• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS PENGARUH SENAM KAKI TERHADAP SENSITIVITAS KAKI DAN KADAR GULA DARAH PADA AGGREGAT LANSIA DIABETES MELITUS DI MAGELANG OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS PENGARUH SENAM KAKI TERHADAP SENSITIVITAS KAKI DAN KADAR GULA DARAH PADA AGGREGAT LANSIA DIABETES MELITUS DI MAGELANG OLEH"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENGARUH SENAM KAKI

TERHADAP SENSITIVITAS KAKI DAN KADAR GULA DARAH PADA AGGREGAT LANSIA DIABETES MELITUS

DI MAGELANG

OLEH Sigit Priyanto

1006748904

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

(2)

TESIS

PENGARUH SENAM KAKI

TERHADAP SENSITIVITAS KAKI DAN KADAR GULA DARAH PADA AGGREGAT LANSIA DIABETES MELITUS

DI MAGELANG

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan

OLEH Sigit Priyanto

1006748904

Pembimbing I: Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, Ph.D Pembimbing II: Widyatuti, M.Kep, Sp.Kom

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

(3)

Tesis ini telah diperiksa, disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis Program Magister Keperawatan Universitas Indonesia.

Depok, Juli 2012

Pembimbing I

(Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, Ph.D)

Pembimbing II

(4)

Tesis ini diajukan oleh Nama NPM frogiam Studi Judul Tesis Pembimbing Penguji

Telah berhasil dipertahankan

di

hadapan Dewan Penguji

dan

diterima sebagai bagian persyaratan

yang

diperlukan

unfuk

memperoleh gelar

Magister Keperawatan pada Program Studi Magister

flmu

Keperawatan,

f,'akultas IImu Keperawatan Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing

,r0*,,!,

Sigit Priyanto 1006748904

Magister Ilmu Keperawatan

Pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki

dan kadar

gula

darah pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang

Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M-App.Sc,Ph.D

Widyatuti, M.Kep, Sp.Kom

Wiwin Wiarsih, MN

,

$r/,-',

Penguji

Ditetapkan di Tanggal

Ni Made Riasmini, S.Kp. M.Kep.

Sp.Kom

(

(N o'fl--

I

Depok 12 luli2CIl2

(5)

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber, baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Sigit Priyanto

NPM : 1006748904

Tanda Tangan :

(6)

Nama : Sigit Priyanto

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Judul tesis : Pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang

Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregate lansia diabetes melitus di Magelang. Penelitian eksperimen semu desain pre and post test group design with control group. Sampel secara aksidental atau convenience sampling, 125 responden (62 lansia kelompok intervensi dan 63 kelompok kontrol). Instrumen penilaian menggunakan skala sensitivitas dan nilai kadar gula darah. Senam kaki dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu. Hasil penelitian kadar gula darah lebih baik pada lansia sesudah diberikan senam kaki (p value 0,000). Sensitivitas kaki lebih baik pada lansia sesudah diberikan latihan senam kaki (p value 0,000).

Kata kunci: senam kaki, sensitivitas kaki, kadar gula darah

ABSTRACT

Name : Sigit Priyanto

Study Program: Magister in Nursing Faculty of Nursing Universitas Indonesia Judul levels : The effect of legs exercise to feet sensitivity and blood sugar in elderly Diabetes Mellitus in Magelang

The study aimed to determine the effect of leg exercise on the feet sensitivity and blood sugar levels in elderly with diabetes melitus at Magelang. It applied quasi-experimental design with accidental sampling to 62 elderly in intervention group and 63 elderly in control group. Assessment instruments used the scale sensitivity of blood sugar levels. Leg exercises activities performed 3 times a week for 4 weeks. The results showed better blood sugar levels after a given leg exercises as well as leg sensitivity). A series of leg exercise is recommended to be done by community nurses to the elders.

Key words:

(7)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang”. Penyusunan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih juga kepada:

1. Dewi Irawaty, MA, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;

2. Astuti Yuni Nursasi, MN, selaku Koordinator Tesis dan Ketua Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;

3. Dra Junaiti Sahar, S.Kp, M.App.Sc, PhD selaku pembimbing I, yang telah banyak memberikan dukungan dan bimbingan, saran dan arahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal ini;

4. Widyatuti, M.Kep, Sp.Kom selaku pembimbing II, yang juga telah banyak memberikan dukungan dan bimbingan, saran dan arahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini;

5. Responden penelitian yaitu lansia di desa Pasuruhan dan desa Deyangan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang;

6. Seluruh dosen beserta staf Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membantu dan memfasilitasi dalam penyelesaikan pendidikan;

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang yang telah memberikan ijin penelitian;

8. Kepala Puskesmas Kota Mungkid Kabupaten Magelang beserta staf yang telah memfasilitasi peneliti dalam melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kota Mungkid;

(8)

10.Tisa, Rafi, Rifqi dan Mama tercintanya, yang telah menjadi penyemangat dalam menyelesaikan tesis;

11.Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia terutama Peminatan Keperawatan Komunitas yang telah memberikan motivasi dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini;

12.Semua pihak yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Besar harapan peneliti, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi profesi keperawatan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Peneliti mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna penyusunan penelitian selanjutnya.

Depok, 12 Juli 2012

(9)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sigit Priyanto

NPM : 10006748904

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas : Ilmu Keperawatan

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang; beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 12 Juli 2012

Yang menyatakan

(10)

Hal.

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang... ... 1

1.2 Rumusan masalah... 9

1.3 Tujuan penelitian... ... 10

1.4 Manfaat Penelitian... ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Agregat lansia diabetes melitus sebagai vulnerable 2.1.1 Pengertian rentan... ... 12

2.1.2 Karakteristik rentan terkait lansia diabetes melitus… …. 16 2.2.Proses menua dan diabetes melitus pada lansia 2.2.1 Proses menua……… ….. 17

2.2.2 Diabetes melitus………... …. . 18

2.2.3 Senam kaki diabet………. …. 30

2.2.4 Sensitivitas kaki……… ….. 33

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka konsep... 35

(11)

4.2 Populasi dan sampel... 41

4.3 Tempat penelitian... 43

4.4 Waktu penelitian... 43

4.5 Etika penelitian... 43

4.6 Alat pengumpul data... 45

4.7 Uji validitas dan uji reliabilitas... 47

4.8 Prosedur pengumpulan data... 48

4.9 Pengolahan data... 50

4.10Analisa data... 51

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisa univariat... 54

5.2 Analisa bivariat... 55

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Interpretasi hasil penelitian... 60

6.2 Keterbatasan penelitian... 72

6.3 Implikasi penelitian... 72

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 74

7.2 Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

Tabel 3.1 Definisi operasional 37

Tabel 4.1 Uji kesetaraan 52

Tabel 4.2 Uji bivariat 53

Tabel 5.1 Analisis kadar gula darah sebelum dan sesudah 54 perlakuan senam kaki

Tabel 5.2 Analisis Sensitivitas Kaki Sebelum dan Sesudah 55 Perlakuan Senam Kaki pada Kelompok Intervensi

dan Kelompok Kontrol.

Tabel 5.3 Analisis Perbedaan Kadar Gula Darah Sebelum dengan 55 Sesudah Perlakuan Senam Kaki pada Kelompok

Intervensi dan Kelompok Kontrol.

