmoral saja yang dinikmati olehnya, yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan atau diakui bahwa pihaknya adalah pencipta Reog Ponorogo yang mana dengan telah mendaftarkan hak cipta Reog Ponorogo dan telah terbit surat pendaftaran ciptaan tersebut, maka secara otomatis hak itu telah ada dan terus melekat padanya dan tidak dapat beralih kepada pihak lain dengan alasan apapun.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam pendaftaran Hak Cipta Reog

15

(9)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..83 Ponorogo yang pada dasarnya hanya

ingin mendapatkan pengakuan dengan legal dan resmi yang mempunyai kekuatan hukum bahwa Pencipata Reog Ponorogo adalah Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Sedangkan untuk hak ekonomi yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Ponorogo atas Reog Ponorogo sepereti hak untuk membeirkan lisensi dan hak atas royalti yang wajib dibayarkan oleh penerima lisensi, pada prakteknya tidak diambil atau dimanfaatkan oleh Pemerintah kabupaten Ponorogo karena pihaknya memandang bahwa semakin banyak keberadaan Reog Ponorogo di banyak daerah diniali sebagai suatu perkembangan dan pelestarian Reog Ponorogo yang sehingga dapat mengangkat citra Ponorogo, oleh sebab itu kemudian pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo mengeluarkan kebijakan yaitu perbuatan atau kegiatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 UUHC sepereti mengumkan danatau memperbanyak atau dalam pengertian lebih luas kegiatan untuk memanfaatkan Reog Ponorogo tidak harus atau tidak diperlukan ijin lisensi dari pihaknya sebagai pemegang Hak cipta Reog Ponorogo, perbuatan tersebut yang dilakukan tanpa ijin lisensi darinya dianggap bukan merupakan suatu pelanggaran hak cipta, sehingga dari hal tersebut pihak lain yang memanfaatkan ciptaan Reog Ponorogo atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga tidak ada kewajiban untuk membayar royalti kepada pihaknya.

Selain itu pemrintah Kabupaten Ponorogo menilai dan mempunyai pertimbangan lain yaitu jika pihak lain dalam kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo seperti kegiatan pengumuman dan atau perbanyakan harus mendapat ijin lisensi dari pihaknya dan apalagi harus membayar royalti, maka dikhawatirkan akan

mempersulit dan memberatkan pihak lain dalam kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo, yang mana pemanfaatan oleh pihak lain seperti pegumuman dan atau perbanyakan Reog Ponorogo dinilai oleh pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebagai partisipasi dalam usaha pelestarian dan perkembangan kesenian Reog Ponorogo, sehingga jika harus ijin dan membayar royalti justru dapat menghambat atau bahkan dapat mematikan usaha perkembangan dan pelestarian kesenian Reog Ponorogo. Pemerintah Kabupaten Ponorogo sendiri juga mempunyai tujuan memasyarakatkan Reog Ponorogo.

Dengan kebijakan kebebasan dalam kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo juga dinilai sebagai usaha yang saling menguntungkan antara Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan masyarakat Ponorogo khususnya, dimana dengan kegiatan pemanfaatan seperti kegiatan pengumuman dan perbanyakan Reog Ponorogo oleh pihak lain, akan membantu melancarkan usaha Pemrintah Kabupaten Ponorogo dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian Reog Ponorogo, sedangkan bagi pihak lain yang melakukan kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo seperti kegiatan pengumuman dan perbanyakan akan mendapatkan keuntunga ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka yang mana hal itu juga menjadi tujuan dan cita-cita Pemerintah Kabupaten Ponorogo yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan yang saling menguntungkan antara Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan pihak lain yang memanfaatkan Reog Ponorogo tersebut juga dapat terlihat dari usaha-usaha yang dilakukan Yayasan Reog Ponorogo dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah:

(10)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..84 1. Mendirikan pusat pendidikan dan

latihan kesenian Reog Ponorogo serta mendirikan cabang-cabang bila dipandang perlu.

2. Pembinaan industri kecil khususnya para perajin reyog, gamelan, pakaian dan kain batik

3. Membuat pake wisata

4. Mendirikan museum, laboratorium dan perpustakaan keseinan Reog Ponorogo

5. Membudidayakan burung merak dan harimau, sebagai bahan baku pembuatan reyog

6. Usaha lain yang sah dan halal.16 Yang usaha-usaha tersesbut melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menikmati keutungan dari usaha-usaha tersebut. Kebebasan yang diberikan bagi pihak lain oleh dalam pemanfaatan Reog Ponorogo pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga berharap dalam pemanfaatan tersebut harus sesuai dengan pakem Reog Ponorogo, hal ini sesuai dengan tujuan Pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk mengembangkan dan melestarikan Reog Ponorogo sesuai dengan pakem dannilai-nilai yang terkandung dalam Reog Ponorogo. Walaupun dalam hal ini pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo belum bisa melakukan tinjauan khusus untuk memantau perkembangan Reog Ponorogo diberbagai daerah apakah sesuai dengan pakemnya atau tidak. Namun kebijakan tersebut berlaku sampai waktu yang belum ditentukan, karena tidak menutup kemungkinan dengan alasan tertentu sehingga dimeudian waktu kebijakan tersebut diak diberlakukan lagiatau dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang berarti segala kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo oleh pihak lain hrus

16

Anggaran Dasar Yayasan Reyog Ponorogo, Pasal 5

mendapat ijin lisensi dari pihaknya, dan bagi penerima lisensi diwajibkan membayar royalti kepada pihak Pemerintah Kabupaten Ponorogo.

