• Tidak ada hasil yang ditemukan

26, ,17 BT dan , ,27 LU. Wilayah. KPHP Model Pogogul secara administrasi termasuk ke dalam Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "26, ,17 BT dan , ,27 LU. Wilayah. KPHP Model Pogogul secara administrasi termasuk ke dalam Kabupaten"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI KAWASAN

A. Risalah Wilayah KPH 1. Letak dan Luas

Secara geografis wilayah KPHP Model Pogogul terletak pada 120° 13’ 26,87” - 120° 47’ 05,17” BT dan 00° 33’ 29,48” - 01° 12’ 52,27” LU. Wilayah KPHP Model Pogogul secara administrasi termasuk ke dalam Kabupaten Buol yang tersebar di 11 (sebelas) Kecamatan yaitu Kecamatan Lakea, Kecamatan Bokat, Kecamatan Bukal, Kecamatan Bunobogu, Kecamatan Gadung, Kecamatan Karamat, Kecamatan Lipunoto, Kecamatan Momunu, Kecamatan Paleleh, Kecamatan Paleleh Barat, dan Kecamatan Tiloan.

Luas wilayah KPHP Model Pogogul berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.756/Menhut-II/2012 tanggal 26 Desember 2012 seluas ± 199.534 Ha. Merujuk pada peta lampiran SK tersebut, wilayah KPHP Model Pogogul berada pada wilayah Kabupaten Buol. Kedua berkas landasan hukum KPHP Model Pogogul ini tidak selaras, karena konsideran SK menyatakan sebagai KPH kabupaten, tetapi peta lampirannya mengisyaratkan sebagai KPH lintas.

Berdasarkan Laporan Penyiapan Penetapan Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Unit I, Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah (Anonim, 2012), disarankan bahwa wilayah KPHP Model Pogogul yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Tolitoli dikeluarkan dan digabung ke wilayah KPHP Unit II. Hal ini berdasarkan hasil analisis SWOT dengan pertimbangan utama pada efisiensi dan efektifitas

(2)

kelembagaan KPH. Dengan mempertimbangkan batas administrasi tersebut, luas wilayah KPHP Model Pogogul setelah dideliniasi ulang adalah 190.520 Ha. Luas inilah yang digunakan dalam penyusunan Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan KPHP Model Pogogul. Senada dengan hal tersebut, perubahan luas wilayah ini telah diusulkan Pemerintah Kabupaten Buol ke Menteri

Kehutanan untuk ditetapkan melalui Surat Bupati Buol Nomor:

522.13/16.51/Dishut tanggal 31 Agustus 2013 (Surat Terlampir).

Seiring dengan ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.635/Menhut-II/2013 tanggal 24 September 2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan , dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Propinsi Sulawesi Tengah, luas KPHP Model

Pogogul setelah disesuaikan dengan SK Menhut tersebut menjadi ± 187.544,27 Ha.

Adapun rincian masing-masing unit diuraikan sbb.:Hutan Lindung (HL) seluas 42,310.38 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 49,789.32 ha, dan Hutan Produksi (HP) seluas 95,444.57 ha.Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.:

Tabel 2.1 Fungsi Kawasan Hutan di Wilayah KPHP Model Pogogul

No. Fungsi Hutan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Hutan Lindung (HL) 42.310,38 22,56

2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 49.789,32 26,55

3 Hutan Produksi (HP) 95.444,57 50,89

Jumlah 187,544.27 100

Sumber: BPKH WilayahX VI Palu, 2013

2. Aksesibilitas Kawasan

Lokasi PHP Model Pogogul di Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah pada sebelas wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Lakea,

(3)

Kecamatan Biau, Kecamatan Karamat, Kecamatan Momunu, Kecamatan Tiloan, Kecamatan Bokat, Kecamatan Bukal, Kecamatan Bunobogu, Kecamatan Gadung, Kecamatan Paleleh, dan Kecamatan Paleleh Barat.

Aksesibilitas Kawasan Wilayah KPHP Model Pogogul belum cukup memadai sehingga arus transportasi antar desa dalam wilayah kecamatan maupun dari dan menuju desa di kecamatan yang lainnya masih sulit. Di samping itu sarana penunjang berupa jembatan juga belum memadai untuk melintasi wilayah ini. Dengan demikian keterjangkauan wilayah KPHP belum cukup memadai dijangkau hingga pada batas-batas luar kawasan hutan.

3. Batas-batas KPH

KPHP Model Pogogul, memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:  Sebelah utara: berbatasan dengan kawasan APL di wilayah Kecamatan

Paleleh s.d. Kecamatan Biu Kabupaten Buol.

 Sebelah timur: berbatasan dengan kawasan APL Desa Umu Kecamatan Paleleh Kabupaten Buol.

 Sebelah selatan: berbatasan dengan KPHL Unit III Kabupaten Parigi Moutong dan Provinsi Gorontalo.

 Sebelah barat: berbatasan dengan KPHP Unit II Kabupaten Tolitoli.

4. Sejarah Wilayah KPH

KPHP Unit I yang terletak di wilayah Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah terbentuk sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.79/MENHUT-II/2010 Tanggal 10 Februari 2010 Tentang Penetapan Wilayah Pengelolaan KPHL dan KPHP Provinsi Sulawesi Tengah.

(4)

Berdasarkan sejarah pengelolaan hutan, wilayah KPHP Unit I pernah dikelola oleh HPH PT. PT. Regasia Jaya Nusantara hingga awal tahun 1990-an seluas 71.700 Ha. Selanjutnya mulai tahun 2000 PT. Inhutani I diserahi tugas oleh Departemen Kehutanan untuk melakukan rehabilitasi dan pengamanan Eks HPH tersebut. Pada tahun 2000, PT. Inhutani I memperoleh surat rekomendasi dari Bupati Kepala Dati II Buol Tolitoli No. 522/1296/Tapem tgl 1 Maret 2000 untuk ditetapkan sebagai areal HPH PT Inhutani I.

5. Pembagian Blok Wilayah KPH

Sesuai dengan Permenhut Nomor P.6/Menhut-II/2010 serta mengacu pada Peraturan Dirjen Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-WP3H/2012 serta kondisi wilayah KPHP Model Pogogul secara garis besar, blok-blok pengelolaan dibagi menjadi empat blok yaitu blok inti, blok perlindungan, blok pemanfaatan dan blok pemberdayaan masyarakat. Blok yang direncanakan adalah bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan.Selanjutnya berdasarkan blok-blok tersebut, dibagi lagi menjadi petak-petak pengelolaan.

Petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan atau silvikultur yang sama. Dengan demikian, pembagian petak diarahkan sesuai dengan peruntukan berdasarkan identifikasi lokasi dan potensi wilayah tertentu, antara lain: (a).wilayah yang akan diberikan izin, dan (b).wilayah untuk pemberdayaan masyarakat.

Memperhatikan kondisi kawasan KPHP Model Pogogul yang terbagi atas tiga fungsi kawasan yaitu hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas

(5)

(HPT) dan hutan produksi tetap (HP) maka dalam penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang diarahkan pada pemanfaatan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu serta pemberdayaan masyarakat.

Wilayah KPHP Model Pogogul yang sebahagian kawasan menjadi

daerah tangkapan air bagi wilayah bawahannya berupa daerah irigasi pertanian serta memperhatikan kepentingan masyarakat dan pembangunan wilayah maka kawasan hutan lindung dengan luas 42.310,37 Ha dibagi kedalam dua blok yaitu blok inti, dan blok pemanfaatan. Selanjutnya pada

kawasan hutan produksi (HPT dan HP) seluas 145.233,89 Ha dibagi kedalam

lima blok yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan kawasan, blok pemanfaatan HHK-HA, blok pemanfaatan HHK-HT dan blok pemberdayaan masyarakat. Adapun pembagian blok dan petak pengelolaan kawasan hutan wilayah KPHP Model Pogogul disajikan pada peta penataan hutan.

Adapun blok/petak pengelolaan hutan diuraikan sbb.;

1. Blok inti pada hutan lindung: Blok ini dapat difungsikan sebagai perlindungan tata air dan perlindungan lainnya. Penetapan blok inti didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi HL ini sulit untuk dimanfaatkan dan apabila dimanfaatkan akan membahayakan daerah bawahannya.

2. Blok Perlindungan pada hutan produksi: Blok ini direkomendasikan untuk perlindungan tata air dan perlindungan lainnya. Blok ini direncanakan pula untuk tidak dimanfaatkan, kecuali untuk pemanfaatan jasa lingkungan berupa pengelolaan jasa aliran air. Disamping itu, pertimbangan lain penetapan blok perlindungan pada hutan produksi adalah untuk

(6)

memberikan kesempatan pada hutan alam dalam meregenerasi dirinya secara alami dalam jangka waktu 10 tahun kedepan.

