BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan KerjaPerformansi keselamatan dan kesehatan kerja yang buruk dari suatu perusahaan dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan hilangnya hari kerja yang menimbulkan kompensasi secara ekonomi karena turunnya produktivitas perusahaan dan dikeluarkannya biaya total kecelakaan, termasuk didalamnya biaya perawatan, pengobatan, biaya pelatihan bagi tenaga kerja pengganti, dan sebagainya. Selain itu, rendahnya keselamatan dan kesehatan kerja juga dapat memperburuk citra perusahaan di kalangan masyarakat dan pasaran hasil produksi. Oleh karena itu, upaya pemeliharaan dan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja memegang peranan penting berkaitan dengan kepentingan produksi dan produktivitas perusahaan. Keselamatan dan kesehatan memiliki cakupan yang berbeda. Keselamatan menekankan pada situasi penyebab kecelakaan sedangkan kesehatan menekankan pada kondisi penyebab penyakit (Goetsch, 1993).
2.1.1 Keselamatan Kerja
Keselamatan dapat didefinisikan sebagai kondisi bebas dari risiko yang dapat mengakibatkan cidera (ISO/IEC Guide 2). Sedangkan kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tidak direncanakan, dan tidak diharapkan dimana terjadi aksi dan reaksi antara objek, bahan, atau material dengan manusia sehingga menimbulkan cidera (Heinrich, 1980). Dengan demikian, upaya pencegahan kecelakaan kerja memberikan dampak secara langsung terhadap keberhasilan peningkatan keselamatan kerja. Menurut OHSAS 18001 (1999), kecelakaan dapat terjadi dalam tiga bentuk, yakni incident, near miss accident dan accident. Incident merupakan kejadian yang dapat menimbulkan kecelakaan atau memiliki potensi mengarah kepada suatu kecelakaan. Near miss accident merupakan kejadian yang tidak menghasilkan sakit, cidera, atau kerusakan tetapi memiliki potensi untuk menyebabkan hal
tersebut. Sedangkan accident merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang menyebabkan kematian, sakit, cidera, kerusakan atau kerugian lainnya.
Kecelakaan kerja dapat terjadi akibat faktor-faktor penyebab yang dapat dikategorikan sebagai berikut : (Soemirat, 1999)
• Penyebab langsung (immediate causes), meliputi perilaku tidak aman dari pekerja (unsafe acts), juga kondisi lingkungan kerja dan mesin yang tidak aman (unsafe condition).
• Penyebab tidak langsung (real/underlying causes), mencakup faktor-faktor personal (fisik dan psikologis), faktor-faktor lingkungan (fisis, kimia, biologi dan psikologi), faktor-faktor manajemen (kebijakan, keputusan, kontrol, dan administrasi).
Adapun tujuan dari upaya pencapaian keselamatan kerja adalah sebagai berikut: (Suma’mur, 1995)
- Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas
- Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja - Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
2.1.2 Kesehatan Kerja
Secara umum, kesehatan dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat atau derajat kondisi fisik dan psikologi dari suatu individu. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang tenaga kerja menghadapi potensi bahaya kesehatan di samping kecelakaan kerja. Potensi bahaya kesehatan tersebut dapat berupa: (Budiono, 1997)
• Penyakit yang diderita oleh masyarakat umum (general disease).
• Occupational diseases yang menurut WHO (1985) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh penyebab yang spesifik yang selalu terdapat di lingkungan kerja dan faktor penyebabnya dapat diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan.
Contoh dari penyakit semacam ini adalah keracunan Pb, asbetosis, dan silikosis.
• Work related diseases yang menurut WHO (1985) merupakan penyakit yang sebagian penyebabnya adalah kondisi kerja, termasuk paparan dari faktor lingkungan kerja dan kapasitas kerja serta perilaku tenaga kerja, lingkungan, dan faktor sosio-kultural yang dapat menambah, mempercepat, atau memperburuk penyakit tersebut.
Dalam upaya pemeliharaan kesehatan kerja, perusahaan perlu memperhatikan keseimbangan dari faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya untuk dipertimbangkan pada saat proses rekrutmen. Faktor-faktor tersebut meliputi: (Suma’mur, 1995)
1. Beban kerja
Beban kerja dapat berupa beban kerja fisik, mental ataupun sosial. Tenaga kerja memiliki batas tertentu yang berbeda untuk menerima beban kerja.
