• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI KABUPATEN LOMBOK BARAT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan PUTRI RAHMAH DIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI KABUPATEN LOMBOK BARAT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan PUTRI RAHMAH DIANTI"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN

DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI KABUPATEN LOMBOK BARAT

SKRIPSI

PUTRI RAHMAH DIANTI NIM. C1L 013 072

PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS MATARAM

(2)

EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BERDASARKAN ASPEK TATA KELOLA KELEMBAGAAN

DAN TATA KELOLA USAHA DI HKm SENGGIGI KABUPATEN LOMBOK BARAT

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan

PUTRI RAHMAH DIANTI NIM. C1L 013 072

PROGRAM STUDI KEHUTANAN UNIVERSITAS MATARAM

(3)

HALAMAN PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Putri Rahmah Dianti

NIM : C1L 013 072

Judul Skripsi : Evaluasi Pengelolaan Hutan

Kemasyarakatan Berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini sepenuhnya hasil karya sendiri dan saya tidak melakukan plagiat atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkannya dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini merupakan dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di perguruan tinggi ini. Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak manapun.

Mataram, Juli 2017 Yang Membuat Pernyataan

(4)
(5)

HALAMAN PERUNTUKKAN

(6)

RINGKASAN

DIANTI, Program Studi Kehutanan Universitas Mataram, 2017. Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat dibawah bimbingan Dr. Ir. Markum, M.Sc. dan Indriyatno, S.Hut., MP.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Keberadaan HKm diharapakan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengelolaan HKm berdasarkan aspek tata kelola kelembagaan dan usaha serta faktor pendukung dan penghambat pengelolaan HKm.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2017 di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat. Responden berjumlah 23 orang yang diperoleh menggunakan metode kuota sampling dan purposive sampling, dan dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Evaluasi pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) Senggigi berdasarkan aspek tata kelola kelembagaan dan tata kelola usaha memperoleh nilai sejumlah 392,39 dan masuk ke dalam kriteria baik. (2) Faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi yang paling mendominasi antara lain adanya IUPHKm dan sebagai sumber pendapatan utama. Sedangkan faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi yang paling mendominasi antara lain tidak adanya dukungan pemerintah terkait pemasaran HHBK serta adanya gangguan satwa liar. Kata kunci: Evaluasi, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Tata Kelola

(7)

ABSTRACT

Dianti. Forestry Studies Mataram University, 2017. Evaluation of Community Forestry Management based on Aspects of Institutional and Business in Senggigi, West Lombok Regency under the guidance of Dr. Ir. Markum., M.Sc. and Indriyatno., S.Hut., MP.

Community Forestry (CF) is a state-owned forest with a main purpose of empowering the local people. The existence of CF is expected to improve the welfare of the community, especially the people who live around the forest area. This study aims to determine the performance of CF management based on the aspects of institutional and business governance as well as supporting and inhibiting factors of CF management. The study was conducted in March until April 2017 in Senggigi, West Lombok regency. Respondents amounting to 23 people were obtained using the method of sampling quota and purposive sampling, and analyzed by descriptive method. The results showed that (1) The evaluation of community forest management of Senggigi based on the aspects of institutional governance and business governance received a score of 392.39 which falls within the Good criteria. (2)Dominant supporting factors of Senggigi management include: the existence of Business Forest Management Permit and main sources of income. While the dominant inhibiting factors of Senggigi management include absence of government support relating to the socialisation of Non-Timber Forest Products, as well as wildlife disruption.

(8)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang telah

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Hutan

Kemasyarakatan berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan dan Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat”. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan dan dukungan baik moril maupun materiil serta saran-saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Markum M.Sc dan Bapak Indriyatno S.Hut., M.P. selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Pembimbing Kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dari persiapan dan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.

2. Ibu Febriana Tri Wulandari S.Hut., MP selaku Dosen Penguji. 3. Ketua Program Studi Kehutanan beserta staf yang telah memberikan

bantuan guna kelancaran penulis selama menempuh perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan mama tercinta, saudara dan keponakan tersayang, serta dae dan yaya terbaik, yang telah banyak memberikan kasih sayang,

dukungan dan do’anya selama ini. Semoga segala bantuan mereka

mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Subhaanahu wa

Ta’aala.

5. Rekan-rekan Forester 2013 serta semua pihak yang telah memberikan dukungan serta semangat sejak awal perkuliahan hingga akhir penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan, akan tetapi penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi peneliti serta pembaca yang berminat mengkaji masalah yang sama.

Mataram, Juli 2017

(9)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERNYATAAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERUNTUKKAN iv

RINGKASAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Manfaat Penelitian 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) 7

2.2 Hutan Kemasyarakatan (HKm) 8

2.3 Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan 10

2.4 Kelembagaan 12

2.5 Evaluasi 12

3. METODOLOGI PENELITIAN 14

3.1 Metode Penelitian 14

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 14

3.3 Bahan dan Alat 14

3.4 Sasaran Penelitian 14

3.5 Jenis dan Sumber Data 14

3.6 Variabel Penelitian 15

3.7 Teknik Pengumpulan Data 15

3.8 Penentuan Responden 15

3.9 Analisis Data 16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 18

4.2 Gambaran Umum Responden 20

4.3 Hasil Evaluasi 22

(10)

viii

5. KESIMPULAN DAN SARAN 41

5.1 Kesimpulan 41

4.2 Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 42

(11)

ix DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari 16

2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi 17

3. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi 18

4. Jenis Tanah di Lahan HKm Senggigi 19

5. Kelas Kelerengan HKm Senggigi 19

6. Hasil Analisa Data Variabel Perencanaan 23 7. Anggota Kelompok HKm GAPOKTAN Mertesari 25 8. Hasil Analisa Data variabel Keberhasilan

Kelembagaan

26 9. Hasil Analisa Data Variabel Kewajiban Lain 28 10. Hasil Analisa Data Variabel Pemberdayaan

Masyarakat

30 11. Hasil analisa data aspek tata kelola usaha 32 12. Penilaian kinerja pengelolaan HKm Senggigi 33 13. Faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi 34 14. Faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi 37

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Umur Responden 20

2. Jenis Kelamin Responden 21

3. Pekerjaan Responden 21

(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Penilaian Skoring Per Variabel Penelitian 45

2 Skor Tabulasi Variabel Perencanaan 51

3 Skor Tabulasi Variabel Keberhasilan Kelembagaan 52 4 Skor Tabulasi Variabel Kewajiban Lain 54 5 Skor Tabulasi Variabel Pemberdayaan Masyarakat 55 6 Skor Tabulasi Variabel Tata Kelola Usaha 57 7 Nama Responden dan Status Keanggotaan 59

8 Peta Blok Kerja IUPHKm Senggigi 60

9 Dokumentasi Penelitian 61

10. Analisis Data Penilaian Kriteria dan Indikator Evaluasi Pengelolaan HKm Senggigi Berdasarkan Aspek Tata Kelola Kelembagaan Dan Usaha

(14)

1

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi masalah krusial yang dihadapi oleh sektor kehutanan saat ini. Laju deforestai dari tahun 2013 hingga 2014 di Indonesia ialah 0,4 juta ha/tahun (KEMENLHK, 2015). Banyak faktor yang memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, konflik tenurial yang sering berujung pada perebutan lahan, serta tidak seimbangnya permintaan dan persediaan kayu yang berpengaruh terhadap perkembangan industri perkayuan nasional (Hakim et al. 2010). Melalui hal ini dapat kita ketahui bahwa sektor kehutanan Indonesia memerlukan sebuah reformasi dalam pembangunan kehutanan Indonesia agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat teratasi.

Perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan di Indonesia pada kenyataanya sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya peraturan serta kebijakan yang dikeluarkan setiap tahun terkait pembangunan sektor kehutanan Indonesia. Melihat kondisi sektor kehutanan Indonesia yang semakin memprihatinkan, pemerintah Indonesia mengambil langkah baru dalam sistem pembangunan kehutanan Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki sektor kehutanan Indonesia. Pemerintah menyadari peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sungguh besar sehingga pemerintah memutuskan memilih perhutanan sosial sebagai salah satu alternatif untuk menghadapi persoalan yang ada disektor kehutanan Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (2010) bahwa perhutanan sosial merupakan salah satu program yang dimiliki oleh Kementerian kehutanan dalam rangka kegiatan pemberdayaan masyarakat yang memiliki tujuan untuk mengubah prinsip pembangunan kehutanan Indonesia dari timber based forest management menjadi community based forest management.

(15)

2

mengenai Pasal 8 terkait peran UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Pehutanan Sosial dalam pengajuan HKm (Rahmina et al. 2012) dan revisi terakhir pada Permen LHK No. 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang perhutanan sosial. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara pengelola hutan dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PP No.6/2007 menyebutkan bentuk dari PHBM terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

FKKM (2015) dalam Sudarsono (2016) menyatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mentargetkan 12,7 juta ha perhutanan sosial, meliputi HKm, HD, HTR, dan HD pada 2014-2019. Target luasan perhutanan sosial itu belum termasuk Kemitraan Kehutanan. Target minimal perhutanan sosial adalah seluas 12,7 juta ha di areal hutan lindung, produksi terbatas dan produksi tetap. Hingga 2015, luas Penetapan Area Kerja (PAK) dan Ijin HKm, HD dan HTR mencapai 1,382,956.09 ha. Sementara area kerja yang sudah mendapat ijin usaha pemanfaatan baru seluas 308,433 ha. Dengan demikian luas PAK masih tersisa 840.287,09 ha.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat serta ijin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat

(16)

3

dari luas tersebut, sebesar 34,59% sudah ditindaklanjuti dengan penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) oleh Bupati. Keberadaan IUPHKm di NTB bukan hanya atas kerjasama pemerintah dengan masyrakat semata, namun HKm secara tidak langsung menjadi tempat kolabarasi berbagai pihak untuk membangun sinergi pengelolaan HKm di NTB. Selain aktif mengusulkan PAK HKm, propinsi Nusa Tenggara Barat juga memberikan dukungan inisiasi HKm melalui penerbitan kebijakan terkait Hkm guna membangun kesepahaman dan menyatukan persepsi dan komitmen para pihak dalam penyelenggaraan HKm yang ada di propinsi Nusa Tenggara Barat, hingga tahun 2014 total 23 kebijakan daerah propinsi Nusa Tenggara Barat yang dikeluarkan terkait pengelolaan HKm.

Pasang surut dalam implementasi HKm di propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Nandini (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa implentasi program HKm pada hutan lindung dan hutan produksi di pulau Lombok memang sudah memberikan dampak bagi masyarakat walaupun kontribusi yang diberikan terhadap pendapatan masyarakat oleh keberadaan HKm belum dirasa optimal. Pendapat yang berbeda diberikan oleh Markum et al. (2015), program HKm sesungguhnya telah memberikan kontribusi dalam mengurangi jumlah rumah tangga miskin di NTB. Diperkirakan, dari seluruh jumlah penduduk miskin yang berhasil dientaskan selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 (dari 26 % turun menjadi 17,24 %), maka minimal 8,5% dari total penurunan tersebut, atau sebanyak 29.672 penduduk miskin telah terentaskan karena kontribusi dari program HKm.

(17)

4

percontohan bagi Indonesia lahir di kabupaten ini, seperti praktek pengelolaan jasa lingkungan, Praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PHBM) maupun inisiasi pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Ichsan et al. 2014).

Hutan Kemasyarakatan (HKm) Senggigi merupakan salah satu bentuk praktik perhutanan sosial dalam pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang telah memiliki IUPHHKm seluas 226 Ha sejak tahun 2011 berdasarkan keputusan Bupati Lombok Barat No. 789/45/DIHUT/2011. Keberadaan HKm Senggigi diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. Secara tidak langsung HKm Senggigi telah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat disekitar kawasan hutan.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan aspek usaha. Aspek kelembagaan dan aspek usaha merupakan hal yang memegang peranan penting dalam pengelolaan HKm. Hakim et al . (2010) menyebutkan Aspek kelembagaan menjadi penting dalam rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan sedangkan Markum et al. (2015) menyatakan Kelembagaan atau kelompok bagi masyarakat pengelola HKm di Provinsi NTB adalah sebuah perekat komunikasi dan media silaturrahmi. Hal ini terjadi karena adanya kolaborasi yang baik antar para pihak yang dimulai sejak adanya inisiasi pembentukan HKm.

Aspek usaha memiliki peranan penting dalam tujuan pengelolaan HKm yang ingin mensejahterahkan masyarakat disekitar kawasan hutan yang ikut mengelola kawasan secara langsung mapun tidak langsung. Melalui kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat disekitar kawasan hutan, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang berada disekitar kawasan hutan akan memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat. Keberadaan HKm diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat disekitar kawasan hutan sehingga masyarakat sejahtera dan hutan dapat terus lestari. Nandini (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aspek ekonomi (usaha) masih berada dalam kategori sedang dalam pengelolaan HKm Darussadiqien Lombok hal ini karena HKm belum memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan masyarakat.

(18)

5

memberdayakan masyarakat setempat yang izin pengelolaannya diberikan selama kurun waktu 35 tahun. Dengan kurun waktu tersebut pengelola HKm wajib melakukan monitoring pengelolaan selama satu tahun sekali serta melakukan evaluasi secara berkala selama lima tahun sekali. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilakukan guna memperoleh data dan hasil sejauh mana kemajuan dari pengelolaan HKm berdasarkan IUPHHKm yang telah diterbitkan. Sehingga hasil dari monitoring dan evaluasi tersebut diharapkan mampu membantu pengelola dalam menetukan arah pengelolaan yang lebih baik dari sebelumnya serta dapat menentukan apakah IUPHHKm selanjutnya dapat diperpanjang atau tidak. Sudarsono (2016) menyatakan evaluasi pengelolaan HKm dapat dilakukan oleh pihak pemberi izin setiap satu tahun sekali.

Dalam prosesnya, pengelolaan HKm senggigi tentu saja memiliki hambatan ataupun permasalahan yang dihadapi selama proses pengelolaan HKm Senggigi berlangsung. Oleh karena itu, selain memperoleh hasil evaluasi dari aspek kelembagaan dan aspek usaha, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan saran atau masukan terkait permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan HKm Sengigi. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul

“Evaluasi Pengelolaan HKm berdasarkan Aspek Kelembagaan dan

Tata Kelola Usaha di HKm Senggigi Kabupaten Lombok Barat.” 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat diperoleh rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan usaha?

2. Apa sajakah yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kinerja pengelolaan HKm Senggigi dari aspek kelembagaan dan usaha.

2. Mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi.

(19)

6

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi informasi baru mengenai pengelolaan HKm Sengigi sehingga dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam proses pengambilan kebijakan terkait pengelolaan HKM Senggigi.

2. Bagi pengelola HKM, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang sesuai untuk mengelola HKM Sengigi menjadi lebih baik lagi kedepannya.