Dalam usaha pelestarian dan pengembangan Reog Ponorogo, Pemerintah Kabupaten Ponorogo mengharapkan kepada pihak lain dalam kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo harus mempertahitkan pakem Reog Ponorogo yaitu sesuai dengan yang terangkum dalam Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bansa sebagai pedoman dasar yang merupakan kerangka landasan, memuat rambu-rambu yang harus ditaati dalam penyajian Kesenian Reog Ponorogo dari alur sampai pada instrumen dan aransemenya (alur cerita, senitari, tata busana/rias, instrumen, aransemen, dan peralatan).17 Namun demikian dalam harapannya kepada pihak lain agar dalam pemanfaatan Reog Ponorogo harus sesuai dengan pakemnya, Pemerintah Kabupaten Ponorogo bersikap terbuka dan fleksibel karena tidak menutup kemungkinan timbulnya kreativitas seniman dalam kiprahnya secara positif responsif demi terarah dan lestarinya kesenian Reog Ponorogo.

Dalam usaha pengembangan dan pelestarian Kesenian Reog Ponorogo tersebut, Pemerintah Kabupaten Ponorogo, tepatnya pada tanggal 11 Juni 1994 mendirikan Yayasan Reog Ponorogo sebagai wadah seluruh perkumpulan Reog yang mempunyai wilayah kerja baik di dalam maupun diluar wilayah Kabupaten Ponorogo.18

Adapun maksud dan tujuan dari Yayasan Reog Ponorogo tersebut adalah:

17

Pemerintah Kabupaten Daerah Ponorogo, Op. Cit, h.2

18

Anggaran Rumah Tangga Yayasan Reyog Ponorogo, Pasal 1

(11)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..85 1. Memelihara, melestarikan dan

memajukan Kesenian Reog Ponorogo sesbagai kekayaan budaya daerah, dalam menunjang kebudayaan nasional.

2. Sebagai wahana pengembangan kesenian Reog Ponorogo untu memenuhi tuntutan pembangunan budaya nasional dalam era modernisasi, tanpa meninggalkan ciri-ciri khas tradisional yang sakral. 3. Penataan kembali organisasi Reog

Ponorogo, yang bersumber pada rasa persatuan dan kesastuan dikalangan para seniman Reog Ponorogo.

4. Mengangkat kesenian Reog Ponorogo, sebagai daya tarik obyek wisata yang berdampak luas khususnya pada pendapatan masyarakat.19

Kesimpulan

1. Perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia, dibagi menjadi dua yaitu : Pertama

Perlindungan Preventif hak

kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dalam Pasal 10. Kedua Perlindungan Represif di mana pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta, dimana dalam hal kesenian tradisional hak ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang

19

Anggaran Dasar Yayasan Reyog Ponorogo, pasal 4

diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 2. Pada dasarnya tujuan Pemerintah

Kabupaten Ponorogo kepada Dirjen HAKI adalah untuk mendapatkan hak moral, yaitu pengakuan bahwa Pencipta dan Pemegang Hak Cipta Reog Ponorogo adalah Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, Pemerintah Kabupaten Ponorogo mengeluarkan kebijakan bahwa pemanfaatan (kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUHC) terhadap ciptaan Reog Ponorogo oleh pihak lain tidak perlu ijin lisensi dan tidak perlu membayar royalti kepada pihaknya, sehingga kegiatan pemanfaatan Reog Ponorogo oleh pihak lain tanpa ijin lisensi dianggap bukan merupakan pelanggaran hak cipta. Hal tersebut karena Pemerintah Kabupaten Ponorogo menilai bahwa pemanfaatan Reog Ponorogo oleh pihak lain sangat membantu pihaknya dalam usaha melestarikan kesenian Reog Ponorogo.

Daftar Pustaka

Pemerintah Kabupaten Ponorogo, 2004, Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo Dalam Pentas

Budaya Bangsa, Mata Pena,

Ponorogo.

Soekanto ,Soerjono dan Sri Mamudji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.

(12)

Sosial Volume 15 Nomor 2 September 2014 PERLINDUNGAN HUKUM HAK..86 Tim Lindsey, dkk, 2006, Hak Kekayaan

Intelektual (Suatu Pengantar), PT. Alumni, Bandung.

Internet:

Rahardi Ramelan, 2011, Ekspresi Kebuyaan Tradisional dalam Globalisasi, Perlindungan HKI atau Pengakuan, (www.leapidea.com, 2011). Diakses 2 April 2014

website Kementerian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian dan

Warisan Malaysia,

http://www.heritage.gov.my. Diakses 2 April 2014

Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 19 Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang

Bab II membahas tentang perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang mencakup didalamnya kerangka teoretik perlindungan HaKI secara umum ,perlindungan HaKI dalam

Perjanjian Bern merupakan tonggak sejarah penting dalam hukum internasional untuk memberikan perlindungan hukum atas Hak Milik Intelektual, khususnya Hak Cipta,

Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai perlindungan hukum hak kekayaan intelektual dalam

Ada 2 hal pokok yang dipandang perlu untuk secara seksama ditelaah yaiu agar pengetahuan tradisional dapat dipertimbangkan sebagai prior art, dan agar perolehan

Adapun yang menjadi tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui siapakah yang menjadi subjek hukum yang menjadi pemegang hak dalam perlindungan Pengetahuan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak secara tegas memberikan pengertian dari peristiwa perdata yang dimaksudkan untuk melakukan peralihan hak milik atas hak

Namun demikian, dosen atau peneliti bisa saja atas perolehan Paten dari hasil invensinya sepanjang antara dosen dan Perguruan Tinggi membuat perjanjian lain, dalam konteks ini dibuat