2. Beban tambahan akibat lingkungan kerja
Faktor-faktor yang menyebabkan beban tambahan ini meliputi faktor lingkungan fisik, kimia, biologi, fisiologis, dan mental-psikologis.
3. Kapasitas kerja
Kapasitas kerja setiap tenaga kerja akan berbeda tergantung pada keterampilan, keserasian, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, dan ukuran tubuh. Menurut Siswantara (2004), beban kerja terdiri dari beban kerja eksternal dan beban kerja internal. Beban kerja eksternal terdiri dari task, organisasi dan lingkungan. Task terdiri dari fisik dan non-fisik. Task fisik terdiri dari muskuloskeletal, yaitu task yang menguras tenaga kerja yang berkaitan dengan kerja manual yang bervariatif terhadap sensory motoris, yaitu koordinasi dari organ sensoris dan motoris. Sedang task nonfisik terdiri dari perceptual motoris, yakni reaksi tubuh yang mengubah informasi menjadi reaksi motoris. Beban kerja yang berkaitan dengan organisasi menyangkut masalah pengaturan jam kerja, istirahat, kerja malam, kerja bergilir, alur kerja, sistem kerja, cuti dan lembur, aturan rumah tangga perusahaan, dan sebagainya. Sedangkan beban kerja yang berkaitan dengan lingkungan menyangkut lingkungan fisik, kimia, biologis dan sosial, termasuk pengaruhnya terhadap lingkungan seperti temperatur, kelembaban, kebisingan, getaran, penerangan, gerakan udara, debu, dan lain-lain. Adapun beban kerja internal berkaitan dengan apa yang terdapat di dalam benak pekerja seperti
kepercayaan, persepsi, taboo, kebutuhan, motif, harapan, nilai, norma, kebiasaan, dan lain-lain. Perusahaan perlu mengupayakan pemeliharaan kesehatan kerja agar pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap gangguan atau penyakit yang diakibatkan oleh faktor-faktor lingkungan kerja dan pekerjaan, serta terhadap penyakit-penyakit umum (Suma’mur, 1995).
2.2 Peraturan Perundangan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) K3 merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja di samping sebagai faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan. Oleh karena itu, di Indonesia terdapat beberapa peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja untuk mendorong perusahaan perusahaan menerapkan upaya pemeliharaan K3. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2, yang menyatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kemanusiaan. Pernyataan tersebut mencakup dasar pemikiran bahwa jaminan keselamatan dan kesehatan bagi tenaga kerja termasuk di dalamnya.
2. Undang-Undang Kecelakaan (1947-1951), mengenai penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1969, tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja dalam perlindungan atas keselamatan kerjanya dan mengatur penyelenggaraan pertanggungan dan bantuan sosial bagi tenaga kerjanya dan keluarganya yang meliputi juga kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tanggal 12 Januari 1970, tentang Keselamatan dan Kecelakaan Kerja, mengatur keselamatan kerja yang mencakup ruang lingkup tempat kerja dalam wilayah kekuasaan hokum Republik Indonesia, syarat-syarat keselamatan kerja, aspek pengawasan dan pembinaan keselamatan kerja serta menerangkan hak dan kewajiban tenaga kerja dan pengusaha/pengurus yang memimpin langsung suatu tempat kerja. 5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1980, tentang
ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun khususnya pada tiap bagian konstruksi bangunan, yaitu tempat kerja dan alat kerja, perancah, tangga dan tangga rumah, alat-alat angkat, kabel baja/tambang/rantai dan alat pembantu, mesin-mesin, peralatan konstruksi bangunan, penggalian, konstruksi bawah tanah, pekerjaan merancang, pekerjaan beton, pembongkaran, penggunaan perlengkapan penyelamatan dan perlindungan diri, serta pekerjaan lainnya.
6. Keputusan Menteri PU No. 195/Kpts/1989, tentang Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada tempat kegiatan konstruksi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.
7. Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum No. Kep-174/MEN/1986 dan No. Kep-104/KPTS/1986 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
8. Undang-undang RI No.3 Tahun 1992, tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, adalah suatu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan akibat suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua, dan meninggal dunia.
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 Tanggal 12 Desember 1996 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang memuat pedoman penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mewajibkan industri dengan karyawan lebih dari 100 orang dan memiliki potensi bahaya dalam bahan maupun prosesnya untuk menerapkan SMK3.
