• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Technology Acceptance Model

Davis dalam Lee, Park, and Ahn (2000) menyatakan pendapat bahwa TAM memprediksikan penerimaan oleh pengguna berdasarkan dua perilaku yang spesifik yaitu perceived easy of use (PEU) dan perceived usefulness (PU) yang menentukan minat seseorang untuk menggunakan information technology.

Mereka pun mengatakan bahwa sistem informasi yang pengguna rasakan lebih mudah dan lebih kompleks untuk digunakan akan meningkatkan kemungkinan pengadopsian dan penggunaannya. TAM mulanya dibangun untuk studi

adoption pada teknologi untuk tujuan yang bermanfaat dimana perceived usefulness (PU) dan perceived ease of use (PEOU) menjadi prediktor paling kuat di berbagai kasus (Wen, Prybutok, & Xu, 2011).

Menurut Davis dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Technology_acceptance_model (2013)

mengemukakan tentang TAM sebagai berikut:

TAM (Technology Acceptance Model) is an information systems theory that models how users come to accept and use a technology. The model suggests that when users are presented with a new technology, a number of factors influence their decision about how and when they will use it, notably:

1. Perceived usefulness (PU) - This was defined by Fred Davis as "the degree to which a person believes that using a particular system would enhance his or her job performance".

2. Perceived ease-of-use (PEOU) - Davis defined this as "the degree to which a person believes that using a particular system would be free from effort".

Technology Acceptance Model (TAM) tidak termasuk gagasan perilaku untuk menjelaskan secara lebih baik tentang minat, sehingga konsep inti dari TAM yaitu perceived usefulness, perceived ease of use, dan subjective norm

(Dharmawirya & Smith, 2012). TAM mengekspresikan dua kepercayaan pada

               

(2)

perilaku khusus yaitu, ease of use dan usefulness, menentukan minat dan perilaku individu untuk menggunakan teknologi, dimana sikap terhadap penggunaan mempengaruhi minat pemakaian secara langsung (Yulihasri et al., 2011). (Yulihasri et al., 2011) menambahakan bahwa usefulness dan easy of use

diharapkan dapat mempengaruhi sikap individu saat menggunakan sistem, dan menjelaskan perbedaan intention to use terhadap sistem.

Jadi, perceived usefulness yaitu tingkat kepercayaan seseorang menggunakan teknologi baru sebagai pengukuran minat pemakaian produk ataupun jasa, sedangkan perceived ease of use yaitu pengukuran minat seseorang menggunakan teknologi baru dengan memberikan berbagai kemudahan bagi orang tersebut.

2.2 Prasyarat untuk Adopsi yang Sukses 2.2.1 Compatibility

Compatibility menunjukkan tingkat produk yang konsisten dengan pengaruh, kesadaran, dan perilaku terbaru konsumen (Peter & Olson, 2010). Sedangkan compatibility dipertegas menurut Oxford Dictionary yaitu able to exist together (Oxford, 2004). Selain itu, Chau dan Hwa dalam Yulihasri et al. (2011) mengidentifikasi compatibility sebagai faktor yang diperlukan untuk innovation adoption yang juga termasuk dalam decomposed model

Inovasi dilakukan dengan syarat harus compatible dengan gaya hidup konsumen, contohnya adalah sebuah perusahaan memperkenalkan personal care product tentang hair remover untuk pria sebagai pengganti razor dan

shaving cream beberapa tahun lalu dan tidak sukses, karena meskipun produk tersebut simple dan convenient untuk digunakan, tetapi produk terebut gagal karena pria tidak tertarik pada produk yang mereka rasa terlalu feminine (Solomon, 2004). Kebutuhan di mana dirasakan tidak ada dalam diri seseorang, salah satunya meliputi kebutuhan kenyamanan menggunakan produk atau jasa (Kasmir, 2008). Jadi, compatibility yaitu hal yang sesuai

               

(3)

dengan kebutuhan seseorang dimana orang tersebut merasa cocok dan nyaman dengan hal tersebut.

