• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telljohann, 2003; Frisen & Holmqvist, 2010; Hong & Espelage, 2012). Penelitian. adalah korban bullying. Sementara itu, Evans, Fraser, & Cotter (2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Telljohann, 2003; Frisen & Holmqvist, 2010; Hong & Espelage, 2012). Penelitian. adalah korban bullying. Sementara itu, Evans, Fraser, & Cotter (2014)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Bullying telah menjadi permasalahan serius bagi para siswa di sekolah dan telah banyak menjadi topik penelitian di seluruh dunia (Dake, Price, & Telljohann, 2003; Frisen & Holmqvist, 2010; Hong & Espelage, 2012). Penelitian yang dilakukan Mceachern (dalam Aluede, 2011) di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 hingga 16 tahun menunjukkan bahwa 8 hingga 38 persen siswa adalah korban bullying. Sementara itu, Evans, Fraser, & Cotter (2014) menemukan bahwa sekitar 30% siswa di sekolah terlibat dalam bullying, baik sebagai korban, pelaku, maupun keduanya.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Craig, Fisch, Grinvald, & Dostaler (2009) yang mengungkapkan, pada remaja pada 40 negara, dengan jumlah sampel 29.127 siswa, diketahui 26% partisipan terlibat dalam bullying. Prevalensi bullying pada remaja laki-laki lebih tinggi dibanding remaja perempuan. Selain itu, remaja laki-laki juga lebih tertarik untuk terlibat dalam sebuah situasi yang mendukung terjadinya bullying.

Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada tahun 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa tercatat sebesar 43,7% dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua kekerasan verbal (mengejek) dan terakhir kekerasan fisik (memukul). Kasus bullying juga banyak diberitakan oleh media massa. Merdeka (2014) memberitakan bahwa sebanyak 13 siswa kelas XII SMA 70, Jakarta Selatan dikeluarkan dari sekolah karena melakukan tindakan bullying

(2)

terhadap juniornya hingga luka-luka. Diketahui, aksi bullying tersebut dilakukan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Argiati (2010) menyebutkan dalam hasil penelitian studi kasusnya pada siswa SMA di Yogyakarta bahwa 78 dari 113 siswa (69,3%) pernah memperoleh bullying di sekolah dari teman, guru dan orangtua. Selain itu, sebanyak 71, 68% pelaku bullying adalah teman di sekolah. Bentuk bullying yang terjadi berupa fisik maupun psikis. Hasil penelitian melaporkan bullying yang dilakukan secara fisik, yaitu ditendang/didorong (72,22%), dihukum/push up (71,68%), dipukul (46,02%), dijegal/diinjak kaki (34.51%), dijambak/ditampar (23.9%), dilempar dengan barang (23.02%), dan dipalak (15.03%). Sementara itu, bullying secara psikologis yang paling sering terjadi antara lain adalah difitnah/digosipkan (92,99%), dipermalukan di depan umum (79,65%), dihina/dicaci (44,25%), dituduh (38,05%), disoraki (38,05%), dan diancam (30,97%). Data dalam penelitian ini menunjukkan konsistensi yang bersumber dari asesmen dengan menggunakan skala maupun pertanyaan terbuka kepada partisipan. Hasil serupa juga disebutkan dalam penelitian Gustina (2011), dari 250 siswa SMA di Yogyakarta yang menjadi subjek penelitiannya, 46,4% dari responden adalah korban bullying.

Data lain diperoleh dari jajak pendapat yang dilakukan Center for Public Mental Health atau CPMH (2012) terhadap 144 siswa SMA di Yogyakarta. Ditemukan 8.39% siswa merasa takut dan gelisah ketika berada di sekolah, 4.89% siswa mengaku cukup sering menyaksikan peristiwa kekerasan di sekolah, 59.5% siswa mengaku pernah mendapatkan kekerasan di sekolah (dipalak,

(3)

diancam, dipukul, diejek, dan sejenisnya), dan 9.09% siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah (memalak, mengancam, memukul, mengejek, dan sejenisnya).

Kumara, Aryuni, Pratama, PoEh, dan Syahputri (2013) melakukan survei kepada 739 siswa SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Hasil survei menemukan bahwa 100 siswa merasa pernah mengalami bullying di sekolah dalam kurun waktu satu tahun terakhir dan 396 siswa mengaku pernah melihat kejadian bullying di sekolahnya. Data-data tersebut menunjukkan indikasi prevalensi bullying di lingkungan sekolah pada siswa SMA di Yogyakarta. Data ini juga mengungkap adanya permasalahan bullying pada siswa SMA di Yogyakarta.

Hasil survei yang dilakukan oleh komunitas @sadarbully (2013) menemukan, dari 110 orang siswa SMA di Yogyakarta yang dilibatkan dalam survei, 87 orang responden tidak mengetahui definisi bullying. Mayoritas responden menginterpretasikan bullying sebagai tindakan kekerasan fisik yang biasa dilakukan oleh siswa laki-laki. Berdasar temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika siswa tidak mengetahui informasi yang benar mengenai bullying, mereka tidak dapat mencegah terjadinya bullying.

WHO (2002, dalam Hong & Espelage, 2012) mendefinisikan bullying sebagai perilaku yang disengaja dan dilakukan berulang kali dengan menggunakan fisik maupun psikologis untuk mengancam, menyerang seseorang, atau memerangi suatu kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan luka, kematian, kerugian psikologis, hambatan perkembangan atau kerugian lainnya. Sementara, Salmivalli (dalam Hallford, 2006) menyebutkan bahwa bullying

(4)

adalah perilaku berulang yang dilakukan seorang siswa untuk mengganggu, menyerang di hadapan satu atau anak lainnya. Sementara itu, dua orang siswa yang memiliki kekuatan yang sama untuk berkelahi tidak termasuk dalam kategori bullying.

Bullying memiliki 4 bentuk, yaitu: 1) fisik, dalam bentuk kekerasan fisik, seperti memukul atau menendang; 2) verbal, dalam bentuk komunikasi lisan maupun tertulis, seperti menggoda maupun memberi julukan pada nama; 3) relasional, dalam bentuk tindakan langsung maupun tidak langsung yang mengarah pada perilaku mengancam reputasi dan hubungan korban, seperti menyebarkan rumor atau secara fisik maupun elektronik memposting gambar memalukan dari korban; dan 4) merusak kepemilikan, dalam bentuk mencuri atau merusak hal-hal yang dimiliki korban (Gladden, Vivolo-Kantor, Hamburger, & Lumpkin, 2014)

Bullying memiliki ciri-ciri yang menonjol, yaitu: 1) merupakan perilaku agresi yang menyenangkan bagi pelaku untuk menyakiti korbannya; 2) terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban, dimana pelaku biasanya memiliki kekuatan yang lebih daripada korban, misalnya dari segi status sosial, usia, fisik, mental, dan keahlian; dan 3) dilakukan secara berulang-ulang (Olweus, 1993; Craig, Pepler, & Blais, 2007). Elinoff (2005) menyatakan bahwa bullying adalah bagian dari agresi yang mengarah pada permusuhan dan proaktif, dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan berulang kali kepada target individu atau kelompok yang lebih lemah. Elinoff (2005) juga menambahkan bahwa perilaku bullying memiliki tujuan untuk memprovokasi

(5)

orang lain untuk ikut beraksi sebagai respon dari perilakunya tersebut. Aksi bullying di sekolah dapat menimbulkan perasaan takut dan cemas bagi para siswa, dan juga menjadikan pembelajaran bagi para siswa untuk memaklumi perilaku bullying tersebut.

Bullying dianggap sebagai proses peer-group yang mana siswa dapat secara aktif terlibat sebagai pelaku, korban, maupun keduanya. Lebih lanjut, siswa dapat pula secara pasif terlibat sebagai pengamat, yang mengakibatkan variasi tingkatan dukungan terhadap pelaku maupun korban bullying (Salmivalli, Kaukiainen, & Voeten, 2002). Olweus dan Limber (dalam Losey, 2009) mengindentifikasi bermacam mekanisme kelompok dalam bullying yang dipertimbangkan menjadi faktor risiko teman sebaya. Faktor risiko tersebut adalah seperti, penularan pengaruh buruk sosial, lemahnya pencegahan dalam memerangi bullying, kurangnya tanggungjawab individual dan secara berangsur-angsur mengubah pandangan terhadap korban bullying. Perilaku bullying ini akan menular ketika teman sebaya yang menyaksikan aksi bullying tersebut ikut menikmati aksi bullying terhadap korban. Pelaku bullying akan mendapatkan penguatan atas perilakunya ketika teman sebaya ikut tertawa atau membiarkan perilaku tersebut.