Tabel 5.4 Analisis Perbedaan Sensitivitas Kaki Sebelum dengan 56 Sesudah Perlakuan Senam Kaki pada Kelompok

Intervensi dan Kelompok Kontrol

Tabel 5.5 Analisis Perbedaan Kadar Gula Darah Sesudah 56 Perlakuan Senam Kaki Kelompok Intervensi dengan

Sesudah Perlakuan Senam Kaki pada Kelompok Kontrol Tabel 5.6 Analisis Perbedaan Sensitivitas Kaki Sesudah 57

Perlakuan Senam Kaki Kelompok Intervensi dengan Sesudah Perlakuan Senam Kaki pada Kelompok Kontrol.

(13)

Gambar 3.1 Kerangka teori 36

Gambar 4.1 Bagan alur penelitian 39

Gambar 5.1 Grafik kadar gula darah 58

(14)

Lampiran 1 Jadwal penelitian

Lampiran 2 Lembar penjelasan penelitian

Lampiran 3 Lembar persetujuan menjadi responden Lampiran 4 Instrumen observasi sensitivitas kaki Lampiran 5 Prosedur senam kaki

Lampiran 6 Pedoman penilaian sensitivitas kaki Lampiran 7 Pedoman penilaian kadar gula darah Lampiran 8 Pelatihan asisten peneliti

Lampiran 9 Lembar observasi penilaian sensitivitas kaki dan kadar gula darah kelompok intervensi

Lampiran 10 Lembar observasi penilaian sensitivitas kaki dan kadar gula darah kelompok kontrol

Lampiran 11 Lembar observasi senam kaki Lampiran 12 Keterangan lolos uji etik Lampiran 13 Surat pengantar ijin penelitian Lampiran 14 Surat ijin penelitian

(15)

Proses menua merupakan proses alami yang dapat terjadi pada semua makhluk hidup. Respon yang dialami akan berbeda disebabkan upaya pencegahan dan pengobatan yang dilakukan. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang yang mendasari penelitian, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian.

1.1. Latar Belakang

Peningkatan usia harapan hidup berpengaruh terhadap peningkatan usia lanjut dari tahun ke tahun. Indonesia memiliki umur harapan hidup 70 tahun (USAID, 2011 dalam Profil Indonesia 2011). Meningkatnya usia lanjut berdampak pada peningkatan populasi lanjut usia, di Indonesia tahun 2007 jumlah lansia sudah mencapai 18,96 juta (8,42%) serta diprediksi akan berlipat ganda menjadi 28,8 juta (11,34%) pada tahun 2020 (Komnas Lansia, 2011). Hal ini berakibat pula pada fasilitas pelayanan yang perlu ditingkatkan karena adanya kemunduran secara fisik, psikologis, dan sosial yang terjadi pada lansia.

Perubahan fisik yang terjadi adalah pada sistem saraf pusat yaitu pada penurunan neuron, gangguan aliran darah, akumulasi lipofusin, penurunan berat massa otak, penurunan fungsi sinaps, perubahan aktivitas neurotransmitter, penurunan penggunaan glukosa dan oksigen (Miller, 2004). Perubahan saraf pusat yang lain dapat menyebabkan kemunduran kemampuan sensorik dan menunjukkan penurunan kecepatan respon. Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia di masyarakat akan memperkuat resiko terhadap paparan dengan bibit penyakit, termasuk diabetes melitus.

Teori konsekuensi fungsional mengemukakan bahwa terjadinya masalah kesehatan jika tidak diberikan intervensi (baik medis maupun keperawatan), maka akan mengakibatkan dampak negative, sebaliknya jika diberikan suatu intervensi atau tindakan, akan memberikan perubahan positif dalam diri manusia (Miller, 2004). Perawat mempunyai peran mengidentifikasi faktor-faktor penyebab

(16)

konsekuensi fungsional dan memberikan tindakan keperawatan yang sesuai dengan kondisi lansia sehingga akan mengarah pada suatu kondisi yang positif. Perawat mempunyai andil besar dalam mengusulkan kepada pemerintah, tentang program kesehatan lansia yang bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengelola kesehatan. Upaya promotif, preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif merupakan peran utama perawat. Hasil akhir dari upaya ini adalah memungkinkan lansia “berfungsi” semaksimal mungkin tanpa memandang adanya perubahan-perubahan akibat penuaan serta faktor resiko yang dialaminya.

Lansia merupakan kelompok beresiko (population risk) terhadap terjadinya diabetes melitus. Population risk meliputi kelompok tertentu di komunitas atau masyarakat yang mengalami keterbatasan fisik, sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian hidup atau pengalaman hidup dapat sebagai penyebab terjadinya masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2004). Kemiskinan atau status sosial ekonomi rendah merupaka kelompok yang memiliki resiko mengalami masalah kesehatan (DHHS, 2000, 2008 dalam Lundy & Janes, 2009), biasanya menjadi lebih mudah atau rentan terserang penyakit. Kelompok sosial yang mempunyai peningkatan risiko atau kerentanan terhadap kesehatan yang buruk (Fkaskerud and Winslow, 1998 dalam Stanhope & Lancaster, 2004), kondisi ini menjadikan orang lebih sensitif terhadap kesehatannya, dan dapat menjadi lebih buruk.

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan

resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik diabetik melitus lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus pada sistem integumen, diawali dengan adanya rasa baal atau kesemutan. Pemantauan status metabolik lansia diabetes melitus merupakan hal yang penting. Menurut Smeltzer dan Bare, (2002), diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh

(17)

(2008), diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.

Diabetes melitus terbagi atas diabetes melitus tipe I jika pankreas hanya menghasilkan sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan insulin sehingga penderita selamanya tergantung insulin dari luar, biasanya terjadi pada usia kurang dari 30 tahun. Diabetes melitus tipe II adalah keadaan pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang lebih tinggi dari normal tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya. Biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun karena kadar gula darah cenderung meningkat secara ringan tapi progresif setelah usia 50 tahun terutama pada orang yang tidak aktif dan mengalami obesitas (Smeltzer & Bare, 2002).

Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah diabetasi di Indonesia diperkirakan mencapai 14 juta orang, baru 50 % yang sadar mengidapnya dan diantaranya baru sekitar 30 % yang datang berobat teratur (WHO, 2008). Kesadaran lansia maupun keluarga dan masyarakat dalam mengantisipasi akibat yang ditimbulkan sangat diperlukan untuk menekan angka kejadian diabetes melitus termasuk juga di Indonesia.

Proses menua pada lansia dan faktor resiko lainnya akan menyebabkan terjadinya diabetes melitus. Faktor resiko diabetes melitus di masyarakat meliputi faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi berat badan berlebih, obesitas, gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kurang aktifitas atau gaya hidup dan merokok. Gula darah tinggi yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan kerusakan saraf, masalah ginjal atau mata, penyakit jantung, serta stroke (Harbuwono, 2008). Hal-hal yang dapat meningkatkan gula darah dapat berupa; makanan atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya, kurangnya aktivitas fisik, infeksi atau penyakit

(18)

lain, perubahan hormon, misalnya selama menstruasi, dan stress. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah tinggi adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDP). Seseorang dikatakan menderita diabetes apabila kadar GDP>126 mg/dl (Perkeni, 2002). Faktor lingkungan dan gaya hidup masyarakat atau komunitas merupakan faktor penting dalam pengendalian kadar gula. Faktor resiko yang tidak dapat diubah menurut Harbuwono (2008) yaitu usia, ras, suku bangsa, jenis kelamin, riwayat keluarga. Bertambahnya usia menyebabkan risiko diabetes semakin meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih dari 45 tahun. Riwayat keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes pun meningkat (Suyono, 2002).