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP 19/M/BW/1997 Tanggal 26 Februari 1997 Tentang Pelaksanaan Audit Sistem Manajemen Keselamatan Kerja, yang mengatur pelaksanaan audit SMK3.
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-196/Men/1999, tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Sektor Jasa Konstruksi.
2.3 Identifikasi Bahaya
Bahaya berarti apa saja (termasuk kebiasaan kerja atau prosedur) yang mempunyai potensi membahayakan/mencelakakan keselamatan atau kesehatan seseorang.
Identifikasi Bahaya adalah proses mengidentifikasi semua situasi atau kejadian yang dapat memberi peningkatan peluang untuk cidera, sakit atau kerugian bagi pekerja atau properti.
Heinrich (1980) mengatakan bahwa kecelakaan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tidak direncanakan, dan tidak diharapkan dimana terjadi aksi dan reaksi antara objek, bahan, atau material dengan manusia sehingga menimbulkan cidera.
Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996, tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Dengan demikian, variabel penyebab bahaya dapat bermacam-macam, termasuk kondisi lingkungan dan manusia, serta segala kegiatan didalamnya. Beberapa potensi bahaya penyakit dan kecelakaan yang dapat terjadi di tempat kerja diantaranya adalah: (Budiono, 1997)
• Faktor fisis, meliputi kebisingan, pencahayaan, getaran, radiasi, suhu serta bahaya listrik, mekanik, ledakan, dan kebakaran.
• Faktor kimia, meliputi logam berat, asam/basa, pelarut, gas, debu. • Faktor biologi, meliputi hewan, tumbuhan, bakteri, jamur, virus.
• Faktor ergonomi, meliputi desain atau interaksi antara manusia dan mesin, sikap dan cara kerja, kerja yang monoton, kejemuan, beban, dan kapasitas kerja. Ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan mengenai penyesuaian tempat kerja serta elemen-elemen yang terdapat di dalamnya terhadap tenaga kerja (Goetsch, 1993).
Identifikasi bahaya harus dilakukan untuk mencari solusi tindakan dalam menangani masalah keselamatan dan kesehatan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang berpotensi menimbulkan bahaya serta jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin terjadi. Dalam hal ini, faktor manajemen memegang peranan penting dalam proses pengendalian bahaya untuk mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit di tempat kerja sebagai salah satu upaya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kebijakan yang ditetapkan manajemen dapat menentukan adanya potensi bahaya di tempat kerja serta besaran dari potensi bahaya tersebut. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen dapat mendukung dilakukannya identifikasi terhadap potensi bahaya di tempat kerja. Proses identifikasi bahaya sebagai bagian dari analisis bahaya ini merupakan suatu tahap awal dalam upaya penanganan masalah K3, untuk selanjutnya digunakan dalam penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
2.3.1 Analisis Risiko
Analisis risiko merupakan salah satu elemen penting dalam proses identifikasi bahaya di tempat kerja. Menurut Goetsch (1993), analisis risiko merupakan suatu metode analitik yang berkaitan dengan asuransi dan investasi. Analisis risiko ini dapat digunakan untuk menganalisis tempat kerja, mengidentifikasi bahaya, dan mengembangkan strategi untuk menanggulangi kondisi bahaya, dengan mempertanyakan seberapa sering kecelakaan terjadi, dan seberapa parah konsekuensi dari kecelakaan tersebut. Dasar dari analisis risiko adalah memperkecil risiko yang mungkin terjadi dengan menurunkan frekuensi dan severitas dari kondisi bahaya penyebab kecelakaan. Menurut Goetsh (1993), data historis dari kecelakaan, cidera, dan penyakit menunjukkan bahwa semakin ringan severitas dari suatu cidera atau penyakit, frekuensinya akan semakin tinggi, dan sebaliknya bila cidera atau penyakit yang diakibatkan suatu kecelakaan memiliki tingkat severitas tinggi, maka frekuensinya akan semakin kecil. Penerapan dari penentuan nilai risiko dalam SMK3 akan dibahas kemudian.
