• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT. A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT. A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT

A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian 1. Pengertian Jual Gadai Tanah

Hak gadai tanah dalam sistem perundangan-undangan Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria khususnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h. Di mana hak gadai tanah ini termasuk salah satu ke dalam hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Namun dalam undang-undang yang lebih dikenal dengan UUPA, hak gadai ini tidak diberi pengertian secara jelas. Guna memperoleh penjelasan yang lebih, di bawah akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian hak gadai tanah ini.

Menurut Boedi Harsono, Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang-gadai daripadanya. Selama uang uang-gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang-gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan dan

kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.43

(2)

Menurut Urip Santoso, Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain, untuk sementara waktu yang sekaligus diikuti dengan pembayaran sejumlah uang oleh pihak lain secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa pemilik tanah baru memperoleh tanahnya kembali apabila melakukan

penebusan dengan sejumlah uang yang sama. 44

Dalam bukunya K. Wantjik Saleh, Jual Gadai ialah penyerahan sebidang tanah oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah itu akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan uang

yang diterimanya kepada orang yang memegang tanah tersebut. 45

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah yang digadaikan ini dapat dimanfaatkan hasilnya oleh si pemegang gadai. Serta dapat lebih ditekankan lagi mengenai pengembalian tanah gadai ini, yang mana tanah gadai dapat dikembalikan lagi penguasaannya kepada pemiliknya dengan cara si pemilik tanah menebus tanahnya dengan kembali dengan sejumlah uang yang sama seperti pada saat ia menjualnya.

Hak gadai yang dimaksud ini juga berlainan dengan hak gadai sebagai jaminan yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUH Perdata. Hak gadai sebagai hak jaminan itu mengenai benda-benda bergerak dan sungguhpun benda yang bersangkutan berada dalam

44 Urip Santoso, op.cit, hlm 130. 45 K Wantjik Saleh, loc.cit.

(3)

kekuasaan pemegang gadai, ia tidak berwewenang untuk mempergunakan

atau mengambil manfaat daripadanya.46

2. Jenis-jenis Gadai Tanah

Di lihat dari jangka waktunya Hak Gadai dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:47

a. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karena Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjamkam uang.

b. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan

Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bisa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila dalam batas waktu

46 Eddy Ruchiyat, op.cit., hlm 67. 47 Urip Santoso, op.cit, hlm 132.

(4)

yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang digadaikan.

Pada prinsipnya dalam gadai tanah waktu penebusan terserah kepada penggadai tanpa ada batas waktu atau daluarsa bahkan hak untuk menebus berpindah kepada ahli waris si pemberi gadai kecuali diperjanjikan lain.48

3. Sifat Hubungan Gadai Tanah

Sebagai sifat-sifat dan ciri-ciri hak gadai dapat disebutkan sebagai berikut:49

a. Hak gadai jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus. Hak gadai berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan itu tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu

48 Aliasman, Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabaudi Nagari

Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 Uu No. 56/Prp/1960,

Melalui:<http://eprints.undip.ac.id/15313/1/Aliasman.pdf>,Tgl. 30-12-2010, Pkl. 11:52. Dalam Tesisnya, Aliasman, Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabaudi

Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 Uu No. 56/Prp/1960,

Universitas Diponegoro, 2005, hlm.12-13. 49 Eddy Ruchiyat, loc,cit.

(5)

ataupun meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus beralih kepada ahliwarisnya.

b. Hak gadai tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia maka hak tersebut beralih kepada ahliwarisnya.

c. Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak tanah lainnya. Pemegang gadai berwewenang untuk menyewakan atau membagi-hasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bisa orang ketiga, tetapi bisa juga pihak pemilik tanah sendiri.

Pemegang gadai bahkan berwewenang juga untuk

menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga, tanpa perlu meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik (“meng-anak-gadaikan” atau “onderverpanden”). Perbuatan ini tidak mengakibatkan putusnya hubungan gadai dengan pihak pemilik. Dengan demikian maka tanah yang bersangkutan terikat pada dua hubungan gadai.

d. Hak gadai dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu (“memindahkan gadai” atau “doorverpanden”).