Komplikasi diabetes melitus dapat muncul secara akut yaitu timbul secara mendadak. Dua komplikasi akut yang paling sering terjadi adalah reaksi hipoglikemia dan koma diabetikum. Komplikasi yang lain muncul secara kronik yaitu timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi akhirnya berangsur menjadi makin berat dan membahayakan. Komplikasi ini meliputi: makrovaskuler, mikrovaskuler dan diabetik retinopati, nephropathy, ulkus kaki diabetes, neuropathy atau kerusakan saraf (Tjokroprawiro, 2007). Menurut Buchman, 2009, komplikasi yang paling sering adalah terjadinya perubahan patologis pada anggota gerak bawah yang disebut kaki diabetic atau diabetic foot. Dalam kondisi keadaan kaki diabetik, yang terjadi adalah kelainan persarafan neuropati, perubahan struktural, tonjolan kulit kalus, perubahan kulit dan kuku, luka pada kaki, infeksi dan kelainan pembuluh darah. Sedangkan menurut Akhtyo, 2009, komplikasi yang terjadi pada pengidap diabetes adalah komplikasi pada kaki sebanyak 15%, yang kini disebut kaki diabetes.

Diabetes melitus merupakan penyebab utama amputasi ekstremitas bawah non traumatic di Amerika Serikat. Sebanyak 50% amputasi yang dilakukan di Amerika Serikat disebabkan karena terjadinya kerusakan akibat diabetes. Berdasar hasil penelitian, didapatkan sekitar 60,3 % orang yang mengalami diabetes

(19)

sensorik (Waspadji, 2005). Kerusakan serabut saraf sensorik akan menyebabkan gangguan sensasi rasa getar, rasa sakit, rasa kram, semutan, rasa baal, rangsang termal atau suhu, dan hilangnya refleks tendo pada kaki sehingga akan menyebabkan gangguan mekanisme protektif pada kaki. Saraf sensorik ini merupakan sistem saraf yang pertama kali terganggu pada diabetes melitus sebelum sistem saraf motorik dan otonom (Yunir, 2005).

Cavanagh pakar kaki diabetik dari Claveland US, menyoroti problem kaki di masa yang akan datang, dimana pada tahun 2032 seiring dengan peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus di dunia akan terjadi pula lonjakan masalah kaki diabetik. Di negara China, dengan jumlah penduduk yang lebih dari 1 milyar, saat ini diperkirakan terdapat 40 juta penyandang diabetes, jika diperkirakan 10% diantaranya mengalami problem kaki diabetik maka akan terdapat 4 juta penyandang diabetes yang mengalami problem kaki diabetik. Berdasar epidemiologi di Amerika Serikat ditemukan sekitar 250.000 orang meninggal akibat tidak melakukan latihan fisik tidak secara teratur. Latihan fisik secara teratur akan mencegah atau mengurangi resiko terserangnya bibit penyakit (Hitchcock, 1999).

Neuropati perifer (kerusakan saraf) merupakan komplikasi serius dari diabetes. Data terbaru menunjukkan bahwa satu dari lima orang dengan diabetes (20%) mengalami neuropati perifer. Risiko neuropati perifer dapat terjadi sekitar 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Kombinasi neuropati perifer dengan masalah yang terkait dengan suplai darah ke kaki dapat menyebabkan ulkus kaki dan penyembuhan luka lambat. Infeksi ini dapat mengakibatkan luka amputasi, 40-70% dari seluruh amputasi ekstremitas bawah disebabkan oleh diabetes melitus (Buchman, 2009). Kebiasaan maupun perilaku masyarakat seperti kurang menjaga kebersihan kaki dan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas akan beresiko terjadi perlukaan pada daerah kaki. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak ditangani secara tepat dapat berkembang menjadi suatu tindakan pemotongan amputasi kaki. Adanya luka dan masalah lain pada kaki merupakan penyebab utama kesakitan morbiditas, ketidakmampuan disabilitas,

(20)

dan kematian mortalitas pada seseorang yang menderita diabetes melitus (Soegondo, 2009). Peran perawat komunitas dalam memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola permasalahan kesehatan yang terjadi.

Dasar pengobatan yang dapat dilakukan ketika sudah terjadi komplikasi hanyalah dengan cara mengontrol kadar gula darah semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk, karena neuropathy akan terus berlangsung seiring perjalanan penyakit diabetes melitus yang diderita. Penanganan neuropathy ini dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu (1) penyuluhan atau pemberian nasehat; (2) pengobatan nyeri; dan (3) perawatan kaki (Tandra, 2007); Yunir, 2005). Perawatan kaki merupakan upaya pencegahan primer terjadinya luka pada kaki diabetes maupun gejala awal adanya kesemutan atau baal yang akan menyebabkan penurunan sensitivitas kaki. Salah satu tindakan yang harus dilakukan dalam perawatan kaki untuk mengetahui adanya kelainan kaki secara dini adalah dengan melakukan senam kaki diabetes, selain memotong kuku yang benar, pemakaian alas kaki yang baik, dan menjaga kebersihan kaki (Soegondo, et al. 2004). Diabetes melitus dapat diatasi dengan mengelola beberapa hal yang mempengaruhi penurunan glukosa, yaitu aktivitas, kadar insulin, diet, edukasi dan terapi (Perkeni, 2002; Smeltzer & Bare, 2002). Dilihat sudut ilmu kesehatan, tidak diragukan lagi bahwa olah raga atau latihan fisik apabila dilakukan sebagaimana mestinya menguntungkan bagi kesehatan dan kekuatan pada umumnya. Selain itu telah lama pula olah raga digunakan sebagai bagian pengobatan diabetes melitus namun tidak semua olah raga dianjurkan bagi pengidap diabetes melitus (bagi orang normal juga demikian), karena dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Olahraga yang tepat dilakukan adalah olahraga yang terukur, teratur, terkendali dan berkesinambungan. Frekuensi yang dianjurkan adalah beberapa kali perminggu selama 30 menit atau lebih secara teratur dan tidak berlebihan (Hitchcock, 1999). Intensitas yang dianjurkan sebesar 40-70%, aktivitas ringan sampai sedang (Ermita, 2009). Salah satu jenis olah raga yang dianjurkan terutama pada penderita usia lanjut adalah senam kaki (Akhtyo, 2009).

