• Tidak ada hasil yang ditemukan

GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT Muji Rahardjo1), Sigit Sapto Nugroho2)

1)&2) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun Abstract

This study aims to analyze the implementation of land under customary law lien and the factors that cause soil lien. Based on the results of land under customary law lien only done before the village chief to ensure legal certainty, deeds and feared the light of a dispute. The factors that affect the lien of land among other economic factors, knowledge and experience.

Keywords: Pawn, Land, Indigenous PENDAHULUAN

Persoalan tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting sebab besarnya kehidupan manusia adalah tergantung pada tanah. Tanah itupun telah kita ketahui adalah tempat pemukiman dari sebagian besar umat manusia yang mencari nafkah melalui usaha pertanian ataupun usaha perkebunan. Khususnya untuk tanah pertanian,yang dapat di tanami berbagai macam tanaman misalnya : padi, jagung, kacang, ketela dan tebu. Dalam hal ini semua tanaman mempunyai kedudukan yang sangat penting baik bagi para petani maupun masyarakat luas, sebab dari hasil pertanian tersebut merupakan pemasok kebutuhan yang utama.

Di samping itu semua jumlah tanah pertanian yang dapat di kuasai oleh kaum petani pada saat ini sangatlah terbatas sekali,sedang jumlah manusia yang menjadi petani semakin lama semakin bertambah, ini semua di karenakan masyarakat Indonesia sebagian besar penduduknya adalah bertani(negara agraris).

Manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan, dalam pemenuhan inilah di perlukan uang agar yang diinginkan segera terpenuhi, sehingga yang semula tidak ada akan menjadi ada. Upaya untuk pemenuhan

ini salah satunya yaitu dengan gadai. Gadai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gadai atas tanah yaitu tanah pertanian.

Tanah sendiri adalah sesuatu yang berharga yang bisa dinilai dengan uang. Dimana seringkali masyarakat menilai bahwa tanah lebih daripada nilai emas ataupun benda-benda yang lainnya. Untuk itu tanah yang digadaikan akan mempunyai nilai yang tinggi, dan juga dalam pengaturan tentang gadai atas tanah juga ada aturannya yang terdapat dalam hukum adat, yang terdapat dalam Undan-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang selanjutnya disebut UUPA yang menunjuk pada hukum adat, di mana pengaturan gadai menurut Hukum Adat terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Dalam praktek di masyarakat, gadai atas tanah seringkali di lakukan menurut Hukum Adat, dimana pelaksanaan gadai tersebut di lakukan secara lisan saja atau hanya di saksikan oleh Kepala Desa atau Lurah saja dan tidak menurut ketentuan yang berlaku ,peralihan hak atas tanah yang demikian tetap dianggap sah bagi para pihak yang mengadakan perjanjian peralihan hak atas tanah tersebut ,tapi tidak mempunyai kekuatan hukum yang

(2)

tetap, karena dalam UUPA Pasal 19 menyatakan : Setiap perjanjian peralihan hak atas tanah ( termasuk hibah / menggadaikan / menjamin uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan) harus di buktikan dengan suatu akta yang di buat oleh pejabat yang di tunjuk menteri agraria, dalam syarat pembuatan yang di tunjuk akta tersebut tidak dapat di buktikan maka perbuatan yang bersangkutan tidaklah sah, Keadaan yang demikian kurang menjamin kepastian hukum. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian gadai tersebut terjadi perselisihan antara para pihak yang melakukan perjanjian. Sebagaimana pula diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Tujuan Penelitian :

1. Untuk menganalisis pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat. 2. Untuk menganalisis faktor-faktor

yang menyebabkan terjadinya gadai tanah menurut Hukum Adat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat bermanfaat :

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran, baik berupa konsep, pengembangan teori dalam kasanah ilmu hukum khususnya hukum pertanahan dan hukum perdata.

2. Untuk memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti masyarakat pada umumnya, Badan Pertanahan Nasional maupun pihak-pihak yang berkompeten dibidang hukum pertanahan dan hukum perdata khususnya tentang gadai.

Metode Penelitian

Penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis normatif (studi kepustakaan)

yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tipe penelitian ini dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan mengkaji bahan-bahan hukum, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a. Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif yang utama adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan kepustakaan yang berwujud (Sunggono, 2002:116).

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari :

a. UUD 1945.

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. c. Undang-Undang Nomor 56 (Prp)

Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

2). Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Contohnya : Hasil karya ilmiah, makalah, dan sebagainya.