(6)

e. Hak gadai tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain.

f. Selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (“mendalami gadai”).

g. Sebagai lembaga maka hak gadai pada waktunya akan hapus. Selain dari sifat-sifat di atas, hak gadai juga memiliki sifat pemerasan dalam pelaksanaannya. Dikarenakan selama si pemilik tanah belum dapat menebus kembali tanahnya, maka selama itu pula pemegang gadai masih menguasai tanah tersebut. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum

mampu melakukan penebusan.50Artinya si pemegang gadai dapat

mengambil manfaat dan mendapatkan hasil dari tanah tersebut yang bisa jadi lebih besar dari jumlah uang yang diberikan kepada pemilik tanah pada saat transaksi jual gadai tanah.

Menurut Effendi Perangin, Gadai Tanah mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar daripada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.51

50 Boedi Harsono, loc.cit. 51 Urip Santoso, op.cit, hlm 134.

(7)

Sifat pemerasan pada Hak Gadai (Gadai Tanah), adalah sebagai berikut:52

a. Lamanya gadai tidak terbatas. Berapa tahun saja tanah itu dikuasai oleh pemegang gadai, tanah itu tidak akan dikembalikan kepada pemilik tanah apabila tidak ditebus. b. Tanah baru dapat kembali kepada pemilik tanah apabila sudah

ditebus oleh pemiliknya. Dengan menguasai tanah selama 6 sampai 7 tahun saja, hasil yang dapat diperoleh pemegang gadai sudah melebihi jumlah uang gadai dan bunga gadai.

Menurut A.P. Parlindungan, setelah menguasai sawah selama 7 tahun itu si penerima gadai (pemegang gadai) sudah cukup mengecap hasil sawah itu hingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah

dikeluarkan.53

Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa dalam pelaksanaan hak gadai ini di sisi lain mempunyai unsur tolong-menolong, namun di sisi lain mengandung sifat pemerasan yang bisa merugikan si pemilik tanah. 4. Hapusnya Hak Gadai Tanah

Dari apa yang telah diuraikan di atas kiranya hapusnya hak gadai

itu antara lain disebabkan sebagi berikut54 :

a. telah dilakukan penebusan oleh si pemberi gadai;

52 Ibid.

53 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991, hlm 55.

(8)

b. sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras,

c. putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan

“milik-beding”;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau

longsor, maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh pemegang gadai.

Penebusan dilakukan dengan mengembalikan uang gadai yang dulu diterima oleh si pemberi gadai. Jika mengenai gadai tanah pertanian maka uang tebusannya tidaklah sebesar uang gadai, akan tetapi sebesar menurut rumus yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56

Prp. Tahun 1960.55

Sedangkan dalam hal hak gadai terhapus jika tanahnya musnah dikarenakan faktor bencana alam, seperti banjir atau tanah longsor. Maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh si pemegang gadai.56

5. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai Tanah

Perbuatan untuk memperoleh kembali tanah, dengan

mengembalikan jumlah yang diutang (dipinjam) disebut menebus. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila diatas tanah masih

55 Ibid.

(9)

terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini, maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit dua

tindakan, yakni:57

a. Menganakgadaikan (“onderverpanden”), dimana penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai pertama dengan penerima gadai pertama, dan kedua antara penggadai kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan pihak ketiga (sebagai penerima gadai yang kedua).

b. Memindahgadaikan (“doorverpanden”), yakni suatu tindakan dimana penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga tersebut menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara penggadai dengan penerima gadai yang baru.

