BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai mata pelajaran yang
berfungsi membentuk watak atau karakter warga negara. Menurut (
Winarno:2014:185) menyatakan bahwa PKn berfungsi sebagai
pembentukan karakter warga negara. PKn di sekolah memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Karakter
yang dimaksud tentu saja karakter yang berpedoman pada nilai luhur bangsa
dalam hal ini Pancasila. Karakter kewarganegaraan baik untuk pribadi
maupun masyarakat Indonesia adalah karater yang didasarkan atas
nilai-nilai Pancasila.
Menurut ( Fadil dkk, 2013: 4) Pendidikan Kewarganegaraan
membantu peserta didik untuk membentuk pola pikir dan pola sikap sebagai
seorang wara negara yang mencerminkan atau selaras dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Termasuk dalam pembentukan watak atau karakter, karena
pendidikan kewarganegaraan mencakup nilai-nilai hidup yang khas dari
masyarakat sekitarnya.
Dari beberapa pengertian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara yang
cerdas, terampil, dan berkarakter.
2. Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
a. Visi Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Winataputra dalam (Winarno: 2014: 11), visi
pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas, yaitu sebagai sistem
pendidikan kewarganegaraan yang berfungsi dan berperan sebagai
program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non formal,
program aksi sosial-kultural dalam konteks kemsyarakatan, dan sebagai
bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu
pengetahuan sosial. Visi ini mengandung dua dimensi, yaitu dimensi
substantif berupa muatan pembelajaran dan objek telaah serta
pengembangan dan dimensi berupa penelitian dan pembelajaran.
b. Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan
konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturnya,
maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi sosio-pedagogis,
sosio-kultural, dan substantif-akademis dalam ( Winano: 2014: 12).
Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu
sebagai insan Tuhan dan makhluk sosial menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius.
kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan paksis demokasi dalam konteks
pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan
partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggungjawab melalui
berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada
tumbuh kembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan.
Sedangkan misi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur
atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di
dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang
berkenan dengan civic virtueatau kebijakan kewarganegaraan dan civic
culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan dan memfasilitasi praksis pedagogis dan
sosio-kultural dengan hasil penelitian pengembangannya itu.
Dari misi sosio-pedagogis PKn dapat diketahui bahwa salah satu
misinya adalah untuk mengembangkan warga negara yang religius,
sehingga dengan mata pelajaran PKn harapannya dapat
mengembangkan warga negara yang religius.
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Di Indonesia bahkan di Negara lain bahwa tujuan pendidikan
kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang baik (to be
good citizens). Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan
a. Secara Umum
Tujuan PKn harus sama dan mendukung keberhasilan
pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “Mencerdaskan kehidupan
bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan
mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara Khusus
Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman
dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang
terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat
kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung
kerakyatan yang mengutamakan kepentingan yang diatasi melalui
musyarawah mufakat, serta perlaku yang mendukung upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan karakter sangat terpengaruhi oleh pendidikan
kewarganegaraan, dimana pendidikan kewarganegaraan memiliki
peranan penting dalam pembentukan karakter. Karena pendidikan
kewarganegaraan mencakup semua poin-poin karakter. Yang termasuk
poin karakter di dalam pendidikan kewarganegaraan adalah budi
untuk menciptakn seorang yang berakhlak, berbudi pekerti, bermoral
dan taat terhadap peraturan yang ada baik yang tersirat maupun tersurat
( Fadil dk: 2013: 6)
Berdasarkan tujuan PKn di atas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa mata pelajarn Pendidikan Kewarganegaraan digunakan sebagai
wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral
yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat
diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupa sehari-hari peserta
didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarkat dan
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan kewaranegaraan
merupakan mata pelajaran yang menfokuskan pada pembentukan diri
yang beragam dari segi agama, bahasa, suku bangsa untuk menjadi
warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi
oleh Pancasila dan UUD 1945
B.Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
1. Pengertian Guru
Secara pengertian umum, guru adalah orang yang memberikan ilmu
pengetahuan kepada peserta didik. Guru adalah semua orang yang
berwenang dan bertanggungjawab terhadap pendidikan murid-murid , baik
secara individual ataupun kelompok, baik di sekolah maupun di luar
melaksanakan pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di mushola, di
rumah dan sebagainya (Djamarah, 2010:31).