(21)

Senam kaki diabet adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki (Suriadi, 2004). Sedang menurut Setiawan, 2010, senam kaki diabet merupakan salah satu terapi yang diberikan oleh seorang perawat. Senam ini bertujuan untuk melancarkan peredaran darah yang terganggu karena senam kaki diabetes dapat membantu memperkuat otot-otot kaki. Senam kaki diabet ini bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga nutrisi ke jaringan lebih lancar, memperkuat otot-otot kecil, otot betis, dan otot paha, serta mengatasi keterbatasan gerak sendi yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus (Wibisono, 2009). Senam kaki diabet ini dapat diberikan kepada seluruh penderita diabetes melitus dengan tipe 1 maupun 2. Namun sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita diabetes melitus sebagai tindakan pencegahan dini. Menurut Wibisono, yang menjadi Ketua Persatuan Diabetes Indonesia, senam kaki ini berpengaruh untuk memperbaiki sirkulasi darah dan meningkatkan sensitivitas kaki. Jika tidak dilakukan dapat menimbulkan terjadinya gangren, selanjutnya meningkatkan resiko kecacatan atau morbiditas dan akhirnya meningkatkan beban hidup individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Senam kaki ini sangat dianjurkan untuk penderita diabetes yang mengalami gangguan sirkulasi darah dan neuropathy di kaki, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan tubuh penderita. Gerakan dalam senam kaki diabet seperti yang disampaikan dalam 3rd National Diabetes Educators Training Camp

tahun 2005 dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah di kaki. Mengurangi keluhan dari neuropathy sensorik seperti: rasa pegal, kesemutan, gringgingen di kaki. Manfaat dari senam kaki diabet yang lain adalah dapat memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha (gastrocnemius, hamstring, quadriceps), dan mengatasi keterbatasan gerak sendi, latihan seperti senam kaki diabet dapat membuat otot-otot di bagian yang bergerak berkontraksi (Soegondo, et al. 2004).

Pengendalian faktor resiko diabetes melitus melalui modifikasi gaya hidup sebagian besar hanya dilakukan dengan mengurangi makanan yang manis-manis. Selain itu para penderita cenderung untuk memeriksakan kesehatannya, jika ada

(22)

keluhan peningkatan kadar gula darah. Tirtayasa (2008) menggambarkan kebiasaan hidup orang keturunan diabetus melitus mempunyai risiko enam kali terkena diabetus melitus dibandingkan masyarakat yang tidak mempunyai riwayat keturunan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang melaporkan bahwa pelayanan kesehatan untuk kelompok lansia masih kurang diperhatikan (Profil Kesehatan Kabupaten Magelang, 2010). Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan petugas puskesmas yang mengelola lansia di wilayah Puskesmas Kota Mungkid Kabupaten Magelang, yang menyatakan belum ada program yang dilakukan untuk lansia dengan diabetes melitus, khususnya program pengelolaan kadar gula darah masyarakat yang mengalami diabetus melitus. Penanganan lansia oleh Posbindu (posyandu lansia) belum dilakukan karena belum terbentuknya Posbindu di seluruh desa wilayah kerja Puskesmas Kota Mungkid. Petugas Puskesmas mengatakan baru satu desa yang sudah memiliki Posbindu.

Desa Pasuruhan termasuk wilayah kelolaan Puskesmas Kota Mungkid Kabupaten Magelang. Penderita diabetes yang datang ke puskesmas sebatas memeriksakan kadar gula darah dan selanjutnya diberikan obat-obatan. Penatalaksanaan diabetes pada lansia berbeda dengan usia dewasa yang lebih menekankan pada memodifikasi gaya hidup kemudian baru menggunakan obat-obatan bila diperlukan (Lueckenotte & Meiner, 2006).

Kenyataan tersebut di atas merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu peneliti menggunakan metode riset kuantitatif dengan desain quasi eksperiment. Kelompok subyek yang diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi kembali segera setelah dilaksanakan intervensi (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Hasil penelitian untuk mengetahui pengaruh senam kaki diabet dalam menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas kaki serta memberikan gambaran bagi perawat komunitas dalam memenuhi atau memberikan kebutuhan lansia supaya lebih optimal. Sehingga

(23)

sensitivitas kaki pada lansia dengan diabetes melitus di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang

1.2. Rumusan masalah

Survey awal yang dilakukan di Desa Pasuruhan yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Kota Mungkid Kabupaten Magelang oleh peneliti, tahun 2010 terdapat 200 kasus, sedang tahun 2011 terdapat 258 kasus. Kasus baru lansia penderita diabetes di wilayah ini relatif meningkat setiap tahunnya. Di Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 2010 ditemukan 46 kasus baru lansia yang menderita diabetes sedang tahun 2011 jumlah kasus baru lansia dengan diabetes mengalami peningkatan yaitu terdapat 74 kasus. Di desa Pasuruhan, lansia hanya mengandalkan obat-obatan untuk menurunkan kadar gula darah yang didapatkan dari Puskesmas.

Hasil penelitian terkait yang telah dilakukan adalah Astuti, (2008), tentang gambaran kadar glukosa darah diabetes melitus (DM) yang mengikuti senam DM di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut, sebagian besar peserta senam DM yaitu sebanyak 26 orang (76,4%) sudah melakukan senam DM dengan baik sedangkan sisanya sebanyak 8 orang (23,5%) melakukan senam DM dengan kriteria cukup. Hasil penelitian terkait lainnya yaitu penelitian oleh Suminarti (2002). tentang perubahan berat badan dan kadar gula darah pada kelompok senam diabet persada cabang RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti ini menggunakan jenis penelitian cohort prespective. Hasilnya adalah 32 orang (57,1%) mengalami penurunan kadar glukosa darah dan berat badan serta 24 orang (42,9%) tidak mengalami perubahan kadar glukosa darah dan berat badan. Sedang studi yang meneliti mengenai pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki belum ada penelitian yang dilakukan.

Kondisi geografis Kabupaten Magelang yang terdapat pegunungan didukung juga kebiasaan masyarakat yang jarang menggunakan alas kaki terutama pada orang yang mengalami diabetus melitus dan tidak membiasakan diri untuk melakukan olah raga secara khusus. Secara umum sensitivitas kaki lansia di Desa Pasuruhan

(24)

cenderung mengalami penurunan atau perubahan kepekaan terhadap rangsang. Ditemukan juga rata-rata kadar gula darah berkisar antara 200-300 mg/dl. Dari permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian: Apakah ada pengaruh senam kaki diabet terhadap peningkatan sensitivitas kaki pada lansia dengan diabetes melitus di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada pengaruh senam kaki diabet terhadap peningkatan sensitivitas kaki pada lansia dengan diabetes melitus di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penyusunan penelitian ini adalah teridentifikasi:

1.3.2.1Kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 1.3.2.2Kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 1.3.2.3Sensitivitas kaki sebelum dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 1.3.2.4Sensitivitas kaki sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 1.3.2.5Perbedaan kadar gula darah dan sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

1.3.2.6Pengaruh kadar gula darah dan sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

(25)

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yaitu:

1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pelayanan keperawatan komunitas. Meningkatkan pengetahuan perawat komunitas dalam hal dukungan yang diberikan keluarga terhadap lansia dengan diabetes melitus khususnya dalam mencegah terjadinya gangguan sensitivitas kaki. Pengetahuan tersebut dapat menjadi dasar bagi perawat komunitas dalam memberikan asuhan keperawatan kepada lansia diabetes melitus. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan perawat komunitas dalam mengelola lansia sebagai upaya mencegah gangguan sensitivitas kaki pada lansia dengan diabetes melitus. 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan dan Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan komunitas dalam mengembangkan metode untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap lansia dengan diabetes melitus sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan sensitivitas kaki dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

(26)

Bab ini memaparkan beberapa teori, konsep, dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah penelitian, yang digunakan sebagai sumber rujukan saat melakukan penelitian dan pembahasan. Tinjauan teori dalam penelitian ini meliputi lansia diabetes melitus sebagai sebagai populasi rentan, aging proses (proses menua) dan diabetes melitus pada lanjut usia, senam kaki diabet dan sensitivitas kaki.