Setelah selesainya jual gadai maka pihak penerima gadai mempunyai hak untuk mengolah serta menarik keuntungan dari yang menjadi objek gadai. Dengan penerimaan tanah ini si penerima gadai

57 Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua PT. Raja Grafindo Persasta, Jakarta, 1983, hlm. 192

(10)

berhak untuk menikmati manfaat yang melekat pada hak milik, seperti memetik hasil tanah itu sepenuhnya, mengerjakan atau mendiaminya,

menyuruh mengerjakannya atau mendiaminya, dengan pembatasan58:

a. Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain,

b. Tidak boleh menyewakannya untuk lebih dari satu musim lamanya (2 tahunan)

c. Mengoperkan gadai (doorverpanden) atau pun menggadaikan kembali/menggadaikan dibawah harga (underverpanden) tanah tersebut kepada orang lain, jika ia sangat memerlukan uang, sebab ia tidak dapat memaksa si penjual gadai semula untuk menebus tanahnya.

d. Mengadakan perjanjian bagi hasil/belah pinang/paruh hasil tanam/maro dan sejenis itu.

Pemegang gadai dapat bertindak bebas atas tanah seperti pemilik tanah, (menggarap sendiri, menyewakan atau membagi hasilkan, dengan

ketentuan:59

a. Sedia memberi kesempatan untuk menebus kepada yang memberi gadai.

b. Bila pemegang gadai melimpahkan gadai (anak-gadai); Jawa Barat: pindah akad, pindah gadai, limpah gadai, ganti gadai; Banten Utara: ganti-sanda), maka hal ini dilakukan atas dasar a.

58 Tesis, Aliasman, op.cit, hlm. 21-22. 59 Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 56.

(11)

c. Sebelum melimpahkan gadai, terlebih dulu pemegang gadai harus meminta kepada yang memberi gadai, supaya pemilik tanah (pemberi gadai) menebusnya, dan bila pemilik tanah tidak dapat atau tidak mau, barulah gadai itu dilimpahkan (voorkeursrecht dari yang memberi gadai).

Pelimpahan gadai ini dapat dilakukan dengan cara60:

a. Atas tanggungan pemegang gadai sendiri, di mana jumlah uang gadainya dapat sama atau lebih kecil tetapi pada umumnya tidak pernah lebih besar dari uang gadaian yang pertama. Untuk pelimpahan semacam ini tidak diperlukan izin dari pemilik tanah.

b. Pemegang gadai dapat mengoper gadai dengan seizin pemilik tanah (doorverpanding), sehingga pemegang gadai terlepas dari hubungan gadai itu.

Menurut hukum adat, maka gadai-menggadai tanah hanya dilakukan diantara orang-orang Indonesia asli. Akan tetapi berhubung dengan adanya asas yang ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (2), yang meniadakan perbedaan warga negara asli dan keturunan asing dalam memperoleh suatu hak atas tanah, maka kiranya hak gadai sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dapat juga dipunyai oleh para

warga negara Indonesia keturunan asing.61

60 Ibid.

(12)

B. Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah Pertanian

Hak gadai baik atas tanah pertanian maupun tanah bangunan semula diatur oleh hukum (agraria) adat. Kemudian dalam Undang-Undang Pokok Agraria hak gadai disebut-sebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Bahkan itupun harus diusahakan di dalam waktu yang singkat karena hak gadai mengandung unsur-unsur yang

bersifat pemerasan.62

Sebagai pelaksana daripada Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria maka dikeluarkanlah aturan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang mengatur soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan

(sanksi pidananya ditetapkan dalam Pasal 10).63 Yang mana pasal ini pun

bertujuan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang berdasarkan hukum adat Indonesia, namun lembaga peradilan di dalam penerapannya masih tidak konsisten sehingga menimbulkan adanya dualisme, yaitu gadai tanah

berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat.64

62 Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 65. 63

Ibid.

64 Rahma, Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Gadai Tanah

Menurut Hukum Adat,

Melalui:<http://www.pn-banjarbaru.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=13>, data diambil tanggal: 29 September 2010, pkl. 18.30 WIB.

(13)

Karena batasan antara keduanya tidak jelas maka menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara keduanya. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap pelaksanaan gadai tanah dalam hukum adat.

Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan perubahan peraturan gadai-menggadai tanah menurut Hukum Adat. Kemudian dengan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk 10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya. Dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 ditetapkan Pedoman

penyelesaian masalah gadai.65

Lembaga gadai tanah ternyata masih dipakai oleh sebagian masyarakat dan sebagai dasar hukum sekaligus menjadi bukti bahwa hukum adat masih diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia

yang dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan yakni sebagai berikut66 :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan, yang menyebutkan :

“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

65 Boedi Harsono, loc.cit. 66 Rahma, loc.cit.

(14)

Maksud dari isi pasal tersebut adalah, tetap diberlakukannya segala peraturan yang dibuat pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu IS (Indische Staatsregeling) terutama Pasal 131 ayat 2 jo Pasal 163, dimana didalamnya terkandung suatu ketentuan bagi penduduk Indonesia golongan Bumi Putera dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855, hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga dan hukum waris.

Salah satu maksud diadakannya Aturan Peralihan ini ialah untuk menjadi sumber dasar berlakunya peraturan perundang-undangan yang ada pada saat undang-undang dasar tersebut diberlakukan. Dengan demikian kevakuman/kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian

hukum dan kekacauan di dalam masyarakat dapat dihindari.67

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dalam Pasal 5 (lima) yang menyatakan sebagai berikut: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Jadi maksud dari isi Pasal tersebut diatas adalah bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

(15)

(UUPA) ini, hukum adat turut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan tentang Hukum Agraria Nasional.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut :

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Maksud dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ialah bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis atau masih berada dalam suatu masa pergolakan, maka peran hakim dalam hal ini, berfungsi sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat, sehingga hakim harus mampu terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, mengetahui, dan dapat memahami dan merasakan akan arti penting hukum dan rasa keadilan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.

Perubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menurut

(16)

ketentuan adat dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Sehingga persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat.

Selama hampir setengah abad Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 memberikan dasar bagi pelaksanaan jual gadai tanah, pada pelaksanaannya masih belum bisa menampakan keefektifan keberlakuannya. Beragamnya alasan yang kompleks pada masyarakat Indonesia baik menyangkut ekonomi, adat istiadat, pengetahuan masyarakat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang menjadi alasan masih digunakannya jual gadai tanah menurut cara adat. Masyarakat adat yang merupakan salah satu objek dimana pada masyarakat tersebut masih

dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan tanah.68

Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah-pertanian yang digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang

(17)

sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, tetapi berlaku juga terhdap gadai-menggadai yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itu pun tidak hanya berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah-pertanian pada umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan mengenai maksimum. Dengan demikian gadai-menggadai tanah pertanian selanjutnya akan mirip

dengan jual-tahunan, dondon susut atau pun ngajual tutung.69

Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah pertanian itu terdapat dalam hukum agraria adat. Hak gadai atas tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali soal pengembalian dan penebusan tanahnya yang telah diatur oleh Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut di atas, sedangkan pendaftaran hak gadai diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1961.70

C. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Pertanian

Karena adanya ketidakkonsistenan lembaga lembaga peradilan dalam menangani masalah hak gadai atas tanah pertanian, yang menimbulkan dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat. Yang berakibat tidak adanya ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara

69 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 393. 70 Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 66.

(18)

kedua peraturan tersebut. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap penyelesaian sengketa gadai tanah pertanian menurut hukum adat dan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga dapat menghilangkan persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah yang dianggap masyarakat masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat.

1. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Menurut Hukum Adat

Dari beberapa pengertian gadai tanah yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mengenai pengembalian tanah yang digadaikan dalam pelaksanaannya mengharuskan si pemilik tanah melakukan penebusan kembali atas tanahnya yang digadaikan tersebut. Jumlah nominalnya pun haruslah sama seperti pada saat si pemilik tanah menggadaikan tanahnya kepada pemegang gadai.

Seperti yang diungkapkan oleh Boedi Harsono dalam bukunya bahwa, selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang-gadai atau yang lazim disebut “penebusan”, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah

yang menggadaikan.71

(19)

Namun dalam pengembalian gadai tanah yang berlaku di dalam Hukum Adat tidak di atur mengenai jangka waktu gadai tanah tersebut. Sehingga banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.