2.3.2 Kebijakan SMK3
Semua manajer, termasuk manajemen puncak, dan supervisor mau berkonsultasi dengan para pekerja, kontraktor dan pihak yang berhubungan dengan area tanggung jawab mereka, memberikan perhatian yang sesuai untuk :
• Identifikasi bahaya apa saja yang dapat diduga/diperkirakan dengan kemungkinan dapat merugikan kesehatan atau keselamatan setiap orang, apakah itu terhadap para pekerja, atau yang berhubungan dengan tempat bekerja atau pekerjaan apapun yang berhubungan dengan aktivitas di dalam area tanggung jawab mereka.
• Memberikan penilaian terhadap kerugian yang ditimbulkan kepada kesehatan atau keselamatan yang timbul dari suatu pengidentifikasian bahaya .
• Menghilangkan/mengeliminasi atau, jika proses eliminasi tidak dapat dilakukan, kontrol potensi bahaya yang mungkin terjadi.
• Memastikan bahwa semua tindakan yang telah diambil untuk mengontrol risiko terhadap kesehatan dan keselamatan cocok diterapkan dan pelihara/pertahankan.
• Meninjau kembali penilaian risiko dan tindakan-tindakan yang diambil untuk mengontrol risiko, bilamana :
- Ada tanda-tanda bahwa penilaian risiko yang telah dilakukan tidak absah lagi, atau
- Cidera atau penyakit yang timbul dari paparan terhadap sebuah bahaya yang mana berhubungan dengan penilaian risiko, atau
- Sebuah perubahan signifikan telah diusulkan di dalam tempat kerja atau dalam kebiasaan kerja atau prosedur yang berhubungan dengan penilaian risiko.
2.3.3 Hierarki Kontrol dalam Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3)
Jika proses eliminasi dari risiko tidak dapat dilakukan, tindakan-tindakan berikut (dalam urutan yang spesifik) akan diambil untuk meminimasi risiko sampai ke tingkat terendah yang mungkin dilakukan :
1. Substitusi
Penggantian bahan-bahan yang dianggap berbahaya dengan bahan lain yang mempunyai fungsi sama, namun memiliki faktor bahaya yang lebih kecil. Substitusi juga dapat dilakukan pada proses atau peralatan.
2. Desain ulang peralatan dan proses kerja 3. Isolasi bahaya
Pemisahan antara pekerja dengan bahaya yang ada, misalnya dengan dibuatnya ruang asam pada laboratorium penelitian.
4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD dilakukan jika cara-cara diatas tidak dapat diterapkan dengan baik dalam rangka minimalisasi bahaya. APD digunakan oleh pekerja sebagai barrier (batasan/pelindung) antara diri sendiri (pekerja) dengan bahaya. Cara ini bukan langkah pengontrolan yang baik, karena tidak mengontrol bahaya di sumber, tetapi pengontrolan dilakukan terhadap sikap kerja. Kesuksesan kontrol ini tergantung pada pemilihan APD yang tepat, penggunaan yang benar, dan pemeliharaan alat yang teratur, sehingga kondisi APD selalu baik.
Kombinasi dari tindakan-tindakan diatas sebaiknya dilakukan untuk mengurangi risiko hingga kepada tingkat yang paling rendah yang layak diterapkan jika tidak ada satupun tindakan yang cukup untuk tujuan tersebut.
2.3.4 Syarat Identifikasi Bahaya
Bahaya sebaiknya diidentifikasi dengan mengkombinasikan tindakan : • Pelaporan bahaya
• Pelaporan insiden dan data investigasi • Inspeksi jadwal tempat kerja
2.4 Penentuan Risiko dan Metode-metode Skor Risiko 2.4.1 Penentuan Risiko
Kecelakaan di lingkungan kerja sangat bervariasi dan beragam baik dari segi jumlah dan jenisnya. Berhubung tiap-tiap perusahaan memiliki anggaran yang berbeda-beda jumlahnya terhadap komitmen penerapan SMK3, maka perlu dilakukan pemilihan penanganan terhadap kondisi biaya yang ada agar memilih dengan keseriusan bahaya besar menjadi prioritas penanganan. Dibutuhkan metode untuk menghitung besar skor risiko bahaya dari tiap kecelakaan agar prioritas penanganan bahaya bisa ditentukan.
Penentuan skor risiko dilakukan dengan cara menghubungkan identifikasi bahaya dengan risiko yang mungkin terjadi. Perkiraan risiko dilakukan dengan mempertimbangkan antara nilai probability (probabilitas), exposure (paparan), dan consequence (konsekuen). Menurut Soemirat, probabilitas adalah peluang terjadinya kecelakaan akibat peristiwa bahaya, paparan adalah frekuensi terjadinya peristiwa bahaya, dan konsekuen adalah kondisi yang mungkin terjadi akibat keparahan.