2.2.2 Trialability

Trialability adalah tingkat perasaan di mana inovasi dapat dicoba pada basis yang terbatas, dan juga secara positif berhubungan dengan penerimaan (http://en.wikipedia.org/wiki/Technological_change, 2013). Dikarenakan

perceived risk yang tinggi selalu ada pada unknown product, orang bisa saja melakukan inovasi lebih dulu. Untuk mengurangi resiko ini, perusahaan biasanya memilih staregi mahal yaitu pengiriman sample dengan cara

distributing free “trial-size” pada produk baru (Solomon, 2004). 2.2.3 Complexity

Complexity yaitu tingkat inovasi yang terlihat sulit untuk dimengerti dan digunakan, jadi jika inovasi lebih complex maka inovasi tersebut dapat diterima dengan lebih lambat (http://en.wikipedia.org/wiki/Technological_change, 2013). Produk yang lebih mudah dimengerti dan digunakan akan lebih dipilih oleh konsumen daripada produk kompetitor, karena strategi ini memerlukan sedikit usaha dari konsumen dan juga lebih rendah perceived risk nya (Solomon, 2004).

2.2.4 Observability

Observability yaitu tingkat inovasi yang dirasakan dan dapat dilihat oleh orang lain pada dan secara positif berhubungan dengan penerimaan (http://en.wikipedia.org/wiki/Technological_change, 2013). Inovasi yang dengan mudah terlihat mungkin berbeda karena kualitas ini kemungkinan besar membuat adopters lain yang potensial akan menjadi sadar pada adanya produk baru tersebut (Solomon, 2004).

               

(4)

2.3 Privacy

Privacy adalah keadaan yang lurus dan tidak dapat diganggu oleh hal lain (Oxford, 2004) , sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sesuatu yang bersifat rahasia (Kamus, 1999) Sedangkan (Karami, Ur-Rehman-Khan, Saeidi, Saeidi, & Saeidi, 2012) menyatakan bahwa privacy adalah perhatian langsung ke tingkat penjagaan transaksi melalui internet dan mengamankan informasi pelanggan. Fatimah dalam (Yulihasri et al., 2011) menegaskan bahwa menjaga privacy adalah suatu hal yang penting dan hal-hal pribadi tersebut digunakan dengan penuh kepedulian, membutuhkan tujuan yang sah, tidak memperlihatkan kepada orang yang salah dan tidak memproses nya tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan, oleh karena itu, memproses data pribadi harus ada kepastian dengan kondisi yang pasti.

(Kasmir, 2008) menyatakan dalam buku Pemasaran Bank bahwa salah satu kebutuhan seseorang yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai. Jadi, privacy

adalah suatu keadaan dimana seseorang ingin dihormati rahasia pribadi nya dengan cara mengamankan informasi nya dan tidak dapat diganggu oleh hal lain. Sehingga, privacy konsumen merupakan faktor yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan.

2.4 Security

Security adalah perlindungan terhadap hal yang buruk yang mungkin dapat terjadi di kemudian hari (Oxford, 2004), sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, security yaitu keadaan aman, ketentraman, dan hal yang bersifat ketertiban (Kamus, 1999). Udo dalam (Yulihasri et al., 2011) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang dekat antara security dan privacy, yaitu ketika privacy

dihubungkan pada keputusan perusahaan yang dengan sengaja melakukan sesuatu dengan data konsumen, maka security dikaitkan dengan beberapa kejadian yang terdiri dari data konsumen tersebut kepada third party. Security yaitu bebas dari

               

(5)

bahaya, risiko, atau keragu-raguan, termasuk di dalamnya yaitu keamanan secara fisik, keamanan finansial, privasi, dan kerahasiaan (Tjiptono, 2008).

(Kasmir, 2008) menjelaskan bahwa dalam praktiknya, kebutuhan konsumen atau nasabah salah satunya yaitu kebutuhan rasa aman dalam menggunakan produk atau jasa tersebut. Jadi, security yaitu hal yang memberikan keamanan, perlindungan, serta menjauhi seseorang dari resiko. Sehingga, untuk memberikan faktor security kepada seseorang, harus memperhatikan tingkat perlindungan dan keamanan terhadap orang tersebut.

2.5 Perceived Quality

Konsumen biasanya menilai kualitas pada produk atau service pada macam-macam petunjuk informasi yang mereka asosiakan dengan produk (Schiffman & Kanuk, 2004) . Hellier dalam Ranjbarian, Sanayei, Kaboli, and Hadadian (2011) menyatakan bahwa perceived quality adalah keseluruhan penilaian konsumen secara sederhana pada proses standar penerimaan customer service. Athiyama dalam (Ranjbarian et al., 2011) berpendapat bahwa beberapa ahli percaya

perceived quality adalah perluasan pemenuhan dasar antara perceived performance dan customer expectation.