Guru adalah suatu profesi yang memiliki tanggungjawab yang besar,
yaitu menjadikan anak didiknya berhasil dalam bidang akademiki maupun
non akademik dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat umumnya. Oleh
karena itu guru harus memiliki keahlian khusus yang bisa didapatnya
melalui lembaga pendidikan. Moh. Uhzer Usman (1996:6) berpendapat
bahwa, guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian
khusus bagi guru, apalagi sebagai guru yang profesional yaitu orang yang
memiliki keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Hal ini sejalan dengan pendapat M. Ansyar dan Nurmatin (1991:35)
bahwa guru haruslah seseorang yang profesioanl yang memiliki
pengetahuan, dan kepribadian yang tinggi yang menuntut keahlian, dedikasi,
dan motivasi yang tinggi dan rasa tanggungjawab terhadap tugasnya.
2. Guru Pendidikan Kewarganegaraan
a. Fungsi dan Peran Guru
Di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dapat
diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan
pengetahuan dan pengalamanya serta bertanggungjawab atas kelancaran
perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut
fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral, dan
secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menatapkan jalan yang harus
ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancaran
perjalanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
Semua itu dilakukan berdasarkan kerjasama yang baik dengan peserta
didik, tetapi guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek
perjalanan. Guru memiliki berbagai hak dan tanggungjawab dalam setiap
perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakanya.
Secara umum dalam prinsip-prinsip pendidikan modern sekarang
ini menurut Rusyan (1990:14) bahwa fungsi dan peran guru adalah
sebagai berikut :
1) Guru sebagai pendidik dan pengajar
2) Guru sebagai anggota masyarakat, guru harus pandai bergaul
dengan masyarakat.
3) Guru sebagai pemimpin harus pandai memimpin.
4) Guru sebagai pelaksana administrasi akan dihadapkan kepada
administrasi-administrasi yang harus dikerjakan di sekolah.
5) Guru sebagai pengelola PBM, harus menguasai situasi belajar
mengajar baik dalam kelas maupun diluar kelas.
Guru sebagai pendidik menurut jabatan menerima tanggungjawab
mendidik dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat, dan negara.
Tanggungjawab dari orang tua diterima guru atas dasar kepercayaan
bahwa guru mampu memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai
guru memancar sikap-sikap dan sifat-sifat yang normatif baik sebagai
kelanjutan dari sikap dan sifat orang tua pada umumnya, antara lain :
1) Kasih sayang kepada peserta didik
Atas dasar rasa kasih sayang ini maka guru dengan sendirinya
mudah mengembangkan sifat-sifat baik lainnya, seperti sabar, ada
perhatian kepada peserta didik dan suka memahami mereka, suka
membantu peserta didik dan suka memahami mereka, suka
membantu peserta didik dalam belajar, bersahabat dan merasa
dekat dengan peserta didik, tidak pilih kasih (adil).
2) Tanggungjawab kepada tugas mendidik.
Didorong oleh rasa tanggungjawab ini guru diharapkan mampu
mengembangkan sifat-sifat lainya seperti tekun, mengutamakan
ketertiban, berwibawa, keteladanan dan kepemimpinan, riang
gembira, optimistik.
Ada 19 peran guru menurut Mulyasa (2010: 37-63) yaitu :
1) Guru sebagai pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan
identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh
karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu,
yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
2) Guru sebagai pengajar
Sejak adanya kehidupan, sejak itu pula guru telah melaksanakan
tanggungjawabmya yang pertama dan utama. Guru membantu
peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu
yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami
materi standar yang dipelajari.
3) Guru sebagai pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang
berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya bertanggung jawab
atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan
tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental,
emosional, kreatifitas, moral, dan spiritual yang lebih dalam dan
kompleks. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan jalan
yang harus ditempuh.
4) Guru sebagai pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan
keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga
menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih.
5) Guru sebagai penasihat
Guru adalah sesorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi
orang tua, meskipun mereka tidak memiliki pelatihan khusus
sebagai penasihat dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk
6) Guru sebagai Pembaharu (Innovator)
seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis
berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami,
dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Guru harus
menjembatani jurang ini bagi peserta didik, jika tidak, maka dapat
mengambil bagian dalam proses belajar yang berakibat tidak bisa
menggunakan potensi yang dimilikinya. Tugas guru adalah
memahami bagaimana keadaan jurang pemisah ini, dan bagaimana
menjembatinya secara efektif.
7) Guru sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi peserta didik dan semua
memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik.
8) Guru sebagai Pribadi
Seorang individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guur
harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik.