(20)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk program perhutanan sosial yang telah berkembang dalam konteks pengelolaan hutan Indonesia serta telah mengikuti proses dan dinamika kehidupan masyarakat dan kelembagaan pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al. 2010). PHBM adalah sistem pengelolaan hutan yang memberikan hak, kewajiban dan tanggungjawab masyarakat setempat untuk mengelola hutan. PHBM merupakan wujud keberpihakan negara agar hasil dari pembangunan kehutanan menetes kepada masyarakat paling bawah (Sudarsono, 2016).

Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat antara lain (Rahmina et al. 2012):

1. Mempunyai akses atau hak secara sah dalam pemanfaatan dan pemungutan hutan selama masa izin berlaku dan hak ini dapat diperpanjang,

2. Usaha pengelolaan hutan termasuk hasil hutan non kayu dapat bermanfaat untuk menambah sumber pendapatan desa dan keluarga,

3. Bila hutan tersebut dikelola dengan pola pengelolaan yang lestari, produk hasil hutan yang diproduksi dimungkinkan untuk memperoleh sertifikasi. Harga jual produk yang sudah disertifikasi ini biasanya akan lebih tinggi daripada produk yang tidak disertifikasi.

4. Peningkatan kapasitas organisasi masyarakat baik kelompok dan perseorangan dalam bentuk kegiatan penyuluhan, sosialisasi, pelatihan, pertemuan-pertemuan kelompok dan berbagi pengalaman dan pengetahuan antar sesama pelaku PHBM, Penyuluh Kehutanan, dan pendamping.

(21)

8

6. Pendanaan yang dikelola oleh masyarakat/kelompok/ koperasi dan dialokasikan untuk pelaksanaan pengembangan Hutan Desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat;

7. Melalui peranserta dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, masyarakat telah berkontribusi dalam program pelestarian hutan di Indonesia.

2.2. Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 Hutan Kemasyarakatan merupakan hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Rahmina et al. (2012) juga menyebutkan Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat; serta izin diberikan kepada

“Kelompok Masyarakat Setempat”. Areal kerja Hutan

Kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari yang memegang IUPHKm pada hutan lindung maupun IUPHHK HKm pada hutan produksi. Dalam PERMENLHK No. 83 Tahun 2016 dikatakan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatran yang selanjutnya disingkat IUPHHKm merupakan izin usaha yang diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi.

(22)

9

meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui penganekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm, Hakim et al. (2010).

Dalam pengelolaan HKm, kelompok tani diharuskan menanam tanaman dengan sistem MPTS (Multi Purpose Trees Species). Manfaat penerapan sistem tanam yang multi-guna seperti ini diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm. Cahyaningsih., Pasya., Warsito., (2006) telah membagi manfaat HKm kedalam tiga aspek diantaranya manfaat HKm bagi masyarakat, Manfaat HKm bagi pemerintah serta manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan Restorasi Habitat.

Manfaat HKm untuk masyarakat antara lain (1) Pemberian izin kelola HKm memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola kawasan hutan. Masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka, (2) Menjadi sumber mata pencarian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani HKm. (3) Kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber-sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumahtangga dan kebutuhan pertanian lainnya. (4) Terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak, yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan. (5) Adanya peningkatan pendapatan non tunai dalam bentuk pangan dan papan.

(23)

10

penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut, tercantum dan merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok HKm. (5) Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok).

Manfaat HKm terhadap fungsi Hutan dan restorasi habitat antara lain (1) Terbentuknya keanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang, dan tinggi). (2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan. (3) Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang ijin HKm yang diatur melalui aturan main kelompok. (4) Kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya, beserta habitatnya.

Dalam proses pelaksanaan pengelolalaan HKm, tantangan merupakan hal yang sudah tidak biasa lagi bagi para pengelola. Markum et al. (2015) telah memaparkan beberapa tantangan pengelolaan HKm kedepannya meliputi: (1) Kemajuan dalam Pemberian ijin Penetapan Areal HKm (land tenure based), belum diimbangi dengan upaya Pembinaan Tata Kelola Lahan secara berkelanjutan (land use management based). (2) Kasus Illegal logging dan perambahan hutan di lokasi HKm dan sekitar HKm masih banyak. (3) pengemanan dan penegakan hukum yang belum efektif. (4) Tata kelola HKm sudah berhasil secara ekonomi namun belum berhasil secara konservasi (5) Meningkatnya pencapaian produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) belum didukung oleh pengembangan bisnis yang terintegrasi. (6) Kebijakan tentang kemitraan kehutanan dan UU tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan situasi ketidak pastian terhadap proses perizinan dan pembinaan HKm.

2.3. Masyarakat Desa Hutan dan Kelompok Tani Hutan

(24)

11

Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar hutan adalah kelompok-kelompok orang warga negara yang bermukim didalam maupun disekitar hutan dan memiliki ciri-ciri sebagai suatu komunitas, baik oleh kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterkaitan tempat tinggal bersama, maupun faktor komunitas lainnya. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Negara Republik Indonesia yang tinggal disekitar kawasan hutan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau yang bermukim di dalam kawasan hutan Negara dibuktikan dengan memiliki komunitas sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan bergantung pada hutan serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan (PERMENLHK No. 83 tahun 2016).

Menurut Permenhut No. 57 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Hutan, Kelompok Tani Hutan merupakan kumpulan petani atau perorangan warga negara Indonesia berserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan yang meliputi usaha hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, baik di hulu maupun di hilir.

Menurut Swadaya (1988) dalam Suratiyaningrum (2013) sebagai perkumpulan orang disekitar hutan, Kelompok tani hutan mempunyai tujuan, sebagai berikut:

1. Membina dan mengembangkan usaha anggota di bidang : proses produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil usaha, 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota,

3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perum Perhutani,

4. Memberikan pelayanan/menyalurkan kepada anggota yang menyangkut kebutuhan,

5. Usaha produktif, misalnya dalam hal usaha tani : pupuk, insektisida, dan alat-alat pertanian,

(25)

12 2.4. Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu perangkat peraturan dan organisasi yang membuat serta mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut dalam suatu hubungan yang teratur diantara orang-orang yang menetukan hak-haknya mengenai suatu sistem pengorganisasian dan pengawasan terhadap pemakaian sumberdaya. Sistem ini memiliki batas-batas hukum, hak pemilikan dan aturan perwakilan sehingga kelembagaan dapat memberikan peluang yang dapat dipilih oleh masyrakat (Departemen Kehutanan, 1992). Sedangkan definisi kelembagaan menurut Djogo et al. (2003) adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama.

Dalam rangka mewujudkan tata kelola HKm yang baik harus ditunjang oleh adanya kolaborasi yang baik antara kelembagaan yang ada, khususnya antara pemerintah, pemerintah daerah, LSM, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat. Kolaborasi diperlukan dalam rangka mendukung penguatan peran kelembagaan pada tingkat masyarakat atau kelompok dalam mengelola arus informasi untuk anggotanya agar lebih dinamis (Markum et al. 2015).

Cahyaningsih et al. (2006) menyebutkan rencana kelembagaan dalam Hutan Kemasyarakatan meliputi hal-hal antara lain : (1) Adanya jadwal pertemuan reguler kelompok. (2) Kegiatan pendataan/pengkayaan data kelompok dan ada proses yang diperbaharui. (3) Program monitoring dan evaluasi berkala yang bertujuan memantau terlaksananya rencana kerja berdasarkan yang telah disepakati bersama. (4) Rencana kegiatan pengembangan usaha ekonomi produktif.

