• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia diarahkan untuk mempercepat pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002).

Konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money

follows function (Bahl, 1998) mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan

kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assigment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assigment). Hal ini dapat berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Kebijakan desentralisasi pengeluaran dan penerimaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan bagian dari program untuk meningkatkan efisiensi pada sektor publik (pemerintah), mengurangi budget defisit dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Bird dan Wallich, 1993; Bahl dan Linn, 1992; Rivlin, 1992; Gramlich, 1993; Oates, 1993; dan Bird, 1993 dalam Zhang dan Zou, 1998). Pemikiran yang mendasari kebijakan desentralisasi dan delegasi kewenangan ke daerah, yang diikuti secara konsisten dengan desentralisasi fiskal, adalah keyakinan bahwa pemerintah daerahlah yang dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi (Oates, 1972). Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan

(2)

kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Dengan demikian, keuntungan dari efisiensi ini akan menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada tingkat lokal yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan nasional. Namun pesatnya peningkatan anggaran yang dikelola daerah, sudah selayaknya perlu diikuti oleh peningkatan kemampuan dari pemeritah daerah dalam mengelola, memanfaatkan secara optimal, dan mempertanggungjawabkan secara baik.

Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Selain kedua instrumen tersebut, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran kementrian/lembaga dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dana perimbangan serta dana otonomi khusus meningkat sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp 153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 220 triliun pada 2006 atau meningkat 43%, dan pada tahun 2007 mencapai Rp 258,8 triliun atau meningkat 17,6%. Jumlah tersebut meliputi sepertiga dari seluruh total APBN 2007. Dana Alokasi Umum yang diprioritaskan untuk gaji dan tunjangan PNS-Daerah, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan, serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, mengalami kenaikan pesat sebesar 64% dari Rp 88,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 145,6 triliun pada tahun 2006, dan naik kembali sebesar 13% menjadi Rp 164,8 triliun pada tahun 2007. Sementara itu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari Rp 4,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 11,5 triliun tahun 2006 atau melonjak 145% dan terus meningkat sebesar 48% menjadi Rp 17,1 triliun tahun 2007. DAK ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan dan perikanan/kelautan.

Tahun 2004 anggaran untuk program kemiskinan berjumlah Rp 18 triliun, tahun 2005 meningkat Rp 23 triliun, tahun 2006 melonjak hampir dua kali lipat

(3)

menjadi Rp 42 triliun, dan tahun 2007 mencapai Rp 51 triliun. Dari segi anggaran per jiwa orang miskin adalah Rp. 499 ribu/jiwa untuk tahun 2004, meningkat menjadi Rp 655 ribu /jiwa untuk tahun 2005, Rp 1,08 juta /jiwa untuk tahun 2006, dan tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 1,3 juta /jiwa orang miskin.

Tingkat pertumbuhan ekonomi terlihat berfluktuasi dimana pada tahun 2005 sebesar 5,70%, tahun 2006 sebesar 5,50% dan pada tahun 2007 menjadi 6,30% serta pada tahun 2008 menurun menjadi sebesar 6,1%. Namun demikian angka kemiskinan masih relatif tinggi dimana pada tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97%, tahun 2006 meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75% dan pada tahun 2007 menjadi 37,2 juta jiwa atau 16,58% serta pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42%).

Sementara itu angka pengangguran terbuka juga masih menunjukkan tingkat yang cukup tinggi namun menunjukkan trend yang semakin menurun, dimana pada tahun 2005 sebesar 11,24%, pada tahun 2006 menurun menjadi sebesar 10,28% dan pada tahun 2007 sebesar 9,11%. Trend menurun terus berlanjut hingga agustus 2008 dengan tingkat pengangguran menjadi sebesar 8,39%.

Sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah bahwa sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor) (Nota Keuangan, 2009). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.

Walaupun keberhasilan program-program tersebut sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah seiring dengan kebijakan otonomi daerah, namun pemerintah pusat masih dapat mengintervensinya dengan berbagai kebijakan fiskal untuk mencapai keberhasilan program tersebut. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui alokasi sumber-sumber pendanaan pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik)

(4)

sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Meskipun belum ada bukti empiris yang bisa diterima semua pihak, satu hal yang makin diyakini semua pihak adalah pentingnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi daerahnya sendiri. Melalui konsep market

preserving federalism (Sato, 2004) yang mendorong adanya persaingan ekonomi

antar daerah, pembangunan ekonomi daerah bisa dioptimalkan. Konsep tersebut menekankan pada efisiensi dinamis, upaya memperbaiki pembangunan, dan inovasi kebijakan, sekaligus menciptakan keseimbangan kekuatan dimana setiap unit pemerintahan dapat membangun dan melindungi pasarnya sendiri tetapi tidak memungkinkan unit tersebut untuk mendominasi pasar nasional atau merusak tatanan pasar yang ada. Kondisi ideal akan tercapai apabila pemerintah daerah berkompetisi antar mereka untuk menarik investor menanamkan modalnya di daerah mereka, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat menjamin tidak adanya hambatan pergerakan barang dan orang antar daerah. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah akan terpacu untuk menyediakan infrastruktur terbaik dan menciptakan peraturan daerah yang kondusif bagi investor. Pemerintah pusat juga akan berusaha sekuat tenaga mencegah terjadinya kemungkinan hambatan pergerakan orang dan barang antar daerah yang sangat mungkin dibuat oleh beberapa pemerintah daerah, sekaligus melakukan fungsi pengawasan dan supervisi terhadap otonomi daerah itu sendiri. Perekonomian nasional jelas akan menerima manfaat optimal dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan penerapan market preserving federalism.