9) Guru sebagai peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaanya
memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan.
Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya
melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau
10)Guru sebagai Pendorong Kreativitas
Sebagai seorang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreativitas
merupakan yang universal dan oleh karenanya semua kegiatannya
ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh kesadaran itu.
11)Guru sebagai Pembangkit Pandangan
Guru tahu bahwa ia tidak membangkitkan pandangan tentang
kebesaran kepada peserta didik jika ia sendiri tidak memilikinnya.
Oleh karena itu, para guru perlu dibekali dengan ajaran hakekat
manusia dan setelah mengenalnya akan mengenal pula kebesaran
Allah yang menciptaknnya.
12)Guru sebagai Pekerja Rutin
Guru bekerja dengan keterampilan, dan kebiasaan tertentu, setra
kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan.
Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa
mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua
peranannya.
13)Guru sebagai Pemindah Kemah
Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik,
kepercayaan, dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta
membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk mendapatkan
cara-cara baru yang lebih sesuai. Untuk menjalankan fungsi ini
membahayakan perkembangan peserta didik, dan memahami
mana yang bermanfaat.
14)Guru sebagai Pembawa Cerita
Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat
pengukur. Dengan cerita manusia bisa mengamati memecahkan
masalah yang sama dengan yang dihadapinya, mengemukakan
gagasan dan kehidupan yang nampak diperlukan oleh manusia
lain. Guru berusaha mancari cerita untuk membangkitkan dimasa
datang.
15)Guru sebagai Aktor
Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam
naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang
akan disampaikan kepada penonton.
16)Guru sebagai Emansipator
Guru telah malaksanakan fungsinya sebagai emansipator ketika
peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tak
berharga, merasa dicampakan orang lain atau selalu diuji dengan
berbagai kesulitan sehingga hampir putus asa, dibangkitkan
kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
17)Guru sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang
paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan
berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat
dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tidak ada pembelajaran
tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses penetapan
kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat
pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik.
18)Guru sebagai Pengawet
Sebagai pengawet, guru harus berusaha mengawetkan
pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya, dalam arti guru
harus berusaha menguasai materi stndar yang akan disajikan
kepada peserta didik. Oleh karena itu, setiap guru dibekali
pengetahuan sesuai dengan bidang yang dipilihnya.
C.Kenakalan Remaja
1. Teori Tentang Kenakalan Remaja
Teori ini dikembangkan oleh Edwin H. Sutherland, pada dasarnya
teori mengungkap bahwa penyimpangan berupa kenakalan remaja
merupakan konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap
atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang,
terutama subkultur atau antara teman-teman sebaya yang menyimpang
(Narwoko, 2007:117). Teori Asosiasi Defensial dapat diterapkan untuk
menganalisis:
a) Organisasi sosial atau subkultur yang menyimpang atau tidak;
c) Perbedaan norma-norma yang menyimpang ataupun yang tidak,
terutama pada kelompok yang berbeda (Narwoko, 2007: 112).
Di tingkat kelompok, perilaku menyimpang berupa kenakalan adalah
konsekunsi dari terjadinya konflik normatif. Artinya, perbedaan aturan
sosial di berbagai kelompok sosial, seperti: sekolah, lingkungan tetangga ,
kelompok teman sebaya atau keluarga, bisa membingungkan individu yang
masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi ini dapat
menyebabkan ketegangan yang berujung menjadi konflik normatif pada diri
individu. Jadi seandainya di sekolah peserta didik diajarkan nilai kejujuran,
tetapi diluar sekolah, entah itu keluarga, organisasi sosial dan lingkungan
masyarakat yang lebih luas, nilai-nilai kejujuran ditinggalkan, maka
perbedaana norma diantara berbagai kelompok sosial yang dialami peserta
didik tersebut dapat melunturkan nilai-nilai kejujuran yang diajarkan di
sekolah.
Meskipun teori Asosiasi Defensial ini secara spesifik digunakan
untuk menganalisis kejahatan dan perilaku menyimpang yang mengarah
pada tindak kejahatan, tetapi teori ini juga bisa digunakan untuk
menganalisis bentuk-bentuk lain perilaku menyimpang, seperti kenakalan,
pelacuran, kecanduan obat-obatan alkoholisme ( Narwoko, 2007: 113).
Teori Diferensial memiliki sembilan proposisi, yaitu:
a) Perilaku menyimpang berupa kenakalan adalah hasil dari proses hasil
belajar atau yang dipelajari. Ini berarti bahwa kenakalan bukan
b) Perilaku menyimpang berupa kenakalan dipelajari seseorang dalam
interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang
intens.
c) Perilaku menyimpang berupa kenakalan terjadi dalam kelompok –
kelompok personal yang intem dan akrab.
d) Motif dan dorongan untuk melakukan kenakalan dipelajari dari
definisi-definisi tentang norma-norma yanga baik atau tidak baik.
e) Seseorang melakukan kenakalan karena ia menganggap lebih
menguntungkan untuk melanggar norma dari pada tidak.
f) Terbentuknya asosiasi differensial itu bervariasi tergantung dari
frekuensi , durasi, prioritas dan intensitas.
g) Perilaku menyimpang berupa kenakalan merupakan salah satu ekspresi
dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang umum, tetapi kenakalan
tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut(
Narwoko, 2007:113-144).
2. Ciri-Ciri Kenakalan Remaja
Mulyono (1991: 23-24) menggolongkan kenakalan remaja dalam dua
kelompok besar dalam kaitanya dengan norma hukum, yaitu :
a) Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak teratur dalam
undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran
hukum, antara lain :
1) Pembohong, memutar balikan kenyataan dengan tujuan menipu
2) Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan
sekolah.
3) Kabur meninggalkan rumah tanpa izin orang tua atau menentang
keinginan orang tua.
4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan dan
menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.
5) Memiliki benda yang dapat membahayakan orang lain sehingga
mudah terangsang untuk menggunakanya, seperti pisau, pistol, dan
lain-lain.
6) Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga
timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab.
7) Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan menggunakan bahasa
yang tidak sopan.
8) Secara berkelompok makan dirumah makan, tanpa membayar atau
naik bus tanpa membeli karcis.
9) Turut dalam pelacuran atau melacurkan dirinya, baik dengan tujuan
kesulitan ekonomi maupun tujuan lainya.
10) Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau
menghisap ganja sehingga merusak dirinya.
b) Kenakalan yang dianggap melanggar undang-undang dan digolongkan
sebagai pelanggaran hukum, antara lain:
1) Pencurian dengan maupun tanpa kekerasan.
3) Percobahan pembunuhan.
4) Menyebabkan kematian orang lain.
5) Pengguguran kandungan.
6) Penggelapan barang.
7) Penganiayaan berat yang mengakibatkan kamatian seseorang.
8) Pemalsuan uang dan surat-surat penting.
3. Teori Mengenai Sebab Terjadinya Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan
patologis sosial ini dapat dikelompokan dalam suatu kelas dedektif secara
sosial dan mempunyai sebab-musabab yang majemuk jadi sifatnya
multi-kasual. Para sarjana menggolongkanya menurut beberapa teori, sebagai
berikut:
a) Teori Biologis
Tingkah-laku delinquen pada anak-anak dan remaja dapat
muncul karema faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah
seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir.
b) Teori Psikologis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen
anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaanya. Antara lain faktor
intelegensi, siri kepribadian, otivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,
rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang
Argumen sentral teori ini ialah sebagai berikut: delinkuen
merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah
psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/ sosial
dan pola-pola hidup keluarga yang patologis.
c) Teori Sosiogenis
Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah-laku delinquen
pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau
sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial
yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh
internalisasi yang keliru.
d) Teori Subkultur Delinkuensi
Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquncy ialah:
sifat-sifat struktur sosial dengan pola budaya yang khas dari lingkungan
familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh remaja delinkuen
tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain:
1) Punya populasi yang padat;
2) Status sosial-ekonomis penghuninya rendah;
3) Kondisi fisik perkampungan buruk;
4) Banyaknya disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi
(Kartono, 2010:25-32).
4. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja
Berbagai kemungkinan yang melatarbelakangi terjadinya
a) Penyebab dari dalam peserta didik sendiri
1) Kurangnya penyaluran emosi
2) Kelemahan dalam pengendalian dorongan-dorongan dan
kecenderungannya.
3) Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan.
4) Kurangnya dalam pembentukan hati nurani ( Soeparwoto, dkk,
2007: 212).
b) Penyebab dari luar peserta didik
1) Lingkungan keluarga
Kelurga merupakan tempat pertama dan utama untuk sosialisasi
pribadi anak. Ditengah keluarga anak belajar mengenal makna
cinta-kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan.
Keluarga memberi pengaruh menentukan pada pembentukan
watak, kepribadian anak, dan menjadi unit sosial terkecil yang
memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak.
Baaik-buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau
buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak.
Menurut Dariyo(2004:110), faktor-faktor penyebab kenakalan
remaja antara lain:
(a) Kondisi keluarga yang berantakan (broken home)
Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cerminan
adanya ketidakharmonisan antara individu dalam lembaga
seirama yakni ditandai dengan pertengkaran, percecokan,
maupun konflik terus menerus. Selama pertengkaran,
anak-anak akan melihat, mengamati, dan memahami tidak adanya
kedamaian dan ketentraman antara kedua orang tua mereka.
Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang
dan perhatian dari pihak lain dengan cara melakukan
kenakalan di luar rumah.
(b) Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua.
Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi
saja, tetapi lebih dari itu anak juga memerlukakan kebutuhan
psikologis untuk pertumbuhan dan perkembangan
kepribadiannya.
(c) Status sosial ekonomi orangtua rendah
Kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang, menyebabkan
orangtua tidak mampu membarikan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan makanan, kesehatan dan pendidikan. Dengan tidak
tersedianya kebutuhan ekonomi yang cukup, anak-anak tidak
mampu menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Rendahnya pendidikan membuat individu bekerja ala
kadarnya, bahkan menjadi pengangguran dan untuk
menyalurkan energinya mereka melakukan hal-hal yang
(d) Kondisi keluarga yang tidak tepat
Sebagian dari orang tua beranggapan bahwa penerapan disiplin
terhadap anak-anak berarti harus dilakukan dengan tegas, keras
tidak dikenal kompromi serta tidak mengenal belas kasihan
kepada anak. Ketika anak sering memperoleh perlakuan kasar
dan keras dari orangtua. Mungkin anak akan patuh dihadapan
orangtua, akan tetapi sifat kepatuhan itu hanya sementara.
Mereka cenderung melakukan tindakan-tindakan yang negatif,
sebagai pelarian maupun protes terhadap orangtuanya.
c) Lingkungan masyarakat
(a) Perkembangan teknologi yang menimbulkan kegoncangan pada
peserta didik yang belum memiliki kekuatan mental untuk
menerima perubahan-perubahan baru.
(b) Faktor sosial-politik, sosial-ekonomis, dengan mobilisasi-mobilisasi
sesuai dengan kondisi-kondisi setempat.
(c) Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan
bermacam-macam kenakalan peserta didik ( Soeparwoto,
dkk:2007:212)
Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab
kenakalan remaja secara umum berasal dari dua faktor, yang pertama
adalah faktor internal dari individu itu sendiri dengan potensi yang
dimilikinya. Faktor kedua adalah faktor luar individu atau eksternal, yaitu
5. Upaya Pencegahan Masalah Kenakalan Peserta Didik
Kenakalan peserta didik macam apapun mempunyai akibat negatif
baik bagi masyarakat maupun bagi diri peserta didik sendiri. Dalam
menekan kenakalan peserta didik dilakukan upaya untuk menekan segala
tindakan terjadinya kenakalan remaja. Tindakan tersebut dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a) Usaha penanggulangan kenakalan remaa secara umum.
1) Berusaha mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas peserta
didik.
2) Mengetahui kesulitas-kesulitan yang secara umum dialami oleh
peserta didik.
3) Usaha pembinaan peserta didik, yang meliputi:
(a) Menguatkan sikap mental peserta didik supaya mampu
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya,
(b) Memberikan pendidikan bukan hanya penambahan pengetahuan
dan keterampilan, namun juga pendidikan mental dan pribadi
melalui pengajaran agama, budi pekerti dan etika.
(c) Menyediakan sarana-sarana dan menciptakan suasana yang
optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
(d) Usaha memperbaiki lingkungan sekitar, keadaan sosial keluarga,
maupun masyarakat dimana terjadi banyak kenakalan peserta
b) Usaha penanggulangan peserta didik secara khusus.
Di sekolah, pendidikan mental ini khususnya dilakukan oleh
guru, guru pmbimbing bersama para pendidik lainnya. Usaha para
pendidik harus diarahkan terhadap peserta didik dengan mengamati,
memberikan perhatian khusus dan mengawasi setiap penyimpangan
tingkah laku peserta didik di rumah dan di sekolah.
Pemberian bimbingan terhadap peserta didik dapat berupa:
1) Pengenalan diri sendiri: menilai diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain.
2) Penyesuaian diri: mengenal dan menerima tuntutan dan penyesuaian
diri dengan tuntutan tersebut.
3) Orientasi diri: mengarahkan pribadi peserta didik ke arah
pembatasan antara diri pribadi dan sikap sosial dengan penekanan
pada penyadaran nilai-nilai sosial, moral dan etika ( Gunarsa, 2009:
143-144).
Menurut Soedjono Dirjosiswono, SH ( dalam Sudarsono, 2004:
93) mengemukakan asas umum penanggulangan kenakalan berupa:
1) Usaha penanggulangan kenakalan peserta didik dengan cara
moralitas adalah penitik beratan pada pembinaan moral dan
pembinaan kekuatan mental peserta didik. Dengan pembinaan
perbuatan-perbuatan delikuen. Sebab nilai moral akan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan delikuen.
2) Usaha penanggulangan kenakalan peserta didik dengan cara
abolisionistis adalah untuk mengurangi, bahkan untuk
menghilangkan sebab-sebab yang mendorong peserta didik
melakukan perbuatan-erbuatan delikuen yang bermotif apa saja. Di
samping itu tidak kalah pentingnya usaha untuk memperkcil,
bahkan meniadakan faktir-faktor yang membuat peserta didik
terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan delikuensi. Faktor
tersebut antara lain broken home, frustasi dan kurangnya sarana
D.Hasil Penelitian Terdahulu
1. Peran Guru PKn Terhadap Pembentukakan Moral Siswa di SMP Negeri 10
Palu
Penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin (2014) mempunyai hasil
sebagai berikut: peran guru PKn dalam pembentukan moral siswa di SMP
Negeri 10 Palu secara umum adalah sudah sangat berperan. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai perhatian , dan dari kesiriusan yang diperankan dalam
pembelajaran di kelas. Keseluruhan hal yang dilakukan oleh guru PKn
dalam kelas menunjukan adanya perannya dalam pembentukan moral siswa
di SMP Negeri 10 Palu . Faktor penghambat dihadapi oleh Guru PKn dalam
pembentukan moral siswa di SMP Negeri 10 Palu antara lain adalah
kurangnya kesadaran beberapa peserta didik untuk disiplin dalam
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), kurangnya kerjasama
antara orang tua dan guru PKn dan kurangnya kerjasama antara pihak
sekolah dan lingkungan sekolah.
2. Peran Guru PKn dalam Pembinaan Perilaku Siswa
Penilitian yang dilakukan oleh Rita Afriani dan Amran Mahmud
(2016) dengan hasil sebagai berikut: peran guru Pkn dalam pembinaan
perilaku siswa tentang studi pengembangan keserdasan siswa, tanggung
jawab serta partisipasi sudah cukup baik.
Dengan peran yang ditunjukan oleh Guru PKn selalu mengontrol
sikap dan kecerdasan siswa cukup baik dalam mambangun karakteristik
siswa selalu mengikuti pembelajaran dan kegiatan-kegiatan positif yang
selalu diadakan oleh pihak sekolah. Untuk melatih kecerdasan, tanggung
jawab dan partisipasi siswa guna mengikuti kegiatan belajar, dan ekstra
kurikuler lainnya. Selain itu guru PKn juga mengajarkan hal yang paling
dasar yaitu cara bersikap terhadap orang yang lebih tua dengan baik sesuai
dengan nilai-nilai moral sebagai warga negara yang demokratis.
3. Peran Guru PKn dalam Mencegah Kenakala Peserta Didik di SMP Negeri 1
Tanggugharjo kabupaten Brobogan
Penelitian yang dilakukan oleh Suyanto (2011) dengan hasil sebagai berikut:
Peran guru PKn dalam mencegah kenakalan peserta didik, melaui
pencegahan secara umum dan secara khusus. Usaha pencegahan secara
umum (1) mengetahui kesulitan-kesulitan dan penyebab secara umum yang
dialami oleh peserta didik , dan (2) usaha pembinaan peserta didik.
Sedangkan usaha pencegahan kenakalan peserta didik secara khusus adalah
dengan pemberian bimbingan berupa: penyesuain diri dan orientasi diri.
Pemberian bimbingan dilakukan melalui pendekatan individu atau langsung
pada peserta didik yang melakukan kenakalan agar tidak melakukan
kenakalan selanjutnya. Pendekatan kelompok dilakukan pada peseta didik
secara kelompok yang melakukan kenakalan agar tidak mengulangi
melakukan kenakalan sehingga todak mempengaruhi peserta didik yang