2.5. Evaluasi

(26)

13

hambatan pengelolaan HKm dari rencana kerja yang telah dibuat dan sebagai media belajar bersama (Cahyaningsih et al. 2006). Awang et al. (2008) juga menjelaskan Kegiatan penilaian (evaluasi) dimaksudkan untuk menganalisis sampai seberapa jauh kegiatan fisik dan non fisik dalam pengelolaan lahan HKm, pada jangka pendek, menengah, panjang apakah telah sesuai dengan kesepakatan bersama antara para pihak. Apabila ada perbedaan dan tidak tercapai target-target pekerjaan yang seharusnya dicapai, maka kegiatan evaluasi harus mendapatkan penyebabnya mengapa kegiatan tidak sesuai atau sesuai dengan perencanaan dan bagaimana solusi selanjutnya.

Menurut Tjoetra (2008) dalam Sudarsono (2016), manfaat Monev adalah:

a. mengenali sejak dini dan menemukan masalah-masalah penting agar tidak semakin meluas dan menimbulkan krisis baik dalam organisasi, anggota pengelola hutan maupun lingkungan. b. menilai dan menemukan kebutuhan-kebutuhan baru untuk

memperbaiki program atau kegiatan-kegiatan berikutnya. c. melacak perkembangan, kemajuan pelaksanaan

proyek/program dan pengelolaan organisasi sesuai dengan tujuan/strategis/visi/misi organisasi.

d. membantu organisasi secara berkala dalam melakukan penilaian diri terhadap hubungan antara visi, misi dan posisi strategis organisasi.

(27)

14

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penelitian yang berfungsi untuk mendeskripsi atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti, melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2014). 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan HKm Senggigi kabupaten Lombok Barat. Lokasi ini sengaja dipilih sebagai lokasi penelitian karena HKm ini salah satu HKm yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebelum menjadi HKm, kawasan Hutan Senggigi merupakan kawasan Hutan Lindung. Untuk mempermudah masyarakat dalam mengelola hutan, maka pada tahun 2011 diterbitkanlah IUPHKm. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti merasa lokasi HKm Senggigi sudah relevan dengan tujuan penelitian untuk melakukan evaluasi HKm Senggigi berdasarkan aspek kelembagaan dan aspek usaha.

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan dari bulan Maret sampai bulan April tahun 2017.

3.3. Bahan dan Alat

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain adalah profil HKm Senggigi, data iklim, data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan kuisioner. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah ATK, talley sheet, kamera, dan taperecorder.

3.4. Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini antara lain pengurus dan anggota kelompok tani HKm Senggigi yang aktif menggarap lahan HKm Senggigi yang terikat dibawah Gapoktan Merta Sari dan KPHL Rinjani Barat.

3.5. Jenis dan Sumber Data 3.5.1. Jenis Data

(28)

15 3.5.2. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini ialah keterangan responden dari hasil wawancara dan total skoring dari Instrument Monev. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini ialah dokumen-dokumen terkait pengelolaan HKm Senggigi.

3.6. Variabel Penelitian

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah:

a. Tata kelola kelembagaan, yang terdi dari sub-sub variabel diantaranya:

- Perencanaan - Kelembagaan - Kewajiban lain, dan

- Pemberdayaan masyarakat.

b. Tata kelola usaha HKm Senggigi.

c. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Tata Kelola Kelembagaan dan Usaha HKm Senggigi

3.7. Teknik Pengumpulan data

a. Observasi yaitu pengumpulan data melalui kunjungan dan penilaian langsung kelapangan terhadap kondisi biofisik kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kondisi tata kelola kawasan lahan (Sudarsono, 2016).

b. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara

c. Pemeriksaan Dokumen

Pemeriksaan dokumen dilakukan dengan memeriksa ketersediaan dan kelengkapan isi dokumen RU dan RKT (Sudarsono, 2016).

3.8. Penentuan Responden

(29)

16

harus memenuhi kriteria diantaranya responden menjadi pengurus dalam Gapoktan Mertesari dan merupakan anggota aktif (rutin mengikuti pertemuan kelompok, aktif menggarap lahan yang ada di kawasan). Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiono, 2014). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 509 orang yang diperoleh dari total keseluruhan anggota GAPOKTAN Mertesari. Pembagian anggita kelompok GAPOKTAN Mertesari dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari

No. Nama Kelompok AnggotaJumlah

1. Angen 44

Sumber: Rencana Umum HKm Senggigi, 2011.

Pemakaian sampling kuota digunakan untuk menentukan jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini. Oleh karena itu, maka Dri jumlah populasi 509 orang dipilih pengurus inti GAPOKTAN Mertesari yang berjumlah 3 orang dan perwakilan pengurus dari masing-masing sub kelompok yang berjumlah 10 orang yang berstatus sebagai pengurus kelompok. Selanjutnya dari pengurus sub kelompok tersebut diperoleh informasi anggota yang dianggap aktif sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya sehingga jumlah anggota yang akan diwawancarai adalah sejumlah 10 orang anggota aktif. Dari pemaparan tersebut dapat diketahui jumlah responden keseluruhan dalam penelitian ialah sebanyak 23 orang.

3.9. Analisis Data

(30)

17

terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis untuk mendapatkan ukuran evaluasi yang didasarkan pada sistem scoring (lampiran 1), yaitu dilaksanakan pada bobot masing-masing aspek secara berimbang sesuai jumlah pertanyaan dalam kuesioner.

Hasil penilaian skoring dari 5 sub variabel selanjutnya dapat dilakukan penilaian umum evaluasi HKm Senggigi berdasarkan kriteria yang diadaptasi dari panduan Monev Sudarsono (2016) sehingga menghasilkan kategori nilai sebagai berikut:

Tabel 3.2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi

Sumber: Sudarsono, 2016.

No. Kriteria Kisaran

Nilai

Kategori Nilai

Sangat

Baik Baik

Cukup Baik

Kurang Baik

Tidak Baik

1. Perencanaan 0-150 121-150 91-120 61-90 31-60 0-30

2. Tata Kelola Usaha

0-200 161-200 121-160 81-120 41-80 0-40

3. Kelembagaan 0-175 141-175 106-140 71-106 36-70 0-35

4. Kewajiaban Lain

0-100 81-100 61-80 41-60 21-40 0-20

5. Pemberdayaa

n Masyarakat

0-100 81-100 61-80 41-160 21-40 0-20

(31)

18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Desa Senggigi

Berdasarkan administratif kewilayahan, Desa Senggigi berada dalam wilayah kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan RTRW Propinsi wilayah Senggigi merupakan kawasan strategis nasional. Desa Senggigi adalah desa dengan tipologi desa ekowisata yang berada di pesisir pantai. Desa Senggigi berbatasan langsung dengan Desa Malaka sebelah utara, Desa Batu Layar sebelah selatan, Selat Lombok sebelah barat, dan Desa Bengkaung sebelah timur.

4.1.2. Letak dan Luas Kawasan Hutan Senggigi

Luas kawasan hutan di wilayah Desa Senggigi mencapai 871,7 ha terdiri dari hutan lindung seluas 475,60 ha dan hutan konservasi seluas 396,10 ha. Secara umum, peruntukkan lahan di Desa Senggigi disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 4.1. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi kecamatan Batu Layar

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

2. Permukiman 405,20

3. Perkebunan 383,030

4. Fasilitas Umum 0,5203

5. Hutan

- Hutan Lindung - Hutan Konservasu

475,60 396,10

6. Pekarangan 37,28

9. Kawasan Wisata 354,3

(32)

19

4.1.3. Letak dan Luas Kawasan Hutan Kemasyarakatan Senggigi Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Senggigi merupakan kawasan hutan yang memiliki luasan seluas 226 ha dengan fungsi lindung yang terletak pada Register Tanah Kehutanan (RTK) 1 Rinjani yang berbatasan langsung dengan Pusuk dan TWA Kerandangan di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman penduduk, sebelah barat berbatasan dengan pemukiman penduduk dan sebeah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk dan hutan Batu Bolong.

4.1.4. Jenis Tanah HKm Senggigi

Secara umum, tanah di wilayah DAS Dodokan Sub DAS Meninting sebagian besar bahan maupun sifat-sifatnya dipengaruhi oleh aktifitas Gunung Rinjani karena berdasarkan kawasan hutan masuk dalam gugusan RTK 1 Rinjani.

Tabel 4.2. Jenis Tanah di Lahan HKm Senggigi

No. Jenis Tanah Luas (Ha) %

1 Litosol 179,06 79,23

2 Mediteran Coklat 46,94 20,77

Sumber: Rencana Umum HKm Senggigi, 2011 4.1.5. Topografi HKm Senggigi

Kondisi topografi HKm Senggigi secara umum memiliki topografi landai sampai berbukit. Keadaan topografi ini lebih dipengaruhi oleh pengaruh letusan Gunung Rinjani.

Tabel 4.3. Kelas Kelerengan HKm Senggigi

No. Kelas Kelerengan (%) Luas (Ha) Presentase (%)

1. 8-15 91 72,22

2. 15-25 20 15,87

3. 25-45 15 11,90

Jumlah 226 100

(33)

20 4.2. Gambaran Umum Responden

Gambaran umum responden merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Gambaran umum responden dalam penelitian ini antara lain meliputi umur responden, jenis kelamin dan pekerjaan. Informasi dari responden sangat penting diperlukan guna memperolah hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi.

4.2.1. Umur Responden

Gambaran umum responden dapat dilihat pada gambar yang terdapat dibawah ini:

Gambar 4.1. Umur Responden

Pada gambar 4.1 dapat diketahui presentase paling besar dalam sebaran umur responden ini ialah pada kelas umur antara 41-60 tahun dengan tingkat presentase sebesar 65,22%. Umur antara 21 tahun hingga umur 60 tahun merupakan usia produktif manusia dalam bekerja, selain itu antara umur tersebut manusia secara umum sudah memiliki pasangan (suami/istri) hingga anak sehingga mempunyai rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarga.

4.2.2. Jenis Kelamin Responden

(34)

21

Petani Petani + Wiraswasta Petani + Perangkat Desa Gambar 4.2. Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan gambar 4.2 dapat terlihat bahwa jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki (21 orang) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin perempuan (2 orang). Perempuan biasanya melakukan kegiatan kecil didalam hutan seperti merawat tanaman ataupun membawa beberpa hasil hutan untuk dijual ke pengumpul atau pasar. Sedangkan tugas laki-laki di dalam kawasan hutan biasanya lebih berat dan banyak. 4.2.3. Mata Pencaharian Utama Responden

Mata pencaharian merupakan rutinitas sehari-sehari yang dilakukan oleh responden dalam memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini mata pencaharian responden sangat mempengaruhi dalam hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi.

Gambar 4.3. Pekerjaan Responden

(35)

22

Pada gambar 4.3 dapat diketahui bahwa jenis mata pencaharian utama responden paling banyak ialah sebagai petani dengan presentase sebesar 82,61% (19 orang). Responden berpendapat dengan jenis pekerjaan utama mereka sebagai petani dapat menjadikan mereka lebih memperhatikan dan memprioritaskan hasil produksi dari kawasan HKm Senggigi. Sedangkan responden yang memilih pekerjaan sampingan sebagai wirausaha beranggapan bahwa ketika musim panen belum tiba, mereka dapat menggunakan waktu mereka untuk berwirausaha. Walaupun mereka memiliki mata pencaharian sampingan selain bertani. Kegiatan berkunjung ke kawasan HKm tetap mereka lakukan sedikitnya 2-3 kali seminggu. Intensitas berkunjung petani yang memiliki mata pencaharian sampingan memang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki mata pencaharian sampingan yang hampir setiap hari selalu berada dalam kawasan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

4.2.4. Status Keanggotaan Responden

Responden berdasarkan status keanggotaan HKm Senggigi dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 4.4. Status Responden

Berdasarkan gambar 4.4 terlihat bahwa sebanyak 13 orang responden merupakan pengurus kelompok HKm Senggigi baik sebagai ketua, sekretaris maupun bendahara. Sedangkan sejumlah 10 orang responden terdiri dari anggota biasa aktif yang diperoleh dari kesepeuluh sub kelompok GAPOKTAN Mertesari. Hal ini sesuai dengan metode penentuan responden yang telah ditentukan.

4.3. Hasil Evaluasi

4.3.1. Aspek Kelola Kelembagaan

Pada tahun 1996, cikal bakal kelompok masyarakat terbentuk melalui program Reboisasi dari pemerintah. Pada saat itu

(36)

23

terbentuklah tiga kelompok tani hutan HKm Senggigi yaitu kelompok Angen dengan jumlah anggota awal sebanyak 40 KK, Kelompok Beriuk Pacu dengan jumlah anggota awal sebanyak 37 KK dan kelompok Patuh Angen sebanyak 50 KK.

Pada tahun 2008 bersamaan dengan masuknya program Gerhan restrukturisasi kelembagaan diperkuat kembali dengan membentuk Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Ketua Blok yang menjadi awal mula terbentuknya Gapoktan. Kelompok tersebut mulai mengembangkan diri di sektor pertanian hingga kehutanan guna mengangkat ekonomi masyarakat dan mulai berkembang pertama kali melalui pengembangan usaha bakulan. Dalam program restrukturisai tersebut telah dibentuk 10 (sepuluh) sub kelompok baru yang terdiri dari masyarakat disekitar kawasan HKm Senggigi yang mengelola kawasan.

4.3.1.1. Perencanaan

Variabel perencanaan dalam penelitian ini mencakup beberapa indikator yaitu: (1) ketersediaan data biofisik, potensi HHBK, HHK, jasa lingkungan untuk bahan penyusunan RU dan RKT, (2) ketersediaan dokumen RU dan RKT, (3) adanya keterlibatan pengurus, anggota, pengelola PHBM, perempuan dan stakeholder terkait dalam menyusun RU dan RKT. Hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi untuk variabel perencanaan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4. Hasil Analisa Data Variabel Perencanaan

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

1. ketersediaan data biofisik, potensi HHBK, HHK, jasa lingkungan untuk bahan penyusunan RU dan RKT

0-50 30

2. ketersediaan dokumen RU dan RKT 0-50 50 3. adanya keterlibatan pengurus, anggota,

pengelola PHBM, perempuan dan stakeholder terkait dalam menyusun RU dan RKT

0-50 30

(37)

24

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

Kriteria penilaian Baik

Sumber: Data primer, 2017.