2.1.Agregat Lansia Diabetes Melitus sebagai Population Rentan 2.1.1. Definisi Rentan

Kelompok lansia diabetes melitus termasuk ke dalam populasi rentan atau rawan (vulnerable). Flaskerud dan Winslow (1998, dalam Stanhope & Lancaster, 2004) mengatakan bahwa populasi rentan didefinisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai risiko atau kerentanan yang relatif meningkat untuk merugikan kesehatannya. Kelompok rentan merupakan bagian kelompok yang kemungkinan lebih besar timbul masalah kesehatan sebagai hasil paparan risiko atau mempunyai hasil yang lebih buruk dari masalah kesehatan dari pada populasi yang lainnya (Stanhope & Lancaster, 2004).

Vulnerable didefinisikan sebagai kerentanan terhadap kerugian atau serangan fisik atau emosional, sedangkan kerentanan (vulnerability) adalah keadaan seseorang yang menjadi lebih rentan untuk kalah, karena penyalahgunaan, bujukan atau godaan. Kerentanan terjadi sebagai akibat dari interaksi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang menjadi rentan mengalami kondisi kesehatan yang buruk (Stanhope & Lancaster, 2004). Kelompok rentan (vulnerable population) adalah bagian populasi yang lebih mudah untuk mengalami masalah kesehatan sebagai akibat terpajan resiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan daripada keseluruhan populasi (Stanhope & Lancaster, 2004; Leight, 2004).

(27)

Menurut Stanhope dan Lancaster (2004), ketidakadekuatan sosial, pendidikan atau ilmu pengetahuan, dan ekonomi menyebabkan orang tersebut menjadi rentan. Lansia mulai mengalami berbagai perubahan dalam hidupnya baik itu secara psikologi, kognitif dan fisiologis. Adapun perubahan yang terjadi dalam kehidupan lansia seperti pensiun, sehingga sumber penghasilan lansia mulai berkurang, lansia yang mulai isolasi diri karena adanya perubahan fisik yang terjadi, lansia juga mengalami perubahan kognitif sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini menyebabkan lansia menjadi rentan untuk mengalami masalah kesehatan.

Menurut Flaskerud dan Winslow (1998 dalam Stanhope & Lancaster, 2004), kerentanan merupakan hasil gabungan efek dari keterbatasan sumber, keadaan yang tidak sehat, dan tingginya dari faktor risiko. Kerentanan juga menunjukkan interaksi antara keterbatasan fisik dan sumber lingkungan, sumber personal (human capital), dan sumber biopsikososial, adanya penyakit dan kecenderungan genetic (Aday, 2001 dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Kemiskinan, keterbatasan dukungan sosial dan bekerja pada lingkungan yang penuh risiko adalah contoh dari keterbatasan fisik dan sumber lingkungan. Orang dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit infeksi atau penyakit menular atau orang dengan penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung atau penyakit pernafasan kronik, mempunyai kemampuan fisik yang kurang untuk mengatasi stresor dari pada orang tanpa mempunyai masalah fisik (Stanhope & Lancaster, 2004).

Perubahan status fisik menyebabkan individu menjadi rentan. Ini hasil dari proses penyakit, seperti seseorang dengan satu atau lebih penyakit kronis. Lansia kemungkinannya lebih besar untuk tertular infeksi dari penyakit menular dan mereka secara umum lebih sulit sembuh dari proses infeksi dari pada orang yang lebih muda karena kurang efektifnya sistem imun (Stanhope & Lancaster, 2004). Lansia menjadi rentan, baik perubahan fisiologis yang berhubungan dengan usia dan berbagai penyakit kronik dan hasil dari keterbatasan status fungsional dan kehilangan kemandirian (Stanhope & Lancaster, 2004). Berdasar penjelasan di

(28)

atas, lansia dengan diabetes melitus dapat dikatakan sebagai kelompok yang rentan, yang membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain dalam hal ini keluarga sebagai orang yang terdekat dengan lansia untuk memenuhi segala kebutuhan dan memelihara kondisi lansia agar tetap terjaga dan produktif.

Marsh (2007) melakukan studi kasus terkait perkembangan lansia dihubungkan dengan vulnerability pada komunitas lansia. Hasil studi kasus melaporkan bahwa lansia dihubungkan dengan vulnerability merupakan bagian dari proses menua yang tidak dapat dihindarkan, dan meskipun merasa rentan dapat sebagian mempengaruhi sikap atau kepribadian, juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan kebijakan. Berdasar penelitian tersebut, vulnerability merupakan faktor yang mendukung lansia menjadi rentan, sedang penuaan merupakan faktor yang tidak dapat dihindari dalam proses kehidupan. Vulnerability juga berdampak terhadap kondisi psikososial lansia, dimana dapat mempengaruhi sikap atau kepribadian lansia.

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi kelompok rentan

Menurut Stanhope dan Lancaster (2004) faktor predisposisi yang membuat lansia menjadi rentan meliputi status sosial ekonomi, usia, kesehatan, dan pengalaman hidup, yang akan dijelaskan dalam uraian berikut ini:

2.2.2.1Status sosial ekonomi

Lansia biasanya telah mengalami masa pensiun, produktifitasnya menurun, sehingga penghasilannya berkurang atau tidak ada sama sekali. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi lansia. Jika lansia menjadi semakin miskin, maka kerentanan akan meningkat yang membuatnya semakin tidak berfungsi di masyarakat. Survei promosi kesehatan Canada tahun 1985 menyatakan status sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan status kesehatan lansia (Chenier, 1993). Lansia dengan status sosial menengah ke atas mempunyai status kesehatan yang lebih baik dari pada lansia dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah. Penyakit yang diderita juga menunjukkan adanya hubungan dengan status sosial ekonomi.

(29)

2.2.2.2Usia

Beberapa individu tertentu menjadi rentan pada usia khusus karena interaksi antara karakteristik perkembangan kritis dan tekanan sosial ekonomi. Bertambahnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi anatomi dan fisiologi organ semakin besar. Akibat proses menua perawatan pada lansia juga mengalami perubahan, yang disebabkan oleh perubahan anatomi atau fisiologi, berbagai penyakit dan kelainan patologis, dan pengaruh psiko-sosial pada fungsi organ (Darmojo & Martono, 1999). Beberapa penyakit akibat proses menua adalah alzheimer, parkinson, demensia, stroke, dan osteoporosis. Selain itu, lansia juga beresiko mengalami penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskuler, kanker, artritis, reumatik, diabetes, dan sebagainya, yang semuanya dikaitkan dengan proses penuaan (Lueckenotte, 2000).

2.1.2.3 Kesehatan

Gangguan pada status fisiologis menjadikan individu menjadi rentan. Lansia mengalami kerentanan karena bertambahnya usia dan berbagai penyakit kronis yang dialaminya. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap kesehatan lansia. Salah satu gaya hidup yang umum pada lansia adalah jarang beraktifitas fisik karena penurunan fungsi tubuh dan adanya berbagai masalah kesehatan. Padahal aktifitas fisik merupakan salah satu kebutuhan dalam rutinitas kehidupan sehari-hari lansia yang dapat memperlambat turunnya densitas tulang dan meningkatkan ukuran dan kekuatan otot, termasuk jantung (Kressing & Echt, 2002 dalam Allender & Spardley, 2005). Faktor-faktor tersebut menjadikan status fungsional lansia menjadi terhambat, sehingga rentan mengalami resiko kesehatannya dan kehilangan kemandirian.