Perkiraan risiko digunakan untuk menentukan skor risiko yang terjadi. Dalam Tugas Akhir ini, terdapat 3 metode dalam melakukan perhitungan skor risiko, yaitu Modifikasi Metode Risk Management Standar Australia (AS/NZS 4360:1999), Metode Fine dan Metode Risk Score Calculator.
2.4.2 Metode-metode Skor Risiko 2.4.2.1 Modifikasi Standar Australia
Pada Risk Management AS/NZL 1999, sistem penilaian metode yang digunakan adalah metode kualitatif dimana penilaian risiko didasarkan pada 2 variabel yaitu kemungkinan (likehood) dan akibat (consequence) dengan penilaian tingkat kualitas akibat risiko pada 4 kategori yaitu E (Extreme high), H (High), M (Medium), dan L (Low).
Sementara pada Modifikasi Standar Australia ini juga memperhitungkan 2 variabel yaitu kemungkinan (likehood) dan akibat (consequence). Namun perbedaannya setelah dimodifikasi adalah penilaian menjadi metode kuantitatif
dengan pemberian nilai/skor terhadap risiko. Rentang pemberian nilai/skor adalah pemberian bobot/nilai 1-4 berdasarkan penilaian risiko yang diidentifikasi sehingga diperoleh bobot skor risiko. Masing-masing nilai/skor didasarkan atas penilaian subjektif dan ditentukan berdasarkan Tabel 2.1-2-4.
Tabel 2.1 Kemungkinan/Likehood (Risk Management AS/NZL 4360:1999)
Tingkatan Kriteria Penjelasan
A Hampir Pasti Suatu insiden / kejadian pasti akan terjadi
pada hampir semua kegiatan yang dilakukan
B Mungkin Terjadi Suatu insiden mungkin bisa terjadi pada
hampir semua kondisi, atau buka sesuatu hal yang tidak biasa terjadi
C Moderate (Menengah) Suatu insiden dapat terjadi pada beberapa kondisi / kegiatan tertentu
D Kecil Kemungkinannya
Terjadi
Suatu insiden mungkin terjadi pada beberapa kondisi / kegiatan tertentu, namun kecil kemungkinannnya terjadi
E Jarang Sekali Terjadi Suatu insiden mungkin dapat terjadi pada suatu kondisi yang khusus/luar biasa
Tabel 2.2 Akibat/Consequence (Risk Management AS/NZL 4360:1999)
Tingkatan Kriteria Penjelasan
X1 Tidak Signifikan Tidak ada cidera; kerugian materil sangat
kecil
X2 Minor Memerlukan perawatan P3K, kerugian
material sedang
X3 Sedang (Moderate) Memerlukan perawatan medis dan
mengakibatkan kehilangan hari kerja, hilangnya fungsi anggota tubuh untuk sementara waktu; kerugian materi cukup besar
Lanjutan Tabel 2.2
Tingkatan Kriteria Penjelasan
X4 Major Cidera yang mengakibatkan cacat/hilangnya
fungsi tubuh secara permanen, proses produksi tidak berjalan; kerugian materi besar
X5 Katastropi Menyebabkan kematian; kerugian materi
sangat banyak
Tabel 2.3 Matriks Penilaian Risiko (Risk Management AS/NZL 4360:1999)
Peluang Akibat Insignificant X1 Minor X2 Moderate X3 Major X4 Catastrophic X5 A 3 3 4 4 4 B 2 3 3 4 4 C 1 2 3 4 4 D 1 1 2 3 4
Tabel 2.4 Bobot/Score (Risk Management AS/NZL 4360:1999)
Bobot Kategori Penjelasan
4 A Sangat Tinggi
Membutuhkan perencanaan khusus di tingkat manajemen puncak dan memerlukan penanganan dengan segera/kondisi darurat
3 B Risiko Tinggi
Membutuhkan perhatian dari pihak manajemen menengah dan lakukan tindakan perbaikan secepat mungkin
Lanjutan Tabel 2.4
Bobot Kategori Penjelasan
2 C Risiko Sedang
Tidak memerlukan perhatian dari manajemen puncak, namun sebaiknya segera diambil tindakan dan penanganan / kondisi bukan darurat
1 D Risiko Rendah
Risiko cukup ditangani dengan prosedur yang sudah berlaku di perusahaan
2.4.2.2 Metode Fine
Pada metode Fine, prioritas koreksi dalam model ini ditentukan oleh risiko relatif yang disebabkan adanya bahaya. Semakin besar risiko, semakin tinggi prioritas, tetapi biaya untuk koreksi tidak diperhitungkan. Biaya akan menjadi sangat penting pada saat ditentukan tindakan alternatif koreksi yang akan diambil.