Setelah dilakukan analisis data, variabel perencanaan memperoleh nilai total 110 dan masuk dalam kategori penilaian Baik karena berada dalam rentang nilai antara 91-120. Hal ini diperoleh berdasarkan proses pengambilan data yang telah dilakukan terhadap responden serta pemerikasaan dokumen GAPOKTAN Mertesari terkait penelitian. Sebagai kelompok besar yang menaungi sepuluh sub kelompok, GAPOKTAN Mertesari memiliki peran ganda dalam pengelolaan HKm Senggigi. Selain bertanggung jawab terhadap kegiatan pengelolaan HKm Senggigi, Gapoktan Mertesari juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap dokumen-dokumen terkait pengelolaan HKm Senggigi.

Diketahui bahwa HKm Senggigi memiliki data biofisik kawasan, potensi HHK dan potensi HHBK. Untuk potensi jasa lingkungan memang belum ada karena jasa lingkungan yang ada di HKm Senggigi belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, namun diakui oleh pengurus kedepannya potensi jasa lingkungan yang ada di HKm Senggigi akan mulai dikembangkan.

(38)

25

hanya pengurus-pengurus dari GAPOKTAN Mertesari dan pengurus inti kesepuluh sub kelompok.

4.3.1.2. Keberhasilan Kelembagaan

Secara kelembagaan, praktik pengelolaan HKm Senggigi yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dilaksanakan oleh GAPOKTAN Mertesari bersama kesepuluh sub kelompok yang memiliki jumlah anggota sebanyak 509 orang. Tabel 4.5. Anggota Kelompok HKm Gapoktan Mertesari

No. Nama Kelompok

Ketua Kelompok Jumlah Anggota

Orang %

1. Angen Sidik 44 8,64

2. Lestari I Wayan Merte 41 8,05

3. Patuh H. Bahrai 42 8,25

4. Susah Seneng M. Nasir 42 8,25

5. Beriuk Tinjal H. Ilham 55 10,80

6. Cinta Damai Muhaini 57 11.19

7. Baru Ures H. Amrullah 44 8,64

8. Beriuk Maju Genah 50 9,82

9. Kasoh Begawean Murki 96 18,86

10. Suka Maju Nengah Wenten 38 7,46

Total 509 100

Sumber: Rencana Umum HKm Senggigi, 2011.

(39)

26

GAPOKTAN Mertesari, dimana anggota kelompok rata-rata memiliki rumah di sekitar kawasan hutan atau dekat dengan hutan dan sudah memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya HKm Senggigi. Variabel keberhasilan kelembagaan dalam penelitian ini mencakup beberapa indikator yaitu: (1) Adanya dokumen nama-nama pengurus dan anggota kelompok, (2) adanya penjelasan peran setiap pengurus, (3) adanya aturan kelompok, (4) adanya pergantian pengurus, (5) adanya pertemuan pengurus, (6) adanya capaian kegiatan penguatan kelembagaan sesuai RU/RKT, serta (7) kelengkapan administrasi kelompok. Hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi untuk variabel keberhasilan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 4.6. Hasil Analisa Data Variabel Keberhasilan Kelembagaan

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

1. Adanya dokumen nama-nama pengurus dan anggota kelompok

0-25 15

2. adanya penjelasan peran setiap pengurus

0-25 25

3. Adanya aturan kelompok 0-25 25

4. adanya pergantian pengurus 0-25 16,30

5. adanya pertemuan pengurus 0-25 11,09

6. adanya capaian kegiatan penguatan kelembagaan sesuai RU/RKT

0-25 13,70

7. kelengkapan administrasi kelompok 0-25 3,48

Nilai Total 0-175 109,57

Kriteria Penilaian Baik

Sumber: Data primer, 2017.

(40)

27

antara 106-140. Hampir semua indikator yang ada dalam variabel keberhasilan kelembagaan memiliki nilai yang sempurna. Karena berdasarkan proses penelitian yang sudah dilakukan, kelompok tani hutan HKm Senggigi memang memiliki dokumen-dokumen terkait penilaian keberhasilan kelembagaan. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Nandini (2013) dimana untuk aspek kelembagaan HKm yang ada di Pulau Lombok berada dalam kategori tidak baik, hal ini disebabkan oleh pendampingan HKm hanya dilakukan pada awal kegiatan dan dilepas ketika kelembagaan HKm belum dapat mandiri. Kurangnya sumberdaya manusia yang tepat sebagai pengurus kelembagaan menjadi faktor penambah ketidakberhasilan kelembagaan HKm yang ada di Pulau Lombok. Faskalis (2011) dalam Sanjaya et al. (2017) menyatakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kelompok Hkm sangat menjunjung tinggi musyawarah antar sesama anggotanya. Keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan cukup tinggi, ini artinya seluruh anggota dalam kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan kinerja kelompoknya, selain itu untuk menjalankan roda organisasi dan untuk memperkuat kelompok, dalam mengelola HKm dibuat aturan main kelompok yang tercantum dalam AD/ART.

(41)

28

permasalahan yang dialami selama mengelola lahan yang ada di HKm Senggigi.

Kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi (Djogo et al. 2003). Dalam dokumen AD/ART GAPOKTAN Mertesari juga tertulis bahwa masa jabatan pengurus GAPOKTAN Mertesari maupun kesepuluh sub kelompok ialah selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya (maksimal tiga periode kepengurusan). Apabila seorang pengurus berhenti sebelum masa jabatannya berakhir, maka dapat dilakukan pergantian pengurus melalui rapat anggota dan disetujui oleh seluruh anggota rapat.

4.3.1.3. Kewajiban Lain

Variabel kewajiban lain dalam penelitian ini mencakup beberapa indikator yaitu: (1) adanya dokumen laporan tahunan kemajuan HKm, dan (2) proses penyusunan laporan tahunan kemajuan Hkm. Hasil evaluasi pengelolaan HKm Senggigi untuk variabel kewajiban lain dapat di lihat pada Tabel 4.7 berikut :

Tabel 4.7. Hasil Analisa Data Variabel Kewajiban Lain

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

1. Adanya dokumen laporan tahunan kemajuan HKm

0-50 19,57

2. Proses penyusunan laporan tahunan kemajuan Hkm

0-50 19,57

Nilai Total 0-150 39,14

Kriteria Penilaian Kurang Baik

Sumber : Data primer, 2017.

(42)

29

baik karena berada dalam rentang nilai total antara 21-40. Hal ini dapat terjadi karena perhatian kelompok tani hutan terhadap kewajiban lain menyangkut pengelolaan HKm seperti penyusunan laporan kegiatan pengelolaan yang seharusnya dilakukan selama satu tahun sekali masih belum maksimal dilakukan.

Perhatian responden khususnya responden dari kelompok Beriuk Tinjal, kelompok Susah Seneng, kelompok Cinta Damai, dan kelompok Beriuk Maju terhadap kewajiban lain terkait pengelolaan HKm seperti penyusunan dokumen laporan tahunan kemajuan HKm masih kurang. Terlihat bahwa keempat kelompok ini mengakui belum pernah menyusun dokumen laporan kemajuan pengelolaan HKm Senggigi. Mereka mengakui bahwa selama ini mereka hanya fokus terhadap pengelolaan kawasan tanpa memikirkan kewajiban lain seperti menyusun dokumen laporan kemajuan. Hal yang sama dikemukakan oleh Sanjaya et al. (2017) meskipun dalam aspek yang berhubungan dengan kewajiban kelompok masih kurang dipahami oleh masyarakt, namun mereka selalu mengupayakan pengelolaan di lahan mereka secara baik karena dengan adanya program HKm tersebut masyarakat secara langsung dapat memperoleh manfaatnya seperti adanya peningkatan ekonomi keluarga, peningkatan produktivitas lahan, dan masyarakat dapat menjaga sistem ekologi hutan secara baik melalui kegiatan.