2.1.2.4Pengalaman hidup

Pengalaman hidup mempengaruhi perkembangan kerentanan psikologis. Populasi rentan sering mengalami external locus of control. Mereka percaya bahwa semua yang dialami adalah diluar kontrol mereka dan akibat dari nasib buruk. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk berinisiatif mencari bantuan perawatan masalah kesehatannya. Beberapa individu percaya bahwa aktifitas promosi kesehatan dan

(30)

pencegahan penyakit merupakan hal yang tidak penting atau tidak efektif karena mereka tidak percaya mampu mengontrol status kesehatannya sendiri. Charles et. al (2001) menyatakan bahwa semakin tinggi usia seseorang maka afek-afek positifnya akan lebih banyak. Hal ini dikarenakan adanya faktor pendewasaan, pengalaman hidup, dan lain-lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan, dijumpai lansia yang emosinya tidak dapat selaras dengan bertambahnya usia, hal tersebut sangat berkaitan erat dengan pengalaman hidup yang telah dilalui.

Berbagai faktor predisposisi dan dampak dari kerentanan membentuk suatu cycle of vulnerability, yang membuat lansia semakin mengalami dampak buruk (Stanhope dan Lancaster, 2004). Jika siklus ini tidak diputus akan sulit bagi lansia untuk memperbaiki status kesehatannya. Hasil studi kasus oleh Marsh (2007) juga menyatakan adanya peningkatan kebutuhan ditujukan pada munculnya masalah yang kompleks dihubungkan dengan kerentanan lansia, dan untuk mencegah onset masalah yang terkait dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, lansia memerlukan asuhan keperawatan komunitas yang berkelanjutan melalui upaya preventif, kuratif dan rehabilitatif (Swanson dan Nies, 1997; Stanhope dan Lancaster, 2004).

2.1.3. Karakteristik Rentan Terkait Lansia Diabetes Melitus

Menurut Allender, (2001), bahwa karakteristik kelompok rentan meliputi keterbatasan dalam aspek fisik, lingkungan, personal dan psikososial. Keterbatasan fisik pada kelompok rentan dapat disebabkan keterbatasan fisik antara lain karena kemiskinan, terbatasnya dukungan sosial yang akhirnya menyebabkan terjadinya kemampuan fisik. Keterbatasan lingkungan yang ditimbulkan akibat bekerja di lingkungan yang hazardous, orang-orang dengan penyakit menular atau penyakit infeksi. Keterbatasan personal terjadi di masyarakat dengan pendidikan rendah, pengangguran, tidak memiliki rumah. Keterbatasan psikososial akan mempengaruhi daya tahan seseorang terhadap resiko terpapar dari suatu penyakit.

(31)

2.2.Proses Menua dan Diabetes Melitus pada Lansia 2.2.1 Proses Menua

Proses menua (aging) adalah proses alami pada manusia yang disertai dengan penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan tersebut beresiko menimbulkan masalah kesehatan secara umum dan kesehatan mental secara khusus, serta masalah lain pada lansia. Selain masalah fisik, secara umum lansia juga banyak mengalami masalah ekonomi maupun masalah psikologis terkait hubungan dengan keluarganya. Bahkan beberapa lansia mengalami depresi karena ketidaksiapan mental memasuki masa lansia. Penyakit kronis yang biasanya diderita oleh lansia juga meningkatkan kerentanan, dan diperburuk dengan kemiskinan, kurangnya sumber-sumber, dan pelayanan yang tidak adekuat bagi lansia (Hitchock, Schubert, dan Thomas, 1999).

Aging proses (proses menua) merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Menua merupakan proses yang dapat dilihat sebagai sebuah kontinum kejadian dari lahir sampai meninggal (Ignativicus, Workman, Mishler, 1999). Dapat disimpulkan bahwa proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Proses menua sudah dimulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf dan jaringan lain sehingga tubuh „mati” sedikit demi sedikit.

Fungsi fisiologis alat tubuh setiap orang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun saat menurunnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh individu yang bersangkutan. Fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur 20 sampai 30 tahun, setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada

(32)

dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.

Teori yang menerangkan “proses menua” mulai teori degeneratif yang didasari oleh habisnya daya cadangan vital, teori terjadinya atrofi yaitu teori yang mengatakan bahwa proses menua adalah proses evolusi. Teori imunologik yaitu teori adanya produk sampah atau waste product dari tubuh sendiri yang makin bertumpuk. Lanjut usia akan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologik maupun psikologik. Aktivitas fisik dapat menghambat atau memperlambat kemunduran fungsi alat tubuh yang disebabkan bertambahnya umur.

2.2.2 Diabetes Melitus 2.2.2.1Pengertian

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif yang dilatar belakangi oleh retensi insulin (Suyono, 2009). Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multisistem dan mempunyai karakteristik hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer dan Bare, 2002). Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin, dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan resisten sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh (Pinzur, 2008).Berdasarkan beberapa definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

2.2.2.2Klasifikasi Diabetes Melitus

(33)

a. Tipe I: Diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)

Diabetes melitus tipe ini dikenal sebagai diabetes yang tergantung insulin. Tipe ini berkembang jika tubuh tidak mampu memproduksi insulin. Jenis ini biasanya muncul sebelum usia 40 tahun. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) diabetes melitus tipe ini disebabkan oleh faktor genetik dimana penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes melitus tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA. Faktor Imunologi yaitu adanya respon autoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu auto antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen. Faktor lingkungan dimana virus atau toksin tertentu dapat memicu proses outoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

b. Tipe II: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM)

Diabetes melitus yang tidak tergantung insulin dan terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). Disebabkan karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa. Namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, 2001).

c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. Diabetes melitus tipe ini dapat disebabkan oleh faktor atau kondisi lainnya seperti: Subtipe genetik spesifik, biasanya disebut Maturity-onset diabetes of the young (MODY), defek genetic yang terjadi akibat disfungsi sel-beta, perbedaan encoding reseptor insulin. Penyakit eksokrin pada pankreas berkaitan dengan agenesis pankreas yaitu insulin promotor faktor 1 mengalami gangguan. Toksik dengan

(34)

pemakaian bahan-bahan kimia dan obat-obatan dalam jangka panjang mengakibatkan encoding kromosom dan reseptor berubah. Diabetes melitus dapat juga disebabkan oleh yang berkaitan dengan imunitas tubuh autoantibodi.

d. Diabetes melitus gestasional (GDM)

Merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung (Nursemierva, 2001). Definisi ini juga mencakup pasien yang sebetulnya masih mengidap diabetes melitus tetapi belum terdeteksi, dan baru diketahui saat kehamilan berlangsung. Faktor resiko diabetes melitus gestasional ialah abortus berulang, riwayat melahirkan anak meninggal tanpa sebab yang jelas, riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan, pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, pernah pre-eklamsia, poli hidramnion. Faktor predisposisi diabetes melitus gestasional adalah umur ibu hamil lebih dari 30 tahun, riwayat diabetes melitus dalam keluarga, pernah mengalami diabetes melitus gestasional pada kehamilan sebelumnya, infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil (Perkeni, 2002).

2.2.2.3Faktor resiko

Faktor resiko diabetes melitus dibagi menjadi faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah.

a. Faktor resiko yang dapat diubah

Faktor resiko yang dapat diubah yaitu berat badan berlebih dan obesitas, gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kurang aktifitas dan merokok. Obesitas berhubungan dengan besarnya lapisan lemak dan adanya gangguan metabolik. Kelainan metabolik tersebut umumnya berupa resistensi terhadap insulin yang muncul pada jaringan lemak yang luas. Sebagai kompensasi akan dibentuk insulin yang lebih banyak oleh sel beta pankreas sehingga mengakibatkan hiperinsulinemia.

Obesitas berhubungan pula dengan adanya kekurangan reseptor insulin pada otot, hati, monosit dan permukaan sel lemak. Hal ini akan memperberat resistensi terhadap insulin. Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat menyebabkan

(35)

(Harbuwono, 2008). Hal-hal yang dapat meningkatkan gula darah dapat berupa; Makanan atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya, kurangnya aktivitas fisik, infeksi atau penyakit lain, perubahan hormon, misalnya selama menstruasi, dan stress. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah tinggi adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDP). Seseorang dikatakan menderita diabetes apabila kadar GDP =126 mg/dl (Perkeni, 2002).

Tekanan darah tinggi yang menyebabkan jantung akan bekerja lebih keras dan resiko untuk penyakit jantung dan diabetes lebih tinggi. Aktifitas fisik dapat bermanfaat dalam mengontrol diabetes melitus dan tidak menyebabkan resiko terjadinya hipoglikemik saat beraktivitas (Black & Hawks, 2009).

b. Faktor resiko yang tidak dapat diubah

Faktor resiko yang tidak dapat diubah menurut Harbuwono (2008) yaitu usia, ras, suku bangsa, jenis kelamin, riwayat keluarga. Bertambahnya usia menyebabkan risiko diabetes dan penyakit jantung semakin meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih dari 45 tahun.

Ras dan suku bangsa, dimana bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawaii, dan sebagian Amerika Asia memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut. Jenis kelamin yang memungkinan pria menderita penyakit jantung lebih besar daripada wanita. Namun, jika wanita telah menopause maka kemungkinan menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak setinggi pria. Riwayat Keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes pun meningkat (Suyono, 2002).

2.2.2.4Patofisiologi

Patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut: (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300

(36)

sampai 1200 mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh (Price, 2005). Beberapa masalah patofisiologi pada diabetes melitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes melitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg/menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg% (Price, 2005). Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto-asetat dan asam bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter (Price, 2005).

2.2.2.5Gambaran Klinik

Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes melitus sebagai berikut (Smeltzer dan Bare, 2002).

Pada tahap awal gejala sering ditemukan: a. Poliuri (banyak kencing)

Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.

b. Polidipsi(banyak minum)

Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.

b. Poliphagi (banyak makan)

Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi

(lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada

(37)

c. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.

Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan diabetes melitus walaupun banyak makan akan tetap kurus.

d. Mata kabur

Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa-sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.

2.2.2.6Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang mendukung diabetes melitus adalah peningkatan glukosa darah sesuai dengan kriteria diagnostik WHO, 1985 jika glukosa plasma sewaktu (random)>200mg/dl (11,1 mmol/L), Glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,8 mmol/L), dan glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post-prandial/ pp >200mg/dl). Pemeriksaan lain adalah aseton plasma yang positif, asam lemak bebas (kadar lipid dan kolesterol) meningkat, elektrolit lebih banyak dibandingkan pada keadaan yang normal yang berkaitan dengan poliuri, maka peningkatan atau penurunan nilai elektrolit perlu dipantau melalui pemeriksaan laboratorium (Price, 2005).

Retensi air, Natrium dan Kalium mengakibatkan stimulasi aldosteron dalam sistem sekresi urinarius. Natrium dapat normal, meningkat atau menurun. Kalium dapat normal atau peningkatan semu, selanjutnya akan menurun. Sedangkan fosfor lebih sering menurun. Gas darah arteri biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik). Trombosit darah Ht mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis. Pada urine, gula dan aseton positif. Berat jenis atau osmolalitas mungkin meningkat. Kultur dan sensitifitas kemungkinan infeksi pada saluran kemih, infeksi pernafasan dan infeksi pada luka (Price, 2005).

(38)

2.2.2.7Penatalaksanaan

Kontrol glukosa darah merupakan hal yang terpenting di dalam penatalaksanaan diabetes melitus. Pada Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan

UKProspective Diabetes Study (UKPDS) telah terbukti bahwa pengendalian glukosa darah yang baik berhubungan dengan menurunnya kejadian retinopati, nefropati, dan neuropati (Adnyana, 2006). Tjokronegoro (2002) menerangkan penatalaksanaan diabetes melitus tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes melitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hiperglikemik oral dan insulin. Beberapa pelaksanaan diabetes melitus adalah:

a. Perencanaan makanan

Tahap pertama dalam perencanaan makan adalah mendapatkan riwayat diet untuk mengidentifikasi kebiasaan makan pasien dan gaya hidupnya. Tujuan yang paling penting dalam penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes adalah pengendalian asupan kalori total untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah. Persentase kalori yang berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Distribusi kalori dari karbohidrat saat ini lebih dianjurkan dari pada protein dan lemak. Sesuai dengan standar makanan berikut ini, makanan yang berkomposisi karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25% inilah makanan yang dianjurkan pada pasien diabetes (Sukardji, 2004). b. Perencanaan latihan jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu prinsip dalam penatalaksanaan penyakit diabetes melitus. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes. Latihan jasmani yang dimaksud adalah berjalan, bersepeda santai, jogging senam dan berenang. Latihan jasmani ini sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan yang kurang memerlukan pergerakan, seperti menonton

(39)

c. Intervensi farmakologi

Menurut Perkeni, ada beberapa intervensi yang dapat diberikan kepada pasien diabetes melitus seperti obat pemicu sekresi insulin; sulfonilurea yang bekerja meningkatkan sekresi insulin. Salah satu contohnya yaitu klorpropamid, biasanya dosis yang diberikan adalah 100-250 mg/tab. Adapun cara kerja sulfonilurea ini utamanya adalah meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas, meningkatkan performance dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak, meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimulasi insulin transpor karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak, serta penurunan produksi glukosa oleh hati. Cara kerja obat ini pada umumnya melalui suatu alur kalsium yang sensitif terhadap ATP.

Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan meninngkatkan sekresi insulin fase pertama yang terdiri dari dua macam obat, yaitu repaglinid dan nateglinid (Soegondo, 2004). Dosisnya, untuk repaglinid 0,5 mg/tab dan untuk nateglinid 120 mg/tab (Perkeni, 2002). Selain obat pemicu insulin diberikan juga obat penambah sensitifitas terhadap insulin, seperti methformin bekerja untuk mengurangi produksi glukosa hati, metformin ini tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) dan tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Methformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel otot. Methformin menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis dan juga dapat menurunkan kadar trigliserida, LDL kolesterol dan kolesterol total (Soegondo, 2004). Biasanya dosis yang digunakan adalah 500-850 mg/tab (Perkeni, 2002).

Thiazolindion dapat diberikan untuk mengurangi resistensi insulin yang berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma, suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak yang terbagi atas dua golongan yaitu pioglitazon dan rosiglitazon yang memiliki efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah pentranspor glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer (Soegondo, 2004). Dosisnya untuk pioglitazon adalah 15-30

(40)

mg/tab dan untuk rosiglitazon 4 mg/tab (Perkeni). Pengobatan yang selanjutnya adalah terapi insulin. Berdasarkan cara kerjanya insulin ini dibagi tiga yaitu; Insulin yang kerja cepat contohnya insulin reguler bekerja paling cepat dan kadar gula darah dapat turun dalam waktu 20 menit, insulin kerja sedang contohnya insulin suspense, dan insulin kerja lama contohnya insulin suspensi seng (Perkeni).

d. Edukasi

Penyuluhan kesehatan pada penderita diabetes melitus merupakan suatu hal yang amat penting dalam regulasi gula darah penderita diabetes melitus dan mencegah atau setidaknya menghambat munculnya penyulit kronik maupun penyulit akut yang ditakuti oleh penderita. Dalam hal ini diperlukan kerjasama yang baik antara penderita diabetes melitus dan keluarganya dengan para pengelola/ penyuluh yang dapat terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi dan tenaga lain. Untuk dapat menyuluh, dengan sendirinya para penyuluh harus benar-benar dapat memahami dan menyadari pentingnya pendidikan kesehatan diabetes melitus serta mampu menyusun serta menjelaskan materi penyuluhan yang hendak di sampaikan kepada penderita. Dalam penyampaian materi penyuluhan tersebut, fasilitator dapat memakai bermacam-macam sarana seperti ceramah, seminar, diskusi kelompok dan sebagainya. Semuanya itu tujuannya untuk mengubah pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behaviour). Perubahan perilaku inilah yang paling sukar dilaksanakan (Price, 2005).

Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan antara beberapa kegiatan yang merupakan bagian integral dari kegiatan rutin sehari-hari seperti makan, tidur bekerja dan lainnya. Pengaturan jumlah serta jenis makanan serta olah raga oleh penderita serta keluarganya. Berhasilnya pengobatan diabetes tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan dengan penderita dan keluarganya. Penderita yang mempunyai pengetahuan cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi

(41)

Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan diabetes antara lain:

1. Agar orang dapat hidup lebih lama dan dalam kebahagiaan. Kualitas hidup sudah merupakan kebutuhan bagi seseorang, bukan hanya kuantitas, seseorang yang bertahan hidup, tetapi dalam keadaan tidak sehat akan mengganggu kebahagiaan dan kestabilan keluarga.

2. Untuk membantu penderita agar mereka dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi, selain itu juga jumlah hari sakit dapat ditekan.

3. Agar penderita dapat berfungsi dan berperan sebaik-baiknya didalan masyarakat.

4. Agar penderita dapat lebih produktif dan bermanfaat.

5. Menekan biaya perawatan baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun secara nasional.

Penyuluhan diabetes melitus dapat dilakukan untuk pencegahan primer, sekunder dan tersier. Adapun pada penyuluhan pencegahan primer, dilakukan terhadap orang-orang yang belum menderita diabetes melitus tetapi beresiko untuk menderita. Untuk pencegahan primer ini tentu saja kita harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya diabetes melitus dan berusaha mengeliminasi faktor tersebut (Price, 2005).

Penyuluhan menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai tujuan ini. Masyarakat secara menyeluruh dengan melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan dalam usaha pencegahan primer. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait baik pihak Departemen Kesehatan maupun Departemen Pendidikan, melalui usaha pendidikan kesehatan yang harus dimulai sejak pra sekolah, misalnya dengan menekankan pentingnya kegiatan jasmani yang teratur dan menjaga agar tidak gemuk serta pentingnya pola makan yang sehat. Kepada remaja perlu juga diinformasikan dan dijelaskan mengenai bahayanya dampak yang ditimbulkan akibat merokok (Perkeni, 2002).

(42)

Penyuluhan dalam hal pencegahan sekunder adalah dalam mengelola pasien diabetes melitus, sejak awal kita harus sudah waspada akan kemungkinan komplikasi-komplikasi kronik yang mungkin timbul. Sejauh mungkin kita harus berusaha mencegah timbulnya komplikasi tersebut. Penyuluhan mengenai diabetes melitus dan pengelolaannya sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik dan teratur. Pengaturan sistem rujukan yang baik menjadi sangat penting untuk memback up pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan diabetes melitus. Dengan demikian akan dapat diharapkan hasil pengelolaan yang sebaik-baiknya, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tata cara pengelolaan baku yang dapat menjadi pegangan bagi para pengelola (Perkeni, 2002). Pencegahan tersier perlu dilakukan pada pasien diabetes melitus, kalau komplikasi kronik diabetes melitus ternyata timbul juga, sehingga dalam hal ini pihak pengelola harus mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dengan usaha pengelolaan komplikasi sebaik-baiknya dan usaha merehabilitasi pasien sedini mungkin sebelum kecacatan menjadi menetap dan tidak dapat lagi diperbaiki lagi.

2.2.2.8Komplikasi

Diabetes dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistem yang lain. Ilmuwan di bidang medis memberikan perhatian lebih besar pada suatu keadaan yang mereka sebut sebagai sindroma metabolisme. Sindroma metabolisme adalah gabungan masalah yang bersama-bersama membentuk suatu keadaan berbahaya dan kemungkinan besar dapat mematikan. Kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar gula darah tinggi, peningkatan trigliserida, kadar kolesterol LDL tinggi, tekanan darah tinggi dan obesitas (Misnadiarly, 2006). Komplikasi yang terjadi dibagi atas Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, hiperglikemia dan ketoasidosis. Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh penurunan glukosa darah, sedangkan hiperglikemia yaitu secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stres akut. Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan diabetes melitus (Subekti, 2004).

Gambar

Gambar 3.1   Kerangka teori   36  Gambar 4.1  Bagan alur penelitian    39  Gambar 5.1  Grafik kadar gula darah  58  Gambar 5.2  Grafik sensitivitas kaki  59
Gambar 3.1 Kerangka teori
Gambar 4.1. Bagan alur penelitian
Tabel  5.2  menunjukkan  rata-rata  sensitivitas  kaki  sebelum  diberikan  intervensi  pada  kelompok  intervensi  sebesar  1,81  (SD=  0,72)  dan  pada  kelompok  kontrol  rata-rata  sensitivitas  kaki  sebesar  1,92  (SD=  0,75)
+4

Referensi

Dokumen terkait

yaitu mengenai bentuk perlindungan dari orang tua terhadap anak. yang mengalami kekerasan dan mengenai kewajiban orang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan work family conflict dengan psychological well- being pada ibu yang bekerjasebagai perawat di RS Sumber

(1) Bank Tanah dapat bekerja sama dengan pihak lain dalam menyelenggarakan kegiatan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah

sebagainya agar menjadi warga negara yang memahami, mampu menyikapi, dan berprilaku sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Keberhasilan proses

Menyatakan dengan sesunguhnya bahwa Tugas Akhir yang berjudul “ Perencanaan Jembatan Gantung Pejalan Kaki Tipe I Dusun Taker Desa Gunung Malang Kecamatan Suboh

menggunakan media animasi memiliki skor posttest lebih tinggi dibandingkan dengan skor posttest yang dilakukan tanpa penggunaan media animasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa

Warga desa Medali identik dengan warga pertanian yang me miliki pendidikan rendah hingga sedang dan juga skill yang rendah, warga desa Medali hanya mela kukan konflik yang

Sedangkan bagi responden yang menjadi peserta menyatakan bahwa kegiatan latihan keterampilan klinik dengan menggunakan metode PAL sangat membantu dalam