Menurut Fine (1980) ada 2 metode dalam pengontrolan bahaya, yaitu: 1. Metode untuk perhitungan risiko, untuk menentukan keseriusan suatu kondisi bahaya sehingga dapat membantu pengambilan keputusan akan suatu tindakan pencegahan (preventif).
2. Metode untuk menentukan apakah perkiraan biaya yang dialokasikan untuk suatu tindakan perbaikan guna meringankan suatu kondisi bahaya telah efektif dan efisien (justified).
Penentuan skor risiko menurut Fine dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
RS = C × E × P dimana :
RS = risk score (skor risiko) C = consequence
E = exposure P = probability
Tabel 2.5 Derajat Keparahan (Soemirat, 1999 berdasarkan Fine)
Derajat Keparahan Rating
a. Bencana alam : banyak kecelakaan fatal (cacat tetap atau meninggal) kerusakan yang luas (lebih dari $1.000.000)
100 b. Beberapa kecelakaan fatal, kerusakan $500.000 - $1.000.000 50 c. Kecelakaan fatal, kerusakan di atas $ 100.000 - $500.000 25 d. Injury sangat serius (amputasi, cacat permanen) kerusakan
$1.000 - $100.000
15 e. Luka yang menyebabkan cacat, kerusakan sampai $1.000 5
f. Luka minor, memar, benjolan, kerusakan minor 1
Tabel 2.6 Nilai Paparan (Soemirat, 1999 berdasarkan Fine)
Paparan Rating
a. Terus-menerus (sering dalam sehari) 10
b. Sering/Frequently 6
c. Sekali-sekali/Occasionally (dari sekali seminggu sampai sekali sebulan)
3 d. Biasa (dari sekali sebulan sampai sekali setahun) 2
e. Jarang (pernah terjadi) 1
f. Sangat jarang (belum pernah terjadi, tapi ada kemungkinan terjadi)
0.5
Tabel 2.7 Nilai Probabilitas (Soemirat, 1999 berdasarkan Fine)
Probabilitas Rating
a. Paling memungkinkan terjadi bila ada peristiwa bahaya 10
b. Agak memungkinkan (kemungkinan terjadi 50-50) 6
c. Tidak biasa atau kebetulan 3
d. Merupakan kebetulan yang sangat kecil peluangnya (pernah terjadi)
Lanjutan Tabel 2.7
Probabilitas Rating
e. Sangat kecil kemungkinannya, tapi dipahami mungkin terjadi (tidak pernah terjadi setelah sekian tahun paparan)
0.5 f. Secara praktek tidak mungkin terjadi (tidak pernah terjadi
meskipun bertahun-tahun terjadi paparan)
0.1
2.4.2.3 Metode Risk Score Calculator (RSC)
Perbedaan antara metode RSC dengan metode Fine hanya pada cara penentuan skor risiko suatu kegiatan. Pada metode ini penentuan risk score berdasarkan nilai konsekuensi (consequence), paparan (exposure), dan probabilitas (probability) yang kemudian masing-masing nilai ini dihubungkan sesuai pada garis-garis yang sudah ditentukan (The Risk Score Calculator). Tie Line Risk Calculator dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tie Line Risk Score Calculator (NSCA,1997)
Penggunaan Tie Line Risk Score Calculator ini dilakukan dengan menggunakan tahapan-tahapan berikut:
1. Tentukan nilai probabilitas pada garis yang telah ditentukan.
2. Tarik garis yang menghubungkan antara nilai probabilitas dengan nilai paparan yang telah ditentukan.
3. Tarik lurus garis tersebut sampai menyinggung Tie Line.
4. Dari titik Tie Line, tarik garis ke titik pada nilai konsekuen yang telah ditentukan.
5. Tarik garis lurus sampai menyinggung garis skor risiko.
Penentuan skor risiko diperoleh dari nilai konsekuensi, paparan, dan probabilitas. Nilai konsekuen, paparan dan probabilitas dapat ditentukan berdasarkan penggolongan yang sudah dilakukan pada Tabel 2.8 - 2.10.