Laporan kemajuan pengelolaan wajib diberikan oleh pemegang izin setidaknya selama satu tahun sekali yang disetujui oleh kepala dinas yang memuat rencana kerja dan realisasi kegiatan serta kendala yang diperoleh dilapangan. Hal ini sesuai dengan pasal 31 Permenhut No. 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Oleh karena itu, diharapkan kedepannya pemerintah atau dinas terkait dapat membantu kelompok tani hutan dalam penyusunan laporan kegiatan tahunan.

4.3.1.4. Pemberdayaan Masyarakat

(43)

30

Tabel 4.8. Hasil Analisa Data Variabel Pemberdayaan Masyarakat

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

1. Adanya fasilitasi penyusunan RU dan RKT dari dinas atau instansi terkait

0-50 20,00

2. Adanya kegiatan pelatihan/penyuluhan dari dinas/instansi terkait dalam satu tahun terakhir dinas/instansi terkait untuk memberdayakan masyarakat selama 3 tahun terakhir

0-20 3,65

5. Adanya fasilitasi pemerintah dalam pemasaran HHBK.

0-20 1,74

Nilai Total 0-100 46,09

Kriteria Penilaian Cukup Baik

Sumber: Data primer, 2017.

(44)

31

pelatihan atau bimbingan khusus terkait pengelolaan hutan kepada masyarakat, selain itu masyarakat berharap pemerintah ikut mendukung dalam proses pemasaran HHBK karena selama ini pemerintah atau instansi terkait belum pernah memfasilitasi pengurus atau anggota dalam proses pemasaran HHBK di HKm Senggigi. Sedangkan menurut Sanjaya (2017) kegiatan pemantauan dari Dinas Kehutanan sangat perlu dilakukan secara langsung ke lahan kelola masyarakat hal ini bertujuan untuk mengukur tingkat pencapaian kegiatan Hkm, selain monitoring dari Dinas Kehutanan perlu juga adanya monitoring dari lembaga Non Dinas seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

4.3.2. Aspek Kelola Usaha

(45)

32

misalnya dalam bentuk dodol atau kemasan makanan lainnya. Pada tahun 2013 GAPOKTAN Mertesari juga memperoleh pelatihan pembuatan dodol Nangka dari Dinas kehutanan. Pelatihan ini bertujuan agar petani khususnya yang wanita dapat mampu mengelola hasil hutan sehingga nilai jual hasil hutan dapat lebih tinggi dari biasanya. Sayangnya kegiatan pengolahan HHBK dari bahan mentah menjadi bahan jadi sekarang tidak berjalan secara optimal. Nandini (2013) menyebutkan salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi kurangnya dampak ekonomi HKm adalah melibatkan instansi terkait spserti perindustrian maupun koperasi usaha untuk memberikan pelatihan kewirausahaan agar para petani mempunyai pendapatan tambahan dari produk-produk yang dihasilkan HKm.

Tabel 4.9. Hasil Analisa Data Aspek Tata Kelola Usaha

No. Indikator Kisaran Nilai Penilaian Hasil

1. Adanya pengurus kelompok yang bertanggung jawab dibidang usaha.

0-25 15,00

2. Adanya pertemuan rutin kelompok usaha 0-25 6,30

3. Adanya kegiatan pelatihan penguatan kelompok usaha

0-25 11,30

4. Adanya iuran anggota kelompok usaha 0-25 15,00 5. Adanya modal kelompok untuk dana usaha 0-25 15,00

6. Adanya produk pasca panen 0-25 10,00

7. Adanya jaringan pasar hasil produksi 0-25 15,00

8. Adanya sumbangan hasil usaha 0-25 0,00

Nilai Total 0-200 87,61

Kriteria Penilaian Cukup Baik

(46)

33

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, hasil evaluasi aspek tata kelola usaha HKm Senggigi memperoleh skor 87.61 dan masuk ke dalam kriteria cukup baik karena berada dalam rentang nilai total antara 81-120. Nilai yang diperoleh ini sesuai dengan hasil penilaian beberapa indikator antara lain (1) adanya pengurus kelompok yang bertanggung jawab dibidang usaha (2) adanya pertemuan rutin anggota kelompok usaha (3) adanya kegiatan pelatihan penguatan kelompok usaha (4) adanya iuran anggota kelompok usaha (5) adanya modal kelompok dalam bentuk dana usaha (6) adanya produk pasca panen (makanan olahan) (7) adanya jaringan pasar hasil produksi serta (8) adanya sumbangan hasil usaha untuk dana kelompok.

4.3.3. Penilaian Kinerja Pengelolaan

Penilaian kinerja pengelolaan HKm Senggigi dapat dilihat dalam Tabel 4.10 sebagai berikut :

Tabel 4.10. Penilaian Kinerja Pengelolaan HKm Senggigi No. Variabel Penilaian Kisaran

Penilaian

Total Rata-rata 392,39 Baik

Sumber: Data primer, 2017

(47)

34

Nandini (2013) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa hasil evaluasi hutan lindung dipulau lombok yang diwakili oleh HKm Sesaot dan HKm Darussadiqien masing-masing memperoleh nilai 53,17 dan 45,77 serta masuk dalam kategori sedang. Perbedaan hasil dari penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan variabel penelitian serta instrumen evaluasi yang digunakan oleh masing-masing peneliti.

4.4. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengelolaan HKm Senggigi

Keberhasilan kegiatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) khususnya di kawasan HKm Senggigi pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor pendukung kegiatan pengelolaan kawasan HKm Senggigi maupun faktor yang dapat menghambat kegiatan pengelolaan kawasan HKm Senggigi sehingga tidak dapat berjalan dengan maksimal. Berikut adalah faktor pendukung dan penghambat pengelolaan HKm Senggigi.

4.4.1. Faktor Pendukung

Faktor pendukung merupakan salah satu faktor utama yang membuat pengelola HKm Senggigi ingin terus dan tetap mengelola kawasan. Keberadaan faktor pendukung menjadi elemen penting bagi masyarakat dalam mengelola dan menjaga kawasan HKm Senggigi. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, responden mengakui bahwa tanpa adanya faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi pasti tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Adapun faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi terdapat dalam Tabel sebagai berikut :

Tabel 4.11. Faktor Pendukung Pengelolaan HKm Senggigi

No. Variabel Faktor Pendukung yang menjawab ∑Responden

1. Perencanaan - Adanya IUPHKm

- Adanya RU/RKT yang

Mertesari sebagai kelompok inti

- Adanya pertemuan rutin

10

(48)

35

No. Variabel Faktor Pendukung yang menjawab ∑Responden pengurus kelompok

4. Pemberdayaa n Masyarakat

- Adanya dukungan dari

instansi (Dinas Kehutanan, BAKORLUH, KPH)

10

5. Tata Kelola Usaha

- Adanya bantuan dari berbagai

pihak (KPH, DISHUT, BAKORLUH)

- Sumber pendapatan utama

15

Sumber: Data primer, 2017

Berdasarkan Tabel 4.11 tersebut dapat diketahui faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi berdasarkan variabel perencanaan yaitu adanya IUPHKm, adanya RU/RKT sebagi pedoman dalam pengelolaan HKm. Faktor pendukung variabel keberhasilan kelembagaan yaitu adanya GAPOKTAN Mertesari sebagai kelompok inti adanya pertemuan rutin pengurus kelompok. Faktor pendukung pemberdayaan masyarakat adanya dukungan instansi (DISHUT, BAKORLUH, KPH). Faktor pendukung tata kelola usaha yaitu adanya bantuan dari berbagai pihak dan sumber pendapatan utama. Serta faktor pendukung lainnya antara lain keinginan untuk menjaga hutan, adanya bantuan bibit dari pemerintah dan tidak memiliki lahan garapan lain kecuali lahan HKm Senggigi.