Akibat dari penguasaan gadai tanah yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan, ditambah pada saat pengembalian tanah harus melakukan penebusan dengan jumlah nominal yang sama pada saat pemilik tanah menerima uang dari pemegang gadai. Sehingga bila dilihat dari kenyataan di atas, maka gadai-menggadai menurut ketentuan Hukum Adat umumnya mengandung unsur exploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang merupakan

bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah.72Namun di

beberapa daerah, misalnya di Bali, keadaannya justru sebaliknya. Pemilik tanah lebih kuat kedudukan sosial dan ekonominya dari pada para

pemegang gadai.73

Berikut beberapa penyelesaian sengketa gadai tanah pertanian sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, adalah sebagai berikut:74

a. Menurut Hukum Adat di Indonesia hak menebus dalam gadai tanah tidak akan lenyap dengan pengaruh lampau waktu atau daluarsa (verjaring). Dalam putusan Mahkamah Agung yang

72 Ibid.

73 Ibid, hlm 392. 74

(20)

terjadi sebelum berlakunya UUPA, bahwa hak menebus dalam gadai tanah tidak akan lenyap oleh daluarsa. Ini sesuai dengan ketentuan Hukum Adat yang sebenarnya.

b. Sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari resiko kemungkinan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu. Dalam putusan Mahkamah Agung sebelum berlakunya UUPA yang ditetapkan, bahwa besarnya uang tebusan didasarkan pada harga emas pada waktu menggadaikan dan menebus tanah dan ditanggung secara fifty-fifty, sama besar oleh kedua belah pihak, hal ini dirasakan sebagai cukup adil dan sepatutnya.

c. Sebelum berlakunya UUPA penggadaian tanah kepada orang bukan Bumiputera dilarang dianggap melanggar larangan pengasingan tanah S.1875 No. 179.

d. Gadai tanah di Jawa Timur yang dilakukan di muka Lurah Kepala Desa dianggap memenuhi syarat untuk penggadaian tanah. Memang pada umumnya pelaksanaan jual gadai ini dilakukan di muka Kepala Desa, karena masyarakat Desa menganggap bahwa ikut sertanya Kepala Desa dalam perjanjian jual gadai akan menambah kepastian hukum bagi semua pihak,

(21)

baik bagi pemberi gadai maupun bagi pemegang gadai dan bagi masyarakat Desa itu sendiri.

2. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Menurut Perundang-undangan yang Berlaku

Oleh karena dalam pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat/kebiasaan mengandung unsur exploitasi serta mengandung sifat pemerasan, maka untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan itu Pasal 53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai tanah diatur. Sepanjang yang mengenai tanah-pertanian hal itu diatur sekaligus dalam Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, karena mungkin ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai luas maksimum. Jika seorang pemegang gadai menguasai tanah melebihi maksimum, mungkin tanah yang dipegangnya dalam hubungan gadai akan dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam pengembalian tanah-gadai tersebut akan timbul persoalan tentang pembayaran kembali uang-gadainya. Hal itu diselesaikan oleh Pasal 7, atas dasar perhitungan, bahwa uang-gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh pemegang-gadai dari hasil tanah yang bersangkutan dalam waktu 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun, dengan ditambah bunga yang layak 10% (sepuluh persen). Demikianlah ditetapkan dalam Pasal 7 tersebut, bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama 7 (tujuh) tahun (tengah antara 5 dan 10) harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan. Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 (tujuh)

(22)

tahun sewaktu-waktu tetapi setelah tanaman yang ada selesai dipanen, pemilik tanah berhak meminta kembali tanahnya, dengan kewajiabn

membayar uang tebusan yang dihitung dengan rumus75:

(7+1/2) – waktu berlangsung hak gadai X uang gadai, 7

Tetapi kalau gadai yang bersangkutan sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tanpa pembayaran uang-tebusan. Menurut Mahkamah Agung di dalam Putusan tanggal 6 Maret 1971 No. 180/K/sip/2970: ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 56 Prp. 1960 bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan karena telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak, karena hal itu sangat bertentangan dengan principe lembaga gadai (Jurisprudensi Indonesia

edisi II tahun 1971 halaman 10).76

Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah-pertanian yang digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, tetapi berlaku juga terhadap gadai-menggadai yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itu pun tidak hanya berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah-pertanian pada umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan mengenai maksimum.