3).Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun perjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum. b. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Setelah data dapat dikumpulkan maka kemudian dilakukan pengelompokan data dilakukan pembahasan yang didasarkan pada teori-teori yang masih ada dan relevan. Di dalam mencari data, baik yang bersumber pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan . Setelah

(3)

diperoleh bahan hukum yang diperlukan kemudian dihimpun, diinventarisasi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas, selanjutnya dilakukan pemisahan berdasarkan relevansi pokoknya. c. Analisis Data

Setelah data-data berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi pokok permasalahan kemudian dilakukan analisa data secara normatif kualitatif, yaitu untuk membahas bahan penelitian yang datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritik tentang konsep-konsep, kaidah hukum, doktrin-doktrin dan bahan hukum lainnya. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh dan dituangkan di dalam bahasan dengan sehingga menghasilkan data yang diskriptif analitis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Gadai Tanah Menurut Hukum Adat

Pengaturan gadai dalam UUPA dapat dilihat pada Pasal 53 jo Pasal 52 (2), yang menentukan bahwa hak gadai tersebut bersifat sementara, hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA. Pengaturan gadai dalam UUPA itu, kemudian diadakan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960.

Perpu Nomor 56 Tahun 1960 yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, oleh Presiden diperintahkan supaya Perpu ini dijalankan, kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960. Ada 3 soal yang diatur dalam Perpu ini, yaitu: 1. Penetapan luas maksimum pemilikan

dan penguasaan tanah perkara.

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian.

3. Larangan-larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Di dalam Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tidak memberikan suatu pengertian tentang tanah pertanian, sawah dan tanah kering. Maka dalam intruksi bersama Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12, adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah untuk penggembalaan ternak, tanah belukar bekas lading dan belukar.”(Edy Ruchyat, 1994:28) Untuk menentukan apakah sebidang tanah termasuk golongan sawah atau tanah kering, maka aturannya dapat dilihat dari kenyataan penggunaannya yang secara praktis dapat disebut.

Hak gadai baik atas tanah pertanian maupun tanah bangunan semula diatur dalam hukum adat, kemudian dalam hak gadai disebut Pasal 53 dan Pasal 52 UUPA. Sebagai pelaksanaan dari pada Pasal 53 tersebut, maka diadakan ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 diatur tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan (sanksi pada Pasal 10). Kemudian dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya.

Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah pertanian diatur juga

(4)

dalam hukum adat, kecuali soal pengembalian dan penebusan tanah telah diatur oleh pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960, sedangkan pendaftaran hak gadai diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Kata gadai menurut hukum adat dijadikan 2 menurut sifatnya yaitu: 1. Gadai atas benda yang bergerak 2. Gadai atas benda yang tidak

bergerak

Sedangkan kata gadai atas tanah ini termasuk dalam gadai atas benda yang tidak bergerak yang mempunyai nilai yang cukup tinggi. Dalam hal ini tanah yang digadaikan adalah tanah pertanian. Hubungan hukum antara penerima gadai dengan penggadai dapat kita lihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 angka 9a adalah sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai hutang uang kepadanya, selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah ini tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari uang tersebut.

Dengan adanya aturan hukum yang mengatur tentang gadai atas tanah, masyarakat tidak hanya menerima barang jaminan saja dan menerima uang jaminan terhadap barang yang telah dijaminkan, tetapi pelaksanaan tersebut telah diatur di dalam aturan hukum yaitu UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 untuk menjaga kemungkinan akan ada sengketa tentang tanah yang digadaikan, maka UUPA dan Undang-Undang Nomor 56

(PRP) Tahun 1960ini dapat digunakan untuk mengatasi sengketa tersebut.

Adapun untuk syarat syahnya perjanjian gadai atas tanah menurut hukum adat adalah berlaku azas riil dan konkrit. Artinya nyata dan jelas dapat ditangkap panca indra kita, penyerahan kekuasaan atas sesuatu benda dan pembayaran suatu harga sewa terjadi secara tunai. Jadi tidak lagi diperlukan perbuatan hukum yang menurut Pasal 1459 BW disebut Levering.

Yang penting bagi masyarakat adat dalam membuat perjanjian adalah didasarkan pada kesepakatan bulat dari kedua belah pihak, tunai dan tidak tercela oleh masyarakat dan lingkungannya. Dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik, sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat di hadapan Lurah/Kepala Desa tetapi jika masyarakat mempersoalkannya, maka masyarakat menganggap soal itu tidak baik, sebenarnya perjanjian itu tidak sah.

Untuk melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian gadai tanah pertanian agar mengikat kedua belah pihak, menjadi terang dan tidak gelap maka harus dilaksanakan dihadapan dan dengan bantuan penghulu rakyat atau Kepala Desa. Tetapi dengan bantuan hukum Lurah/Kepala Desa tersebut berarti bahwa untuk sahnya perjanjian gadai tanah pertanian tidak harus dilaksanakan di hadapan Lurah/Kepala Desa, karena tanpa bantuan Lurah/Kepala Desa pun perjanjian tetap sah dan berlaku terhadap kedua belah pihak itu.

Bila perjanjian gadai tanah pertanian dilaksanakan di luar pengetahuan Lurah/Kepala Desa, maka isi perjanjian itu tidak berlaku dan mengikat terhadap pihak ketiga (Lurah/Kepala Desa), tetapi apabila

(5)

dikemudian hari terjadi perselisihan, maka Lurah/Kepala Desa tetap diperlukan yakni untuk memberi nasihat-nasihat kepada para pihak yang bersangkutan, sehingga persengketaan akan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak menimbulkan gangguan pada lingkungan masyarakat hukumnya. Sebagaimana pendapat beberapa ahli hukum adat gambaran tentang peranan Lurah/Kepala Desa dalam perjanjian atas tanah, antara lain : Ter Haar mengemukaan “Tanpa ikut sertanya Kepala Desa/Lurah atau tanpa bantuannya maka perjanjian itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga.(Hilman Hadikusuma, 1985:130)

Soepomo menyatakan: “Ikut sertanya pengurus desa dalam pembelian tanah adalah untuk mendapatkan lebih banyak jaminan hukum (kepastian hukum) bagi pembeli dan karena itu pembeli memperoleh hak untuk mendapatkan perlindungan sepenuhnya.(Hilman Hadikusuma, 1985)

Dalam praktek di lapangan biasanya gadai atas tanah biasanya para pihak dalam melakukan peralihan hak atas tanah dilakukan di hadapan Lurah/Kepala Desa, dikarenakan ada beberapa alasan yang dikemukakan para pihak yaitu:

1. Agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah terang

Menurut konsepsi hukum adat bahwa perjanjian jual beli tanah dan peralihan atas tanah lainnya dikatakan terang jika perbuatan tersebut dilakukan dihadapan Lurah/Kepala Desa dan disaksikan oleh beberapa saksi, untuk memastikan perbuatan bahwa perbuatan tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Dengan perlakuan gadai tanah di hadapan Lurah/Kepala Desa, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang terang

bukan perbuatan yang gelap (sembunyi-sembunyi).

2. Dikhawatirkan terjadi sengketa Hal ini berkaitan dengan alasan

agar memperoleh perlindungan jika terjadi sengketa. Pada umumnya tanah yang dialihkan itu merupakan tanah yang masih atas nama nenek moyang yang sudah meninggal, sedangkan pihak yang mengalihkan itu adalah ahli warisnya sehingga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, para pihak meminta bantuan Lurah/Kepala Desa untuk menyaksikan perjanjian hak atas tanah tersebut, sehingga penerima hak atas tanah lebih terjamin dan mendapatkan perlindungan hukum. 3. Agar memperoleh perlindungan

hukum jika terjadi sengketa

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah masyarakat di samping Lurah/ Kepala desa adanya unsur kepercayaan juga mereka melibatkan Lurah/ Kepala Desa untuk menyaksikan, agar memperoleh perlindungan hukum apabila di kemudian hari terjadi sengketa.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut prinsip-prinsip tersebut kemudian Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dimana berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sedangkan ketentuan Pasal 23, 32 dan 38 UUPA memerintahkan kepada pemegang hak untuk mendaftarkan setiap mutasi atau pembebanan hak atas tanah di Kantor Pendaftaran Tanah (BPN), sehingga terjamin adanya kepastian hukum hak atas tanah tersebut.

Peraturan pemerintah yang di maksud dalam pasal tersebut adalah peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun

(6)

1997 yang mengatur tentang Pendaftaran Tanah. Lebih lanjut dalam Pasal 37 dari peraturan pemerintah di maksud menyatakan :

“Peralihan hak atas tanah dan milik atas satuan rumah susun melalui jual – beli , tukar –menukar , hibah , pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya : kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat di daftarkan jika di butuhkan dengan akte yang di buat oleh PPAT yang berwenang menurut kebutuhan peraturan perundang – undangan yang berlaku.”