Zeithaml (1988) menjelaskan dalam jurnal (Irshad & Irshad, 2012) bahwa

perceived quality yaitu pendapat konsumen tentang kualitas produk pada seluruh

basis. Ketika konsumen membeda-bedakan produk secara berulang kali, maka produk menjadi khas, tetapi sebelum itu terjadi, perceived quality terhadap produk bisa ditentukan sebagai variabel mediasi yang mempengaruhi dampak labeling

pada minat beli konsumen (Hanzaee & Taghipourian, 2012). 2.5.1 Perceived Quality of Products

Dalam beberapa kasus, konsumen menggunakan karakteristik fisik untuk menilai kualitas produk. Lebih lanjut lagi, mereka menggunakan karekteristik ekstrinsik untuk menilai kualitas, contohnya rasa, dan ada pula konsumen yang menggunakan country-of-origin stereotypes untuk mengevaluasi produk (Schiffman & Kanuk, 2004).

               

(6)

2.5.2 Perceived Quality of Services

Mengevaluasi perceive quality of services lebih sulit dari mengevaluasi

product quality karena terdapat karakterisitik khusus yang dimiliki oleh

service. Schiffman and Kanuk (2004) menjelaskan untuk mengatasi kenyataan bahwa konsumen tidak dapat membandingkan dengan service dari sisi demi sisi seperti mereka melakukannya dalam mengevaluasi produk, maka konsumen bersandar pada petunjuk pengganti, seperti kualitas kantor, ruangan, pegawai. Tidak seperti produk pula, dimana ia diproduksi, dijual, lalu dikonsumsi, tetapi kebanyakan services yaitu dijual, diproduksi untuk kemudian dikonsumsi secara serempak (Schiffman & Kanuk, 2004).

(Li, 2009) juga mengatakan hal yang serupa yang ia kutip dari Parasuraman et al., (1985) dan Zeithaml., et al (1988) dalam jurnalnya, bahwa berdasarkan dari modelnya, perceived service quality terlihat bahwa ketika konsumen mengukur service quality, mereka akan membandingkan persepsi nya dengan kinerja nyatanya dari penyedia jasa.

Jadi, perceived quality of service yaitu service yang dirasakan seseorang dan dapat membandingkannya antara persepsi dan kenyataannya. Salah satu konseptualisasi dominan terhadap perceived service quality yaitu Nordic model (Tjiptono, Chandra, & Diana, 2004):

Gambar 2.1 Nordic Model (Sumber: (Tjiptono et al., 2004) Jasa yang Diharapkan Jasa yang Dipersepsikan Perceived Service Quality Citra

Kualitas Teknis Kualitas

Fungsional                

(7)

2.6 Store Brand Image

Roberts dan Dowing dalam (Ranjbarian et al., 2011) menyatakan bahwa

store brand image adalah modal intangible yang bernilai yang sulit untuk dicontoh dan hal tersebut dapat membantu perusahaan untuk mencapai kinerja keuangan menjadi lebih unggul. Mereka menambahkan bahwa teori umum yang berhubungan dengan store brand image yaitu mental yang baik tentang merek, maka akan memberikan efek positif pada perilaku konsumen.

Anita (2000) menyatakan bahwa store image berpengaruh positif (searah) terhadap repuchase intention produk private label. Schiffman and Kanuk (2004)

memberikan penjelasan bahwa toko ritel memiliki image sendiri yang disediakan untuk mempengaruhi perceived quality of products. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa store brand image adalah citra yang dimiliki toko yang bisa memberikan efek positif maupun negatif dari konsumen.

2.7 Customer’s Intention

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia minat adalah hati yang cenderung tinggi pada sesuatu, termasuk gairah dan keinginan nya pula; kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu (Kamus, 1999).

Menurut Keller dalam Jaafar, Lalp, and Mohamed@Naba (2011) bahwa perilaku pembelian adalah kunci penting untuk konsumen selama menentukan dan mengevaluasi produk khusus, bahkan Ghosh dalam (Jaafar et al., 2011) berpendapat bahwa minat pembelian adalah alat yang efektif untuk digunakan dalam memprediksi proses pembelian, ketika konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, mereka akan didorong oleh minat mereka.