(49)

36

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, mereka mengakui salah satu alasan utama mereka ingin terus mengelola dan menjaga kawasan HKm Senggigi ialah karena lahan HKm Senggigi merupakan sumber pendapatan mereka sehari-hari. Hasil hutan yang diperoleh dari kawasan mereka jual dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) merupakan komponen penting dan wajib dimiliki oleh suatu kawasan HKm yang dikelola oleh masyarakat. Tanpa adanya IUPHKm masyarakat tidak akan bisa leluasa mengelola kawasan hutan dan dianggap mengelolaa kawasan hutan dengan cara illegal. Keberadaan IUPHKm Senggigi yang disyahkan pada tahun 2011 oleh Bupati Lombok Barat menjadi angin segar bagi masyarakat di sekitar kawasan HKm Senggigi yang mengelola kawasan. Karena bagi sebagian besar dari mereka, IUPHKm menjadi payung hukum yang jelas bagi kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari dikawasan dan dianggap legal selama masih dalam koridor peraturan yang berlaku.

Sejumlah 12 orang responden mengakui bahwa salah satu faktor pendukung dalam mengelola kawasan adalah adanya bantuan bibit yang diberikan oleh pemerintah. Baik itu bibit tanaman maupun stup madu. Terakhir anggota kelompok yang mengelola kawasan HKm Senggigi memperoleh bantuan bibit pada tahun 2016. Bibit tanaman yang diberikan antara lain gamelina (Gamelina aroborea), gaharu (Aquilaria malaccensis), rajumas (Duabanga molucana) , durian (Durio zibhetinus), kayu manis (Cinamomum Verum) dan ceruring (Lansium domesticum).

Salah satu kelompok pengelola yaitu Kelompok Suka Maju pada tahun 2016 juga telah menerima bantuan stup madu dari pemerintah. Pada awalnya Kelompok Suka Maju memang telah melakukan kegiatan budidaya lebah madu dan memperlihatkan dampak yang bagus bagi kelompok Suka Maju sehingga pemerintah berinisiatif memberikan stup madu kepada kelompok Suka Maju agar usaha budidaya lebah madu dapat berjalan secara maksimal dan ikut membantu dalam mensejahterakan anggota kelompok. Harapan kedepannya bantuan serupa dapat diterima secara merata oleh seluruh anggota kelompk pengelola HKm Senggigi.

(50)

37

menjadi satu-satunya tempat untuk mereka memperoleh pendapatan.

Salah satu faktor pendukung pengelolaan HKm Senggigi ialah keinginan untuk menjaga hutan yang besar. Mereka beranggapan bahwa hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang harus terus dijaga kelestariannya. Mereka percaya bahwa apabila hutan rusak, hutan tidak jaga. Kehidupan umat manusia akan terancam. Karena hutan memiliki sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan manusai untuk memenuhi kebutuhannya sehari-sehari seperti air, udara dan bahan makanan maupun obat-obatan.

4.4.2. Faktor Penghambat

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan teridentifikasi beberapa faktor penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi. Responden mengakui walaupun dalam praktiknya kegiatan pengelolaan HKm Senggigi terlihat cukup baik, namun kenyataannya sebagian dari mereka merasa ada beberapa hal yang masih sangat diperlukan dalam pengelolaan kawasan yang belum mereka miliki dan menjadi penghambat dalam pengelolaan kawasan sehingga tidak dapat berjalan dengan sangat baik. Faktor penghambat pengelolaan HKm Senggigi dapat dilihat dalam Tabel sebagai berikut:

Tabel 4.12. Faktor Penghambat Pengelolaan HKm Senggigi

No. Variabel Faktor Penghambat

∑Responden

yang menjawab 1. Perencanaan - Anggota kurang berperan aktif

dalam penyusunan RU/RKT (Hanya pengurus saja) (SDM) untuk regenerasi pengurus kelompok

8

3. Kewajiban

Lain

Tidak memiliki pengetahuan (skill) dalam hal penyusunan laporan kerja

(51)

38 Sumber: data primer, 2017.

Adapun faktor penghambat dalam pengelolaan HKm Sengigi berdasarkan variabel perencanaan yaitu anggota kurang berperan aktif dalam penyusunan RU/RKT karena hanya pengurus saja yang menyusun, selain itu dalam RU belum terdapat data potensi jasa lingkungan yang ada di HKm Senggigi sehingga dapat menghambat dalam kegiatan pengembangan jasa lingkungan yang ada. Faktor penghambat variabel keberhasilan kelembagaan yaitu masih kurangnya sumberdaya manusia yang dapat dijadikan sebagai regenerasi pengurus kelompok. Faktor penghambat variabel kewajiban lain yiatu masih kurangnya pengetahuan dalam hal penyusunan laporan kegiatan, selain itu pengurus maupun anggota hanya fokus pada pengelolaan lahan saja. Faktor penghambat variabel pemberdayaan masyarakat yaitu penyuluh jarang mengunjungi beberapa sub kelompok. Faktor penghambat variabel tata kelola usaha yaitu kurangnya pelatihan dari pemerintah dalam hal pengelolaan hasil hutan dan tidak ada dukungan pemasaran HHBK dari pemerintah. Serta faktor penghambat lainnya yaitu gangguan satwa liar.

Petani yang mengelola kawasan mengakui bahwa salah satu faktor penghambat dalam pengelolaan HKm Senggigi ialah masih kurangnya skill atau pengetahuan mereka dalam mengelola hasil hutan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selama ini hasil hutan yang diperoleh dari kawasan hanya dijual mentah ke pengumpul. Sementara beberapa petani merasa ingin mengolah hasil hutan tersebut menjadi bahan jadi sehingga memiliki nilai jual

kelompok tertentu karena aksesibilitas.

12

5. Tata Kelola Usaha

- Kurangnya pelatihan dari

Gambar

Tabel 3.1. Jumlah Anggota GAPOKTAN Mertesari
Tabel 3.2. Kriteria dan Kategori Nilai Evaluasi HKm Senggigi
Tabel 4.1. Peruntukkan Lahan di Desa Senggigi kecamatan Batu Layar
Tabel 4.3. Kelas Kelerengan HKm Senggigi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan timbal (Pb) mainan edukatif balita dan kuesioner pengetahuan orang tua dan guru tentang timbal (Pb) pada mainan

Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjana (1986) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realistik adalah kerangka konseptual sebagai

Mereka itulah orang-orang yang dengan jelas disebut nabi dari masa itu. Namun ada beberapa petunjuk yang menyiratkan bahwa selain mereka masih ada banyak orang-orang

Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan diatas, maka telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, hal ini berdasarkan

3) Pasal 50 (7) Pelaksanaan Pengadaan Langsung dilakukan sebagai berikut: pembelian/pembayaran langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan

5 diperlukan di kantor ini (PT. Finnet Indonesia), namun belum ada penelitian mengenai hal tersebut, sehingga kami dari pihak Human Resource belum tahu apakah self concept yang

Menurut Woodward (Romanyshyn 1971:6), diakonia karitatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan tidak terhindarkan, karena

Secara lebih khusus, pusat studi ini bertujuan untuk melakukan: (1) identifikasi dan kajian kritis terhadap prosedur, kebijakan dan problematika perdagangan dunia