Berdasar penjelasan di atas, remaja memiliki risiko untuk melakukan bullying ataupun menjadi korban. Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Selain itu, karakteristik remaja memiliki keadaan emosi yang cenderung masih labil. Kondisi ini menjadikan remaja

(6)

berisiko untuk menjadi pelaku bullying, karena adanya pengaruh teman sebaya dan mudah terprovokasi untuk melakukan bullying. Sementara itu, fase remaja, merupakan masa pencarian jati diri dan pembentukan self-image. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001) pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Remaja menjadi sangat sensitif terhadap pendapat orang lain, seperti pujian ataupun kritikan. Kondisi tersebut membuat remaja kurang mampu untuk menghadapi stimulus negatif dari lingkungannya seperti tindakan bullying. Stimulus negatif dari teman, seperti perlakuan bullying, menjadi hal yang mengancam eksistensi. Bagi remaja, mereka memiliki kebutuhan yang besar pada konformitas teman sebaya. Oleh karena itu, remaja memiliki risiko untuk menjadi korban bullying.

Faktor risiko terjadinya bullying juga dipengaruhi oleh pola asuh orangtua. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang permisif berkonstribusi terhadap perilaku bullying pada anak (Baldry & Farrington, dalam Losey, 2009). Sementara itu, dalam penelitian Dake, Price, dan Telljohann (2003) disebutkan, karakteristik dari pelaku bullying adalah berasal dari pola asuh orangtua otoriter, kurangnya modeling yang baik dari lingkungan, berasal dari lingkungan yang berperilaku kasar, memiliki prestasi akademik yang rendah, kemampuan adaptasi terhadap sekolah rendah, melakukan tindakan kriminal di sekolah.

Olweus dan Limber (dalam Losey, 2009) menjelaskan terdapat tujuh peran yang ada dalam situasi bullying, yaitu: 1) siswa pelaku bullying, 2) pengikut

(7)

yang mengambil bagian dari bullying tetapi tidak memulai, 3) pendukung yang ikut menertawakan atau memberikan perhatian pada saat situasi bullying, 4) pendukung pasif yang menyukai bullying, tetapi tidak menunjukkan dukungan, 5) terlibat dalam bullying atau menolong korban, 6) individu yang mungkin membela yang tidak menyukai bullying dan ingin membantu, tetapi tidak melakukan apapun, dan 7) pembela yang tidak suka bullying dan menolong atau mencoba menolong korban. Ketujuh peran ini merupakan sebuah siklus pengulangan tindakan negatif yang akhirnya menjadi sebuah tindakan bullying. Peran yang paling mendukung berulangnya sebuah siklus bullying adalah pengamat (bystander), baik itu tokoh yang ikut menertawakan, pendukung pasif, hingga penonton yang tidak setuju, tetapi tidak melakukan apapun untuk mencegahnya.

Bullying memiliki efek negatif baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Bagi pelaku, efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah munculnya simptom-simptom ADD, depresi, dan OCD (Kumpulainen, dalam Smokowski & Kopasz, 2005), munculnya sikap positif terhadap kekerasan fisik (Olweus, 1993). Olweus (1993) menjelaskan bahwa siswa yang menjadi pelaku bullying pada masa remaja diprediksikan akan melakukan tindak kriminal di usia dewasanya.

Efek jangka panjang lain, pelaku bullying menjadi underachiever yang kemudian akan menampilkan performa kerja cenderung rendah dalam lingkungan kerja (Smokowski & Kopasz, 2005). Studi yang dilakukan oleh Robert (dalam Smokowski & Kopasz, 2005) menunjukkan bahwa pada usia 30 tahun, pelaku bullying akan melakukan tindakan kriminal dan pelanggaran lalu lintas lebih

(8)

banyak dibanding rekan seusianya yang tidak melakukan bullying. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington, dan Losel (2012) menunjukkan hasil bahwa, school-bullying memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresif dan kejahatan di masa depan.

Korban bullying mendapatkan efek negatif yang lebih besar. Efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah kurangnya kemampuan menyesuaikan diri secara sosial maupun akademik, depresi, kecemasan (Evans, et al., 2014), rendahnya self-esteem (Bowllan, 2011; Gustina, 2011; Smokowski & Kopasz, 2005), dan menurunnya prestasi akademik (Olweus, 1993; Smokowski & Kopasz, 2005). Pada penelitian Sahin, Aydin, dan Sari (2012) menyebutkan, terdapat hubungan yang positif antara cyber-bullying dan korban terhadap perubahan simptom psikologis. Korban cyber-bullying disebutkan mengalami permasalahan terhadap fungsi psikologisnya dan beberapa permasalahan, seperti simptom depresi, gangguan kecemasan, dan menjadi antisosial.

Hasil penelitian Alika (2012) menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam bullying (pelaku dan korban) memiliki angka dropout yang lebih tinggi dibanding siswa yang tidak terlibat dalam bullying. Sejalan dengan penelitian Alika, Gustina (2011) menyebutkan bahwa siswa SMA yang memiliki pengalaman bullying mengalami depresi yang lebih tinggi dibanding siswa yang tidak mengalami bullying. Hal ini disebabkan rendahnya konsentrasi mereka dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah sehingga berdampak pada prestasi akademik yang buruk. Sementara, korban bullying akan sulit mengoptimalkan potensi yang dimiliki di masa yang akan datang (Smokowski & Kopasz, 2005).

(9)

Selain itu, mereka memiliki harga diri yang lebih rendah dibanding teman-teman seusianya yang tidak menjadi korban (Olweus, 1993). Korban juga merasakan pengaruh pada hubungan personal ketika dewasa (Gilmartin, dalam Smokowski & Kopasz, 2005).

Penelitian pada remaja di Yunani usia 16-18 tahun, menunjukkan bahwa pelaku bullying secara signifikan menunjukkan prestasi sekolah yang rendah (Magklara, Petros, et al., 2012). Selain itu, semua tipe bullying memiliki dampak yang signifikan pula terhadap kondisi jiwa yang tidak sehat. Secara keseluruhan disebutkan 26,4% siswa yang terlibat perilaku bullying dalam sebulan terakhir mengalami gangguan kesehatan jiwa. Hal ini menguatkan bahwa bullying memberikan dampak negatif bagi korban maupun pelaku. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting untuk melakukan upaya pencegahan bullying di sekolah.

Perilaku bullying merupakan siklus, yang dalam lingkaran siklus tersebut dipengaruhi oleh faktor motivasional atau intensi. Berdasar teori Planned Behavior (Perilaku Terencana), penentu terpenting dalam perilaku bullying adalah intensinya untuk melakukan bullying tersebut. Intensi merupakan prediktor terbaik terjadinya suatu perilaku. Hal yang perlu diperhatikan dari perilaku yang disengaja adalah timbulnya perilaku tersebut yang diakibatkan oleh dorongan individual. Intensi didefinisikan sebagai faktor motivasional yang dapat mempengaruhi perilaku. Intensi menunjukkan seberapa keras individu dalam mencoba, merencanakan, dan mengusahakan munculnya suatu perilaku. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin besar/kuat

(10)

intensi untuk melakukan suatu perilaku, maka semakin besar kemungkinan perilaku tersebut muncul (Ajzen, 1991).

Intensi memiliki 3 aspek (Ajzen, 2006), yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control. Pertama, aspek attitude toward behavior, merupakan keyakinan terhadap perilaku dan evaluasi hasil. Behavioral beliefs ditentukan oleh keyakinan yang paling menonjol pada diri individu terhadap perilaku tertentu. Setiap salient beliefs menghubungkan perilaku dengan hasil tertentu atau dengan atribut tertentu sehubungan dengan ditampilkannya perilaku tersebut.

Kedua, aspek subjective norm, yang merupakan aspek intensi terkait persepsi individu terhadap tuntutan dari lingkungan sosialnya untuk perilaku tertentu. Norma subjektif adalah persepsi individu mengenai harapan orang-orang yang penting bagi dirinya baik perorangan ataupun kelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak. Subjective norm ditentukan oleh keyakinan, tetapi keyakinan ini berbeda dengan keyakinan pada attitude toward behavior. Keyakinan dalam subjective norm menekankan keyakinan seseorang akan individu atau kelompok dekatnya terhadap persetujuan (penerimaan) atau tidak persetujuannya diwujudkannya suatu perilaku.

Kemudian, aspek ketiga yaitu perceived behavior control yang merupakan faktor pemberi gambaran mengenai persepsi individu terkait kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.