Kwek dalam (Irshad & Irshad, 2012) mengidentifikasi bahwa minat beli adalah satu dari atribut tentang perilaku kognitif. Beberapa peneliti menyatakan pertimbangan konsumen dalam pembelian yaitu diukur oleh minat beli. Minat beli yaitu keinginan konsumen untuk membeli, meningkatkan, dan

               

(8)

menggunakan ulang merek tersebut, (Irshad & Irshad, 2012). Purchase intention sebagai situasi dimana konsumen didorong untuk membeli produk menurut kondisi yang pasti, serta mengacu pada kesediaan konsumen untuk membeli merek, meningkatkan dan melanjutkan pemakaiannya, menurut Morwitz dalam (Irshad & Irshad, 2012).

(Hanzaee & Taghipourian, 2012) menyatakan bahwa purchase intention

adalah variabel yang sering dipakai oleh peneliti dalam mengukur program pembelian. Memprediksi perilaku pembelian konsumen adalah cara untuk mengukur minat beli mereka sebelum mereka melakukan pembelian, sayangnya memprediksi perilaku secara spesifik pada pengukuran minat sebelum perilaku tersebut terjadi biasanya tidak akurat (Peter & Olson, 2010).Hellier dalam (Ranjbarian et al., 2011) menyatakan bahwa re-purchase intention adalah pengulangan proses pembelian goods or services dari toko tertentu dan alasan utama dalam pengalaman setelah berbelanja.

(Ranjbarian et al., 2011) yang mengutip dari Zeithaml (1996) menegaskan bahwa perusahaan daripada menarik konsumen baru, mereka dapat memelihara konsumen lama dengan biaya yang rendah. Ghosh dalam Jaafar et al. (2011) berpendapat bahwa minat beli adalah alat yang efektif untuk digunakan dalam memprediksi proses pembelian. Mereka menambahkan kutipan dari Zeithaml (1988) dan Grewal et al (1988) yang mejelaskan bahwa pertama kali konsumen memutuskan untuk membeli produk di toko khusus, mereka akan didorong dengan minat mereka. Lebih lanjut lagi, minat beli dapat dipengaruh dari harga, persepsi kualitas, dan persepsi nilai. Sedangkan Li (2009) mengadopsi pernyataan dari Wathne (2001) yang menyatakan alasan yang membuat konsumen memutuskan untuk memilih penyedia jasa yang sama dan repurchase jasa yang sama yaitu berdsarkan dasar pengalaman masa lalu mereka. Jadi, reuse intention

yaitu pengulangan penggunaan sesuatu berdasar atas pengalaman yang telah dirasakan.                

(9)

Penelitian tentang minat beli ulang atau minat ulang konsumen terhadap produk atau jasa telah banyak diteliti sebelumnya oleh banyak peneliti. Beberapa diantara faktor yang telah diteliti sebelumnya, diaplikasikan ke dalam penelitian minat konsumen terhadap penggunaan ulang layanan transaksi perbankan melalui kantor pos.

2.8 Hubungan Dimensi-Dimensi dengan Minat Konsumen

2.8.1 Hubungan antara Perceived Usefulness, Compatibility dan Minat Konsumen

Compatibility dan perceived usefulness telah ditemukan sebagai faktor yang paling signifikan untuk mempengaruhi perilaku pelajar untuk berbelanja di internet dalam kasus faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen dalam shopping online (Yulihasri et al., 2011).

2.8.2 Hubungan antara Privacy dan Minat Konsumen

Jika online shopper tidak memberikan nilai pada data dan privacy

mereka, maka mereka tidak memiliki hasrat untuk repurchase tapi jika mereka memberikan nilai pada data dan privacy mereka, maka mereka memiliki hasrat untuk membeli lagi (Karami et al., 2012).

2.8.3 Hubungan antara Security dan Minat Konsumen

Security mempengaruhi perilaku pelajar untuk berbelanja di internet dalam kasus faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen dalam

shopping online (Yulihasri et al., 2011).

2.8.4 Hubungan antara Perceived Service Quality dan Minat Konsumen

Jaafar et al. (2011) memberikan pernyataan yang menjelaskan perceived quality yang lebih besar pada produk, kemungkinan besar konsumen mempunyai intention to purchase pada produk private label. (Ranjbarian et al., 2011) menyatakan bahwa percevied quality mempunyai efek positif yang signifikan terhadap re-purchase intention dalam kasus analisis pada

brand image, perceived quality, customer satisfaction dan re-purchase intention di Iranian Department Stores.