75 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 392. 76 Ibid.

(23)

Dengan demikian gadai-menggadai tanah pertanian selanjutnya akan mirip

dengan jual-tahunan, dondon susut atau pun ngajual tutung.77

Pemegang gadai yang tidak melaksanakan kewajiban

mengembalikan tanah yang dikuasainya dengan hak gadai menurut ketentuan Pasal 7 tersebut dapat dipidana dengan hukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

10.000,-.78

Dengan dibentuknya Pengadilan Landreform berdasarkan Undang-Undang No.21 Tahun 1964, yang berwenang mengadili perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform, pernah timbul perselisihan mengenai wewenang antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform Daerah. Ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 termasuk dalam golongan “peraturan-peraturan

landreform”.79

Semula Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara

gadai-menggadai tanah-pertanian menjadi wewenang Pengadilan

Landreform. Tetapi kemudian dalam Ketetapannya No.

6/KM/845/MA.III/67 tentang pedoman Penyelenggaraan Pengadilan Landreform (no. 5/PLP/1967) Mahkamah Agung menetapkan sebagai berikut80:

77

Ibid, hlm.392-393.

78 Pasal 10 Ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

79 Pasal 2 Ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform 80 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 393.

(24)

a. Mengenai pengetrapan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960:

Bahwa karena Pasal 7 tersebut menurut penjelasannya tidak hanya berlaku terhadap pengembalian tanah gadai dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian saja, melainkan berlaku juga terhadap pengembalian tanah-tanah gadai pada umumnya, jadi termasuk pula pengembalian tanah-tanah gadai yang tidak bersangkut-paut dengan pelaksanaan peraturan Landreform termaksud dalam Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut, maka Mahkamah Agung dengan ini menegaskan:

“bahwa Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, walaupun tercantum dalam peraturan Landreform, berlaku pula bagi Peradilan Umum.”

b. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai tanah pertanian.

1) Berhubung dengan timbulnya berbagai-bagai penafsiran mengenai maksud daripada kata-kata “perkara-perkara perdata yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-peraturan Landreform” tercantum dalam pasal-pasal dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 dan kurang tegasnya penjelasan mengenai Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp.

(25)

Tahun 1960 tersebut di atas, sehingga mudah menimbulkan kekaburan tentang batas-batas wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform mengenai perkara-perkara gadai tanah pertanian, maka demi kelancaran peradilan, Mahkamah Agung menegaskan, bahwa ketentuan “perkara-perkara perdata (i.c. gadai tanah-pertanian) yang

timbul di dalam melaksanakan peraturan-peraturan

Landreform” supaya diartikan seperti berikut: bahwa hanya perkara-perkara mengenai pengembalian gadai tanah-pertanian yang timbul dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan dari Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian saja yang menjadi wewenang Pengadilan Landreform, sedangkan perkara-perkara gadai tanah lainnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri.

2) Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah mempunyai sangkut-paut dengan pelaksanaan Landreform sehingga pekaranya menjadi wewenang Pengadilan Landreform, maka wajiblah disampaikan oleh yang berkepentingan suatu surat keterangan tentang hal itu dari Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Apabila keterangan tersebut tidak dapat diajukan secara tertulis, maka atas permintaan yang berkepentingan atau

(26)

karena jabatannya Hakim yang bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut atau wakilnya untuk didengar sebagai saksi.