Sebagaimana diketahui bahwa hak gadai atas tanah pertanian yang walaupun menurut Pasal 53 UUPA dikatakan sifatnya sementara, tetapi pada kenyatannya praktek hak tersebut sifatnya merupakan hak yang membebani hak milik, maka lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUPA hak tersebut juga harus di daftarkan menurut aturan – aturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Bunyi kedua pasal tersebut berturut – turut Pasal 53 UUPA menyatakan : Hak – hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h , ialah hak gadai , hak usaha bagi hasil , hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat – sifatnya yang bertentangan dengan Undang – Undang ini dan hak – hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.(Budi Harsono, 1985)

Pasal 23 UUPA yang menyatakan : “Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud Pasal 19.Pendaftaran dari hak gadai atas tanah pertanian disamping bertujuan untun menjamin adanya kepastian hukum, juga agar apa yang telah

diterangkan dalam daftar buku tanah tidak berubah dan tetap seperti pada keadaan yang sebenarnya.

Pokok pikiran yang diambil dari kedua Pasal yaitu Pasal 23 UUPA dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ialah berhubungan hak gadai atas tanah pertanian merupakan hak yang membebani hak milik dari seseorang, maka pendaftarannya harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Dengan demikian juga sebaliknya dengan bunyi ketentuan yang ada dalam Pasal 19 tersebut, berhubung pemberian hak gadai atas tanah pertanian itu disamping merupakan hak yang membebani terhadap hak milik tetapi juga sekaligus merupakan pemberian hak baru atas tanah pertanian milik dari seseorang, maka pemberiannya juga harus dibuatkan akta oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang.

Faktor - faktor yang Menyebabkan Terjadinya Gadai Tanah

Hak gadai atas tanah pertanian terjadi karena adanya transaksi perhubungan hukum yang berbentuk perjanjian gadai atas pertanian antara pemilik tanah dengan pihak lain, yang kemudian disebut sebagai penerima gadai. Dengan adanya kesepakatan atas obyek tanah pertanian dan segenap persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya, sudah terjadilah perjanjian yang demikian ini sudah sah dan menjamin adanya kepastian hukum terhadap kedua belah pihak, kepala desa atau lurah bukan merupakan syarat mutlak akan perjanjian yang dibuatnya itu, dan kepala desa hanya berfungsi untuk memperluas jaminan kepastian hukum terhadap pihak ketiga.

Setelah keluarnya UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, khususnya Peraturan Pemerintah

(7)

Nomor 24 Tahun 1997, maka semuanya sudah menjadi berubah. Ditegaskan Pasal 23 UUPA bahwa hak-hak yang sifatnya membebani hak-hak milik harus didaftarkan menurut ketentuan Pasal 19 UUPA. Sedangkan peraturan pemerintah yang dimaksud di dalam pasal 19 UUPA tidak lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Demikian juga Pasal 37 dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sifatnya memberikan hak baru atas tanah harus dibuatkan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang. Dengan adanya penafsiran kedua pasal tersebut yakni Pasal 23 UUPA dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jelaslah bahwa hak gadai atas tanah pertanian yang nantinya akan diberikan dan sekaligus yang sifatnya membebani hak milik atas tanah pertanian, maka pendaftarannya merupakan persyaratan mutlak agar tercapai jaminan kepastian hukum terhadap kedua belah pihak maupun pihak ketiga yang kebetulan akan melakukan perhubungan hukum dengan tanah pertanian tersebut sebagai objeknya.

Dengan sudah diketahuinya kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian gadai tanah pertanian, maka lebih lanjut untuk mengetahui sampai sejauh manakah pengetahuan dari para petani terhadap segenap ketentuan yang sifatnya merupakan suatu kewajiban darinya itu bisa dipahami, maka setidak-tidaknya kita bisa melepaskan diri dari kenyataan yang ada tentang masih kuat tidaknya ketentuan-ketentuan hukum adat yang mengatur tentang perjanjian gadai tanah pertanian itu masih diperhitungkan berlakunya didesa tersebut.