               

(10)

Irshad and Irshad (2012) menegaskan bahwa satu hal yang menarik yang harus diperhatikan oleh pelaksana adalah konsep yang digunakan menunjukkan brand equity (perceived service quality, brand association & awareness dan service loyalty) berkontribusi dengan lebih dari 50% dalam minat beli pada pengguna mobile.

Li (2009) mendapatkan hasil dari penelitiannya bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam percieved service quality pasien, brand image, word of mouth, dan repurchase intention ketika disegmentasikan berdasarkan usia dan tingkat pendidikan dalam kasus pengaruh pada

perceived service quality pada brand image, word of mouth dan repurchase intention pada Rumah Sakit Umum Min-Sheng di Taouyuan,Taiwan.

2.8.5 Hubungan antara Store Brand Image dan Minat Konsumen

Jaafar et al. (2011) berpendapat bahwa jika store image dari produk tersebut bagus, maka minat beli konsumen akan meningkat, oleh karena itu hasil nya sesuai dengan penelitian sebelumnya (store brand image

mempengaruhi minat beli konsumen). Store image berpengaruh signifikan terhadap repurchase intention dalam kasus pengaruh store image, product signatureness, dan quality variation terhadap purchase intention produk

private label melalui quality perception di Carrefour Surabaya (Anita, 2000).                

(11)

2.9 Model Penelitian H1, H8 H2, H19 H3, H10 H4, H11 H5, H12 H7 H6, H13

Gambar 2.2 Model Penelitian (Sumber: Olah Pikir Peneliti)

2.10 Hipotesis Penelitian

Ha1 = Perceived Usefulness secara positif mempengaruhi Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha2 = Compatibility secara positif mempengaruhi Customer’s Reuse Intention

secara signifikan.

Ha3 = Privacy secara positif mempengaruhi Customer’s Reuse Intention secara signifikan. Customer’s Reuse Intention Kegunaan (Usefulness) Kecocokan (Compatibility) Kerahasiaan (Privacy) Keamanan (Security)

Store Brand Image Percived Service Quality Pelanggan/Non Pelanggan                

(12)

Ha4 = Security secara positic mempengaruhi Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha5 = Perceived Service Quality mempengaruhi Customer’s Reuse Intention

secara signifikan.

Ha6 = Store Brand Image mempengaruhi Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha7 = Terdapat perbedaan minat menggunakan kembali layanan transaksi perbankan melalui kantor pos antra pelanggan dan non-pelanggan pos

Ha8 = Perceived Usefulness secara positif memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha9= Compatibility secara positif memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha10 = Privacy secara positif memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha11 = Security secara positic memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha12 = Perceived Service Quality memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

Ha13 = Store Brand Image memiliki hubungan dengan Customer’s Reuse Intention secara signifikan.

                 

Gambar

Gambar 2.1 Nordic Model (Sumber: (Tjiptono et al., 2004) Jasa yang Diharapkan Jasa yang Dipersepsikan Perceived Service Quality Citra
Gambar 2.2 Model Penelitian (Sumber: Olah Pikir Peneliti)  2.10 Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Minat beli ulang merupakan keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali suatu produk atau jasa berdasarkan apa yang telah diperoleh dari perusahaan yang sama

Menurut Hellier, et al, (2003) dalam Setyaningsih (2008) niat beli ulang merupakan keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali suatu produk atau

pengertian minat beli ulang adalah perilaku pelanggan dimana pelanggan merespon positif terhadap apa yang telah diberikan oleh suatu perusahaan dan berminat untuk melakukan

1) Perilaku pembelian kompleks Konsumen melakukan perilaku pembelian kompleks ketika mereka sangat terlibat dalam pembelian dan merasa ada perbedaan yang signifikan antar

Keputusan pembelian adalah perilaku seorang konsumen dalam melakukan pemilihan suatu produk yang akan dibeli yaitu proses mulai dari melihat hingga akhirnya mengambil keputusan

Dari beberapa definisi mengenai minat beli ulang diatas maka dapat disimpulkan bahwa minat beli ulang merupakan kegiatan pembelian yang dilakukan konsumen

Pengertian minat beli konsumen menurut Durianto, dkk (2003:104), adalah sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa minat beli ulang merupakan suatu perilaku konsumen yang mencermikan tingkat kepuasan terhadap suatu produk atau jasa yang