(11)

Terdapat empat hal yang diperhatikan dalam pengukuran intensi. Pengukuran tersebut harus sesuai dengan sasaran pengukuran yang dituju (target), perilaku (behavior) yang dilibatkan, situasi (situation) tempat tindakan itu terjadi, dan waktu (time) yang tepat untuk mewujudkan tingkah laku (Fishbein & Ajzen, 1975). Keempat elemen tersebut selalu terlibat dalam setiap pengukuran perilaku, baik secara verbal maupun nonverbal. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), cara terbaik mengukur sikap agar dapat memperkirakan munculnya perilaku adalah dengan memasukkan sekaligus keempat elemen intensi, yaitu target, perilaku, konteks, dan waktu.

Teori Planned Behavior berdasar pada asumsi bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang mampu menggunakan informasi-informasi secara sistematis yang memungkinkan bagi dirinya sendiri. Individu akan memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Selanjutnya, Armitage dan Conner (2001) mengungkapkan, sikap, norma subjektif, dan perceived behavior control merupakan proses kognitif dari terjadinya suatu perilaku. Struktur kognitif individu menjadi dasar dalam proses mental tersebut. Faktor inti dari Theory of Planned Behavior (TPB) adalah adanya intensi atau niat individu untuk melakukan suatu perilaku, yang mana predictor terkuat terjadinya suatu perilaku adalah karena adanya intensi.

Menurut Rice dan Dolgin (2008), orang dewasa di sekitar remaja bisa jadi tidak menyadari jika telah terjadi perilaku bullying. Selain itu, korban jarang melaporkan tindakan bullying yang telah diterimanya. Pada usia remaja, teman

(12)

sebaya memiliki peran dan pengaruh yang besar. Remaja memiliki kecenderungan bertindak sesuai konformitas sosial, termasuk di dalamnya perilaku bullying. Intervensi norma sosial dapat menjadi strategi untuk mengurangi bullying di sekolah (Perkins, Craig, & Perkins, 2011). Berdasar efek negatif tersebut, diperlukan perhatian besar untuk menanganinya. Oleh karena itu, perlu program yang berbasis teman sebaya yang dilakukan dari remaja dan untuk remaja.

Penanganan bullying yang dapat dilakukan tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif. Penangan secara preventif dilakukan karena bullying merupakan perilaku yang tidak bisa diterima serta memiliki dampak secara emosional dan akademik (Orpinas & Horne, 2006). Olweus (2010) berpendapat bahwa pencegahan perlu dilakukan sebelum terjadi sehingga dapat menolong korban dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Beberapa peneliti melakukan intervensi bullying selama enam tahun dengan tujuan preventif secara menyeluruh melalui perubahan iklim sekolah, pemberian pengetahuan mengenai bullying, pemberian konsekuensi terhadap perilaku bullying serta psikoedukasi bagi saksi perilaku bullying (Hong & Dorothy, 2012).

Penelitian Ttofi, Farrington, dan Baldry (2008) menunjukkan bahwa program intervensi dengan metode preventif dari Olweus dapat menurunkan perilaku bullying sebanyak 17-23% pada sampel sekolah kelompok eksperimen dibanding sekolah pada kelompok kontrol. Perlu menjadi perhatian bahwa metode preventif untuk perilaku bullying ini baik ketika dilatih dengan jumlah subjek yang kecil, dengan usia subjek di atas sebelas tahun (Ttofi, Farrington, & Baldry,

(13)

2008), serta dilakukan dalam lingkungan teman sebaya dan sekolah (Whitted & Dupper, 2005).

Smith dan Thompson (2011) membagi strategi penanganan bullying ke dalam tiga bagian. Adapun dasar keefektifan strategi ini dibagi berdasarkan survei nasional yang dilakukan pada sekolah di Inggris antara tahun 2008-2010, yaitu: Pertama, strategi proaktif digunakan melalui pendekatan sekolah untuk mengurangi terjadinya perilaku bullying (misal, melalui dukungan sistem sekolah yang juga melibatkan orangtua dan masyarakat sekitar, pendekatan materi kurikulum, dan lain-lain). Kedua, dukungan teman sebaya dapat dilakukan untuk mencegah dan merespon bullying. Dukungan teman sebaya ini digunakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman siswa dalam merancang secara terstruktur hal-hal yang dapat mereka lakukan dalam upaya mencegah dan mengurangi bullying. Siswa melalui proses seleksi dilatih untuk menjadi peer supporters, yang tidak memiliki konflik interpersonal, tidak ditolak secara sosial, serta proaktif terhadap bullying dan tidak berada di jalur tindakan kekerasan. Dukungan teman sebaya juga dapat melakukan tindakan reaktif, untuk merespon terjadinya peristiwa bullying dan mendukung semua keterlibatan dalam penanganan permasalahannya. Evaluasi dari hasil penelitian intervensi yang menggunakan media teman sebaya juga menunjukkan keberhasilan mempertimbangkan beberapa hal seperti proses seleksi peer supporters, merekrut berdasarkan jenis kelamin yang jumlahnya seimbang (karena sering lebih banyak wanita yang bersedia menjadi relawan dibandingkan laki-laki), keberlanjutan supervisi, keefektifan mempromosikan program, serta perasaan peer supporters

(14)

yang positif dalam melakukan perannya. Ketiga, strategi reaktif dapat digunakan ketika berhadapan langsung dengan insiden bullying.

Intervensi pencegahan bullying pada remaja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teman sebaya. Hal ini dikarenakan penerimaan dari teman sebaya, popularitas, dan pertemanan menjadi hal yang sangat penting bagi kebanyakan remaja (Espelage, dalam Hong, 2012). Selain itu, kelompok teman sebaya adalah sumber referensi dan informasi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup (Papalia, Olds, & Feldman, 2001).

Zakaria (2004) menunjukkan, pengetahuan dapat mempengaruhi intensi individu sebelum melakukan suatu perilaku. Dengan pemberian psikoedukasi dari fasilitator teman sebaya terhadap temannya, diharapkan dapat mempengaruhi intensi perilaku bullying pada remaja SMA. Hal ini juga menjadi pertimbangan keterlibatan teman sebaya dalam intervensi anti-bullying, yang didasari atas dominasi metode belajar modeling pada remaja menurut sudut pandang teori sosial-kognitif (Rice & Dolgin, 2008). Skema terbentuknya intensi dapat dilihat pada Gambar 1.

(15)

Gambar 1. Proses Terbentuknya Intensi (Adaptasi Fishbein dan Ajzen, 1975)

Bandura (dalam Rice & Dolgin, 2008) mengemukakan bahwa modeling adalah konsep utama dari teori sosial kognitif, yaitu perubahan perilaku, kognitif dan afeksi yang terbentuk melalui proses mengobservasi orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa remaja saling meniru perilaku satu sama lainnya. Berdasar bukti empiris tentang besarnya pengaruh teman sebaya pada remaja dan karakteristik belajar modeling pada remaja, maka sesuai jika dalam program intervensi bullying melibatkan remaja secara aktif sebagai media pemberi informasi.

Gambar 2. Triadic Reciprocal Causation (Bandura, 1986)

Pengetahuan yang dimiliki individu (prior knowledge)

Faktor demografi (jenis kelamin, status

sosial, pendidikan) Karakter dan kepribadian Attitude toward behavior Subjective norm Perceived behavior control Intensi Perilaku Behavior Person Environment

(16)

Bandura (1986) menjelaskan perilaku manusia dalam interaksi resiprokal di antara perilaku, lingkungan dan faktor personal. Dari gambar 2 dijelaskan bahwa faktor lingkungan dipengaruhi oleh person dan perilaku. Faktor person yang dibahas dalam triadic reciprocal causation merupakan aspek kognitif yang dimiliki individu. Dalam rangka mengurangi perilaku bullying, dapat dijelaskan lingkungan yang dimaksud adalah sekolah. Untuk membentuk sekolah yang aman dan nyaman tanpa bullying, maka yang berpengaruh adalah person (kognitif) yang ada pada lingkungan. Dalam kasus bullying di sekolah, yang dimaksud dengan person adalah individu dengan pengetahuannya atas perilaku bullying, sedangkan yang dimaksud dengan environment, salah satunya adalah teman sebaya dan lingkungan sekolah. Remaja memiliki karakteristik yang dominan untuk meniru perilaku dari teman sebaya. Sikap dan perilaku teman sebaya yang tidak menyetujui tindakan bullying akan mengubah perilaku siswa lainnya di lingkungan sekolah. Berkurangnya perilaku bullying membentuk lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya berperan sebagai agen perubahan dalam menciptakan sekolah yang aman tanpa bullying dalam intervensi akan dilakukan di lingkungan sekolah.

Penelitian menunjukkan adanya efektivitas program intervensi dengan menggunakan mediator teman sebaya dalam mengurangi bullying. Salmivalli, Kaukiainen, dan Voeten (2005) menyebutkan bahwa langkah awal dalam pencegahan bullying dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran terhadap bullying. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai membicarakan bullying di kelas, menjelaskan apa itu bullying serta bagaimana perasaan korban yang dibully.

(17)

Meningkatkan kesadaran bullying menjadi penting dilakukan guna menegaskan bahwa bullying adalah sesuatu yang harus ditangani. Salmivalli, et al., (2005) juga menyebutkan bahwa kebanyakan siswa tidak setuju dengan bullying, tetapi pada situasi bullying yang terjadi, kebanyakan mereka bersikap pasif. Oleh karena itu, dengan peningkatan kesadaran terhadap bullying diharapkan siswa dapat menunjukkan perilaku yang konsisten dengan sikap mereka yang tidak menyukai bullying.

Penelitian yang dilakukan Frisen dan Holmqvist (2010) mengemukakan bahwa remaja berpendapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memerangi bullying adalah dengan pengamanan anti-bullying di sekolah, meningkatkan iklim kelas, dan meningkatkan kesadaran di antara siswa dan staf sekolah tentang bullying. Adapun aktivitas yang dapat dilakukan seperti menggunakan literatur, film atau aktivitas bermain peran.

Adila (2009) dalam penelitiannya menyebutkan, terdapat hubungan yang signifikan dan positif pada kontrol sosial yang dilakukan oleh teman sebaya dengan perilaku bullying dengan subjek penelitian siswa Sekolah Menengah Pertama. Semakin tinggi kontrol sosial yang dimiliki siswa, maka semakin negatif keinginan untuk melakukan perilaku bullying. Adapun indikator kontrol sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah attachment to teacher (ikatan dengan para guru), attachment to peers (ikatan dengan teman sekolahnya), attachment to school commitment to school (komitmen pada sekolah), beliefs to norms of school (kebijakan pada pihak sekolah), dan involvement (keterlibatan pada kegiatan ekstrakurikuler, agama, organisasi di sekolah). Hasil penelitian ini menguatkan

(18)

bahwa, teman sebaya dapat berperan sebagai kontrol sosial untuk menurunkan perilaku bullying di sekolah.

Teman sebaya dalam program anti-bullying akan bertugas memberi informasi untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan siswa dalam rangka memerangi bullying melalui proses komunikasi, informasi, dan edukasi. Ajzen (dalam Losey, 2009) menjelaskan faktor sosial dan kognitif mempengaruhi perilaku yang dipilih seseorang. Seseorang dapat mengambil peran dalam situasi bullying mempertimbangkan kerugian dan keuntungan yang diperolehnya dalam kerterlibatan peristiwa bullying. Pertimbangan kerugian dan keuntungan yang diperoleh seseorang tersebut tentunya dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki tiap individu.

Dalam penelitian Salmivalli (dalam Dake, Price, & Telljohann, 2003) menyebutkan bahwa perlunya pelatihan kepada pendidik teman sebaya agar dapat mengambil tindakan dalam memerangi bullying. Penelitian lainnya mengujicobakan intervensi dengan menggunakan media pendidik sebaya dalam mengurangi bullying dan cyber-bullying juga dilakukan pada remaja di Italia (Palladino, et al., 2012). Dalam penelitian ini, pendidik sebaya diberikan pelatihan yang berfokus pada komunikasi, empati, coping strategy, serta ketrampilan sosial dalam interaksi nyata dan virtual (Palladino, et al., 2012). Berdasar hal tersebut, seorang teman sebaya yang menjadi fasilitator program anti-bullying diharapkan memiliki dua hal, yaitu informasi anti-bullying yang akan ditransfer dan juga ketrampilan komunikasi dalam menyampaikan informasi tersebut. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa pengetahuan siswa SMA masih minim tentang

(19)

informasi antibullying serta belum adanya pelatihan khusus yang mampu membekali para siswa sebagai fasilitator dalam menyampaikan informasi antibullying. Selanjutnya, dengan pengetahuan dan kemampuan komunikasi yang dimiliki fasilitator sebaya, mereka akan mengajarkan hal tersebut pada teman-teman mereka yang lain. Hal tersebut diharapkan akan berpengaruh untuk menurunkan intensi bullying yang terjadi.

Penelitian ini adalah bagian dari penelitian yang bertujuan melakukan pelatihan untuk fasilitator anti-bullying dari teman sebaya yang mengajarkan berbagai macam metode penyampaian informasi, di antaranya menggunakan metode presentasi guna menurunkan intensi bullying. Dalam penelitian ini, modul disusun untuk memberikan ketrampilan presentasi materi anti-bullying. Sebagaimana yang disebutkan Supratiknya (2011), metode presentasi biasa digunakan dengan tujuan menyampaikan informasi, lazimnya berupa pengetahuan kepada peserta. Metode presentasi cocok untuk kelompok yang berjumlah besar, dan dipandang mampu menangkap informasi yang diberikan. Dalam presentasi juga dapat menggunakan alat bantu visual untuk mendukung penyampaian materi. Metode ini dinilai memiliki kelebihan, yaitu efisiensi, baik secara waktu maupun biaya pelaksanaannya. Metode presentasi dianggap mudah dipelajari oleh siswa, karena berkaitan dengan proses belajar yang sudah pernah dilakukan di kelas.

Konsep yang disusun dalam modul menggunakan pendekatan observational learning (pembelajaran melalui pengamatan). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa melalui metode observational learning berhasil menghasilkan respon yang diharapkan sesuai modeling yang dihadirkan. Pada

(20)

penelitian Talita, Tanja, Gert, dan Huub (2011) menyebutkan, bahwa observational learning meningkatkan hasil kreativitas khususnya pada domain seni visual. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa metode observational learning dapat digunakan untuk mempelajari hal baru, baik dalam bentuk pengetahuan maupun ketrampilan.

Fasilitator sebagai “model” yang diobservasi oleh subjek tentang cara menyampaikan informasi dengan menggunakan metode presentasi serta informasi antibullying yang dimiliki. Melalui “model” yang dihadirkan, subjek dapat melewati proses observational learning. Dalam teori belajar sosial kognitif (Bandura, 1986) disebutkan terdapat empat proses observational learning dalam proses modeling, yaitu attention, retention, production, dan motivation.

Proses pertama adalah attention. Pada proses ini, memberikan perhatian diarahkan pada materi perilaku yang akan dikembangkan (suatu model). Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan materi secara jelas dan menarik, memberikan penekanan pada bagian-bagian penting, atau dengan mendemonstrasikan suatu kegiatan. Model yang dihadirkan memiliki daya tarik bagi pengamat. Untuk menguatkan attention dari pengamat, modul dirancang dengan menggunakan media video, gambar, games, serta fasilitator yang berpengalaman dalam melatih kelompok remaja. Dalam setiap sesinya dirancang dengan menggunakan film pendek untuk menjelaskan materi yang akan disampaikan.

Proses kedua adalah retention, yaitu mengorganisir secara kognitif dengan rehearsing, coding, dan transforming informasi yang dimodel untuk

(21)

disimpan di dalam materi. Informasi bisa disimpan dalam bentuk image (gambaran), verbal form (bentuk kalimat), atau keduanya. Imaginal coding secara spesifik penting untuk aktifitas yang tidak mudah dijelaskan dalam kata-kata. Di akhir setiap sesi peserta diminta untuk menulis lembar diary. Hal ini bertujuan agar peserta dapat menuangkan kembali dalam bentuk tulisan pemahaman yang didapatnya dari setiap sesi yang diberikan sehingga peserta mampu mengkoding kembali informasi yang baru diterimanya dalam bentuk kalimat.

Proses yang ketiga adalah production. Pada tahapan ini, menerjemahkan konsep simbolik yang telah dikoding ke dalam overt behavior. Pada sesi SHARING 1, 2, dan 3, peserta diberi penugasan melakukan simulasi presentasi materi anti-bullying. Simulasi yang dilakukan merupakan bentuk overt behavior dari konsep simbolik yang dipahami peserta setelah mengobservasi “model”. Peserta diminta untuk melakukan simulasi presentasi materi anti-bullying yang telah diperoleh pada sesi sebelumnya. Teknik presentasi yang digunakan peserta diharapkan sesuai dengan konsep komunikasi verbal dan non verbal yang telah diajarkan kepada peserta.

Proses keempat, yaitu motivation. Pada fase ini pengamat akan termotivasi untuk meniru model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memberikan penguatan untuk suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat untuk berunjuk perbuatan. Dalam pelatihan pengamat akan mendapatkan feedback dari fasilitator terhadap simulasi presentasi yang telah dilakukannya. Selain itu, fasilitator memberikan pujian dan apresiasi dari simulasi presentasi yang telah dilakukan

(22)

oleh peserta pelatihan. Hal ini guna memotivasi pengamat bahwa ia mampu melakukan apa yang “dimodelkan” tersebut. Fasilitator juga menyampaikan manfaat yang didapatkan bagi seorang fasilitator anti-bullying. Guna mencapai manfaat tersebut pengamat termotivasi melakukan tugasnya dengan baik. Metode motivasi ini disebut sebagai incentive motivation, yaitu pengamat akan termotivasi melakukan sesuatu ketika suatu hal yang dihadirkan tersebut memberikan manfaat bagi pengamat.

Berdasar uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah fasilitator teman sebaya yang dilatih menggunakan modul “SHARING” dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pelatihan berdasarkan modul “SHARING” dalam meningkatkan pengetahuan anti-bullying dan ketrampilan menjadi fasilitator melalui presentasi anti-bullying. Modul tersebut akan digunakan oleh fasilitator untuk menyampaikan materi mengenai bulying pada teman sebaya, dengan harapan dapat menurunkan intensi perilaku bullying.

Manfaat teoritis penelitian ini adalah penerapan teori planned behavior dalam intervensi terhadap intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Sementara, manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu untuk mengembangkan metode pencegahan dan intervensi terhadap perilaku bullying dengan pendekatan teman sebaya.

(23)

METODE

Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah intensi bullying yang diukur dengan Skala Intensi Bullying yang disusun berdasarkan aspek-aspek intensi dari teori Planned Behavior Fishbein dan Ajzen (1975). Secara operasional intensi perilaku bullying didefinisikan sebagai niat atau keinginan siswa untuk melakukan bentuk-bentuk perilaku bullying. Intensi perilaku bullying diukur menggunakan Skala Intensi Perilaku Bullying yang disusun berdasarkan empat elemen di atas. Skor yang diperoleh subjek mewakili seberapa tinggi intensi perilaku bullying; semakin tinggi skor, maka semakin tinggi intensi subjek untuk melakukan bullying, dan semakin rendah skor, maka semakin rendah intensi subjek untuk melakukan bullying.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah fasilitator teman sebaya yang dilatih menggunakan modul “Sahabat Perangi Bullying” (SHARING). Program ini merupakan program yang mengajarkan mengenai pengetahuan bullying, serta melatih ketrampilan siswa SMA menjadi fasilitator dalam presentasi.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri Y Yogyakarta. Adapun alasan memilih sekolah untuk menjadi tempat penelitian adalah seluruh siswa memiliki risiko untuk menjadi pelaku bullying di lingkungan sekolah. Hal lain yang menguatkan adalah prevalensi bullying yang terdapat di lingkungan sekolah berdasarkan hasil survei yang dilakukan peneliti.

(24)

Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI dari SMA Negeri Y Yogyakarta dan SMA Negeri Z Yogyakarta. Penempatan subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara non random. Siswa SMA Negeri Y Yogyakarta merupakan kelompok eksperimen, sedangkan SMA Negeri Z Yogyakarta adalah kelompok kontrol. SMA Negeri Y dan Z di Kota Yogyakarta dipilih karena ditemukan adanya bullying di sekolah tersebut yang berdasar pada hasil preeliminary study yang dilakukan oleh peneliti.

Pemilihan subjek penelitian berlandaskan pada hasil penyaringan menggunakan Skala Intensi Perilaku Bullying dengan skor kategori sedang. Selama proses penelitian, terdapat beberapa subjek dari kelompok eksperimen maupun kontrol yang tidak dapat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Secara keseluruhan, subjek penelitian dari kelompok eksperimen yang mengikuti kegiatan hingga akhir berjumlah 17 orang, sementara dari kelompok kontrol berjumlah 23 orang.

Selanjutnya, kriteria untuk pemateri (trainer dan co-trainer) dalam Program “Sahabat Perangi Bullying” (SHARING) adalah sebagai berikut:

a. Merupakan Lulusan Magister Psikologi Profesi atau minimal telah lulus ujian Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP);

b. Memiliki pengalaman sebagai pemateri (trainer) bagi remaja ataupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan remaja;

(25)

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan empat buah instrumen, yaitu: 1. Tes pengetahuan bullying

Tes pengetahuan bullying diberikan pada periode waktu sebelum dan sesudah pelatihan. Tes pengetahuan bullying ini dikembangkan oleh Kumara, Pratama, Aryuni, PoEh, dan Syahputri (2013). Pengetahuan bullying terdiri dari 22 aitem, menggunakan pilihan jawaban benar dengan skor 1 dan salah dengan skor 0. Reliabilitas tes diestimasi dengan menggunakan teknik konsistensi internal melalui nilai Alpha Cronbach yang menghasilkan koefisien sebesar 0,840 dengan koefisien daya beda di atas 0,30 (R ≥ 0,3). Tes disusun berdasarkan aspek-aspek pengetahuan yang berdasarkan bully buster programe dikembangkan oleh Olweus (Newman & Horne, 2003), yaitu: 1) definisi dan dampak bullying, 2) karakteristik pelaku bullying, 3) karakteristik korban bullying, 4) hal yang perlu dilakukan ketika melihat kejadian bullying, 5) langkah-langkah menolong korban bullying. Tes pengetahuan bullying digunakan sebagai instrumen cek manipulasi pada penelitian ini. Blue-print tes pengetahuan bullying dapat dilihat pada Tabel 1.

(26)

Tabel 1. Blue Print Tes Pengetahuan Bullying

Aspek Pengetahuan Bullying Butir Soal Jumlah Butir

Definisi bullying 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 7

Mengenali karakteristik korban dan

pelaku 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 8

Langkah-langkah yang dapat dilakukan ketika melihat tindakan bullying

16, 17, 18, 19 4

Langkah-langkah yang dapat

dilakukan untuk membantu korban 20, 21, 22 3

Jumlah butir 22

2. Panduan observasi ketrampilan dalam presentasi

Perilaku yang diamati adalah keterampilan presentasi yang dilakukan oleh subjek, yaitu ketrampilan dalam komunikasi verbal dan non verbal. Lembar observasi ketrampilan presentasi dalam menyampaikan informasi antibullying dibuat berdasarkan aspek ketrampilan komunikasi verbal dan non verbal dari Book, Albrecht, et al., (1980). Ketrampilan komunikasi verbal terdiri dari: 1) Menggunakan pengantar atau pembuka dengan menarik (contoh; mengawali dengan bercerita, memulai pembicaraan dengan bertanya, menyebutkan gambaran umum pesan yang akan disampaikan), 2) Artikulasi yang jelas dan mudah dipahami, 3) Suara mudah didengar oleh audiens, 4) Memberi penegasan (contoh kasus, dan pengulangan pada poin penting, dan lain-lain), 5) Intonasi tinggi-rendah suara (tidak monoton), dan 6) Menggunakan humor dalam menyampaikan materi. Komunikasi verbal sendiri memiliki tujuan agar penyampaian penjelasan, pemberitahuan, maupun arahan dapat dilakukan lebih optimal.

(27)

Sementara itu, kemampuan komunikasi non verbal terdiri dari: 1) Kontak mata (memperhatikan semua audiens), 2) Gerak tubuh yang tepat untuk menarik perhatikan (menunjuk ke arah slide, gerak tangan, dan lain-lain), 3) Ekspresi wajah yang sesuai, dan 4) Menunjukkan antusias saat menyampaikan materi. Zeki (2009) mengungkapkan, hal paling penting dalam mempertahankan komunikasi interpersonal adalah komunikasi non verbal. Kontak mata dan ekspresi wajah menjadi dua aspek penting dalam komunikasi non verbal, yang mana keduanya merupakan tools yang kuat untuk menyampaikan pesan. Senada dengan Zeki, Ledbury, et al., (2004) menemukan bahwa komunikasi non verbal sangat berpengaruh terhadap pemahaman yang diperoleh seseorang ketika menerima informasi. Mark Knapp (1978) mengungkapkan, tujuan komunikasi non verbal antara lain, sebagai berikut: 1) meyakinkan audiens apa yang diucapkan, 2) menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak mampu diutarakan oleh kata-kata, 3) menunjukkan jati diri sehingga orang lain lebih mengenal, dan 4) menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasa belum sempurna tersampaikan.

3. Skala Intensi Perilaku Bullying

Skala Intensi Perilaku Bullying yang disusun berdasarkan elemen penting dalam intensi dari teori Planned Behavior Fishbein dan Ajzein (1975), yaitu sasaran pengukuran yang dituju (target), perilaku (behavior) yang dilibatkan, situasi (situation) tempat tindakan itu terjadi, dan waktu (time) yang tepat untuk mewujudkan perilaku.

(28)

Keempat elemen intensi tersebut diterjemahkan dalam bentuk-bentuk perilaku yang akan diukur, yaitu: verbal, non-verbal, dan fisik. Skala intensi perilaku bullying disusun dalam bentuk rating scale dengan skor 1 hingga 5. Skor yang diberikan menunjukkan kesesuaian subjek dengan aitem, semakin tinggi skor, maka semakin tinggi intensi subjek untuk melakukan bullying.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi dengan pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement, sejauh mana butir-butir tes mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana butir-butir tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2009). Pengujian terhadap validitas isi skala dilakukan melalui professional judgement oleh Dr. Budi Andayani, M.A., kemudian dilakukan uji coba preliminer kepada 10 siswa kelas XI SMA untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian bahasa yang digunakan pada skala. Uji coba selanjutnya adalah untuk mengetahui indeks daya beda aitem dan reliabilitas. Suatu alat ukur dikatakan valid apabila indeks daya beda menunjukkan angka di atas 0,30 (Azwar, 2009). Uji coba dilakukan dengan mengambil data dari 167 siswa kelas XI SMA.

Skala Intensi Perilaku Bullying disusun dalam bentuk kalimat yang dibagi menjadi butir unfavorable dan butir favorable dengan rating scale dari 1 hingga 5. Berikut blue print Skala Intensi Perilaku Bullying:

(29)

Tabel 2. Blue Print Skala Intensi Perilaku Bullying (Uji coba) Elemen Intensi Bentuk Bullying Nomor Butir Jumlah Favorable Unfavorable Target, perilaku, konteks, dan waktu Fisik 6, 8, 12, 14, 16, 20, 22 33, 38, 39, 46 11 Verbal 1, 2, 3, 9, 10, 11, 13, 15, 17, 21, 49 25, 26, 28, 29, 31, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47 25 Non Verbal dan

Non Fisik 4, 5, 7, 18, 19, 23, 24, 48 27, 30, 32, 34, 35, 50 14 Total aitem 50

Hasil uji coba skala menunjukkan terdapat 11 aitem yang gugur (indeks daya beda di bawah 0,3), sehingga terdapat 39 aitem yang dapat digunakan. Indeks daya beda aitem berkisar dari 0,304 hingga 0,615. Koefisien reliabilitas dari skala ini dinyatakan dengan Alpha Cronbach sebesar 0,905. Blue-print Skala Intensi Perilaku Bullying setelah uji coba dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Blueprint Skala Intensi Perilaku Bullying (Setelah Uji coba) Elemen Intensi Bentuk Bullying Nomor Butir Jumlah Favorable Unfavorable Target, perilaku, konteks, dan waktu Fisik 6, 11, 14, 17, 20 26, 31, 32, 37 9 Verbal 1, 2, 3, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 18 23, 29, 30, 33, 34, 35, 36, 38 18

Non Verbal dan Non Fisik

4, 5, 7, 16, 21,

22, 19 24, 25, 27, 28, 39 12

Total aitem 39

4. Modul Pelatihan “SHARING”

Penelitian ini menggunakan perlakuan berdasar modul yang disusun dengan metode pembelajaran obervational learning atau belajar melalui pengamatan, dari teori Kognitif Sosial Bandura (1986) dan telah diuji validasi pada penelitian sebelumnya oleh tim peneliti, yaitu Kumara, Pratama, Aryuni,

(30)

PoEh, dan Syahputri (2013). Modul “SHARING” disusun atas dua komponen, yaitu materi tentang bullying dan materi komunikasi verbal-non verbal. Materi bullying yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan modifikasi dan adaptasi dari Bully Buster Program (BBP) (Newman dan Horne, 2004).

Modul pelatihan telah divalidasi dengan pendekatan validitas isi, yaitu validitas diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dan penilaian (professional judgement) dari individu yang dianggap ahli pada bidangnya (Supratiknya, 1998). Professional judgement atas modul SHARING telah diperoleh dari psikolog yang terbukti memiliki keahlian dalam hal penyusunan blue print pelatihan dalam bidang Psikologi Pendidikan, Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S., Psikolog. Professional judgement telah diperoleh pada tanggal 29 Oktober 2013.

Modul SHARING telah digunakan untuk melakukan pelatihan sebelumnya, dengan hasil analisis paired ttest menunjukkan bahwa t= -6,254; dengan nilai p<0,01 untuk pengetahuan bullying dan hasil t = -17,872; dengan nilai p<0,01 untuk ketrampilan presentasi materi antibullying. Hal ini menunjukkan ada peningkatan yang signifikan pada pengetahuan bullying dan ketrampilan presentasi materi antibullying subjek penelitian setelah pelatihan SHARING.

(31)

Tabel 4. Blue Print Modul Pelatihan SHARING Pengetahuan/Ketrampilan Definisi Operasional

Pengenalan Program Mengenalkan program pelatihan dan membangun building rapport dengan peserta

Meningkatkan kesadaran terhadap bullying

 Pengetahuan tentang definisi bullying serta dinamika terjadinya bullying

 Memberikan pengetahuan bagaimana sikap yang tepat terhadap perilaku bullying yang terjadi di sekitar

 Memberikan pengetahuan bagaimana pandangan/penerimaan orang lain di sekitar individu terkait bullying

 Memberikan pengetahuan bagaimana kesanggupan/ketidaksanggupan individu untuk melakukan perilaku bullying Mengenali pelaku bullying

 Pengetahuan karakteristik pelaku

 Pengetahuan mengenal bentuk-bentuk perilaku bullying

Mengenali korban bullying

 Pengetahuan dampak negatif yang diterima oleh korban bullying

 Pengetahuan karakteristik korban bullying Cara-cara mengintervensi perilaku

bullying Pengetahuan tentang cara intervensi bullying Pengetahuan komunikasi verbal

dan non verbal

Peserta mengetahui teknik presentasi antibullying melalui komunikasi verbal dan non verbal

Keterampilan komunikasi verbal dan non verbal

Simulasi presentasi antibullying berdasarkan teknik komunikasi verbal dan non verbal

Desain Penelitian

Desain dalam penelitian ini menggunakan desain eksperimen kuasi, yaitu untreated control group design with pre-test and post-test (Shadish, Cook, dan Campbell, 2002). Berikut rumusan desain eksperimen yang akan dilakukan:

Tabel 5. Desain Penelitian Eksperimen

KE (NR) O1  O2

(32)

Keterangan:

NR : Non random assignment  : Program SHARING

O1 : Pengukuran skor pengetahuan dan intensi perilaku bullying sebelum memperoleh program SHARING

O2 : Pengukuran skor pengetahuan dan intensi perilaku bullying setelah memperoleh program SHARING

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti secara umum terdiri dari dua tahapan yaitu:

1) Persiapan Penelitian a. Studi Lapangan

Perizinan hingga preeliminary study dilakukan oleh peneliti selama bulan November hingga Desember 2014. Peneliti melakukan observasi dan FGD dengan 10 siswa SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Siswa peserta FGD menyebutkan bahwa bullying tampak sebagai hal yang wajar di sekolah, dengan perilaku bullying yang terjadi adalah secara verbal. Izin penelitian telah diberikan oleh pihak sekolah dengan menyerahkan surat izin penelitian dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

b. Penyusunan dan Try Out Skala Intensi Perilaku Bullying

Validasi isi yang dilakukan pada Skala Intensi Perilaku Bullying adalah professional judgment oleh Dr. Budi Andayani, M. A, Psi, pada bulan Desember 2014. Perbaikan berdasarkan hasil professional judgment telah dilaksanakan, yang selanjutnya dilakukan uji coba kepada siswa kelas XI dengan jumlah responden 167 siswa pada bulan Januari 2015.

(33)

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar menggunakan instrumen dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penyesuaian yang dilakukan terhadap modul, antara lain: memperbanyak penggunaan media audiovisual agar presentasi yang dilakukan lebih menarik dan penyesuaian materi yang didasarkan pada jurnal.

2) Pelaksanaan Penelitian

a. Seleksi calon fasilitator sebagai peserta pelatihan program SHARING Fasilitator yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan siswa dari kelompok teman sebaya yang menjadi partisipan dalam penelitian. Fasilitator adalah siswa kelas XI yang telah dipilih berdasar kriteria tertentu dengan teknik pemilihan purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan ketentuan tertentu, sebagai berikut: i) siswa terdaftar secara aktif di kelas XI SMA Y Yogyakarta; ii) siswa yang memiliki motivasi belajar memadai, yang dapat dilihat dari nilai rapor (nilai rata-rata ≥7); iii) siswa yang memiliki kepercayaan diri memadai, yang dapat dilihat dari prestasi siswa dalam mengikuti perlombaan di berbagai bidang; iv) mampu memberikan pengaruh pada teman sebaya; v) mampu berkomunikasi efektif dan interaktif; vi) memiliki hubungan interpersonal yang baik; vii) mampu mendengarkan pendapat orang lain; dan viii) memperoleh rekomendasi dari Guru BK ataupun Wakasek

(34)

Urusan Kesiswaan. Berdasar kriteria di atas, terpilih 11 orang siswa sebagai calon fasilitator.

b. Pelaksanaan pelatihan untuk fasilitator teman sebaya

1) Penyampaian informed consent pada subjek kelompok eksperimen maupun kontrol. Peneliti menyampaikan hak, bentuk keterlibatan, kerahasiaan, dan konsekuensi yang diterima siswa jika bersedia terlibat dalam penelitian.

2) Pengukuran awal (Pre-test) Tes Pengetahuan Bullying dilakukan pada tanggal 11 Maret 2015.

3) Pelatihan observer.

4) Pelatihan calon fasilitator teman sebaya menggunakan modul “Sahabat Perangi Bullying” dengan tujuan melatih siswa menjadi fasilitator dalam presentasi pada teman sebaya dengan tema diskusi bullying. Pelatihan calon fasilitator teman sebaya dilaksanakan pada tanggal 11 dan 12 Maret 2015.

5) Posttest Tes Pengetahuan Bullying serta praktik memandu presentasi dilakukan pada 12 Maret 2015.

6) Analisis pre-test dan posttest Tes Pengetahuan Bullying dan Ketrampilan Komunikasi Verbal dan Non Verbal dilakukan dengan metode analisis paired sample t-test. Adapun hasil t-test dapat dilihat pada Tabel 6.

(35)

Tabel 6. Analisis t-test Calon Fasilitator Paired Differences t df Sig. (2-tailed) 95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Deviatio n Std. Error Mean Lower Upper Pair 1 Pretest - Posttest -5.778 1.302 .434 -6.778 -4.777 -13.316 8 .001 Pair 2 Pre_Kom u - Post_Ko mu -4.44444 3.67801 1.22600 -7.27162 -1.61727 -3.625 8 .007

Berdasar tabel di atas, diperoleh selisih rerata skor pretest dan posttest pada Tes Pengetahuan Bullying sebesar -5,778. Selanjutnya, diperoleh selisih rerata skor pretest dan posttest pada Ketrampilan Komunikasi Verbal dan Non Verbal sebesar -4,444. Hasil analisis uji-t dari Tes Pengetahuan Bullying sebesar 0,001 (p ≤ 0,01) dan Ketrampilan Komunikasi Verbal dan Non Verbal sebesar 0,007 (p ≤ 0,01).

Berdasar hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor Tes Pengetahuan Bullying sebelum dan sesudah pelatihan, begitu juga terdapat perbedaan yang signifikan antara skor Ketrampilan Komunikasi Verbal dan Non Verbal sebelum dan sesudah pelatihan.

c. Pemilihan fasilitator teman sebaya

Berdasarkan hasil posttest dan kesediaan untuk menjadi fasilitator teman sebaya, terpilih 8 orang fasilitator teman sebaya. Kedelapan fasilitator

(36)

tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, yang mana masing-masing kelompok dipimpin oleh satu fasilitator dan satu co-fasilitator.

d. Penentuan subjek penelitian

Penentuan subjek penelitian berdasar pada skor pretest Skala Intensi Perilaku Bullying. Pretest kelompok eksperimen dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 2015. Pretest kelompok kontrol dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 2015. Subjek penelitian adalah siswa yang memiliki skor pretest skala intensi perilaku bullying kategori sedang. Subjek penelitian berjumlah 40 siswa kelas XI SMA (17 siswa kelompok eksperimen dan 23 siswa kelompok kontrol).

e. Pelaksanaan presentasi oleh fasilitator kepada teman sebaya

Peserta diskusi kelompok I berjumlah 9 siswa, peserta diskusi kelompok II terdiri dari 10 siswa, peserta diskusi kelompok III terdiri dari 8 siswa, dan peserta diskusi kelompok IV terdiri dari 5 orang. Total peserta diskusi kelompok adalah 32 siswa. Peserta presentasi merupakan 17 siswa yang memiliki skor Intensi Perilaku Bullying pada kategori sedang dan 15 siswa yang tertarik mengikuti presentasi.

Pelaksanaan presentasi oleh dilakukan sejak tanggal 8 Mei hingga 12 Mei 2015. Tiap kelompok melaksanakan satu kali presentasi, dengan masing-masing pertemuan 30 hingga 90 menit. Materi diskusi berdasarkan materi bully buster programe yang dikembangkan oleh Olweus (Newman, et al., 1993), yaitu: 1) definisi dan dampak bullying; 2) karakteristik pelaku bullying; 3) karakteristik korban bullying; 4) hal

(37)

yang perlu dilakukan ketika melihat kejadian bullying; dan 5) langkah-langkah menolong korban bullying.

Berdasarkan hasil observasi selama proses presentasi, dapat diketahui bahwa fasilitator dan co-fasilitator memiliki inisiatif untuk mencari tambahan materi mengenai pencegahan bullying, termasuk menambahkan sesi tanya-jawab di akhir presentasi.

f. Posttest Skala Intensi Perilaku Bullying

Posstest Skala Intensi Perilaku Bullying dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2015 untuk kelompok eksperimen. Posttest pada kelompok kontrol dilaksanakan pada tanggal 12 Mei 2015.

3) Follow up

Follow up dilakukan dua minggu setelah presentasi yang dilakukan oleh fasilitator kepada teman sebaya. Follow-up dilakukan dengan FGD guna mengetahui apakah presentasi mengenai bullying yang disampaikan oleh teman sebaya dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa SMA.

Analisis Data

Analisis data kuantitatif yang dilakukan adalah untuk membandingkan antar skor pretest dan skor posttest pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dengan menggunakan Anova Mixed Design (Field, 2005) melalui program SPSS versi 16.0. Analisis secara kualitatif dilakukan melalui pencatatan terhadap hasil observasi latihan ketrampilan fasilitator presentasi dan respon subjek selama pelatihan disusun dalam bentuk deskripsi naratif.

(38)

HASIL Uji Homogenitas

Sebelum dilakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji homogenitas guna mengetahui homogenitas kovarian skor intensi perilaku bullying pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Hasil uji homogenitas Box’s M diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa data skor intensi perilaku bullying pada kedua kelompok adalah tidak homogen. Menurut Widhiarso (2011), nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan variasi skor kemandirian pada masing-masing kelompok sangat bervariasi. Dalam kuasi eksperimen, faktor error (subjek, sampel, perlakuan, dan sebagainya) sangat berpengaruh sehingga perubahan skor subjek dari pretest menuju posttest sangat bervariasi. Studi yang dilakukan oleh Norton (dalam Widhiarso, 2011) menunjukkan bahwa homogenitas data dalam penelitian eksperimen dapat diabaikan. Sementara, menurut Ramsey (2007), anova termasuk uji yang kuat terhadap gangguan heterogenitas data, jika sampel kedua kelompok tidak memiliki selisih yang terlalu besar, yaitu antara 7 hingga 15 subjek.

Statistik Deskriptif

Hasil analisis statistik skor intensi perilaku bullying dapat dilihat pada Tabel 11 berikut:

(39)

Tabel 7. Data Statistik Deskriptif Skor Intensi Perilaku Bullying

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance

Pre_8 17 91.00 130.00 105.4118 12.82117 164.382 Post_8 17 70.00 85.00 77.7647 4.05477 16.441 Pre_4 23 91.00 116.00 101.7391 7.38067 54.474 Post_4 23 84.00 116.00 99.0435 8.74112 76.407 Valid N (listwise) 17 Uji Hipotesis

Selanjutnya, uji hipotesis dilakukan menggunakan mixed anova. Pada Tabel 8 ringkasan uji hipotesis Test of Within-subject Effects pada baris time*Group menunjukkan nilai F = 94,438 (p < 0,01). Hal tersebut menunjukkan adanya interaksi antara time (pretest dan posttest) dan kelompok (eksperimen dan kontrol). Interaksi tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara skor pretest ke posttest pada kedua kelompok, yaitu eksperimen dan kontrol.

Tabel 8. Ringkasan Uji Hipotesis Test of Within-subject Effects

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared time Greenhouse-Geisser 4499.824 1.000 4499.824 139.658 0.001 0.786 time * Group Greenhouse-Geisser 3042.824 1.000 3042.824 94.438 0.001 0.713 Error(time) Greenhouse-Geisser 1224.376 38.000 32.220 Uji Lanjutan

Hasil uji hipotesis yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan sehingga dapat dilakukan uji lanjutan. Uji lanjutan ini dilakukan guna mengetahui pasangan kelompok mana yang mengalami perbedaan skor. Uji lanjutan sendiri dapat dilakukan dengan melihat selisih rerata skor dari setiap

(40)

pengukuran kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasar hasil uji lanjutan, dapat diketahui bahwa kelompok Eksperimen memiliki selisih rerata (MD) skor pretest dan posttest sebesar 27.647 dengan p < 0,01. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan skor yang signifikan pada kelompok eksperimen. Sementara itu, hasil uji lanjutan pada kelompok Kontrol menunjukkan selisih rerata (MD) skor pretest ke posttest sebesar -2.696 dengan p > 0,01. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan skor secara signifikan.

Tabel 9. Uji Lanjutan Selisih Rerata Skor

Group (I) time (J) time Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.a

95% Confidence Interval for Differencea

Lower Bound Upper Bound

Eksperimen 1 2 27.647 * 1.947 0.001 23.706 31.588 2 1 -27.647* 1.947 0.001 -31.588 -23.706 Kontrol 1 2 2.696 1.674 0.116 -0.693 6.084 2 1 -2.696 1.674 0.116 -6.084 0.693

Hasil analisis uji lanjutan membuktikan bahwa presentasi dengan fasilitator teman sebaya dapat menurunkan intensi perilaku bullying secara signifikan pada kelompok eksperimen. Adapun sumbangan efektif presentasi dengan fasilitator teman sebaya pada kelompok eksperimen dapat dilihat berdasar nilai partial eta squared sebesar 0,841 (p<0,001). Hal tersebut menunjukkan bahwa presentasi dengan fasilitator teman sebaya yang dilakukan pada kelompok eksperimen memberikan kontribusi sebesar 84,1%, sedangkan peningkatan kelompok kontrol sebesar 6,4% (sig. 0.116, p>0,001, tidak signifikan) terhadap perubahan intensi perilaku bullying.

(41)

Tabel 10. Tes Multivariat dan Sumbangan Efektif

Group Value F Hypothesis df Error df Sig.

Partial Eta Squared Eksperimen Wilks' lambda 0.159 201.644a 1.000 38.000 0.001 0.841 Kontrol Wilks' lambda 0.936 2.594a 1.000 38.000 0.116 0.064

Grafik rerata skor pretest dan posttest dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Grafik 1 sebagai berikut:

Berdasarkan Tabel 9 dan Grafik 1 tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan rerata skor dari pretest ke posttest pada kelompok eksperimen. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan rerata skor intensi perilaku bullying pada kelompok eksperimen.

Hasil Cek Manipulasi (Tes Pengetahuan Bullying)

Adapun cek manipulasi dilakukan dengan mengukur pengetahuan bullying yang dimiliki oleh subjek penelitian. Skor pretest dan posttest Tes Pengetahuan Bullying dianalisis menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test.

105.4118 77.7647 101.7391 99.0435 0 20 40 60 80 100 120 Pretest Posttest

Grafik 1. Rerata Skor Intensi Perilaku Bullying Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

(42)

Berdasar hasil analisis tersebut, diketahui bahwa pada seluruh subjek memiliki skor posttest yang lebih besar dibanding skor pretest dengan nilai Z = -2,692 (p < 0,01). Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan skor pengetahuan bullying yang signifikan pada subjek setelah mengikuti presentasi dengan fasilitator teman sebaya.

Tabel 11. Perbedaan Skor Tes Pengetahuan Bullying Posttest - Pretest

Z -2.692a

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.007

DISKUSI

Kondisi awal sebelum perlakuan diberikan pada pretest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan rerata skor intensi perilaku bullying yang tidak jauh berbeda. Pada pengukuran posttest, kelompok ekperimen menunjukkan penurunan dibanding kelompok kontrol. Hasil analisis data penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan skor Intensi Perilaku Bullying antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (F = 94,438; p < 0,01). Kelompok eksperimen diketahui mengalami penurunan skor Intensi Perilaku Bullying yang signifikan setelah mengikuti presentasi dengan fasilitator teman sebaya. Penurunan skor dapat dilihat dari selisih rerata (MD) skor pretest dan posttest pada kelompok eksperimen sebesar 27,647 dengan p < 0,01. Sementara itu, kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan pada skor Intensi Perilaku Bullying, yang mana selisih rerata (MD) skor pretest ke posttest sebesar -2,696 dengan p > 0,01. Selanjutnya, hasil follow up pada

(43)

kelompok eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh intervensi yang dilakukan dapat bertahan hingga follow up dilaksanakan. Subjek sudah memiliki kesadaran terkait apa itu bullying dan menunjukkan sikap negatif terhadap bullying. Sementara itu, observasi pada kelompok kontrol sebelum perlakuan diberikan menunjukkan hal yang sama dengan kelompok eksperimen sebelum diberikannya perlakuan, yang mana subjek menganggap perilaku bullying sebagai hal yang biasa. Hal tersebut tetap bertahan setelah posttest diberikan pada kelompok kontrol. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, yang mana terjadi penurunan intensi perilaku bullying pada siswa SMA yang memperoleh intervensi oleh fasilitator teman sebaya.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh antara pengetahuan dengan intensi individu untuk melakukan suatu perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010), menemukan bahwa lebih dari 50% intensi siswa SMA untuk merokok di tempat umum yang cenderung rendah. Hal tersebut disebabkan karena adanya pengetahuan mereka atas Perda Larangan Merokok sehingga mempengaruhi keinginan siswa SMA untuk merokok di tempat umum. Senada dengan penelitian Susanti. Penelitian yang dilakukan oleh Talbot, Dorrian, dan Chapman (2015) menunjukkan adanya pengaruh pengetahuan terhadap intensi untuk bersikap positif. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh oleh para ners terhadap kecanduan alkohol, semakin positif pula sikap mereka dalam merawat pasien-pasien tersebut.

Gambar

Gambar 1. Proses Terbentuknya Intensi (Adaptasi Fishbein dan Ajzen, 1975)
Tabel 1. Blue Print Tes Pengetahuan Bullying
Tabel 3. Blueprint Skala Intensi Perilaku Bullying (Setelah Uji coba)  Elemen  Intensi  Bentuk  Bullying  Nomor Butir  Jumlah  Favorable  Unfavorable  Target,  perilaku,  konteks, dan  waktu  Fisik  6, 11, 14, 17, 20  26, 31, 32, 37  9 Verbal 1,  2,  3,  8
Tabel 4. Blue Print Modul Pelatihan SHARING  Pengetahuan/Ketrampilan  Definisi Operasional
+6

Referensi

Dokumen terkait

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari arsip-arsip atau data dokumentasi yang berkaitan dengan kegiatan yang ada di lokasi penelitian yang

4.12.1. Seseorang kakitangan, tidak kira samada dalam kapasiti peribadi atau rasminya, tidak boleh, sama ada secara lisan atau secara bertulis atau dalam apa

Sesungguhnya Allah akan memberikan kepada orang muslim yang bekerja suatu kehidupan yang baik, dan sesungguhnya Allah akan memberikan balasan kepadanya pahala yang

Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81

Jumlah koloni bakteri Listeria monocytogenes yang diberikan paparan medan listrik berpulsa dan suhu lingkungan 30 ˚C, mengalami penurunan yang signifikan, ditunjukkan pada Gambar

7HNQLN SHQJXPSXODQ GDWD SDGD SHQHOLWLDQ LQL DGDODK GHQJDQ PHPEDFD PHQFHUPDWL GDQ PHQGRNXPHQWDVLNDQ SHPEHULWDDQ \DQJ WHUNDLW GHQJDQ *DQMDU 3UDQRZR VHEHOXP GDQ VHVXGDK NDVXV ( .73

Pada penelitian sekarang variabel yang digunakan adalah kepercayaan, kemudahan, dan persepsi resiko terhadap penggunaan e-banking bank BRI di Surabaya, sedangkan

Berdasarkan hasil analisis statistik secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian jus tomat terhadap kadar kolesterol darah di Dusun IV Ngrame