Hal ini penting sekali untuk bisa mengetahui, karena dengan

mengetahui itu secara tidak langsung kita bisa mengetahui bagaimana kekuatan berlakunya ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA dan segenap peraturan pelaksanaanya tentang perjanjian gadai tanah pertanian. Dikatakan demikian karena apabila hukum adat yang mengatur perjanjian gadai tanah ternyata masih kuat berlaku dan masih di patuhi, dapatlah dipastikan bahwa ketentuan yang ada dalam UUPA kurang mendapat tempat atau kekuatan berlakunya lemah sekali. Begitu juga sebaliknya apabila hukum adatnya saat-saat sekarang sudah mulai ditinggalkan atau kurang di patuhi, ada kemungkinan bahwa ada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA akan menjadi lebih kuat berlakunya.Sebagai mana kita ketahui, disamping kurangnya pengetahuan petani di atas, maka lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan para petani atau pemilik tanah menggadaikan tanahnya kepada orang lain. Bahwa dalam kenyataannya ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan para pemilik tanah menggadaikan tanahnya kepada pihak lain :

Pertama : Faktor ekonomi yaitu karena dirasakan ekonominya sangat lemah hingga menyebabkan para pemilik tanah tidak mampu atau tidak dapat mengerjakan tanahnya itu sendiri Kedua : Faktor pengetahuan yaitu

kurangnya pengetahuan tentang tata cara untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam hal simpan pinjam mengenai keuangan-keuangan yang diberikan oleh pemerintah

Ketiga : Faktor pengalaman yaitu kurangnya pengalaman dalam hal pengolahan tanah pertanian sehingga menyebabkan hasil dari pada panennya dirasakan kurang mencukupi kebutuhan para petani itu sendiri

(8)

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas maka kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Hukum adat di Indonesia merupakan hukum positif yang keberadaannya telah diakui di Indonesia. Hukum adat sendiri sebagai dasar dari terbentuknya hukum agraria yang terdapat dalam UUPA ketentuan Pasal 5. Salah satu ketentuan yang pengatur masalah gadai tanah pertanian selain termaktub dalam UUPA terdapat dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 angka 9a yang menimbulkan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah milik orang lain. Pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat seringkali hanya dilakukan dihadapan Kepala Desa/Lurah agar perbuatannya terang dan untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari. 2. Bahwa dalam kenyataannya yang

menyebabkan para pemilik tanah menggadaikan tanahnya kepada pihak lain yaitu karena ada beberapa faktor-faktor antara lain: Pertama, Faktor ekonomi yaitu karena dirasakan ekonominya sangat lemah hingga menyebabkan para petani tidak mampu atau tidak dapat mengerhakan tanahnya itu sendiri. Kedua, Faktor pengetahuan yaitu karena kurang mengertinya akan tata cara untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam hal simpan pinjam mengenai keuangan-keuangan yang diberikan oleh pemerintah, misalnya : melalui KUD, Simpedes. Dan Ketiga, faktor pengalaman yaitu kurangnya pengalaman dalam hal ini pengelolaan tanah pertanian sehingga menyebabkan hasil daripada panennya dirasakan kurang mencukupi kebutuhan petani itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan, Akademik Pressindo, Jakarta, 1994.

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Alumni Bandung, 1993.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Penerbit Djambatan, Jakarta, 1986.

Consil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, P.N, Balai Pustaka, Jakarta.

Eddy Ruchyat, Pelaksanaan Lanform dan Jual Gadai Berdasarkan UU No. 5 (PRP), Tahun 1960. Armico Bandung.

Hilman Hadikusumo, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bhakti, Bandung 1994.

Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Bina Aksara, Cet ke-4. Lilik Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah

Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional, Usaha Nasional - Surabaya - Indonesia.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981. Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawli Press, Jakarta, 1985

Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Agustus 1968.

Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 Tentang Batas Maksimum Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Referensi

Dokumen terkait

MEDAN 2003.. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah diatur alat-alat bukti untuk menentukan adanya hak atas tanah buik hak yang baru ataupun hak yang lama. Hak yang

Alasan yang mempengaruhi masyarakat Desa Simpang Agung melakukan gadai tanah pertanian yaitu dari pihak pemberi gadai, melakukan gadai tanah pertanian karena kebutuhan

mendaftarkan tanah tersebut sehingga ada kepemilikan dan hak yang jelas atas tanah tersebut.. Dengan keluarnya UUPA, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui

Berdasarkan Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar

Tinjauan hukum adat terhadap gadai tanah pertanian di Desa Plampang, Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai tanah pertanian itu telah berlangsung 7

Landreform” supaya diartikan seperti berikut: bahwa hanya perkara-perkara mengenai pengembalian gadai tanah- pertanian yang timbul dalam rangka pelaksanaan peraturan- peraturan

MEDAN 2003.. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah diatur alat-alat bukti untuk menentukan adanya hak atas tanah buik hak yang baru ataupun hak yang lama. Hak yang