Peranan pemerintah dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Salah satu bentuk peran pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal policies). Kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan kebijakan perpajakan, kebijakan bukan pajak, kebijakan anggaran belanja negara maupun kebijakan pembiayaan anggaran termasuk transfer. Sedangkan peran pemerintah secara tidak langsung dapat ditempuh melalui berbagai regulasi atau peraturan pemerintah.

(5)

Beranjak dari konsep dan implementasinya dalam desentralisasi fiskal di Indonesia, besarnya transfer dana didaerah dan kemungkinan peningkatan potensi PAD seharusnya memiliki korelasi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin melalui pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga fenomena mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dalam perspektif desentralisasi fiskal menjadi menarik untuk diteliti.

1.2 Permasalahan

Meningkatnya penerimaan keuangan pemerintah daerah yang disebabkan oleh kebijakan fiskal pemerintah di era otonomi daerah seharusnya memiliki dampak terhadap perekonomian daerah bersangkutan. Semakin besarnya penerimaan anggaran yang diiringi semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah diharapkan diikuti dengan peningkatan pelayanan publik yang bermuara pada peningkatan kinerja perekonomian daerah yang juga akan berimbas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien. (Mardiasmo dalam Abimanyu, 2009). Fenomena ini juga pernah diungkapkan oleh Professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kemudian digambarkan oleh kurva Scully. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, dijelaskan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol.

Intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar pada masa lalu (era sentralisasi) telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan. Hal ini memunculkan keraguan dari sejumlah kalangan apakah penerapan desentralisasi fiskal di

(6)

Indonesia bisa sukses meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang tercermin dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran.

Selain itu, peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan telah menyebabkan keleluasaan belanja pemerintah pusat dalam pengalokasian dalam APBN secara agregat berkurang. Hal ini juga berkonsekuensi berkurangnya kewenangan dan intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah sehingga program dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi bisa tidak selaras dengan pemerintah daerah, akibatnya kinerja perekonomian daerah dan nasional bisa terganggu.

Berdasarkan latar belakang di atas maka pertanyaan yang menarik untuk diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kinerja keuangan pemerintah daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan?

2. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia?

4. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap pengangguran di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah.

2. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal (komposisi fiskal) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia.

4. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pengangguran di Indonesia.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap indikator penting dalam perekonomian Indonesia

2. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka perbaikan kebijakan pengelolaan desentralisasi fiskal kedepannya

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap 33 propinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Untuk kesinambungan data, jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1994, dimana jumlahnya sebanyak 26 provinsi, sehingga provinsi yang mekar setelah itu datanya diagregasikan ke provinsi induk Karena pusat desentralisasi di Indonesia adalah tingkat Kabupaten/Kota, sehingga estimasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan cara menjumlahkan masing-masing komponen desentralisasi fiskal dari setiap kabupaten/kota dan propinsi dari setiap provinsi di Indonesia. Sehingga komponen fiskal provinsi merupakan penjumlahan seluruh komponen fiskal di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Untuk menyeimbangkan level data (apple to

apple), data-data yang berhubungan dengan harga distandarkan dengan

menggunakan tahun dasar 1993 (dideflate dengan gdrp deflator).

Sistem tahun anggaran yang digunakan Pemerintah Indonesia sebelum tahun 2000 dimulai dari bulan April tahun ke-n hingga Maret tahun n+1. Sedangkan pada tahun 2000 tahun anggaran dimulai bulan April 2000 hingga Desember 2000 (9 bulan). Sementara pada tahun 2001 hingga saat ini tahun anggaran dimulai dari bulan Januari hingga Desember tahun yang sama. Sehingga untuk menyeimbangkan data dilakukan penyesuaian tahun anggaran yaitu dimulai dari Januari hingga Desember. Tahun anggaran sebelum 2000 di gunakan rumus (¾ anggaran tahun ke-n ditambah ¼ anggaran tahun ke n-1). Sebagai contoh, untuk menghitung anggaran tahun 1999 adalah ¾ anggaran tahun 1999/2000 ditambah ¼ anggaran tahun 1998/1999. Sementara itu untuk penghitungan anggaran tahun 2000 digunakan rumus 100% anggaran tahun 2000 ditambah ¼

(8)

anggaran tahun 1999/2000. Sedangkan untuk anggaran tahun 2001 hingga 2008 tidak mengalami perubahan karena sudah berdasarkan tahun anggaran yang baru.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian terdapat tiga macam, yaitu Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa

Dengan kemajuan IPTEK yang begitu pesat, banyak terobosan - terobosan yang diciptakan untuk membantu kerja manusia dalam menyelesaikan masalahnya. Segala aktifitas

For this purpose we would determine the optimum biosorption conditions as a function of pH, initial metal concentration ion, particle size, amount of biosorbent

Dari berbagai unsur tersebut penulis fokus pada satu kesatuan elemen karya sastra yang tidak dapat dipisahkan yaitu alur atau plot, setting atau latar dan tokoh..

Pertimbangan lain pada perkara ini, MK memberikan pandangan bahwa MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural ( procedural justice ) memasung dan

dibuat dengan pelunakan yang lama pada besi cor putih, dicor dengan cara yang sama seperti besi cor kelabu, sehingga pada pelunakan tersebut sementit terurai dan

[r]

Sesuai dengan beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif remaja adalah suatu tindakan manusia yang berupa reaksi