3) Apabila ternyata, bahwa perkara gadai tanah tersebut tidak mempunyai sangkut-paut dengan pelaksanaan Landreform (Penetapan Luas Tanah Pertanian), maka Pengadilan Negeri-lah yang berwenang memeriksanya/mengadilinya. Demikianlah penegasan Mahkamah Agung di dalam Ketetapannya tanggal 12 Juni 1967. Dalam pada itu perkara-perkara pidana yang timbul dalam melaksanakan Pasal 7 tersebut tetap menjadi wewenang Pengadilan

Landreform.81

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 mulai tanggal 31 juli 1970 yang menghapuskan Pengadilan Landreform, perkara-perkara gadai tanah semuanya diperiksa dan diputus oleh

pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.82

Berikut beberapa ketentuan dalam penyelesaian perkara gadai

tanah pertanian sesudah berlakunya UUPA, adalah sebagai berikut83:

a. Menurut Pasal 7 Undang-Undang 56 Prp. Tahun 1960, tanah yang digadaikan lebih dari tujuh tahun harus dikembalikan oleh pemegang gadai kepada si pemilik tanah tanpa membayar uang tebusan dan tanpa membayar kerugian apapun. Walaupun Hukum Adat tidak mengenal daluarsa untuk penebusan tanah

81 Ibid, hlm. 394. 82 Ibid, hlm. 395. 83

(27)

yang digadaikan, tetapi Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 menetapkan dalam Pasal 7 bahwa tanah yang digadai lebih dari tujuh tahun harus dikembalikan oleh pemegang gadai kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan maupun ganti rugi apapun. Ini tiada lain kecuali suatu upaya dari pembuat undang-undang untuk menghilangkan segi-segi buruk yang masih terdapat dalam lembaga jual gadai.

b. Apabila dalam perjanjian gadai-tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah yang ditebus, ini tidak berarti bahwa setelah waktu itu lampau tanpa tebusan, tanahnya dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai, melainkan harus ada suatu tindakan pemegang yang konkret.

c. Penebusan tanah gadai setelah berlakunya UUPA harus tunduk pada Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, yaitu setelah jangka waktu 7 (tujuh) tahun tanahnya harus dikembalikan pada pemilik, tanpa memberi uang tebusan atau ganti rugi apapun.

d. Perjanjian jual gadai antara pemilik tanah dengan pemegang gadai, di mana diperjanjikan bahwa pemegang gadai akan menguasai tanah selama 75 (tujuh puluh lima) tahun dan kepadanya diizinkan untuk mendirikan rumah di atas tanah itu, tidaklah termasuk dalam cakupan Pasal 7 Undang-Undang No.

(28)

56 Prp. Tahun 1960 melainkan termasuk pinjaman utang piutang biasa.

Di sini terbukti bahwa Mahkamah Agung dalam putusan mengenai perkara penebusan gadai yang jangka waktunya lebih dari 7 (tujuh) tahun, yaitu 75 (tujuh puluh lima) tahun, telah berpendapat bahwa perjanjian itu bukan perjanjian jual gadai tanah, melainkan perjanjian utang-piutang

biasa dengan jaminan tanah.84

Referensi

Dokumen terkait

Selaku pembimbing Agama, yang memberikan bimbingan, pengarahan, diskusi pemikiran, kritik, dan saran, dalam menentukan integrasi keislaman sehingga laporan tugas akhir ini

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Strategi Public Relations Dalam Pelaksanaan Coorporate Social Responsibility PT.Unilever Indonesia, Tbk Sebagai Wujud Pelestarian Lingkungan (Studi Kasus Tentang

publik yang ada dalam instansi atau perusahaan tersebut. Sudah tentu suasana di dalam badan atau perusahaan itu sendiri yang menjadi target internal Public Relations ,

paving block (bata beton) adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland, agregat halus dan air dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT, yang mana telah memberikan berkah rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan

Referensi teori yang terkait dengan permainan matematika serta daya tarik bagi peserta didik yang telah diperoleh dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi

Problem based learning ini siswa akan memiliki kemandirian dalam menemukan konsep pembelajaran secara mandiri dan juga dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan