P F
Diajuk Mem Prog
PROGRAM FAKULTA
UN
kan untuk M mperoleh G gram Studi B
Di Fransisk NIM
M STUDI BI S KEGURU NIVERSITA YO
Skripsi
Memenuhi S Gelar Sarjan Bimbingan
isusun oleh ka Dian Wid M : 07 1114 0
IMBINGAN UAN DAN I AS SANATA
GYAKART 2011
Salah satu S na Pendidik dan Konsel
: dhowati
001
N DAN KON ILMU PEND A DHARMA TA
Syarat kan
ling
P F
Diajuk Mem Prog
PROGRAM FAKULTA
UN
kan untuk M mperoleh G gram Studi B
Di Fransisk NIM
M STUDI BI S KEGURU NIVERSITA YO
Skripsi
Memenuhi S Gelar Sarjan Bimbingan
isusun oleh ka Dian Wid M : 07 1114 0
IMBINGAN UAN DAN I AS SANATA
GYAKART 2011
Salah satu S na Pendidik dan Konsel
: dhowati
001
N DAN KON ILMU PEND A DHARMA TA
Syarat kan
ling
Peace, Love and Emphaty
&
Se o hayami iwa, ni sekaruru takigawa no
Teriring rasa syukur, dan ucapan terima kasih, skripsi ini
saya persembahkan untuk para Suster Kongregasi Suster
Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef
di Belanda dan Indonesia
Cinta, dan doa-doa merekalah yang memampukan saya
menyelesaikan skripsi ini.
dan
Almarhum kedua orang tua saya,
Ignatius Soetjipto Hadiprasetyo dan Rosmiyati
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya
ilmilah.
Klaten, 16 Juni 2011
Penulis
Fransiska Dian Widhowati
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Fransiska Dian Widhowati Nomor Mahasiswa : 071114001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
MAKNA SPIRITUALITAS CINTA KASIH BAGI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER CINTA KASIH PUTRI MARIA DAN
YOSEF PROVINSI INDONESIA TAHUN 2011
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 16 Juni 2011
Yang menyatakan
(Fransiska Dian Widhowati )
MAKNA SPIRITUALITAS CINTA KASIH BAGI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER CINTA KASIH PUTRI MARIA DAN
YOSEF PROVINSI INDONESIA TAHUN 2011
Fransiska Dian Widhowati Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2011
Topik penelitian ini adalah Makna Spiritualitas Cinta Kasih bagi Para
Suster Yunior Kongregasi Suster Cinta kasih Putri Maria dan Yosef. Subyek
penelitian ini adalah enam suster yunior kongregasi suster cinta kasih Putri Maria
dan Yosef yang berusia antara 25 – 39 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan makna spiritualitas cinta kasih bagi para suster yunior
Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef dan mencari cara alternatif
yang efektif untuk menanamkan spiritualitas cinta kasih bagi mereka.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan desain penelitian
studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi,
studi dokumentasi, dan wawancara mendalam. Validitas data diuji dengan metode
triangulasi. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa para subyek mengalami jatuh
bangun dalam memaknai spiritualitas cinta kasih kongregasi. Hal ini dikarenakan
dua faktor utama, faktor dalam dan luar diri. Faktor dominan dalam diri berasal
dari pengolahan masa lalu yang belum selesai. Sedangkan faktor luar berasal dari
hidup bersama, dunia masyarakat saat ini, dan ketidakkonsistenan dalam praktik
cinta kasih di tempat karya.
Mengingat pentingnya memaknai spiritualitas cinta kasih maka para suster
yunior membutuhkan dukungan, pendampingan, dan penghargaan positif tanpa
syarat agar memotivasi mereka untuk semakin memaknai spiritualitas cinta kasih
THE MEANING OF CHARITY SPIRITUALITY FOR THE JUNIOR SISTERS OF SISTERS OF CHARITY DAUGHTERS OF MARY AND
JOSEPH CONGREGATION, INDONESIAN PROVINCE IN 2011
Fransiska Dian Widhowati Sanata Dharma University
Yogyakarta 2011
The topic of this study is the meaning of charity spirituality for the junior
sisters of Sisters of Charity Daughters of Mary and Joseph Congregation. The
subjects of this study were six junior sisters of the congregation. These subjects
were between 25-39 years old. This study aimed to describe the meaning of
charity spirituality for the junior sisters of Sisters of Charity Daughters of Mary
and Joseph and to find out an effective alternative way to instill spirituality in
them.
This qualitative descriptive study applied case study methodology. The
data collection methods used were observation, documentation and in-depth
interview. The validity of the data was tested using the method of triangulation.
The finding of the study showed that the subjects experienced good and bad times
in giving meaning to charity spirituality of the congregation. This was due to two
main factors, internal factor and external factor. The internal factor was connected
to the incomplete processing of the one’s past life experiences, while external
factors were connected to life in a community, the current world and society and
the inconsistency in the practice of charity in the work place.
Considering the significance of giving meaning to charity spirituality,
these junior sisters need support, guidance, and unconditional positive regard to
Puji syukur kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus untuk
kasih dan rahmat yang peneliti alami hingga saat ini. Rahmat ini begitu indah dan
kuat sehingga memampukan peneliti menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna
Spiritualitas Cinta Kasih bagi Para Suster Yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih
Putri Maria dan Yosef Provinsi Indonesia tahun 2011”.
Bagi peneliti, skripsi ini bukan sekedar menjadi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan tetapi memuat perjuangan yang panjang dalam
menempuh studi di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma dan suka duka dalam menggali kembali spiritualitas bapa pendiri
kongregasi.
Maka dalam rasa syukur, peneliti ingin membagi kebahagiaan atas
selesainya proses penyusunan skripsi dengan menghaturkan terima kasih kepada :
1. Drs. T. Sarkim, M.Ed, Ph.D, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma
3. Dr. CB. Mulyatno Pr, sebagai dosen pembimbing skripsi yang
memberikan banyak masukan, pengarahan, dan semangat dalam proses
penyusunan skripsi
4. Dr. Gendon Barus, M.Si, yang telah memberikan banyak pengarahan,
6. Drs. T.A Prapanca Hary, M.Si, yang siap sedia memberi masukan dalam
proses penyusunan skripsi
7. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma atas pengajaran, bimbingan dan kerja sama selama proses studi
8. Karyawan sekretariat Program Bimbingan dan Konseling yang senantiasa
menolong menyediakan surat-surat yang dibutuhkan selama studi dan
proses penyusunan skripsi
9. Suster Dewan Pimpinan Provinsi Kongregasi Cinta Kasih Putri Maria dan
Yosef yang telah memberikan kepercayaan, bimbingan, semangat,
doa-doa, dan fasilitas yang dibutuhkan penulis
10.Para Suster Kongregasi Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef yang setia
mendoakan dan menyemangati dalam proses penyusunan skripsi
11.Sr. Patricia PMY, selaku pendamping yunior yang telah memberikan
banyak masukan, dan menjadi teman diskusi selama proses penyusunan
skripsi
12.Sr. Crescentiana PMY, sahabat tercinta yang setia mendoakan,
mendukung dan mengkoreksi tata bahasa dalam skripsi
13.Para suster yunior Kongregasi Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef yang
telah menjawab setiap pertanyaan penelitian dan membantu dalam proses
15.Rm. Eko Riyadi Pr yang memberikan masukan tentang St. Yohanes Rasul
16.Beberapa romo yang setia mendoakan dan mendukung : Rm. Endra
Wijayanta Pr, Rm. Tejo Kusumantono Pr, Rm. Thomas Kurniawan CM,
Rm. Rafael Isharyanto CM, Rm. Augustinus Totok Pr dan Rm. Paulus
Susanto Pr
17.Teman-teman Bimbingan dan Konseling angkatan 2007 yang selalu
mendukung dan memberikan semangat selama studi
18.Keempat kakak dan bulek saya : Mbak Isti, mbak Keksi, Sr. Agata SFS
mbak Lia, dan bulek Endang yang terus memberikan semangat dan doa.
19.Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih untuk cinta yang penulis rasakan, Tuhan memberkati
Skripsi ini bagaikan mozaik kaca yang perlu terus menerus
disempurnakan. Karenanya penulis berharap, semoga hasil karya pemikiran ini
berguna dan semakin mendapatkan kepenuhan dari pribadi-pribadi yang
membacanya.
Penulis,
Fransiska Dian Widhowati
Halaman
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN MOTTO ………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….. vii
ABSTRAK ……….. viii
ABSTRACT ……… ix
KATA PENGANTAR ……… x
DAFTAR ISI ……… xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ……….. 5
C. Tujuan Penelitian ……….. 6
D. Manfaat Penelitian ………. 6
E. Batasan Istilah ………. 8
B. Pengertian Cinta Kasih
1. Cinta kasih Menurut Pandangan Beberapa Tokoh
Humanistik ……… 19
2. Cinta Kasih dalam Pandangan St. Yohanes Rasul …… 22
3. Cinta Kasih Menurut Pendiri Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef ………….. 25
4. Cinta Kasih Menurut Konstitusi Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef ……… 29
C. Memaknai Cinta Kasih dalam Panggilan Hidup Membiara 31
D. Proses Pemaknaan Cinta Kasih dalam Panggilan Hidup Membiara ………. 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan ……….…… 44
B. Tehnik Pengumpulan Data ……… 45
C. Instrumen Penelitian ……….. 47
D. Lokasi penelitian ……… 51
E. Subyek penelitian ……….. 51
F. Sumber data ……… 51
G. Tehnik analisis data ……… 52
1. Observasi ……….. 56
2. Wawancara Mendalam ………. 78
B. Pembahasan ……… 83
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 94
B. Saran ………. 95
C. Tindak lanjut ………... 96
DAFTAR PUSTAKA ……….. 97
Halaman
Lampiran 1 : Matriks Wawancara Mendalam dengan Para
Suster Yunior ……… 101
Lampiran 2 : Daftar Kebutuhan Para Suster Yunior ………… 107
Lampiran 3 : Hasil Observasi ………... 108
Lampiran 4 : Hasil Wawancara……… 127
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini dibahas latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan batasan istilah.
A.Latar Belakang
Manusia itu unik, dalam arti bahwa manusia berusaha untuk menemukan
tujuan hidup dan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupannya.
Kemampuan untuk menemukan makna hidup secara khas dimiliki oleh manusia
(CB. Mulyatno, 2009:18). Manusia menjadi diri yang unik dalam relasi timbal
balik dengan sesama. Ia menghadapi kesendirian, manusia lahir ke dunia sendirian
dan meninggal pun sendirian. Tetapi meskipun pada hakikatnya sendirian,
manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam
menjadikan hidupnya bermakna (Corey, 1988:55).
Menurut Frankl (Corey, 1988:74), pencarian makna dalam hidup adalah
salah satu ciri manusia. Misalnya, bapak dan ibu ingin bermakna bagi
anak-anaknya lewat cara mencintai dan memperhatikan anak-anak-anaknya. Demikian juga
dengan anak-anak, mereka ingin menjadi anak yang berbakti dengan mencintai
maupun dicintai oleh orang tuanya. Dengan mencintai dan dicintai orang lain,
menggambarkan hasrat yang paling mendasar dari setiap manusia, yaitu hasrat
untuk memiliki hidup yang bermakna (meaningful).
Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia
yang mendorong setiap orang untuk melakukan kegiatan, seperti bekerja dan
berkarya. Hal ini pun dialami dan dirasakan oleh para suster Cinta Kasih Putri
Maria dan Yosef. Konstitusi kongregasi PMY menuliskan, “Motto kongregasi
ialah In Omnibus Caritas – Cinta kasih di dalam segala-galanya” (Konst. PMY
hal.8). Ini berarti bahwa para Suster Putri Maria dan Yosef dipanggil untuk terus
menerus memaknai hidup panggilan, hidup bersama, pelayanan, dan akan tetap
tabah memenangkan segalanya demi Kristus dengan karya-karya cinta kasih
(Konst. PMY hal.8). Akan tetapi, bagaimana mereka memaknai panggilan dan
spiritualitas cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari ?
Dari beberapa sharing pengalaman di dalam kongregasi, terungkap
keprihatinan mengenai panggilan hidup membiara. Beberapa suster dipandang
kurang memaknai kehidupannya. Hidup beberapa suster itu seolah-olah mengalir
seperti air, tanpa pembatinan nilai-nilai, dan kurang menampakkan cinta kasih.
Nilai-nilai yang telah disampaikan melalui pendampingan yang telah berlangsung
selama bertahun-tahun sepertinya kurang bergema dalam hidup mereka ketika
mereka telah mengucapkan kaul kekal atau menduduki jabatan tertentu. Mereka
seolah-olah kurang menunjukkan kesaksian sebagai suster-suster cinta kasih.
yang menuliskan bahwa dari tahun ke tahun para suster terus mencoba dengan
semangat yang kuat dan cinta kasih yang hangat, mewujudkan cinta Allah pada
saat, tempat, dan lingkungan yang menuntut hal itu (bdk. Konst. PMY no.9).
Selain itu, rekomendasi dan keputusan Kapitel Umum 2007 dan Kapitel Provinsi
Indonesia tahun 2009 menegaskan kembali semangat cinta kasih dalam kehidupan
para suster kongregasi PMY.
Tentang penghayatan spiritualitas Kapitel Umum Kongregasi Suster Cinta
Kasih Putri Maria dan Yosef tahun 2007 menegaskan bahwa :
Para suster memelihara dan terus menerus mengembangkan spiritualitas kongregasi. Konstitusi menyebut tiga ciri khas dan karakteristik dari spiritualitas: Karisma Pendiri dan generasi pertama. Terinspirasi oleh Vincentius sesuai dengan nama Suster Cinta Kasih dan motto In Omnibus Caritas, dan berakar pada kitab suci dan Injil, perhatian pada St. Maria, Yosef, dan Yohanes (sesuai dengan nama Putri Maria dan Yosef).
Hal ini semakin digarisbawahi oleh hasil keputusan Kapitel Provinsi Indonesia
tahun 2009 yang menyatakan bahwa para suster perlu menggali kembali semangat pendiri (Heeren) dengan perhatian khusus pada semangat Vincentian
(Suster-suster Cinta Kasih) dan juga semangat dari Maria, Yosef, dan Yohanes (PMY),
agar hasil studi Titus Brandsma itu dipublikasikan dalam seri ‘Penggalian
kembali’.
Hasil keputusan Kapitel Umum dan Kapitel Provinsi Indonesia ini
menegaskan bahwa para suster PMY hendaknya kembali pada semangat awal
yang diletakkan oleh bapa pendiri yaitu semangat cinta kasih. Kembali pada
dan Yosef semakin jelas di tengah arus jaman yang cenderung mengarah pada
budaya kematian.
Berdasarkan keadaan nyata dan hasil rekomendasi kapitel tersebut, peneliti
melihat dan merasakan ada sejumlah permasalahan yang mesti diangkat ke
permukaan, dicermati dan dicarikan alternatif pemecahannya. Peneliti merasa
tertantang untuk menggali makna spiritualitas cinta kasih bagi para suster yunior
PMY tahun 2011 yang telah diwariskan oleh bapa pendiri bersumber dari teladan
para orang kudus, secara khusus St. Yohanes. Inilah topik penulisan skripsi ini.
Peneliti memfokuskan penelitian pada pemaknaan spiritualitas cinta kasih
dalam diri para suster yunior PMY. Merujuk pada pemikiran Frankl, yang
dimaksud dengan makna adalah pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai
hidup (bdk.Bastaman, 2007:38). Sedangkan spiritualitas cinta kasih merupakan
nilai utama yang dipahami dan dihayati oleh para suster PMY.
Subyek penelitian adalah para suster yunior PMY. Mereka merupakan
generasi penerus, dan pewaris spiritualitas PMY. Selain itu, para suster yunior
berada pada masa yang penting untuk pembentukan kepribadian sebagai seorang
religius. Masa yuniorat adalah saat prinsip-prinsip yang telah diletakkan pada
masa novisiat diinternalisasikan dalam hidup, dan dilaksanakan dalam karya
mereka. Karenanya, selain menggali makna spiritualitas cinta kasih, peneliti juga
semakin menginternalisasi nilai-nilai cinta kasih dalam panggilan hidup membiara
mereka.
B. Rumusan Masalah
Untuk menelaah topik di atas, penulis akan merumuskan 3 permasalahan
pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria
dan Yosef memaknai spiritualitas cinta kasih dalam panggilan hidup
membiara?
2. Mengapa para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria
dan Yosef harus memaknai panggilan hidup membiara dalam spiritualitas
cinta kasih ?
3. Kesulitan, hambatan, tantangan apa saja yang ditemui para suster yunior
Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef dalam memaknai
spiritualitas cinta kasih ?
Mengingat empat dari enam suster yunior PMY (67%) menghayati
spiritualitas cinta kasih di tengah karya dan hanya dua suster (33%) yang sedang
menjalani tugas studi, pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah dan
spiritualitas cinta kasih. Dari rumusan penghayatan itu, peneliti mencoba
menganalisa kedalaman pemahaman mereka terhadap spiritualitas cinta kasih.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna spiritualitas cinta kasih dalam
diri para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef
(PMY) dan mencari cara alternatif yang efektif untuk mengembangkan
pemahaman dan penghayatan mereka terhadap spiritualitas cinta kasih di
tengah tantangan kehidupan mereka sehari-hari.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menggali makna spiritualitas cinta
kasih dalam kaitannya dengan pelayanan para suster Cinta Kasih Putri
Maria dan Yosef. Manfaat untuk Program Studi Bimbingan dan Konseling
yaitu mencari cara alternatif konseling yang efektif yang membantu
2. Manfaat praktis
a. Bagi kongregasi suster cinta kasih Putri Maria dan Yosef
Hasil penelitian ini berguna sebagai penggalian kembali warisan
dan kekayaan bapa pendiri kongregasi untuk pengembangan terus
menerus spiritualitas kongregasi.
b. Bagi para suster cinta kasih Putri Maria dan Yosef
Para suster semakin memahami dan menghayati spiritualitas cinta
kasih dalam meneguhkan panggilan hidup membiara, dan menjadikan
para suster terfokus pada nilai-nilai atau semangat batin spiritualitas
cinta kasih dalam perilaku kehidupan keseharian mereka.
c. Bagi tim formasio (pembinaan)
Hasil penelitian ini berguna untuk mengenali pemahaman dan
penghayatan spiritualitas cinta kasih para suster yunior, agar
pendampingan secara berangsur-angsur membentuk mereka menjadi
suster cinta kasih yang baik, yang hidup sesuai dengan spiritualitas
cinta kasih Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef.
d. Bagi peneliti
Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama
perkuliahan di Program Studi Bimbingan dan Konseling dan menggali
lebih dalam semangat yang telah diwariskan oleh bapa pendiri
E.Batasan Istilah
1. Spiritualitas Cinta Kasih Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan
Yosef adalah kekhasan atau inti panggilan membiara para suster Cinta
Kasih Putri Maria dan Yosef (PMY) yang mengalir dari hati yang hangat,
mendorong dinamika hidup yang diungkapkan dalam doa dan diwujudkan
dalam pelayanan dan kesaksian hidup.
2. Panggilan hidup membiara adalah panggilan untuk hidup sebagai religius
yang merupakan anugerah khusus dari rahmat Allah, yang berakar dalam
rahmat pembaptisan. Sebagai jawaban atas panggilan Allah, suster-suster
cinta kasih mengabdikan diri di dalam Gereja Yesus Kristus dalam suatu
cara yang khusus, bagi sesama yang membutuhkan terutama orang-orang
yang lanjut usia, anak-anak yang cacat dan berkebutuhan khusus, dan yang
lemah dalam masyarakat (Konst. PMY no. 3 dan 8)
3. Makna (kebermaknaan) adalah pemahaman dan penghayatan terhadap
nilai, yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta
memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.
Manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, karena kebermaknaan
hidup merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan
yang didambakan dan mereka yang berhasil menemukan serta
4. St. Yohanes Pengarang Injil adalah murid dan sahabat karib Tuhan Yesus.
Dialah yang pada perjamuan terakhir bersandar di dada Yesus.
Kepadanya, Yesus memercayakan ibunya ketika Ia tergantung di kayu
salib. Dia menjadi saksi kematian Yesus dan pada hari Paskah berlari
mendahului Petrus ke makam Yesus yang bangkit. St. Yohanes sering
disebut sebagai rasul cinta kasih, karena di dalam tulisan-tulisannya dia
banyak mengisahkan karya cinta kasih Allah melalui Yesus Kristus
5. Suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef adalah
suster yang telah mengucapkan kaul pertama dalam kongregasi dengan
kaul yang sifatnya sementara, yang akan diperbaharui setiap satu tahun
sekali hingga tahun ke-5.
Adapun indikator yang dijadikan tolok ukur dari pemaknaan spiritualitas
cinta kasih dalam penelitian ini antara lain :
1. Pemahaman terhadap spiritualitas cinta kasih.
2. Penghayatan spiritualitas cinta kasih yang terungkap dalam berbagai
bentuk kegiatan rohani, seperti doa bersama (Konst. PMY no. 31), doa
pribadi (Konst. PMY no. 30), meditasi (Konst. PMY no.33), mengikuti
perayaan ekaristi (Konst. PMY no. 31), membaca Kitab Suci dan bacaan
38 -39), doa devosional (Konst. PMY no. 41), retret (Konst. PMY no. 43)
dan merayakan hari-hari besar para pelindung kongregasi (Konst. PMY
no. 44-45).
3. Penghayatan spiritualitas cinta kasih yang terwujud dalam pelayanan dan
kesaksian hidup yang sederhana dan penuh cinta dalam pengajaran dan
pendidikan bagi yang cacat fisik dan mental, orang-orang lanjut usia, yang
lemah dalam masyarakat (Konst. PMY no. 1, 7, 8 dan 9), dan sikap
KAJIAN TEORITIS
Dalam bab ini dibahas landasan teori yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Topik-topik dalam bab ini adalah makna hidup, pengertian cinta kasih
dan memaknai cinta kasih dalam panggilan hidup membiara. Spiritualitas cinta
kasih yang menjadi nilai tertinggi kehidupan para suster PMY bersumber dari
pengajaran Santo Yohanes Rasul yang dijadikan inspirasi bagi bapa pendiri dan
penulisan konstitusi kongregasi PMY. Namun uraian bab ini akan diwarnai
dengan beberapa pemikiran Victor Frankl, A. Maslow, Erich Fromm dan Rollo
May mengenai kebermaknaan hidup dan pengertian cinta kasih. Uraian ini
diharapkan membantu untuk membahasakan makna spiritualitas cinta kasih dalam
kongregasi PMY secara lebih sederhana.
A.Makna Hidup
1. Kebermaknaan hidup menurut Victor Frankl
Victor Frankl (Bastaman, 2007) menuliskan bahwa hidup memiliki
makna atau arti. Makna hidup tidak hanya terdapat dalam situasi
kebahagiaan tetapi juga terdapat dalam situasi penderitaan dan kepedihan.
Makna (kebermaknaan) adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar,
berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang
sungguh-sungguh bersifat khas dan unik bagi manusia yang berbeda dari
momen yang satu ke momen berikutnya.
Manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, karena
kebermaknaan hidup merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf
kehidupan yang didambakan dan mereka yang berhasil menemukan serta
mengembangkannya akan mengalami kebahagiaan (happiness). Lebih lanjut
Frankl (Bastaman, 2007:45) menuliskan bahwa setiap manusia memiliki
kebebasan yang hampir tidak terbatas untuk menemukan makna hidupnya.
Makna hidup dapat ditemukan dalam pekerjaan atau pelayanan yang
dilakukan, dalam keyakinan terhadap harapan, dan kebenaran serta
penghayatan atas keindahan, iman, dan cinta kasih. Makna hidup juga ada
dalam kehidupan itu sendiri, dalam setiap keadaan yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia atau sedih, dalam penderitaan
atau sukacita. Ungkapan “Hikmah dalam Musibah” atau “Blessing in
Disguise” hendak menunjukkan bahwa dalam penderitaan terberat sekalipun
tetap tersembunyi makna hidup yang mesti ditemukan (Bastaman, 2007:46).
Frankl menuliskan (Bastaman, 2007:46) bila hasrat itu dapat dipenuhi,
maka kehidupan yang dirasakan berguna, bermakna (meaningful) akan
dirasakan, tetapi berbanding terbalik jika hasrat itu tidak terpenuhi maka
akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).
penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki tujuan hidup jangka
pendek, menengah maupun panjang yang jelas. Dengan demikian,
kegiatan-kegiatan mereka pun menjadi lebih terarah dan dapat dirasakan
kemajuan-kemajuan yang didapatkan. Seseorang yang menghayati hidup bermakna
mampu pula menemukan aneka ragam pengalaman baru dan hal-hal yang
menarik yang akan menambah kekayaan kehidupan mereka. Selain itu
mereka juga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya.
Kalaupun pada suatu saat terdapat situasi yang tidak menyenangkan atau
berhadapan dengan penderitaan, orang yang menghayati hidup bermakna
akan menghadapinya dengan tabah, dan sadar bahwa senantiasa ada hikmah
yang tersembunyi di balik penderitaannya.
Kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan
makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya. Hal
ini menantang seseorang untuk mencapainya secara bertanggung jawab.
Kemampuan mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta
menyadari cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini
bermakna.
Frankl (Bastaman, 2007:47) mendeskripsikan bahwa dalam kehidupan
ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung
apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai (values) ini
adalah creative values, experiential values, dan attitudinal values. Creative
values atau nilai- nilai daya cipta adalah kegiatan berkarya, bekerja,
mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan
penuh tanggung jawab. Makna diberikan kepada kehidupan melalui
tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau suatu ide yang
tidak kelihatan atau dengan melayani orang-orang lain yang merupakan
suatu ungkapan individu (Duane Schultz, 2008:155). Tekun dalam suatu
pekerjaan dan terus menerus meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap
tugas serta berusaha mengerjakannya dengan sebaik-baiknya adalah salah
satu contoh dari kegiatan berkarya. Sementara experiential values atau
nilai-nilai pengalaman adalah keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai-nilai-nilai
kebenaran, kebaikan, keindahan, keimanan, serta cinta kasih (Bastaman,
2007:48). Nilai-nilai pengalaman menyangkut penerimaan dari dunia.
Artinya bahwa setiap individu dapat memenuhi makna kehidupan dengan
mengalami beberapa segi kehidupan secara intensif, walaupun individu
tersebut tidak melakukan suatu tindakan yang positif (Duane Schultz,
2008:155). Misalnya, seorang pecinta musik yang memperhatikan
pertunjukkan orkestra yang disukainya. Pada saat itu, orang itu sungguh
hanyut dalam pengalaman keindahan alunan musik. Orang tersebut
puncak (the peak experience). Frankl mengemukakan bahwa satu momen
puncak dari nilai pengalaman dapat mengisi seluruh kehidupan seseorang
dengan makna (Duane Schultz, 2008:156).
Nilai-nilai kreatif dan nilai-nilai pengalaman berbicara tentang
pengalaman manusia yang kaya, penuh, dan positif, yaitu suatu kepenuhan
hidup dengan menciptakan atau mengalami. Tetapi, ada kekuatan-kekuatan
dan peristiwa-peristiwa di luar kendali manusia yang memaksa kehidupan
manusia pun menemukan makna. Di sinilah nilai ke-tiga, attitudinal values
atau nilai-nilai sikap mulai berperan. Nilai-nilai sikap adalah kemampuan
untuk menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala
bentuk penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi, misalnya
pengalaman sakit atau kematian (Bastaman, 2007:49). Pengalaman buruk
yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak memiliki harapan,
dilihat Frankl sebagai situasi yang memberikan manusia kesempatan untuk
menemukan makna dan situasi itu juga sangat menuntut agar makna
ditemukan (Duane Schultz, 2008:156).
Dengan memasukkan nilai-nilai sikap sebagai cara memberi makna
bagi kehidupan, Frankl memberi sebuah harapan bahwa kehidupan manusia,
dalam keadaan buruk, dapat bercirikan makna. Kehidupan manusia
manusia diwajibkan untuk menyadari dan bertanggung jawab akan makna
hidupnya (Duane Schultz, 2008:157).
Makna hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007:51) memiliki beberapa sifat
khusus yaitu :
a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer. Artinya, apa
yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti untuk
orang lain serta mungkin pula berubah dari waktu ke waktu.
b. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap
kegiatan-kegiatan kita sehingga makna hidup menantang dan memanggil
kita untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta
kegiatan-kegiatan kita pun menjadi terarah kepada kepenuhan itu.
2. Kebermaknaan hidup menurut Konstitusi Kongregasi Suster Cinta
Kasih Putri Maria dan Yosef
Konstitusi kongregasi PMY tidak secara eksplisit menuliskan
kebermaknaan hidup. Peneliti mencoba menggali dari riwayat hidup Rm.
Heeren sebagai pendiri kongregasi Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef, dan
maksud dibalik tulisan-tulisan yang termuat dalam konstitusi.
Konstitusi PMY dapat dianalogikan sebagai air sumber hidup yang
makna dan tujuan yang jelas bagi para suster PMY. Visi mempunyai dasar
yang benar yang datang dari firman Allah.
Pada pembahasan mengenai makna hidup ini, peneliti akan memfokuskan
pada konstitusi PMY no. 1 – 8, karena nomor-nomor itu memuat dasar dan
tujuan kongregasi.
Konstitusi PMY no.1 berbunyi :
Kongregasi “Suster-suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef” yang didirikan di kota s’Hertogenbosch adalah kongregasi kepausan. Kita dibangun sebagai persekutuan religius dan tahu bahwa kita telah dipanggil untuk menyediakan diri dalam suatu cara yang khusus, bagi sesama yang membutuhkan, terutama orang-orang yang lanjut usia, anak-anak yang cacat, dan yang lemah dalam masyarakat. Dasar dan inspirasinya kita dapatkan dalam Kabar Gembira Yesus Kristus. Kita menganggap Injil sebagai pedoman hidup kita yang utama.
Konstitusi PMY no.1 menyampaikan bahwa hidup bergerak dari
gambaran universal, atau nilai-nilai universal. Ini berarti bahwa para suster
PMY harus mampu menerjemahkan dan memaknai nilai-nilai universal,
misalnya nilai cinta kasih dalam kesaksian hidup mereka sehari-hari. Dalam
nomor ini dimaksudkan juga bahwa para suster PMY hidup dalam
persekutuan religius yang sama-sama memiliki ikatan dengan Allah. Ikatan
yang mengatasi ikatan darah dan daging. “…,dipanggil untuk menyediakan
diri dalam suatu cara yang khusus”, berarti para suster PMY mampu
yang membutuhkan: orang lanjut usia, anak-anak yang cacat dan lemah
dalam masyarakat.
Pada saat pendirian kongregasi, pendiri memberikan nama kepada
kongregasi “Suster-suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef” (Konst. PMY
no. 2). Nama ini menunjukkan kualitas yang ingin dibangun, kenyataan
yang dialami dan identitas diri dihadapan hidup dan Allah. Pendiri
mengharapkan bahwa para suster PMY memaknai terus menerus cinta kasih
dengan nama Putri Maria dan Yosef.
Harapan Rm.Heeren sebagai pendiri kongregasi terlahir dari
pengalaman saat beliau berjumpa dengan banyak orang miskin pada waktu
beliau pergi melalui perkampungan dan lorong-lorong kota yang kotor dan
kumuh. Banyak anak terlantar dan orang tua miskin berkeliaran di kota,
sebagai korban peperangan revolusi Perancis. Melihat kenyataan itu,
Rm.Heeren tergerak secara mendalam oleh belaskasih dan beliau berusaha
memberikan pertolongan (Konst. PMY hal. 8).
Rm.Heeren menganggap cinta kasih Yesus yang memiliki hati seluas
samudera menjadi spiritualitas kongregasi yang didirikan (Konst. PMY no.
6). Hati adalah tempat Allah menanam hukum kehidupan, hukum kasih dan
tempat untuk membangun kearifan hidup. Hati yang dipenuhi oleh hukum
kasih akan selalu bergerak keluar dan mendorong untuk bertindak
berdasarkan hukum kehidupan, yaitu memperhatikan orang yang lemah,
berarti bertindak berdasarkan gerak hati yang terus menerus ditandai oleh
kebersatuan dengan Tuhan. Karenanya di dalam semangat kebersatuan hati
dengan hati Yesus, dan menurut petunjuk-petunjuk pendiri, para suster
PMY menghayati terus menerus cinta kasih Allah dan tetap mengakui Yesus
Kristus sebagai satu-satunya dasar (Konst. PMY no. 7). Penghayatan itu
diwujudkan dalam kesaksian hidup dan karya-karya kongregasi yaitu
mendampingi para lansia, pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan
khusus, anak-anak cacat, dan yang lemah dalam masyarakat (Konst. PMY
no 1 dan 8).
Jadi hidup bermakna menurut konstitusi adalah kemampuan
menerjemahkan dan memaknai nilai-nilai universal, misalnya nilai cinta
kasih dalam kesaksian hidup sehari-hari. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Frankl yang mengatakan bahwamakna adalah pemahaman dan
penghayatan terhadap nilai, yang dirasakan penting, benar, berharga, dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak
dijadikan tujuan hidup.
B.Pengertian Cinta Kasih
1. Cinta kasih menurut pandangan beberapa tokoh humanistik
a. Abraham Maslow
Cinta (kasih) menurut Abraham Maslow merupakan kebutuhan
manusia yang berada di urutan ketiga dalam piramida kebutuhan dasar
Carl Rogers) dengan “keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima
dengan sepenuh hati”. Maslow (Howard S. Friedman dan Miriam W.
Schustack, 2008) mendeskripsikan dua tipe cinta, being love (disebut
B-love) dan deficiency love (disebut D-love). Orang bertipe D-love bersifat
memikirkan diri sendiri dan tergantung, sementara orang bertipe B-love
lebih teraktualisasi diri dan membantu orang lain untuk mencapai
aktualisasi diri.
b. Erich Fromm
Erich Fromm (Gregory Feist, 2008:168-169) mendeskripsikan
bahwa manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan. Komponen positif dari
kebutuhan keterhubungan adalah cinta; dan hanya cinta yang dapat
menghasilkan kepenuhan autentik. Fromm mengkombinasikan perspektif
humanistik (eksistensial) dan psikoanalitik dalam teorinya tentang cinta.
Fromm tidak mendeskripsikan cinta semata-mata dalam pengertian erotis
(Duane Schultz, 1991:67), tetapi melihat cinta sebagai sebuah
karakteristik yang unik yang memanusiakan pria dan wanita, hasil positif
dari perjuangan individu untuk bergabung dengan individu lain, dan
suatu kecenderungan untuk mencapai keharmonisan.
Fromm (Gregory Feist, 2008:169) mendeskripsikan bahwa cinta
perkembangan orang lain, dan memiliki pengetahuan akan partnernya.
Dalam cinta yang produktif, diri orang yang mencintai tidak terserap atau
hilang dalam cinta terhadap orang lain. Diri dalam cinta yang produktif
tidak berkurang tetapi diperluas, dibiarkan terbuka seluasnya (Duane
Schultz, 1991:72).
c. Rollo May
Rollo May (Gregory Feist, 2008:307) menjelaskan cinta sebagai
kesenangan terhadap kehadiran orang lain karena memiliki penilaian dan
cara pandang yang sama. May mengidentifikasikan empat jenis cinta di
dalam tradisi Barat yaitu seks, eros, filia dan agape.
1) Seks
Seks adalah fungsi biologis yang dapat dipuaskan lewat hubungan
kelamin atau peredaan tegangan seksual. May menunjukkan bahwa
masyarakat beranjak dari periode dimana melakukan hubungan seks
dipenuhi oleh rasa bersalah dan kecemasan menuju periode dimana
melakukan hubungan seks tidak mendatangkan rasa bersalah dan
kecemasan.
2) Eros
Eros adalah hasrat psikologis yang mencari prokreasi atau kreasi
dibangun di atas perhatian dan kelembutan. Eros menjadi syarat
untuk membangun sebuah penyatuan kekal dengan pribadi lain.
3) Filia
Filia adalah persahabatan intim nonseksual di antara dua pribadi.
Filia memerlukan waktu untuk tumbuh, berkembang dan
menancapkan akar-akarnya. May (Gregory Feist, 2008:308)
menuliskan bahwa filia tidak mensyaratkan seseorang melakukan
apapun bagi yang dicintai kecuali diri pribadi yang dicintai, bersama
pribadi tersebut, dan menikmati pribadi tersebut.
4) Agape
May mendefinisikan agape sebagai rasa menghargai pribadi lain,
kepedulian bagi kesejahteraan mereka, sebuah cinta tanpa syarat
yang mirip kasih Tuhan bagi manusia. Agape adalah cinta yang
altruistik, sejenis cinta spiritual yang mengandung artian dia tidak
menuntut apa pun dan tidak bersyarat (Gregory Feist, 2008:308).
2. Cinta kasih dalam pandangan St.Yohanes Rasul
Untuk memaparkan cinta kasih dalam pandangan St. Yohanes, peneliti
menggunakan sumber dari dua buku karangan Jean Vanier dan Hadiwiyata.
Santo Yohanes Rasul terkenal sebagai rasul cinta kasih, karena dalam Injil
spiritualitas. Yohanes mengajak setiap orang merasakan keindahan kasih
yang ditawarkan oleh Yesus. Yesus menyatakan kepada setiap orang – baik
orang Yahudi, orang Samaria, maupun orang asing – betapa indah dan
bernilai setiap orang, dan betapa setiap orang dicintai oleh Allah (Vanier,
2009:25).
Di dalam perjamuan malam terakhir, Yesus memberi perintah kepada
para murid agar mereka saling membasuh kaki karena Yesus yang adalah
Guru dan Tuhan telah lebih dahulu membasuh kaki mereka. Yesus memberi
perintah agar para murid saling mengasihi karena Yesus telah terlebih
dahulu mengasihi mereka. Kasih Yesuslah yang membuat para murid
mampu mengasihi orang lain. Hanya kalau para murid saling mengasihi,
orang akan tahu bahwa mereka adalah murid Yesus. Dengan demikian,
sudah dua hal diperintahkan oleh Yesus dalam perjamuan malam ini:
pelayanan dan kasih (Yoh 13: 34 -35).
Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan penelitian pada bab
15 dari Injil Yohanes yang secara khas menjadi dasar spiritualitas cinta
kasih Kongregasi Suster Cintakasih Putri Maria dan Yosef. Dalam bab ini,
Yesus berbicara mengenai pokok anggur yang benar. Fungsi ajaran tentang
pokok anggur ini adalah untuk menjelaskan tema penting yang disampaikan
oleh Yesus, yaitu kesatuan yang harus dibangun antara Yesus dan
mereka. Kesatuan itu dijamin dengan kehadiran Roh Kudus yang akan
diutus oleh Bapa dalam nama Yesus. Kesatuan itu digambarkan oleh Yesus
sebagai kesatuan antara pokok anggur dan ranting-rantingnya. Sebagaimana
ranting tidak dapat hidup terpisah dari pokoknya, demikian juga para murid
tidak bisa hidup kalau mereka terpisah dari Yesus.
Yesus tidak hanya menyebut kesatuan yang mesti dibangun antara Dia
dan murid-murid-Nya. Kesatuan antara Yesus dan para murid ada di dalam
kesatuan antara Yesus dengan Bapa sebagai pengusaha pokok anggur itu.
Dengan demikian, kesatuan pokok anggur dan ranting-ranting itu
memperlihatkan kesatuan antara Allah dan para murid. Pun kesatuan para
murid dengan Allah terbangun di dalam Yesus.
Peran aktif dilaksanakan oleh Bapa yang menjadi pengusaha kebun
anggur. Ia akan memotong setiap ranting yang tidak berbuah dan akan
membersihkan setiap ranting yang berbuah agar ia berbuah lebih banyak
lagi. Pernyataan ini memperlihatkan kenyataan bahwa ranting-ranting yang
menempel pada pokok anggur tidak semuanya menghasilkan buah.
Ranting-ranting seperti ini akan dipotong dan dibuang. Ada Ranting-ranting-Ranting-ranting lain yang
diperkirakan akan menghasilkan buah. Buah adalah kehidupan iman dan
kasih yang dituntut dari mereka yang bergabung dengan Kristus.
Orang-orang Kristen yang tidak berbuah adalah mereka yang iman dan kasihnya
kepada orang lain (Vanier, 2009:359). Namun, bukan hanya orang Kristen
yang memberikan hidup, bukan pula hanya Yesus, melainkan orang Kristen
dan Yesus, atau saling tinggal. Pokok anggur sebagai metafor yang
menggambarkan saling tinggal ini juga menjelaskan hubungan Bapa dan
Putra sebagai model untuk mengungkapkan ciri dan kebesaran kasih Yesus
kepada para murid (Hadiwiyata, 2008:219).
Tinggal dalam Kristus dan menghasilkan buah, mengandaikan bahwa
sebagai orang kristen mencintai sesamanya dengan cinta kasih Yesus,
mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi mereka dan membantu
sesamanya untuk berkembang dalam kebenaran dan kasih (Vanier,
2009:369). Mengasihi berarti juga hidup dalam persekutuan dengan orang
lain, meneruskan kepada mereka hidup dan kasih Yesus; menyatakan
kepada sesamanya bahwa mereka dikasihi oleh Yesus (Vanier, 2009:369).
Jadi inti spiritualitas cinta kasih dalam pemikiran St. Yohanes adalah tinggal
dalam Kristus dan menghasilkan buah-buah cinta kasih yang dapat
membantu sesama berkembang dalam kebenaran dan kasih.
3. Cinta kasih menurut pendiri Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri
Maria dan Yosef
Dalam kaitan dengan cinta kasih, Rm. Heeren sebagai pendiri
berbentuk surat yang bersifat khusus. Dari sekian banyak surat yang
dikirimkan kepada para Suster, sekitar 30 diantaranya masih disimpan.
Kebanyakan surat-surat itu ditulis dalam rentang tahun 1821-1830, saat
beliau bertugas menjadi pastor paroki di Oirschot. Pada penelitian ini,
peneliti lebih memfokuskan pada sebuah surat yang ditujukan pada Sr. Anna
Catharina van Hees sebagai suster pertama, dan pemimpin para suster
Kongregasi PMY saat itu. Dari surat tersebut, peneliti akan menggali
kekayaan rohani dan spiritualitas yang diwariskan oleh Rm. Heeren.
Paduka ibu, bolehkah saya mengatakan kepada Anda lebih sedikit daripada yang saya katakan kepada suster-suster lain? Bukankah Anda adalah seorang ibu? Dan mungkinkah seorang ibu dapat menjadi ibu tanpa cinta kasih? Tidak, pasti tidak, sebab cinta kasih merupakan ciri hakiki seorang ibu. Oleh sebab itu saya harus dan boleh yakin, bahwa cinta kasih itu ada pada Anda juga. Maka saya percaya, bahwa Anda dengan pertolongan Tuhan dan perantaraan St. Vincentius, dapat memperoleh apa yang saya tak pantas peroleh atau tidak pantas peroleh. Anda seorang ibu, dan karena semangat cinta kasihmu, pada suatu ketika Anda akan melahirkan cinta kasih itu dalam hati anak-anakmu. Dengan semangat cinta kasih itu, Anda akan mengajar dan membina. Dengan cinta kasih itu, Anda akan mendahului dan menyemangati para sustermu,...
Dalam surat yang ditujukan kepada Sr. Anna Catharina van Hees ini,
Rm. Heeren menuliskan kata cinta kasih sebanyak 23 kali, sedangkan pada
tulisan yang sama dengan versi yang berbeda, lebih panjang dari yang
peneliti kutipkan di sini, kata cinta kasih dituliskan sebanyak 46 kali. Cinta
kasih menjadi dasar yang utama bagi para suster dalam memberikan
terlantar, orang tua yang sengsara dan menderita, penderita tunarungu, dan
para janda.
Rm. Heeren memandang dan mengalami bahwa banyak orang saat itu
mengalami situasi kelaparan cinta kasih. Peperangan hanya mewariskan
kematian fisik dan harapan, dan menebarkan budaya kematian. Rm. Heeren
yang dibantu oleh para perempuan saleh saat itu mencoba menawarkan dan
memberikan pelega rasa haus akan cinta kasih melalui bantuan-bantuan
sederhana yang beliau berikan kepada sesamanya.
Rm. Heeren mengaktualisasikan dirinya dengan mengabdikan diri,
dan mencintai dengan cara yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.
Bahkan demi usaha yang beliau rintis, beliau berani melepaskan harta
kekayaan yang beliau dapatkan dari kedua orang tuanya untuk membeli
rumah yang berguna untuk pelayanan. Tidak hanya itu saja, beliau juga
membantu orang lain; dalam hal ini para perempuan yang membantu beliau
untuk mencapai aktualisasi diri mereka.
Ketika peperangan mewabah di daratan Eropa, masyarakat terpisah
dari keterhubungan antar saudara dan negara, mereka mengalami kesepian
dan ketidakberartian. Peneliti mencoba membayangkan, dalam situasi saat
itu, seorang istri akan kehilangan sang suami yang ikut dalam peperangan
dan seorang ibu harus kehilangan anaknya akibat peperangan. Seseorang
Mereka terpisah, tidak saling terhubung satu dengan yang lain.
Ketidakterhubungan inilah yang memunculkan kerinduan akan cinta kasih
yang mampu membuat mereka kembali memiliki harapan akan masa depan
mereka, menjadi buah perjuangan untuk bergabung secara damai dan
harmonis dengan individu lain.
Dari ulasan di atas, peneliti ingin menuliskan keterbatasan yang Rm.
Heeren alami saat itu. Ketika imam Katolik berhadapan dengan
aturan-aturan pemerintah Protestan yang keras dan situasi perang, Rm. Heeren
mampu menangkap kerinduan-kerinduan masyarakat saat itu. Beliau dan
para suster berkarya sekuat tenaga untuk menghubungkan para penderita
agar mereka memeroleh kedamaian. Dengan gerakan akar rumput, mereka
tetap dapat memberikan pelayanan yang semakin meluas dan menjangkau
banyak orang.
Rm. Heeren dalam keterbatasannya sebagai manusia, memberikan
penghargaan kepada pribadi yang lain, peduli dengan kesejahteraan
mereka, dan mencintai tanpa syarat atau tidak menuntut apapun yang mirip
dengan cinta Allah bagi manusia. Cinta inilah yang oleh Rollo May disebut
sebagai cinta Agape, cinta yang altruistik, cinta yang tidak menuntut apapun
dan tidak bersyarat.
mampu mewartakan Kabar Gembira kepada banyak orang, supaya dapat memenangkan mereka bagi Kristus dan mengajak mereka mengambil bagian dalam kehadiran Tuhan yang telah bangkit.” (Konstitusi PMY no.7)
Cinta kasih yang bersumber pada “tinggal dalam Kristus” diberi
penjelasan oleh Rm. Heeren bahwa para suster PMY harus terus
membagikan cinta kasih yang tulus, dan konkret kepada orang-orang yang
membutuhkan sehingga mereka merasakan sukacita kasih Kristus atas diri
mereka.
4. Cinta Kasih menurut Konstitusi Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri
Maria dan Yosef
Dalam konstitusi kongregasi PMY termuat beberapa nomor yang
sangat menekankan cinta kasih. Konstitusi PMY nomor dua berbunyi,
“Pendiri memberikan nama kongregasi: Suster-suster Cinta Kasih Putri
Maria dan Yosef…” Seperti orang tua yang memiliki harapan saat
memberikan nama kepada anaknya, demikian pemberian nama oleh pendiri
dimaksudkan agar para suster PMY mampu mengungkapkan harapan hidup
yang memberi nama yaitu menghayati kasih dengan nama Putri-Putri Maria
dan Yosef. Cinta kasih yang dimaksudkan di sini adalah cinta kasih yang
terlahir dari kesatuan hubungan dengan Hati Kudus Yesus (Konst. PMY no.
sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak
bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, menutupi segala
sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu,dan tidak berkesudahan (bdk. 1
Kor 13, 4-7, Konst. PMY no. 20).
Konstitusi menggambarkan cinta kasih sebagai ungkapan kasih
sayang yang hangat sebagai wujud cinta Allah (bdk. Konst. PMY no. 9).
Selain itu cinta kasih pun digambarkan sebagai ungkapan atau jawaban para
suster atas panggilan Allah (Konst. PMY no. 3). Maksudnya, bahwa sejak
awal Allah telah menunjukkan kasih-Nya dan berharap bahwa para suster
yang terpanggil masuk dalam persekutuan Putri Maria dan Yosef
menyadari, menghayati dan menghidupi terus-menerus panggilan mereka
lewat karya-karya cinta kasih dan kesaksian hidup.
Dari pandangan beberapa tokoh humanistik, St. Yohanes Rasul,
pendiri kongregasi PMY dan konstitusi kongregasi PMY, peneliti
menyimpulkan bahwa cinta kasih adalah kasih sayang yang hangat
mengandung nilai kesabaran, kemurahan hati, dan kepedulian terhadap
sesama terutama yang miskin, yang dapat memanusiakan manusia pria dan
wanita. Cinta kasih mendorong para suster PMY untuk mengaktualisasikan
St. Yohanes Rasul memberikan tekanan bahwa cinta kasih berarti
mencintai orang lain dengan cinta Yesus, dalam kebersatuan dengan Bapa,
meneruskan kepada mereka hidup dan kasih Yesus, dan menyatakan kepada
mereka bahwa mereka dikasihi Yesus. Cinta kasih yang digambarkan oleh
St. Yohanes Rasul inilah yang diwujudnyatakan oleh Rm. Heeren. Dalam
situasi di jamannya, Rm. Heeren menyatakan kepada banyak orang miskin
cinta kasih Yesus yang indah. Cinta kasih yang terlahir dari kesatuan
hubungan dengan Yesus yang hangat inilah yang diharapkan dipahami dan
dihayati terus menerus oleh para suster PMY dalam karya-karya cinta kasih
dan kesaksian hidup di jaman ini.
C.Memaknai Cinta Kasih dalam Panggilan Hidup Membiara
Tom Jacobs (1987:17-18) menuliskan bahwa panggilan hidup membiara
adalah tanggapan manusia atas suara Allah yang telah menghubunginya secara
pribadi. Panggilan hidup membiara adalah hidup terpanggil melulu di mana
Yesus ada di pusat hati kita.
Konstitusi Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef
mendefinisikan panggilan sebagai mengikuti Kristus dari dekat dengan hidup
menurut Injil-Nya (Konst. PMY no. 52). Mengikuti Yesus menuntut dari setiap
suster agar meneladan cara hidup-Nya yang cinta kepada Bapa, taat kepada
kepercayaan mengharap dari pada-Nya apa yang dibutuhkan untuk kehidupan
(Konst. PMY no. 53).
Panggilan untuk membiara merupakan anugerah khusus dari rahmat Allah,
yang berakar dalam rahmat pembaptisan. Melalui pembaptisan, Allah telah
mengangkat para suster menjadi anak-anak-Nya dalam Yesus Kristus dan
dikuatkan dalam Roh. Panggilan Allah ini berarti bahwa para suster mengambil
bagian dalam perutusan Kristus; dan sebagai jawaban atas panggilan Allah,
para suster sebagai suster-suster cinta kasih mengabdikan diri pula dalam
Gereja Yesus Kristus (Konst. PMY no. 3)
Panggilan hidup Allah bukan sapaan sesaat. Panggilan Allah mengarahkan
dan mengartikan hidup religius seluruhnya yang perlu dihayati dalam seluruh
aspek kehidupan. Ini berarti perlu melihat Allah dalam segala hal, dalam
pengalaman yang kecil atau pengalaman besar. Sehingga kehadiran Allah
dalam hidup bukan kehadiran yang statis tetapi bersifat dinamis.
Panggilan hidup membiara akan mengubah seseorang secara radikal dan
tidak hanya keadaan-keadaan lahiriahnya, tetapi lubuk hati yang terdalam.
Panggilan hidup membiara akan mengubah seseorang menjadi pribadi yang
lain, yaitu pribadi demi Kerajaan Allah.
Sebagai komitmen dan pemberian diri total kepada Allah dan
rencana-rencana-Nya, maka dalam panggilan hidup membiara terdapat ungkapan
khusus, konstitusi Kongregasi PMY menuliskan bahwa kaul-kaul religius
adalah ungkapan kesediaan dari para suster untuk hidup sebagai perawan yang
membaktikan diri dan setia sepenuhnya kepada Kristus dan Gereja-Nya,
kesetiaan kepada tujuan persekutuan, setia terhadap satu dan yang lain (Konst.
PMY no. 55).
1. Kaul ketaatan
Dalam Dekrit Tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius
(Perfectae Caritatis), kaul ketaatan dipandang sebagai persembahan bakti
kehendak para religius sepenuhnya bagaikan korban diri kepada Allah.
Dengan demikian mereka secara tetap dan terjamin dipersatukan dengan
kehendak penyelamatan Allah (PC art.14:14). Berkenaan dengan teladan
Yesus Kristus yang datang untuk melaksanakan kehendak Bapa, maka
religius pun dengan dorongan dari Roh Kudus, dalam iman mematuhi
pemimpin yang dipandang sebagai wakil Allah. Oleh karenanya, hendaknya
para anggota dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut
kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Adapun para pemimpin, yang akan
memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa yang diserahkan kepada
mereka, hendaknya dalam menunaikan tugas membiarkan diri terus menerus
Kaul ketaatan menurut Konstitusi Kongregasi Suster-suster Cinta
Kasih Putri Maria dan Yosef berarti sikap hidup beriman yang terbuka
dengan penuh perhatian terhadap sabda Allah untuk melaksanakan
kehendak-Nya. Ketaatan untuk para suster PMY adalah suatu ketaatan Injili
seperti yang pernah dikatakan oleh Yesus: “Makanan-Ku adalah
melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Hal ini berarti para suster mesti membiarkan
dirinya terus menerus dibimbing oleh Roh Allah yang berbicara di dalam
hatinya, dan terus menerus siap untuk mendengarkan undangannya.
Roh Allah berbicara di dalam hati para suster dalam Kitab Suci, tradisi
Gereja dan Kongregasi, wewenang, suara hati, sesama, dan situasi di mana
para suster berada. Doa adalah kesempatan yang baik untuk mempelajari
ketaatan karena doa sungguh berhubungan dengan sikap hidup taat. Dalam
kaul ketaatan, para suster mewajibkan diri untuk menaati pemimpin sesuai
dengan konstitusi karena hanya pemimpin yang dapat memberikan perintah
resmi di atas kaul ketaatan (Konst. PMY no.65-66 dan no.69).
2. Kaul kemurnian
Kemurnian ‘demi Kerajaan Surga’ yang diucapkan oleh religius dan
biarawan maupun biarawati, harus dihargai sebagai kurnia rahmat yang
religius lebih berkobar-kobar cinta kasihnya kepada Allah dan semua orang
(PC art. 12:12). Ini berarti para religius wajib menghayati kaul mereka
dengan setia, percaya dan bertumpu pada bantuan Tuhan, tidak
mengandalkan kekuatan mereka sendiri, bermati raga dan mengendalikan
pancaindranya (PC art 12:12-13).
Secara khusus, konstitusi Kongregasi PMY memaknai kaul kemurnian
sebagai ungkapan penyerahan diri dari para suster kepada cinta Allah karena
Dia telah menyentuh para suster dengan api cinta-Nya dan telah
menghidupkan di dalam diri para suster kerinduan untuk sepenuhnya
menjadi milik-Nya (Konst. PMY no. 87). Rahmat ini membawa para suster
dalam hubungan yang murni dengan Yesus Kristus, dan di dalam Dia para
suster dibawa ke arah hubungan dengan ciptaan-Nya, dan terutama dengan
semua orang. Terpenting adalah melihat Tuhan di dalam diri orang miskin,
orang-orang yang kesepian, orang-orang yang putus asa, dan semua orang
yang melibatkan diri untuk perdamaian di antara manusia (Konst. PMY no.
90).
3. Kaul kemiskinan
Dalam konstitusi Kongregasi PMY dituliskan bahwa kaul kemiskinan
merupakan penghayatan pribadi untuk melepaskan hak mempergunakan dan
dari pesona hidup Yesus yang lepas bebas, yang menjiwai hidup-Nya. Yesus
hidup secara sederhana, Dia bergaul dengan yang miskin dan yang kaya, dan
mengetahui kekurangan maupun kesejahteraannya. Dia berbicara mengenai
nilai relatif harta-harta duniawi yang dapat sangat menguasai manusia
sehingga dapat menghalangi para suster untuk menerima kabar Gembira
Allah (Konst. PMY no. 72-73).
Karena itu para suster PMY mesti hidup dalam sikap batin yang lepas
bebas dan puas dengan apa yang ditawarkan kepada para suster dalam
bidang material. Lepas bebas dapat terwujud melalui sikap hidup sederhana
dalam cara hidup kita, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, atau cara
mengisi waktu luang, atau cara berpakaian, atau sikap berbicara (Konst.
PMY no.76-78).
Di dalam semangat kesederhanaan dan cinta pada Allah, maka para
suster mengabdikan diri kepada sesama dengan tetap mengakui
petunjuk-petunjuk pendiri, yaitu mengakui Yesus Kristus sebagai dasar atau inti hidup
membiara. Karena dengan cara ini, para suster akan dapat mewartakan kabar
gembira kepada banyak orang, secara khusus kepada mereka yang cacat
fisik dan mental, orang-orang yang lanjut usia, dan orang-orang yang lemah
Penghayatan ketiga kaul para suster akan mencapai perkembangan dan
kepenuhan dalam hidup bersama atau hidup berkomunitas. Karena dengan
pembaktiannya, para suster tidak hanya menyerahkan diri kepada Allah dan
menjadi anggota kongregasi religius tetapi sekaligus menjadi anggota di dalam
komunitas. Dengan hidup di dalam komunitas yang selalu dipersatukan dalam
Sabda Allah dan Ekaristi, para suster menyambut misi khas bersama untuk
mengubah dunia dengan kerja sama atau pelayanan demi pewartaan karya
penyelamatan Kristus.
Secara khusus para suster PMY sebagai suster-suster cinta kasih, dipanggil
bersama untuk membentuk persekutuan pelayanan demi Kerajaan Allah. Di
dalam saling cinta dan kesetiakawanan sebagai orang beriman yang sedang
berziarah, para suster hendak membangun persekutuan di mana Roh Cinta
Allah diwujudkan sehingga kongregasi PMY menjadi tanda iman, harapan, dan
cinta di dunia ini (Konst. PMY no.11-12)
Membangun hidup bersama di tengah arus zaman ini tidaklah mudah.
Pembangunan hidup bersama menuntut kerendahan hati, keterbukaan, dan
kemauan untuk berjuang terus menerus, karena jika tidak, maka hidup bersama
akan dirongrong dengan pelbagai persoalan. Akibatnya hidup bersama menjadi
lesu, membosankan, mandul, dan kehilangan kekuatannya. Hal ini bila terjadi
D.Proses Pemaknaan Cinta Kasih dalam Hidup Membiara
Panggilan hidup membiara mengikuti pembinaan dan pembentukan dari
Allah yang menuntut kerjasama dan usaha dari pihak manusia. Dari pihak
manusia diperlukan kemauan untuk menjalani askese atau olah panggilan, olah
rohani, olah diri, olah batin, olah rasa, dan olah hidup. Pembinaan dan
pembentukan ini berlangsung selama bertahun-tahun melewati tahap-tahap
pembentukan, yaitu :
1. Tahap postulat sebagai tahap perkenalan
2. Tahap novisiat sebagai tahap pembentukan yang sebenarnya
3. Tahap kaul sementara (yunior)
4. Tahap pembentukan lanjut sesudah kaul kekal
Tahap-tahap pembentukan itu akan menunjukkan secara jelas bagaimana
seorang suster itu menjadi bagian dalam komunitasnya, berkembang ke arah
hidup berdasarkan Injil dan spiritualitas kongregasi. Tahap-tahap pembentukan
hidup membiara akan dijabarkan berikut ini :
1. Tahap Postulat
Tahap postulat adalah tahap perkenalan dengan kongregasi. Calon
diperkenalkan dengan kehidupan religius dan kongregasi mendapat
kesempatan untuk menguji kesungguhannya dalam panggilan. Bentuk
pada akhir masa yang telah ditentukan, calon boleh memasuki masa
novisiat.
2. Tahap Novisiat
Tahap novisiat dianalogikan sebagai tahap percobaan bagi calon suster
maupun bagi kongregasi. Dalam masa ini suster novis menjadi sadar
akan panggilannya untuk hidup dalam kongregasi dan mengalami
hidup berkomunitas berdasarkan Injil dan mulai mencicipi hidup
menurut nasihat-nasihat Injil (Konst. PMY no.101). Mereka juga
diperkenalkan sejarah, spiritualitas, dan karisma kongregasi.
3. Tahap Kaul Sementara (Yunior)
Tahap kaul sementara atau yunior diawali ketika seorang suster
novis yang telah menyelesaikan masa novisiatnya mengucapkan kaul
pertama. Dalam kaul yang dia ucapkan, novis ini menyanggupkan diri
untuk mengikuti nasihat-nasihat Injil menurut konstitusi kongregasi
untuk satu tahun. Masa kaul sementara berlangsung antara enam
sampai sembilan tahun. Dalam tahun-tahun kaul sementara para suster
yunior mendapatkan kesempatan untuk pendewasaan panggilan,
sehingga dia dapat menghayati hidup yang lebih mendalam dalam
kekhususan dan perutusan kongregasi. Di bawah ini peneliti akan
mendeskripsikan suster yunior kongregasi suster cinta kasih Putri
Suster yunior kongregasi suster cinta kasih Putri Maria dan
Yosef adalah suster yang telah mengucapkan kaul pertama dengan
kongregasi dengan kaul yang sifatnya sementara, yang akan
diperbaharui setiap satu tahun sekali hingga tahun ke-5. Para suster
yunior ini tidak diam di satu tempat, tetapi tersebar di pelbagai
komunitas, dengan lingkungan, perutusan, dan orientasi yang berbeda.
Ada yang saat ini studi di akademi, berkarya di sekolah, dan berkarya
di karya pemberdayaan petani. Namun mereka semua harus merasa
terlibat pada suatu misi bersama yaitu mendukung perutusan
kongregasi dan terlibat penuh dalam suka duka kongregasi. Usia
mereka berkisar antara 25–39 tahun. Usia ini termasuk dalam masa
dewasa awal.
Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian pola-pola
kehidupan dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda
diharapkan memainkan peran baru, seperti peran sebagai seorang guru,
orang tua, atau peran sebagai suami/istri. Tugas-tugas perkembangan
masa dewasa awal dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat dan
mencakup mendapatkan suatu pekerjaan, memilih teman hidup, belajar
hidup bersama, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan
bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok (Hurlock,
Tujuan masa yuniorat pada dasarnya agar para suster yunior
mampu mengintegrasikan penghayatan spiritualitas kongregasi dan
ketiga kaul dalam hidup berkomunitas, doa, dan karya; sehingga
seluruh hidupnya disemangati dan diarahkan kepada Kristus. Mereka
mengalami perkembangan dalam kesadarannya sebagai religius, mulai
terbentuk pribadinya, dan menjadi mantap dalam kesaksian hidup dan
karyanya.
Selama masa novisiat mereka menerima prinsip-prinsip hidup
religius sebagai pendasaran hidup membiara; dilatih dalam doa, hidup
bersama, kaul, dan karya. Semasa masa yuniorat, prinsip-prinsip yang
telah diperolehnya itu mulai diterapkan pada hidup, dan dilaksanakan
dalam karya. Prinsip-prinsip itu mulai menjiwai hidup, bergerak
menjadi semangat, dan teraktualisasi dalam pertumbuhan pribadinya.
Doa tidak lagi hanya dinikmati dalam latihan pribadi tetapi harus
menjadi daya pendorong dalam seluruh hidupnya.
Tahun-tahun masa yuniorat memberikan kesempatan untuk
pendewasaan panggilan, sehingga ia dapat menghayati hidup yang
lebih mendalam, dalam kekhususan dan perutusan kongregasi.
Penyerahan yang lebih kuat kepada Kristus dialami dalam tahun-tahun
ini (Konst.PMY no. 110). Dengan uraian diatas maka bimbingan dan
Yunior tahun pertama harus dihantar dan didampingi melebihi
yunior tahun kedua, ketiga atau keempat. Hal ini dikarenakan mereka
baru saja keluar dari masa novisiat. Mereka masuk dalam hidup
komunitas dengan realita kerja yang rutin, menghadapi watak-watak
atau pribadi suster-suster yang bersamanya, mengatur sendiri jam
doanya. Yunior tahun pertama adalah masa internalisasi, masa untuk
memasukkan atau mencangkokkan spiritualitas kongregasi dalam
dirinya, pun dia mencangkokkan dirinya pada spiritualitas kongregasi.
Spiritualitas tidak lagi dibatasi sebagai kenikmatan rohani, tetapi harus
diwujudkan dalam membangun hubungan antar pribadi, dan bergerak
keluar menjadi kesaksian hidup dan karya.
Pada tahun-tahun setelah yunior tahun pertama, yunior harus
mencapai kedewasaan religius dan spiritual. Dewasa disini
mengandung arti bahwa yunior mencapai kesatuan dan keutuhan
pribadinya, keyakinan panggilan dan hidupnya semakin mantap
sehingga rasa senang atau tidak senang bukan lagi faktor penentu
dalam tindakannya. Yunior pun semakin tumbuh dan berkembang
menjadi manusia yang utuh, yang dapat berelasi dengan Tuhan dan
sesama secara harmonis agar dapat mewujudnyatakan misi Allah yang
F.Kesimpulan
Setelah mencermati berbagai uraian di atas, peneliti menemukan beberapa
hal pokok yang menjadi alat bantu untuk menggali makna spiritualitas dalam diri
para suster yunior PMY.
Pertama, berdasarkan pemikiran Frankl, penulis menemukan bahwa
makna adalah pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai. Kedua,
berdasarkan pemikiran tokoh-tokoh psikologi humanistik, St.Yohanes Rasul dan
bapa pendiri serta konstitusi, peneliti menemukan sebuah titik temu pemahaman
cinta kasih, yakni cinta kasih adalah kasih sayang yang hangat yang berasal dari
cinta Allah yang dapat memanusiakan manusia. Cinta kasih bergerak keluar, dan
mencari pemenuhan demi kesejahteraan orang-orang yang membutuhkan cinta
kasih yang terungkap dalam kegiatan-kegiatan rohani dan terwujud dalam
pelayanan dan kesaksian hidup. Ketiga, penulis menggunakan kerangka berpikir
Frankl yaitu creative values, experiential values, dan attitudinal values dengan
pengayakan dari pemikiran konstitusi untuk dijadikan kerangka pokok penggalian
data dari subjek penelitian. Peneliti melihat ketiga nilai Frankl memiliki titik
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dimuat beberapa hal yang berkaitan dengan metode
penelitian, antara lain pendekatan penelitian, tehnik pengumpulan data, instrumen
penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, sumber data, dan tehnik analisis
data.
A. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan
strategi studi kasus. Studi kasus adalah suatu metode ideal ketika peneliti
berhadapan dengan situasi yang membutuhkan pemahaman holistik, yang hanya
dapat dicapai lewat investigasi mendalam (Yin, 2009). Studi kasus adalah suatu
inkuiri empiris yang bercirikan: menyelidiki fenomena di dalam konteks
kehidupan nyata bila batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan
tegas dan di mana multisumber bukti dimanfaatkan (Yin, 2009:18). Metode studi
kasus terfokus pada keinginan untuk mengetahui keragaman (diversity) dan
kekhususan (particularity) obyek studi (Bambang Mudjiyanto, tidak ada tahun).
B. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan menggunakan metode observasi,
dokumentasi dan wawancara mendalam. Burhan Bungin (2009:108) menjelaskan
pewawancara dengan informan, dengan atau menggunakan pedoman wawancara.
Yin (2009) menuliskan bahwa yang paling penting dalam wawancara studi
kasus adalah mewawancarai