Tabel 2.8 Penggolongan Konsekuen (Queensland University of Australia, 2000)
Kategori Pengaruh pada Manusia Biaya Kecelakaan Pengaruh pada Kerja Lingkungan
Catastrophe Banyak kematian ≥$ 5 m Kerusakan besar
pada produksi Bahaya lingkungan yang meluas Disaster Beberapa kematian $ 1 – 5 m Kerusakan besar pada produksi Bahaya lingkungan bersifat mayor
Very Serious Kematian $ 500000 - $ 1 m Kerusakan
produksi yang berarti
Bahaya
lingkungan yang parah
Serious Luka serius
(lumpuh, amputasi) $50000 – $500000 Kerusakan produksi yang tidak berarti) Bahaya lingkungan yang serius Substansial (Important)
Luka cacat yang membutuhkan pengobatan $ 5000 - $ 50000 Gangguan produksi yang sedikit Bahaya lingkungan yang kecil Minor (Noticeable) Hanya membutuhkan P3K
≤ $5000 Tidak ada efek Bahaya
lingkungan yang tidak berarti
Tabel 2.9 Penggolongan Paparan (Queensland University of Australia, 2000) Very Rare Hampir tidak mungkin terpapar
Rare Jarang terpapar, tapi pernah terpapar
Infrequent Terpapar antara sebulan sekali hingga setahun sekali Occasionally Terpapar pada saat-saat tertentu saja
Frequent Terpapar kira-kira sekali sehari Continouos Terpapar sepanjang hari
Tabel 2.10 Penggolongan Probabilitas (Queensland University of Australia, 2000)
Almost Certain Hampir mungkin terjadi jika berhubungan dengan bahaya yang ada
Quite Possible Mungkin terjadi, namun bukanlah hal yang biasa terjadi (kemungkinan 50-50)
Unusual but Possible Bukan hal yang biasa, tetapi mungkin terjadi kecelakaan Remotely Possible Kecil kemungkinan terjadi
Conceivable but Unlikely Tidak pernah terjadi setelah sekian lama paparan, tetapi ada kemungkinan terjadi
Practically Imposible Secara praktek tidak mungkin terjadi, namun tidak pernah terjadi sebelumnya
2.4.2.4 Zona Risiko dan Tindakan Metode Fine dan Risk Score Calculator Zona risiko merupakan penggolongan skor risiko yang diperoleh untuk menentukan tindakan pengendalian yang sebaiknya dilakukan dalam meminimalisasi kecelakaan yang ada. Nilai skor risiko yang diperoleh diklasifikasikan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Klasifikasi Tindakan/Action (Fine, 1980; Queensland University of Australia, 2000; NSCA 1997)
Skor Risiko
Tindakan
M Fine M. Risk Score Calculator
0-90 Low Tidak perlu tindakan dengan cepat
91-150 Moderate-Substantial Lakukan tindakan secepatnya
≥ 151 High-Very High Lakukan tindakan saat itu juga
Skor risiko tersebut kemudian diurutkan dan dimasukkan dalam 3 zona risiko, yaitu:
1. Zona risiko tinggi (High Risk Zone)
Tiap kejadian dengan skor risiko dalam zona ini butuh penanganan segera dan kegiatan harus dihentikan sampai perbaikan tersebut membuat skor risiko menurun. Zona ini diperoleh jika skor risiko yang dihasilkan bernilai lebih besar dari 150 untuk metode Fine (Fine, 1980). Sedangkan berdasarkan metode RSC zona ini adalah jika skor risiko bernilai ≥ 200 (Queensland University of Australia, 2000; NSCA,1997).
2. Zona risiko medium (Medium Risk Zone),
Tiap kejadian dengan skor risiko dalam zona ini butuh penanganan segera namun tidak perlu menghentikan kegiatan. Zona ini diperoleh jika skor risiko yang dihasilkan antara 91-150 (Fine, 1980). Sedangkan berdasarkan metode RSC, zona ini benilai diantara 10-200 (Queensland University of Australia, 2000; NSCA,1997).
3. Zona risiko rendah (Low Risk Zone),
Tiap kejadian dengan skor risiko dalam zona ini tidak dinyatakan sebagai kondisi emergency, namun butuh penanganan yang tidak boleh tertunda lama. Zona ini
diperoleh jika skor risiko yang dihasilkan bernilai dibawah 90 (Fine, 1980). Sedangkan berdasarkan metode RSC zona ini adalah jika skor risiko yang dihasilkan bernilai lebih kecil dari 10 (Queensland University of Australia, 2000; NSCA,1997).
2.5 Job Safety Analysis (JSA)
Job Safety Analysis (atau dikenal juga dengan Job Hazard Analysis) adalah sebuah teknik pencegahan kecelakaan yang digunakan sebagai penghubung perkembangan dari instruksi keselamatan kerja; sistem keselamatan kerja; dan pelatihan keselamatan kerja. Teknik JSA telah berkembang dari teknik studi kerja yang dikenal dengan metode studi dan pengukuran kerja. Metode studi dari kerekayasaan teknik ini bertujuan untuk meningkatkan metode produksi. Dalam hal ini JSA menggunakan sebuah teknik yang dikenal sebagai prinsip SREDIM:
Select/Pilih (bagian pekerjaan yang dipelajari) Record/Rekam (bagaimana pekerjaan dilakukan) Examine/Uji (situasi penuh)
Develop/Kembangkan (metode terbaik untuk melakukan pekerjaan tersebut) Install/Menerapkan (metode ini dimasukkan ke dalam operasi perusahaan) Maintain/ Pelihara (ini menjelaskan metode dan mengukur metode)
Pengukuran kerja digunakan untuk memilah-milah pekerjaan ke dalam bagian kecil/komponen sehingga dapat membuat pekerjaan manusia lebih efektif. JSA menggunakan prinsip SREDIM namun pengukuran risiko-risiko yang ada (lebih baik dari isi pekerjaan) dalam setiap bagian/komponen dari pekerjaan harus selalu ditinjau ulang. Dari pengujian yang detail ini sebuah metode yang aman dapat dibuat untuk mendeskripsikan setiap tahap pekerjaan sehingga dapat dikembangkan.
Langkah-langkah dasar untuk melakukan JSA adalah : 1. Pilih jenis pekerjaan yang dianalisis (SELECT)
2. Deskripsikan jenis pekerjaan tersebut ke dalam bagian-bagian spesifik dan mendetail dalam sebuah susunan kronologis yang teratur atau langkah-langkah melakukan pekerjaan tersebut. (RECORD)
3. Amati dan uji secara kritis setiap komponen-komponen dari jenis pekerjaan tersebut untuk menentukan risiko kecelakaan (EXAMINE)
4. Kembangkan kontrol pengukuran untuk mengeliminasi atau mengurangi risiko kecelakaan yang mungkin timbul (DEVELOP)
5. Formulasikan sistem yang aman dan tertulis dari pekerjaan dan instruksi keselamatan kerja untuk pekerjaan tersebut.(INSTALL)
6. Tinjau kembali sistem yang aman dari jenis pekerjaan tersebut dan keselamatan kerjanya.
2.6 Aplikasi Kontrol
Dalam tahap ini, hal yang dilakukan adalah pemilihan tindakan kontrol dan aplikasi tindakan kontrol dalam kerja. Hal-hal yang dilakukan adalah:
1. Pengembangan prosedur kerja
Manager, supervisi, dan pekerja bertanggung jawab akan pengembangan prosedur kerja tersebut.
2. Komunikasi antarbagian
Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi untuk melaksanakan tindakan pengontrolan.
3. Pelatihan dan pemberian instruksi.
4. Pengawasan akan penerapan langkah kontrol.
5. Pemeliharaan agar kontrol dapat berjalan dengan baik.
2.7 Monitor
Tahap ini merupakan tahapan terakhir yang harus dilakukan dalam pengelolaan dan pengendalian risiko. Pada tahap ini dilakukan monitor dan pengecekan ulang akan keefektivan tindakan kontrol dan pengendalian bahaya yang telah dipilih. Apabila timbul potensi bahaya baru akibat tindakan kontrol yang diterapkan, maka pihak manajemen secara berkala harus meninjau ulang kebijakan SMK3 yang diterapkan sehingga komitmen penyempurnaan yang berkelanjutan dapat dilakukan.