3. Blok Pemanfaatan pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung

Blok pemanfaatan pada hutan produksi diarahkan pada pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman (HHK-HT), pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dalam bentuk/sistem restorasi ekosistem (HHK-RE), pemanfaatan jasa lingkungan seperti wisata alam/hutan, jasa aliran air, dan jasa karbon. Pada hutan lindung, pemanfaatan hutan diarahkan pada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam (HHBK-HA) seperti pemungutan rotan, getah, lebah madu, buah/biji.

4. Blok Pemberdayaan Masyarakat

Blok pemberdayaan masyarakat ini diarahkan pada pembangunan/ pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu.

6. Pembagian Blok Pada Wilayah Tertentu

1. Blok Pemanfaatan pada Hutan Produksi

Penerapan pendekatan pemanfatan hasil hutan alam (HHK-HA) pada hutan produksi diarahkan pada tutupan vegetasi hutan primer dan hutan sekunder rapat sedangkan pemanfaatan hasil hutan dengan restorasi ekosistem dalam hutan alam (HHK-RE) diarahkan pada tutupan vegetasi hutan kerapatan rendah dan sedang pada hutan produksi. Hal tersebut dimaksudkan untuk memprakondisikan situasi sosial ke arah yang lebih kondusif di sekitar wilayah KPH guna mencegah terjadinya konflik baru antara pengelola KPH dengan masyarakat sekitarnya. Izin Usaha

(7)

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam yang selanjutnya disebut IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan

keterwakilannya melaluikegiatan pemeliharaan, perlindungan dan

pemulihan ekosistem hutan termasukpenanaman, pengayaan,

penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora danfauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati(tanah, iklim dan topografi). Sedangakan Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu Hutan Tanaman/Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HT/HTI adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutanberupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.

2. Blok Pemanfaatan pada Hutan Lindung

Blok Pemanfaatan pada hutan lindung dimaksudkan dalam rangka Penyelenggaraan usaha pemanfaatan jasa lingkungan serta Pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada hutan lindung. di

wilayah KPHP Model Pogogul pemanfaatan jasa lingkungan

dikelompokkan kedalam empat jenis, yaitu kelompok jenis jasa wisata

alam (WA), jenis jasa aliran air (JAL), dan jenis jasa

penyerapan/penyimpanan karbon (RAP- KARBON dan/atau PAN-KARBON) serta area riset/penelitian habitat alamnya.

(8)

B. Potensi Wilayah KPH 1. Iklim

Wilayah KPHP Unit I dipengaruhi oleh dua musim yang tetap yakni musim Barat dan musim Timur dengan iklim tropis. Dari hasil analisis Peta Curah Hujan RTkRHL BPDAS Palu Poso Tahun 2009, curah hujan rata-rata tahunan di wilayah KPHP Unit XVI berkisar 1.800 – 2.800 mm/tahun. Curah dominan berkisar 2.000 - 2.600 mm/tahun.

Gambar 2.1. Peta Zonasi Curah Hujan di Wilayah KPHP Unit I

Dari hasil analisis data curah hujan dan hari hujan Kabupaten Buol periode tahun 2002-2007 diketahui bahwa curah hujan rata-rata tahunan mencapai 1.920,43 mm/thn. Jumlah bulan basah sebanyak 11 bulan dan bulan kering 0 bulan. Dengan demikian tipe iklim berdasarkan klasifikasi

(9)

Smith dan Ferguson adalah termasuk dalam tipe iklim A. Selanjutnya berdasarkan data curah hujan Tahun 2007 diketahui jumlah hari hujan sebanyak 126 hh atau rata-rata 10 hh. Rata-rata curah hujan selama tahun 2007 adalah 187 mm/bulan, yang mana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (430 mm) dan terendah terjadi pada bulan September (45 mm).

Suhu udara maksimum rata-rata tertinggi di wilayah Buol dan sekitarnya adalah 32,45 0C pada bulan Mei dan suhu udara minimum rata-rata terendah adalah 23,53 0C dibulan Februari.

Kelembaban udara rata-rata bulanan juga bervariasi, tertinggi adalah 88,00% yang terjadi pada bulan September dengan kelembaban udara rata-rata terendah sebesar 82,00% yang terjadi pada bulan Oktober.

5. Geologi, Tanah dan Geomorfologi Geologi:

Berdasarkan peta Geologi Bersistem Indonesia skala 1:250.000, wilayah Kabupaten Buol termasuk dalam Mendala Geologi Sulawesi Barat. Dari sisi kompleksitas struktur geologi, bagian timur wilayah ini relatif lebih terpengaruhi secara tektonik dibanding bagian baratnya. Di bagian timur, sesar-sesar vertikal dengan dua arah utama yaitu tenggara-barat laut dan timur laut-barat daya. Disamping itu, terdapat sesar-sesar dekstral di Pegunungan Paleleh dan G. Tentalomatinan. Adapun bagian timur Buol, gejala struktur relatif tidak dominan, hanya terdapat dua struktur utama, yaitu sesar sungkup di barat Momunu dan sesar vertikal di sebelah barat Leok. Struktur geologi lainnya yang dijumpai adalah lipatan antiklin dan kekar-kekar yang banyak terdapat pada seluruh formasi batuan yang ada di wilayah ini.

(10)

Secara regional, berdasarkan Peta Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tengah, skala 1 : 750.000 (Tahun 1995) satuan batuan yang menyusun geologi Kabupaten Buol terdiri atas:

Formasi Tinombo: Litologi penyusun formasi ini berupa lava basal, basal spilitan, lava andesit, breksi gunung api, batupasir wake, batulanau, patupasir hijau, batugamping merah, batugamping kelabu dan batuan termetamorfosa lemah. Di Kabupaten Buol satuan ini terdapat di bagian selatan dengan arah memanjang relatif timur-barat relatif pada wilayah batas dengan kabupaten lain. Umur formasi ini diduga Eosen-Oligosen, dengan tebal formasi lebih dari 500 m.

Batuan Vulkanik: Batuan gunung api umumnya bersifat andesitik, tersebar di banyak tempat namun tidak meluas. Ukuran kristal batuannya umumnya halus. Juga terdapat batuan lain berupa lava, breksi andesit dan basal. Sebarannya antara lain Momunu bagian barat dan selatan, sebelah barat Leok dan sebelah selatan Bokat yang merupakan batas dengan kabupaten/propinsi lain. Sebaran batuan ini masih meluas ke arah barat (Tolitoli) dan menyebar luas di selatan (Parigi Moutong). Satuan ini diperkirakan menjemari dengan Formasi Tinombo. Berumur Eosen - Oligosen.

Diorit Bone: Merupakan batuan beku menengah, terdiri dari diorit, diorit kwarsa, granodiorit dan andesit. Penyebaran batuan ini relatif sempit setempat-setempat. Penyebaran terluas di Kabupaten Buol kurang dari 600 ha. Umur batuan diperkirakan Miosen Awal sampai Miosen Tengah.

Diorit Boliohuto: Terdiri dari diorit dan granodiorit dan tergolong dalam jenis batuan beku dalam yang bersifat menengah sampai asam. Di

(11)

Kabupaten Buol batuan ini hanya terdapat di sekitar G. Tentolomatinan sebelah selatan Lokodako. Umur batuan adalah Miosen Tengah sampai Miosen Atas.

Formasi Dolokapa: Litologi terdiri dari batupasir wake, batulanau, batulumpur, kongtomerat, tufa, tufa lapili, aglomerat, breksi vulkanik dan lava yang bersifat andesit serta basal. Penyebaran formasi ini relatif luas, relatif memanjang dari sebelah selatan Momunu dan Mopu ke arah ke arah timur laut sampai mencapai daerah Paleleh. Umur formasi adalah Miosen Tengah- Miosen Atas.

Breksi Wobudu: Merupakan batuan vulkanik, terdirl dari breksi vulkanik, aglomerat, tufa, tufa lapili dan lava yang bersifat andesit sampai basal. Penyebarannya di bagian selatan Bunobogu dan wilayah yang luas sepanjang pegunungan Peleleh ke arah timur laut, yaitu G. Tentolomatinan dan G. Boondalo. Umur batuan diperkirakan Pliosen.

Molase Celebes Sarasin dan Sarasin (Formasi Lokodidi): Formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung, batugamping koral, tufa, serpih hitam dan napal. Sebagian batuan ini mengeras lemah, terutama batugamping dan batulempung gampingan. Secara regional, formasi ini tersebar tuas di Provinsi Sulawesi Tengah dan di wilayah Kabupaten Buol formasi ini merupakan penyusun utama wilayah Bakat, Momunu dan Mopu. Penyebaran setempat-setempat di Bunobogu, Taang, Tunggulo dan Bungalon di pesisir pantai utara. Umur formasi ini adalah Pliosen - Pleistosen.

Batugamping Terumbu: Batugamping koral merupakan penyusun utama satuan batuan ini. Penyebaran terluas terdapat di pesisir utara Buol,

(12)

yaitu Monolipo, Busak, Mokupo, Leok, Kasenangan, Lamolan sampai ke bagian utara Momunu. Penyebaran setempat-setempat dijumpai sepanjang pantai dari Tamit sampai Paleleh. Umur formasi Pleistosen-Holosen.

Aluvium: Terdiri dari material pasir, lempung, lanau, lumpur, kerikil dan kerakal. Endapan terluas terdapat di dataran Kota Buol yang melebar ke arah Leok, Lamolan, Bokat dan Momunu terutarna dataran banjir S. Momunu. Tebal satuan beberapa meter sampai puluhan meter.

Tanah:

Tanah adalah hasil alih rupa (transformasi) bahan mineral dan bahan organik yang terjadi pada muka dataran dibawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berlangsung selama jangka waktu yang sangat panjang, dan hasilnya itu berbentuk suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi tertentu yang berbeda jelas dengan organisasi dan morfologi tubuh alam yang lain.

Tanah dan landscape terus mengalami perubahan, baik secara fisik, kimiawi maupun biologis. Disamping itu tanah dapat berfungsi sebagai penerima, pengubah dan pancaran energi. Dalam proses pembentukannya tanah disuatu daerah dipengaruhi oleh (1) bahan induk, (2) topografi, (3) iklim, (4) organisme, dan waktu. Komposisi dari masing-masing faktor tersebut dapat menghasilkan jenis dan tingkat kesuburan tanah yang beragam.

Disamping faktor tersebut di atas, sifat-sifat tanah disuatu daerah dipengaruhi oleh cara pengolahan dan pemanfaatannya. Tanah yang selalu dimanfaatkan untuk lahan sawah umumnya menunjukkan ciri-ciri khusus, seperti berwarna kelabu (gley). Keadaan ini diakibatkan oleh tidak sempurnanya proses oksidasi reduksi tanah.

(13)

Tanah-tanah di wilayah Kabupaten Buol terbentuk dari bahan induk yang bervariasi, antara lain batu gamping, estuarim marine, napal, batu karang, andesit, endapan, kipas aluvial, tuft, batu pasir, batu kapur, aluvium muda, endapan sungai, campuran endapan muara dan endapan laut. Dengan demikian tingkat perkembangan tanah yang ada di lapangan juga agak bervariasi.

Pada daerah yang dilalui oleh jalur aliran sungai, tanah yang terbentuk mempunyai tingkat perkembangan sedang (muda). Hal itu erat kaitannya dengan proses pengendapan bahan tanah yang terus berlangsung secara berkala. Sedangkan pada daerah yang jauh dari sungai, terutama diperbukitan atau didataran berombak, tingkat perkembangan daerah itu agak lanjut, hal itu disebabkan oleh proses erosi dan tingkat pengolahan tanah terus berlangsung.

Berdasarkan data FAO/UNESCO/Soil Survey Staff (1968), penyebaran jenis di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah jenis tanah yang ada berdasarkan sistem soil taksonomi (Soil Survei Staff USDA, 1999), ditemukan tiga order utama tanah diantaranya adalah Entisols, Inceptisols, dan Mollisols. Entisols menempati wilayah pesisir dengan variasi sifat-sifat kimia tanah yang cukup beragam, sedangkan Inceptisols dan Mollisols penyebarannya sempit dengan variasi sifat-sifat tanah yang relatif kecil.

Selanjutnya berdasarkan klasifikasi tanah LPT Bogor, jenis tanah yang terdapat di wilayah DAS Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah didominasi jenis Podsolik Merah Kuning, Litosol, Rendzina, Mediteran Merah Kuning, dan Aluvial. Jenis tanah lainnya adalah Latosol, Hidromorf, dan

(14)

Organosol (Sumber: Peta Lahan Kritis Kabupaten Buol, BPDAS Palu Poso, Tahun 2009).

Geomorfologi:

Secara fisiograti, wilayah Kabupaten Buol berada di antara jajaran vulkanik lengan utara (northern volcanic ranges) dengan wilayah pegunungan bagian tengah (central mountains) dari Pulau Sulawesi. Morfologi wilayah ini sebagian merupakan perbukitan dengan relief sedang, sebagian besar yang berelief tinggi terutama pada bagian selatan. Sebagian lagi berelief rendah yang umumnya berupa dataran alluvial dan menempati wilayah-wilayah pesisir pantai, atau bagian utara Kabupaten Buol.

Wilayah bertopografi tinggi terdiri dari deretan perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut (dpl). Selain itu terdapat pula perbukitan yang sebagian berupa karst, ada yang menjorok hingga ke batas garis pantai dengan elevasi antara 100 - 300 m, yaitu Tanjung Dako di Kecamatan Biau.

Beberapa pulau yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Buol berupa pulau kecil dengan morfologi yang tidak rumit, diantaranya Pulau Busak, Pulau Raja, Pulau Boki, Pulau Panjang dan Pulau Lesman di perairan Laut Sulawesi.

Berdasarkan pada proses geologi, pengelompokan umum morfologi laut dan daratan wilayah Kabupaten Buol, dapat dlbagi dalam:

1) Lereng/tebing depresi, menghubungkan daerah depresi yang dalam dengan daerah paparan yang relatif dangkal. Pada beberapa bagian laut,

(15)

lereng yang terbentuk berupa tebing curam Karena proses subduksi. Lereng depresi kedalamannya berkisar antara 10 - 200 meter.

2) Daerah paparan; dengan kedalaman kurang dari 200 m dengan lebar dari pantai yang relatif bervariasi ditemui pada sepanjang dasar laut kabupaten ini.

3) Dataran; terdiri dari:

 Dataran kipas alluvial yang melereng landai, umumnya merupakan lahan datar pesisir yang tersebar pada sebagian besar wilayah terutama di wilayah Kecamatan Tiloan yang berakhir di wilayah Kecamatan Lipunoto.

 Dataran Lumpur antara pasang surut, tersebar pada luasan yang sempit pada semua kecamatan yang ada.

Secara umum, sebagian dari satuan morfologi ini merupakan permukiman yang sudah lama dibuka.

4). Perbukitan, terdiri dari:

 Punggung bukit sedimen asimetrik tak terorientasi. Bentukan seperti ini dijumpai dalam luasan yang sempit pada daerah perbukitan pesisir bagian selatan sepanjang wilayah Kabupaten Buol

 Perbukitan karst (kapur) di atas batu gamping coral Bentukan bukit karst seperti ini dapat ditemui di wilayah Kecamatan Biau.

 Deretan bukit sangat curam di atas batuan beku, dijumpai di bagian barat dan timur Kabupaten Buol seperti pada Kecamatan Biau, Kecamatan Tiloan dan Kecamatan Paleleh.

(16)

 Punggung bukit sedimen asimetrik tertoreh melebar, sebarannya dijumpai di sebagian wilayah kecamatan yang ada.

 Punggung gunung metamorfik terorientasi terjal, dijumpai pada hampir semua wilayah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Buol.

Satuan ini merupakan bagian terbesar morfologi yang terdapat di wilayah Kabupaten Buol. Ketinggiannya berkisar 800 - 2.500 m dpl (G. Malino). Wilayah-wilayah pegunungan yang termasuk dalam satuan ini meliputi deretan Pegunungan Malino, G. Bangkalang dan G. Tetembu serta G. Tentolomatinan di Pegunungan Paleleh.

Penyebaran morfologi lahan sesuai peta RTk-RHL DAS wilayah kerja Palu Poso Tahun 2009 sesuai LMU-terseleksi diketahui terdapat sebanyak tiga kelas yaitu kelas hilir (Hi), Tengah (Tg) dan Hulu (Hu). Untuk wilayah Kabupaten Buol khususnya pada LMU-terseleksi diketahui sbb.: Morfologi hulu menempati areal seluas 22.011,20 Ha, morfologi tengah menempati areal seluas 11.932,07 Ha, dan morfologi hilir menempati areal seluas 808,05 Ha.

6. Topografi dan Lereng

Topografi Kabupaten Buol terdiri atas topografi pegunungan, perbukitan dan dataran. Topografi dataran menyebar pada seluruh wilayah kecamatan, demikian pula topografi perbukitan. Untuk topografi pegunungan dominan dijumpai di wilayah Kecamatan Biau, Tiloan, Bukal, Bunobogu, Gadung, Paleleh barat dan Paleleh.

Berdasarkan kondisi topografi wilayah, Kabupaten Buol terbagi menjadi tinggi bagian yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran tinggi memanjang dari Timur ke Barat disepanjang deretan pegunungan

(17)

perbatasan Provinsi Gorontalo, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tolitoli. Sedangkan dataran rendah dapat dijumpai diseluruh wilayah kecamatan. Ketinggian tempat berkisar antara 0 m – 2.394 m di atas permukaan laut dimana titik terendah berada di tepian laut dan titik tertinggi adalah G. Malino 2.394 m.dpl. di Kecamatan Tiloan.

Topografi di wilayah KPHP Unit I didominasi pegunungan dan perbukitan. Adapun topografi dataran, berombak dan bergelombang hanya dijumpai pada wilayah-wilayah sempit diantara perbukitan dan pegunungan. Namun demikian wilayah dataran terluas di jumpai di kawasan hutan produksi (HP dan HPT) DAS Buol, DAS Yango dan DAS Mayangato.

Wilayah KPHP Unit I merupakan daerah berbukit dan bergunung terutama pada bagian tengah yang memanjang dari timur ke barat. Sedangkan daerah dataran rendah ditemukan pada bagian utara wilayah KPHP yang berbatasan dengan kawasan permukiman dan pertanian di APL. Ketinggian wilayah berkisar antara 80 m – 2.071 m di atas permukaan laut.

Karena sebagian besar wilayah ini merupakan pegunungan maka kemiringan lahan di wilayah KPHP unit I sangat beragam, mulai kelas lereng datar hingga sangat curam. Namun demikian yang mendominasi wilayah KPHP ini adalah kelas sangat curam.

(18)

Gambar 2.2. Peta Kelas Lereng di Wilayah KPHP Unit I 7. Hidrologi dan DAS

Di wilayah KPHP Unit I terdapat dua DAS prioritas I yaitu DAS Kuala besar, Lintidu, Bodi, Lantikadigo-mulat, Lonu, Bunobogu, Buol, Lakea, Lakuan, dan Maraja. Sedangkan DAS lainnya termasuk dalam prioritas II dan III.

Umumnya sungai-sungai utama di wilayah KPHP Unit I memiliki pola aliran dendritik dan paralel yang seluruh sungai utama dan anak sungainya mengalirkan air ke arah utara (Laut Sulawesi).

(19)

Gambar 2.3. Peta DAS Prioritas di Wilayah KPHP Unit I

Air sungai di wilayah KPHP ini hanya sebahagian besar diimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan irigasi pertanian. Hamparan lahan sawah cukup luas terdapat di wilayah Kecamatan Biau, Kecamatan Tiloan, Kecamatan Momunu, dan Kecamatan Paleleh. Pada desa-desa lainnya umumnya air sungai dimanfaatkan penduduk untuk air, mandi, dan mencuci.

Sungai-sungai penyumbang banjir dan sedimentasi terbesar di wilayah KPHP ini adalah Sungai Buol.

(20)

Kondisi penutupan lahan/vegetasi di wilayah KPHP Unit I terdiri atas: 123,79 ha hutan mangrove primer, 0,06 Ha hutan mangrove sekunder, 145,399,99 Ha hutan primer, 41.852,59 ha hutan sekunder, 248,18 perkebunan, 3.709,96 pertanian lahan kering, 3.999,94 pertanian lahan kering campur, 75,41 sawah, 4.149, 40 ha semak belukar, dan 16,79 ha tambak. (Dishut Sulteng, 2011).

Gambar 2.4. Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHP Unit I 6. Potensi Kayu/Non-Kayu

KPHP Unit I adalah salah satu wilayah KPH di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang cukup tinggi. Di wilayah ini terdapat hutan pegunungan/hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, yang kaya jenis-jenis vegetasi berkayu dan vegetasi tak berkayu baik komersial dan non-komersial.

(21)
(22)

Jenis-jenis flora yang cukup dikenal masyarakat bernilai komersial tinggi di pasar Internasional maupun domestik, khususnya dari jenis kayu adalah Kayu Meranti (Shorea spp.), Palapi (Herriteria sp.), Nyatoh (Palaqium

spp.), Rau (Dracontamelon mangiferum), Bintangur (Calophyllum soulatri), Maraula (Diospyros macrophylla), Agatis/Damar (Agathis spp.), Matoa

(Pometia pinnata), Dao (Dracontamelon dao), Mangga hutan (Mangifera

foetida), Binuang (Octomeles sumatrana), dll. Selanjutnya dari jenis flora

berupa jenis non-kayu adalah Rotan (Calamus spp.), Bambu (Bambusa spp.), Aren (Arenga pinnata) dan jenis palma lainnya. Dari jenis flora tersebut beberapa jenis yang dikategorikan sebagai jenis tanaman multiguna seperti Agatis (penghasil kayu dan getah damar), Durian (penghasil kayu dan buah), Aren (penghasil nira, ijuk, pati, lidi, buah), dsb.

Dari uraian jenis vegetasi di atas, nampak bahwa potensi hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu yang cukup tersedia di kawasan hutan produksi dan hutan lindung dalam wilayah KPHP Unit XVI sbb.:

(a) Hasil hutan kayu yang bernilai komersial di wilayah ini antara lain; Palapi

(Heritiera sp), Nyatoh (Palaqium sp), Cempaka (Elmerillia sp), Agatis

(Agathis sp), Meranti (Shorea sp), dan Jabon (Antocephalus macrophylla).

(b) Hasil hutan bukan kayu: Rotan (Calamus sp), Bambu (Bambusa sp), dll. (c) Hasil hutan serbaguna (MPTS): Agatis (kayu, getah damar), Aren (nira,

gula aren, ijuk, tepung aren, sayur), Durian (kayu, buah), Pangi (kayu, buah), dll.

7. Keberadaan Flora dan Fauna Langka

Di wilayah KPHP Unit I terdapat beberapa jenis flora dan fauna langka, tergolong endemik dan dilindungi.

(23)

Jenis-jenis flora/tumbuhan yang bersifat endemik (punya persebaran terbatas di Sulawesi) dan flora yang bersifat dilindungi. Beberapa jenis diantara merupakan jenis flora langka, endemik dan dilindungi seperti

Casuarina oligodon subspec celebica, Myristica ultrabasica, Beilschmidia gigantocarpa, Agathis celebica, Macadamia hildebrandii, Polyathia celebica, Dinochloa barbata, Calamus zollingerii, Korthalsia celebica, Calamus ornatus var. celebicus, Dillenia celebica, Myristica ultrabasica, Gymnocranthera maliliensis, Gronophyllum microspadix(A), Deplancea bancana, Knema

celebica, Timonius minahasae, Horsfieldia costulata, Beilschimidia

gigantocarpa dan lain-lain. Untuk jenis-jenis yang dilindungi diantaranya

adalah Pterospermum celebicum, Arenga pinnata dan lain-lain. Selanjutnya ditambahkan bahwa terdapat beberapa jenis flora yang bersifat endemik (distribusinya terbatas di Sulawesi saja) seperti Casuarina oligodon

sbsp.celebica dan Mangifera minor serta beberapa bersifat dilindungi seperti

Cordea subcordata, Durio zibethinus (Dilindungi, SK Mentan

No.54/Kpts/Um/2/1972, dilarang melakukan penebangan pohon berdiameter di bawah 40 cm.).

Jenis fauna langka dan endemik (jenis burung) yang terdapat di wilayah KPHP Unit I, yaitu: Elang bondol, Burung madu sriganti, Cekakak sungai, Elang hitam, Raja udang meninting, Serindit paruh merah, Kuntul kecil dan Walet. Ditambahkan bahwa terdapat jenis-jenis satwa liar (Mamalia, Reptilia dan Amphibia) baik yang bersifat endemik (penyebaran terbatas) ataupun yang dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia sbb.: Anoa dataran rendah (Bubbalus depresicornis), Yakis (Macaca tonkeana), Rusa

(24)

(Cervus timorensis), Kuskus (Ailurops ursinus), Kobra hitam (Ophiophagus

Hannah), dan Katak hijau (Rana cancrivora).

8. Erosi dan Kekritisan Lahan

Wilayah KPHP Unit I memiliki kondisi erosi dan tingkat kekritisan lahan di setiap wilayah DAS yang ada.

Dari hasil analisis peta RTkRHL BPDAS Palu Poso Tahun 2009, diketahui bahwa kondisi erosi di wilayah DAS KPHP Unit I didominasi kelas erosi ringan.

Gambar 2.5. Peta Erosi di Wilayah KPHP Unit I

Dari peta erosi diketahui penyebaran tingkat erosi sedang s.d. sangat berat. Kelas-kelas erosi tersebut dominan dijumpai di wilayah DAS Kecamatan Momunu, Bunobogu, Gadung dan Paleleh.

KABUPATE N B UOL KA B UP ATE N TO LITO L I KA B UP ATE N P A RIG I MO U TO NG PRO V IN SI G O RO NTA LO LAU T S U LA W E SI B S S B R S R R R R R R R # # # # # # # # # # # Lip un oto Lam ad ong Bo ka t Bu nob ogu Ga du ng Pa le leh Tiloan Biau Ka ra ma t Bu ka l Pa le leh B arat S 30 0 30 60 Kilometers N E W S

PETA KELAS EROSI WILAYAH KPHP UNIT I KABUPATEN BUOL DAN TOLITOLI

PROVINSI SULAWESI TENGAH

KETERANGAN: 280000 280000 300000 300000 320000 320000 340000 340000 360000 360000 380000 380000 400000 400000 10 06 00 00 1006 00 00 10 08 00 00 1008 00 00 10 10 00 00 1010 00 00 10 12 00 00 1012 00 00 10 14 00 00 1014 00 00 10 16 00 00 1016 00 00 Sangat Berat (SB) Berat (B) Sedang (S) Ringan (R) Sumber:

Peta RTkRHL DAS BPDAS Palu Poso, 2009.

KABUPATEN BUOL PROVINSI SULAESI TENGAH

(25)

Selanjutnya kondisi tingkat kekritisan lahan di wilayah KPHP Unit I terdiri atas kelas sangat kritis, kritis, agak kritis dan tidak kritis.

Gambar 2.6. Peta Kekritisan Lahan di Wilayah KPHP Unit I

Dari peta tingkat kekritisan lahan diketahui bahwa penyebaran kelas lahan sangat kritis hingga agak kritis dominan dijumpai di wilayah DAS Kuala Besar, Yango, Mayangato, Bunobogu, Lantikadigo-Mulat, Buol dan Lakuan. Dari data RTkRHL BPDAS Palu Poso tahun 2009 diketahui luas lahan kritis yang terdapat di wilayah KPHP unit I mencapai jumlah 2.819,02 Ha dengan rincian, seluas 357,57 Ha berupa kelas kritis dan seluas 2.461,45 Ha berupa lahan agak kritis.

(26)

9. Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

Di wilayah KPHP Unit l ini terdapat areal kawasan hutan yang dapat menjadi potensi dalam pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam. Jasa lingkungan yang dapat dibina di kawasan tersebut adalah Peluang pengembangan wisata alam pada kawasan hutan produksi di wilayah Kecamatan Lipunoto tepat di Desa Kumaligon yaitu berupa sumber-sumber mata air dari celah bebatuan kapur.

Selain itu dapat pula dikembangan jasa wisata alam pegunungan Tabong-Kokobuka. Di wilayah hulu sungai Tabong terdapat gua yang ditempati bersarang burung Walet.

C. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat 1. Kependudukan

Secara administratif KPHP Unit I berada dalam wilayah Kecamatan Biau, Karamat, Lipunoto, Bukal, Bokat, Bunobogu, Gadung, Paleleh Barat dan Paleleh di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Adapun gambaran secara spasial administrasi kecamatan tersebut disajikan pada Gambar 2.7 berikut.

(27)

Gambar 2.7. Peta Administrasi Kecamatan di Wilayah KPHP Unit I

Selanjutnya sebaran jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada tiga belas wilayah kecamatan di Kabupaten Buol disajikan pada Tabel 2.2 berikut. KABUPATE N B UOL KA B UP ATE N TO LITO L I KA B UP ATE N P A RIG I MO U TO NG PRO V IN SI G O RO NTA LO LAU T S U LA W E SI 12 5 4 1 3 6 6 9 # # # # # # # # # # # Lip un oto Mom un u Bo ka t Bu nob ogu Ga du ng Pa le leh Tiloan Biau Ka ra ma t Bu ka l Pa le leh B arat 11 10 5 7 8 3 2 2 Ga du ng 30 0 30 60 Kilometers N E W S

PETA BATAS ADMINISTRASI KECAMATAN WILAYAH KPHP UNIT I KABUPATEN BUOL DAN TOLITOLI

PROVINSI SULAWESI TENGAH

KETERANGAN: 280000 280000 300000 300000 320000 320000 340000 340000 360000 360000 380000 380000 400000 400000 10 06 00 00 1006 00 00 10 08 00 00 1008 00 00 10 10 00 00 1010 00 00 10 12 00 00 1012 00 00 10 14 00 00 1014 00 00 10 16 00 00 1016 00 00 Momunu (2) Biau (3) Karamat (4) Tiloan (5) Bukal (6) Lipunoto (1) Gadung (9) Bunobogu (8) Bokat (7) Baolan (12) Paleleh (11) Paleleh Barat (10) Batas Kecamatan Jalan Raya Batas Kabupaten # # Kota Kecamatan Kota Kabupaten Sumber:

Peta RTkRHL DAS BPDAS Palu Poso, 2009.

KABUPATEN BUOL PROVINSI SULAESI TENGAH

(28)

Tabel 2.2. Keadaan Penduduk Wilayah Kecamatan di KPHP Unit I No. Kecamatan Luas Wilayah (Km²) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah KK Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km²) 1 2 3 4 5 6 A. Kabupaten Buol 1 Biau 361,65 16.630 3.698 12 2 Kramat*) 3 Lipunoto 217,80 20.283 4.623 7 4 Momunu 400,40 12.954 2.988 14 5 Tiloan 1.437,70 7.450 1.961 8 6 Bokat 196,10 11.831 2.852 14 7 Bukal 355,52 11.875 2.956 13 8 Bonubogu 327,15 8.287 1.826 8 9 Gadung 160,38 10.650 2.371 9 10 Peleleh 586,87 15.161 3.621 17 11 Paleleh Barat*) Jumlah A 4.043,57 115.121 26.896 102

Sumber: Dianalisis Tahun 2012 dari Data BPS Kabupaten Buol, Tahun 2008-2010. *) masih menyatu kecamatan induk. **) Luas kawasan hutan (HL dan HPT) dalam wilayah KPH = 68,13 km2 dan tidak ada penduduk, lokasi berada di wilayah perbatasan kabupaten Buol-Tolitoli.

Data pada Tabel 2.2 di atas, Kabupaten Buol memiliki jumlah penduduk sebanyak 115.121 jiwa dan sebanyak 26.896 KK. Penduduk laki-laki sebanyak 58.348 jiwa dan perempuan 56.773 jiwa, sex rasio 103, rata-rata penduduk per RT sebanyak 4 jiwa.

Hasil sensus penduduk BPS Kabupaten Buol tahun 2010 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir rata-rata 3,42% pertahun dengan total penduduk mencapai 98.005 jiwa. Salah satu pendorong tingginya pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan yang sebagian besar diantara mereka adalah pendatang yang bekerja dan mencari nafkah di daerah ini serta transmigrasi umum. Persebaran penduduk terbesar jumlahnya berada di Kecamatan Lipunoto sebesar 17,62%, diikuti Kecamatan Biau dan Peleleh.

a. Tekanan Penduduk

Tekanan penduduk adalah indeks yang dimaksudkan untuk menghitung dampak penduduk di lahan pertanian terhadap lahan tersebut. makin besar jumlah penduduk makin besar pula kebutuhan akan

(29)

sumberdaya, sehingga tekanan terhadap sumberdaya juga meningkat. Dengan kualitas penduduk yang rendah, kenaikan tekanan terhadap sumberdaya akan meningkat sebanding dengan kenaikan jumlah penduduk. Salah satu permasalahan kependudukan adalah ledakan penduduk yang akan dapat berakibat timbulnya permasalahan pemukiman, lapangan kerja, pendidikan, pangan dan gizi, kesehatan dan mutu lingkungan. Selanjutnya, tekanan penduduk (TP) dihitung menggunakan rumus sbb.: (Otto Soemarwoto, 1984).

Keterangan:

Luas lahan minimal per petani untuk hidup layak = Z Proporsi petani dalam populasi = f Jumlah penduduk (KK) pada waktu t=0 = Po Tingkat pertumbuhan penduduk rerata pertahun = r Rentang waktu yang diperhitungkan (5 tahun) = t Total luas wilayah lahan pertanian = L Hasil perhitungan tersebut diinterpretasikan sbb.:

 TP<1, lahan masih dapat menampung lebih banyak penduduk petani.

 TP>1, tekanan penduduk melebihi kapasitas lahan.

Dari hasil perhitungan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, diketahui bahwa tingkat tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di sekitar wilayah KPHP Unit I berada pada angka TP>1). Untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3. Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian di KPHP Unit I

No. Kecamatan F Po*) Z r t L fPo (1+r)^t TP

1 Biau/Kramat 0.82 3,698 2 0.03420 5 5,872.83 3,032 1.18 0.61 2 Lipunoto 0.60 4,623 2 0.03420 5 1,524.13 2,774 1.18 4.31 3 Momonu 0.84 2,988 2 0.03420 5 8,035.69 2,523 1.18 0.74 4 Tiloan 0.82 1,961 2 0.03420 5 7,666.46 1,608 1.18 0.50 5 Bokat 0.85 2,852 2 0.03420 5 5,277.04 2,424 1.18 1.09 6 Bukal 0.86 2,956 2 0.03420 5 8,842.56 2,542 1.18 0.68 7 Bonubogu 0.86 1,826 2 0.03420 5 2,928.92 1,570 1.18 1.27 8 Gadung 0.86 2,371 2 0.03420 5 3,662.22 2,039 1.18 1.32 9 Paleleh/Paleleh Barat 0.86 3,621 2 0.03420 5 3,971.29 3,114 1.18 1.86 Kabupaten 0.82 26,896 2 0.03420 5 47,781.14 22,038 1.18 1.09

Keterangan:*) Berdasarkan Jumlah KK. Dianalisis Tahun 2012 dari data BPS Kab. Buol Tahun 2008.

fPo (1 + r)^t TP = Z x L

(30)

Dari Tabel 2.3 di atas, nampak bahwa terdapat sebanyak lima wilayah kecamatan di Kabupaten Buol memiliki nilai TP = 1,09. Hal ini berarti besarnya jumlah penduduk untuk 5 tahun mendatang di Kabupaten Buol akan melebihi kapasitas lahan pertanian yang ada, sehingga masyarakat khususnya petani dalam 5 tahun akan datang dalam mengelola lahan pertanian akan sulit untuk hidup layak (paling tidak dapat mampu menghasilkan sebesar 640 Kg ekivalen beras per tahunnya). Kecamatan dengan nilai TP>1 adalah Lipunoto, Bokat, Bonubogu, Gadung dan Paleleh/Paleleh Barat. Untuk wilayah Kecamatan Lipunoto sebagai ibu kota

Kabupaten secara berangsur-angsur beralih kepada non-usahatani

(perdagangan, jasa, dsb.).

b. Kegiatan Dasar Wilayah

Indeks kegiatan dasar wilayah digunakan untuk menentukan sektor ekonomi yang paling berpengaruh terhadap penduduk di wilayah tertentu. Rumus yang digunakan adalah sbb.:

LQi = (Mi/M)/(Ri/R)

Keterangan:

LQi = Koefisien lokasi

Mi = Jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalam sektor I pada satu wilayah Pengembangan

M = Jumlah tenaga kerja yang ada di satu wilayah pengamatan tersebut

Ri = Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor i pada seluruh wilayah pengamatan R = Jumlah tenaga kerja yang ada di seluruh wilayah pengamatan

R = R1 + R2 + R3 ...+ Rn

LQi dapat bernilai < 1 atau > 1, misalnya apabila LQ untuk sektor pertanian ternyata >1 berarti sektor pertanian sangat penting dan masyarakat sangat tergantung pada sektor tersebut.

Selanjutnya disajikan data hasil analisis nilai LQ pada masing-masing wilayah kecamatan di wilayah KPHP Unit I seperti pada Tabel 2.4 berikut.

(31)

Tabel 2.4. Perhitungan Nilai LQ di Wilayah KPHP Unit I

No. Parameter Kecamatan Pertanian Perdagangan Pemerintahan Jasa dan Industri 1 Biau/Kramat 3,032 91 126 449 Mi/M 0.82 0.025 0.03 0.12 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.02 0.58 0.73 1.14 2 Lipunoto 2,774 555 462 832 Mi/M 0.60 0.120 0.10 0.18 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 0.75 2.84 2.14 1.68 3 Momunu 2,523 95 139 231 Mi/M 0.84 0.032 0.05 0.08 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.05 0.76 0.99 0.72 4 Tiloan 1,608 43 67 243 Mi/M 0.82 0.022 0.03 0.12 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.02 0.52 0.73 1.16 5 Bokat 2,424 73 97 258 Mi/M 0.85 0.026 0.03 0.09 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.06 0.60 0.73 0.85 6 Bukal 2,542 79 101 234 Mi/M 0.86 0.027 0.03 0.08 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.07 0.63 0.73 0.74 7 Bonubogu 1,570 47 62 146 Mi/M 0.86 0.026 0.03 0.08 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.07 0.61 0.73 0.75 8 Gadung 2,039 61 81 190 Mi/M 0.86 0.026 0.03 0.08 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.07 0.61 0.73 0.75 9 Paleleh/Paleleh Barat 3,114 93 123 290 Mi/M 0.86 0.026 0.03 0.08 Ri/R 0.80 0.04 0.05 0.11 LQ 1.07 0.61 0.73 0.75 Kabupaten Buol 21,627 1,138 1,257 2,874 LQ 1.02 0.86 0.91 0.95

Dari Tabel 3.4 di atas, nampak bahwa koefisien lokasi (LQ) masing-masing wilayah Kecamatan dalam wilayah kabupaten Buol cukup bervariasi. Sesuai dengan kriteria nilai LQ (<1 atau >1), diketahui bahwa penyebaran normal ketergantungan penduduk terhadap sektor tertentu sangat variatif.

Di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah ternyata sektor pertanian untuk 10 kecamatan dalam lima tahun kedepan masih merupakan sektor penting karena termasuk kategori LQ >1 (lihat Tabel 2.4). Sedangkan 1 kecamatan lainnya sektor pertanian akan mengalami

(32)

pergeseran ke sektor lainnya karena nilai LQ < 1. Kecamatan yang diperkirakan akan mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor perdagangan, Industri dan Jasa adalah Kecamatan Lipunoto.

c. Matapencaharian dan Pendapatan

Matapencaharian penduduk yang dimaksud adalah mata

pencaharian utama (penduduk usia produktif) yang merupakan sumber penghidupan pokok penduduk, dimana dalam hal ini merupakan sumber penghasilan penduduk minimal 50% dari keseluruhan penghasilan mereka. Jadi dengan mengetahui mata pencaharian penduduk yang bermukim pada satu wilayah akan memudahkan kita dalam mengetahui tingkat pendapatannya.

Berdasarkan hasil analisis data dan informasi mata-pencaharian yang diperoleh dari data BPS Kecamatan di Kabupaten Buol (KPHP Unit I), diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencaharian Penduduk di Wilayah KPHP Unit I

No. Kecamatan Petani dan

Nelayan Pedagang PNS/ Karyawan Jasa dan Industri, dll. Jumlah (Org) 1 Biau/Kramat 3,032 91 126 449 3,698 2 Lipunoto 2,774 555 462 832 4,623 3 Momunu 2,523 95 139 231 2,988 4 Tiloan 1,608 43 67 243 1,961 5 Bokat 2,424 73 97 258 2,852 6 Bukal 2,542 79 101 234 2,956 7 Bonubogu 1,570 47 62 146 1,826 8 Gadung 2,039 61 81 190 2,371 9 Paleleh/Paleleh Barat 3,114 93 123 290 3,621 Jumlah 21,627 1,138 1,257 2,874 26,896

Sumber: Diolah dari data BPS Kecamatan Kabupaten Buol Tahun 2008, diolah kembali Tahun 2012.

Dari Tabel 2.5 di atas, nampak bahwa jenis matapencaharian penduduk di wilayah DAS dalam wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi

(33)

Tengah masih didominasi petani dan nelayan, disusul pegawai/ pedagang/industri dan jasa layanan lainnya.

Salah satu indikator kemakmuran atau kesejahteraan adalah besarnya pendapatan masyarakat. Tinggi rendahnya pendapatan seseorang umumnya dapat dilihat melalui jenis matapencaharian atau pekerjaannya. Dengan melihat tingkat pendapatan masyarakat dapat diukur tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara ekonomi ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan non-ekonomi, yang antara lain dapat ditunjukkan melalui kondisi bangunan rumah, perabotan rumah tangga, kondisi pendidikan anggota keluarga dan lain sebagainya.

Gambaran mengenai pendapatan rumah tangga setiap bulan dapat dicirikan menjadi dua kelompok sumber penghasilan, yaitu kelompok formal dan kelompok informal (petani dan lain sebagainya). Untuk menghitung pendapatan per tahun kelompok formal sangatlah mudah karena pendapatan diperoleh secara rutin/tetap setiap bulan. Tetapi pendekatan pendapatan rumah tangga bagi kelompok informal seperti petani, nelayan, jasa, pedagang dan lain-lain sangatlah sulit. Hal ini dikarenakan pendapatan setiap bulan untuk kelompok informal tidak tetap dan bersifat musiman. Hasil usaha mereka sering mengalami pasang surut, kadang berhasil, kadang-kadang mengalami kegagalan karena pengaruh berbagai faktor, seperti adanya serangan hama penyakit, harga hasil panen jatuh, sepinya para konsumen dan lain-lain. Bagi penduduk daerah penelitian pada umumnya petani ataupun pengusaha lainnya enggan memperhitungkan antara penghasilan yang diperoleh dengan biaya pengeluaran proses produksi ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

(34)

Berikut ini dijelaskan kondisi matapencaharian dan pendapatan penduduk di beberapa lokasi dalam wilayah kecamatan di wilayah Kabupaten Buol sbb.:

 Secara umum Matapencaharian penduduk di wilayah Kabupaten Buol

berdasarkan jumlah penduduk yang bekerja, sekitar ± 82% penduduk berkerja pada lapangan usaha pertanian termasuk usaha perikanan. Dengan demikian hanya sekitar 18% penduduk yang bekerja pada sektor non-pertanian (perdagangan, pemerintahan, jasa dan industri). Pada sektor pertanian umumnya masyarakat berusahatani sawah, kelapa, kakao, dan nelayan.

 Berdasarkan hasil survei, pada umumnya pola nafkah yang terjadi di wilayah perdesaan adalah pola nafkah ganda dalam artian masyarakat selain memiliki pekerjaan utama (pada umumnya petani kebun), juga melakoni pekerjaan lain dalam rangka menambah pendapatan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangganya, antara lain sebagai peramu hutan (pencari rotan) pada waktu-waktu tertentu (ketika musim panas). Tingkat pendapatan penduduk pada umumnya berkisar antara 0,5 – 1,5 juta rupiah/bulan untuk kepala keluarga, dan lebih kecil 0,25 juta rupiah/bulan untuk anggota keluarga. Tingkat pendapatan penduduk masih didominasi tingkat pendapatan 0,5-1,5 juta rupiah/bulan, disusul tingkat pendapatan <0,5 juta rupiah/bulan, dan penduduk yang berpendapatan >1,5 juta rupiah/bulan.

d. Pendidikan

Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, peranan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari rangkain proses peningkatan kualitas sumberdaya

(35)

manusia. Karena itu setiap warga negara di Republik ini berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai bekal dalam mempertahankan hidupnya, serta modal investasi manusia bagi kepentingan pembangunan Nasional. Namun demikian tidak semua warga negara di Republik ini sempat memasuki bangku sekolah dasar (sekolah formal) karena ketidakmampuan orang tua dalam menyekolah-kan anak-anaknya. Banyak anak-anak di daerah pedesaan bahkan di daerah perkotaan tidak dapat melanjutnya sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi misalanya sekolah lanjutan pertama dan lanjutan atas, lebih-lebih ke perguruan tinggi. Akibatnya banyak masyarakat terutama di daerah pedesaan hanya sampai tingkat sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah dasar. Kondisi seperti ini juga banyak dijumpai di wilayah Sulawesi Tengah.

Keadaan pendidikan masyarakat di wilayah Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah terutama di daerah pedesaan umumnya didominasi tingkat sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah dasar. Umumnya desa-desa di wilayah ini tingkat pendidikan masyarakat dengan prosentase tertinggi adalah berpendidikan sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD yakni berkisar 61,09%, diikuti berpendidikan SLTP dan SLTA berkisar 37,87%, dan Perguruan Tinggi berkisar 1,04% dari jumlah kepala keluarga penduduk yang ada pada empat kecamatan sampel (Momunu, Bokat, Bukal dan Tiloan). (Dokumen Rencana KTM Air Terang Tahun 2006).

Kondisi pendidikan masyarakat seperti dijelaskan di atas tentunya akan berpengaruh langsung dalam melakukan pembinaan masyarakat serta input teknologi dan manajemen di daerah pedesaan. Daya serap ilmu pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan kepada masyarakat akan terkendala oleh rendahnya tingkat pendidikan.

(36)

Dari gambaran tingkat pendidikan penduduk seperti diuraikan di atas, yang umumnya masih banyak dijumpai di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan dominan Sekolah Dasar (SD) bahkan tidak tamat SD akan sangat berpengaruh dalam rangka input teknologi. Penduduk yang berpendidikan tinggi relatif lebih mudah dalam mengadopsi teknologi baru dan lebih dinamis. Tingginya tingkat pendidikan sangat terkait dengan daya nalar dalam menerima penyuluhan, sebaliknya penduduk yang berpendidikan lebih rendah relatif lambat dalam mengadopsi teknologi baru serta bersifat statis. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah banyak penduduk yang berhasil, tetapi cukup banyak yang kurang berhasil bahkan mengalami kerugian.

Pendidikan formal memegang peranan penting dalam usaha menaikkan produktivitas, terutama pada saat penyuluh lapangan pertanian/ kehutanan memperkenalkan teknologi baru.

Sebuah sistem pertanian yang berada pada static technology, mengakibatkan pendidikan yang berada di daerah perdesaan hanya berdampak kecil terhadap upaya peningkatan produktivitas. Penduduk petani beserta keluarganya yang selama beberapa keturunan hidup di lingkungan, sumber daya, serta teknologi yang sama telah mempunyai pengalaman banyak tentang segala sesuatu yang diperoleh dari lingkungannya. Anak-anak memperoleh pengetahuan dari orang tua dan sekolah-sekolah formal mempunyai nilai ekonomis rendah dalam kegiatan produksi pertanian. Begitu teknologi baru tersedia, maka situasi akan berubah, karena teknologi baru membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru (input baru, alat baru, pengetahuan tentang pasar, dan lain-lainnya). Untuk keperluan semua itu,

(37)

diperlukan institusi (kelembagaan) yang mampu mendukung transfer teknologi baru. Dengan demikian, pendidikan formal diperlukan bagi pelaku kegiatan kelola hutan dimasa mendatang untuk mengantisipasi teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas.

2. Luas Pemilikan Lahan

Dari data hasil analisis data spasial dan hasil pengumpulan data di lapangan diketahui bahwa keluarga yang bermukim di wilayah kecamatan Kabupaten Buol (KPHP Unit I) mempunyai lahan garapan rerata < 2 Ha per KK (1,96 Ha/KK). Untuk jelasnya dilihat pada Tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6. Luas Ketersediaan Lahan Garapan Terhadap Jumlah Penduduk di Wilayah KPHP Unit I Kabupaten Buol

No. Kecamatan Luas Lahan

Garapan (Ha)

Jumlah KK

Luas Lahan Garapan Ha/KK 1 Biau/Kramat 5,872.83 3,698 1.59 2 Lipunoto 1,524.13 4,623 0.33 3 Momonu 8,035.69 2,988 2.69 4 Tiloan 7,666.46 1,961 3.91 5 Bokat 5,277.04 2,852 1.85 6 Bukal 8,842.56 2,956 2.99 7 Bonubogu 2,928.92 1,826 1.60 8 Gadung 3,662.22 2,371 1.54 9 Paleleh/paleleh Barat 3,971.29 3,621 1.10 Kabupaten Buol 47,781.14 26,896 1.96

Sumber: Data BPS Kabupaten Buol Tahun 2008, diolah kembali Tahun 2012.

Berdasarkan data pada Tabel 2.6 dapat diketahui bahwa pemilikan lahan di wilayah kecamatan dalam Kabupaten Buol (KPHP Unit I) bervariasi dari 0,33 Ha/KK hingga 3,91 Ha/KK. Jika dilihat dari rerata keseluruhan wilayah DAS dalam Kabupaten Buol, secara umum luas lahan garapan per KK (1,96 Ha/KK). Wilayah Kecamatan dengan luas garapan sempit adalah Kecamatan Lipunoto (0,33 Ha/KK) dan terluas adalah Kecamatan Tiloan (3,91 Ha/KK).

(38)

Memperhatikan kondisi lahan garapan seperti diuraikan di atas, terhadap kepala keluarga (KK) yang lahan garapan yang masih relatif luas (>2 Ha) perlu diupayakan adanya usaha intensifikasi dan diversifikasi lahan usahatani, sedangkan penduduk yang lahan garapannya (<2 Ha) dapat dilibatkan dalam kelola hutan di wilayah KPHP.

Namun demikian terdapat beberapa wilayah Kecamatan yang diperkirakan tidak memungkinkan lagi untuk pengembangan lahan garapan usaha tani yakni Kecamatan Lipunoto mengingat wilayah adalah Ibu Kota Kabupaten Buol yang kecenderungan kegiatan usaha penduduk akan beralih kepada usaha non-pertanian..

3. Keadaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja atau angkatan kerja yang dimaksud adalah setiap penduduk yang berusia antara 15-64 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Klasifikasi umur tersebut dikategorikan sebagai angkatan kerja produktif. Sedang yang berumur di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun dikategorikan sebagai angkatan kerja tidak produktif. Karena keadaan tersebut berada dalam satu wilayah, maka tenaga kerja tidak produktif secara konsumtif menjadi beban tanggungan tenaga kerja produktif untuk menopang kehidupannya.

Angka ketergantungan penduduk yang berusia non-produktif terhadap penduduk usia produktif di sekitar wilayah KPHP Unit I yakni sebesar 79%, yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak 79 orang penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

(39)

4. Tingkat Upah

Upah tenaga kerja terdiri atas upah harian dan atau bulanan. Informasi tentang besarnya upah, harga barang dan bahan setempat sangat diperlukan dalam perhitungan pembiayaan kegiatan. Besarnya biaya tersebut menggunakan HSPK yang berlaku di masing-masing daerah atau yang telah ditetapkan oleh Bupati.

Upah tenaga kerja/upah harian yang berlaku saat ini di wilayah Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli secara umum berkisar antara Rp. 35.000.- s.d. Rp. 50.000.- per hari.

5. Sarana dan Prasarana Perekonomian

Keberadaan sarana dan prasarana perekonomian di wilayah KPHP Unit I bertujuan untuk menunjang kelancaran kegiatan ekonomi. Adapun kondisi sarana dan prasarana perekonomian disajikan pada Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7. Jenis dan Jumlah Sarana dan Prasarana Perekonomian di Wilayah

KPHP Unit I

No Kecamtan

Jenis Sarana dan Prasarana Perekonomian (buah) Bank Swasta BPD BPR Bank Pemerintah Koperasi

primer 1 2 3 4 5 6 7 1 Biau - - - 1 5 2 Kramat*) - - - - - 3 Lipunoto - 1 - 2 61 4 Momonu - - - - 12 5 Tiloan - - - - 9 6 Bokat - - - - 9 7 Bukal - - - - 11 8 Bonubogu - - - - 6 9 Gadung - - - - 12 10 Paleleh - - - 1 14 11 Paleleh Barat*) - - - - -

Sumber: BPS Kabupaten Buol Tahun 2006-2009, diolah kembali tahun 2012. *) Data masih menyatu dengan kecamatan induk.

Data pada Tabel 2.7 terlihat jenis sarana dan prasarana perekonomian untuk menunjang kelancaran aktivitas perekonomian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari di wilayah kecamatan yang meliputi; jenis

(40)

dan jumlah perbankan, jenis dan jumlah koperasi. Selain itu terdapat pasar tradisional, toko, warung dan kios.

6. Sarana dan Prasarana Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan di wilayah KPHP Unit I, di setiap kecamatan telah tersedia, seperti pukesmas dan puskemas pembantu. Untuk di Kecamatan Lipunoto sebagai ibu kota kabupaten disamping tersedia puskemas juga tersedia rumah sakit.

7. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di wilayah KPHP Unit I, di setiap kecamatan telah tersedia sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Untuk di ibu Kota Kabupaten terdapat Perguruan Tinggi Swasta.

8. Lembaga Formal dan Informal

Desa-desa dan kelurahan di dalam dan sekitar wilayah KPHP Unit I semuanya telah mempunyai lembaga masyarakat, baik yang bersifat formal maupun yang non-formal sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan, antara lain Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan BPD. Selain itu, juga terdapat lembaga informal yang merupakan Lembaga/Badan/Organisasi yang dibentuk berdasarkan inisiatif kelompok/ warga masyarakat tertentu dengan dana warga masyarakat bersangkutan, seperti kelompok tani, lembaga adat dan lainnya.

Kelembagaan kelompok tani hutan yang berkaitan kegiatan RHL di wilayah Kabupaten Buol meliputi; kelompok tani hutan untuk kegiatan Reboisasi, Hutan Rakyat (HR), dan kegiatan RHL lainnya. Setiap kegiatan

(41)

RHL di wilayah Kabupaten Buol dibentuk kelompok tani hutan. Struktur organisasi kelompok tani hutan terdiri atas; Ketua, Sekertaris dan Anggota.

Kapasitas organisasi/SDM kelompok tani hutan (KTH) cukup baik, karena pada saat pelaksanaan kegiatan RHL dilakukan pelatihan dan pendampingan (teknis dan kelembagaan). Pelatihan dilaksanakan oleh Dinas terkait, sedangkan pendampingan teknis dilaksanakan oleh Penyuluh Kehutanan, dan pendampingan kelembagaan dilaksanakan oleh LSM. Kelembagaan kelompok tani hutan umumnya telah memperoleh legalitas dari Kepala Desa setempat.

Dari data BPDAS Palu Poso Tahun 2009, di wilayah Kabupaten Buol sampai dengan Tahun 2008 terdapat sebanyak 57 kelompok tani hutan dengan jumlah peserta sebanyak 2.210 orang yang tersebar pada 45 desa/kelurahan dalam sebelas wilayah kecamatan. Kelompok tani hutan dimaksud adalah kelompok tani pada kegiatan RHL (Gerhan, DAK dan MDM) dengan luas areal sasaran 2.063 Ha. Untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2.8 berikut.

Tabel 2.8. Data Kelompok Tani RHL dalam Wilayah BPDAS Palu Poso di Kabupaten Buol

No. Kecamatan Desa/

Kelurahan Jumlah Kelompok (Bh) Jumlah Anggota (org) Jumlah Luas (Ha) Jenis Kegiatan 1. Bunobogu Domag 1 49 50 Gerhan Nonu 2 124 124 Gerhan Ponipingan 2 50 35 Gerhan 2. Gadung Labuton 1 123 100 DAK Lokodoka 2 70 60 Gerhan Taat 1 17 10 Gerhan

Rupu Bogu 1 25 25 Gerhan

Diapatih 1 25 25 Gerhan

(42)

Lanjutan Tabel 2.8.

No. Kecamatan Desa/

Kelurahan Jumlah Kelompok (Bh) Jumlah Anggota (org) Jumlah Luas (Ha) Jenis Kegiatan 3. Bukal Petangoan 1 65 50 DAK Mooyong 2 78 78 Gerhan

Mopu 3 171 175 DAK, Gerhan

Bungkudu 1 25 25 Gerhan

4. Momunu

Momunu 1 25 25 Gerhan

Lamadong 1 50 50 Gerhan

Puji Mulyo 1 52 50 Gerhan

Pinamula 2 50 50 MDM

Potugu 1 25 25 Gerhan

5. Biau/Kramat

Busak II 1 45 50 DAK

Lakea I 3 74 60 DAK, Gerhan

Lamakan 1 58 50 Gerhan

Tualan 1 50 50 Gerhan

Mondaan 2 40 35 Gerhan

Lakuan Buol 1 25 25 Gerhan

6. Paleleh/Paleleh Barat

Bodi 2 59 50 DAK, Gerhan

Harmoni 1 16 10 Gerhan Tolau 1 50 50 Gerhan Molangato 1 35 50 MDM 7. Bokat Pikopo 1 50 50 DAK Kodolagon 1 50 50 Gerhan Doulan 1 50 50 Gerhan

Negeri Lama 1 25 5 Gerhan

Kantanan 1 25 5 Gerhan Bongo 1 50 50 Gerhan Bukamog 1 53 50 Gerhan Tang 1 50 50 Gerhan Bokat IV 1 50 50 Gerhan 8. Tiloan

Air Terang 1 50 50 Gerhan

Maniala 1 50 50 Gerhan

Jatimulya 1 25 25 Gerhan

Boilan 1 50 50 Gerhan

9. Lipunoto

Kel. Leok I 2 85 80 Gerhan

Kumaligen 1 15 10 Gerhan

Kampung Bugis 1 15 10 Gerhan

Kel. Kali 1 16 16 Gerhan

Jumlah 57 2,210 2,063

(43)

9. Perambahan Hutan

Informasi/data perambahan hutan suatu kawasan hutan sangat diperlukan untuk menentukan perlakuan yang akan diterapkan pada kawasan hutan yang memiliki potensi atau telah terjadi perambahan di dalamnya. Informasi/data yang diperlukan antara lain meliputi; fungsi kawasan yang dirambah, luas hutan yang dirambah, siapa yang merambah, sudah berapa lama, penggunaan kawasan yang dirambah dan sebagainya.

Di wilayah KPHP Unit I diketahui kawasan hutan yang dirambah berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, menyebar pada seluruh kecamatan yang di Kabupaten Buol.

10. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

Di wilayah KPHP Unit I Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah, hingga saat ini belum diketahui keberadaan masyarakat hukum adat yang bermukim dan mengelola hutan di dalam kawasan hutan.

D. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan di wilayah KPHP Unit I dalam bentuk ijin pemanfaatan/ijin pinjam pakai, dalam bentuk HPH yang pernah ada antara lain : PT. Kalhold, dengan luas 15.583,11 Ha pada fungsi HL seluas 1.021,32 Ha dan fungsi HPT seluas 14.561,79 Ha, PT. Megah Jagad Khatulistiwa dengan Luas 34.448,94 Ha pada fungsi HP seluas 16.098,67 Ha dan fungsi HPT seluas 18.350,26 Ha, PT.Sentral Pitulempa dengan luas 1.862,58 Ha yang penyebarannya seluruhnya pada fungsi HPT. Untuk kegiatan IUPHHK/HA tersebut diatas yang diketahui hingga saat ini sudah Non- aktif . selain itu Salah satu lokasi di kawasan

(44)

hutan lindung yang telah lama digunakan masyarakat dalam bentuk pertambangan emas rakyat (illegal) berada di wilayah Polonggo dan Timbulan di kaki Bukit Dopalak daerah pegunungan Paleleh, tepatnya di hulu sungai Bulagidun Kecamatan Gadung dan Kecamatan Paleleh Barat.

E. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Kegiatan RHL yang pernah dilaksanakan di wilayah Kabupaten Buol sejak tahun 2004 mencakup sebelas wilayah kecamatan dengan jenis kegiatan berupa; Reboisasi dan Pengkayaan Reboisasi, serta Hutan Rakyat dan Pengkayaan Hutan Rakyat melalui program Gerhan dan program RHL lainnya (DAK DR, dan MDM).

Kegiatan RHL di wilayah Kabupaten Buol berdasarkan laporan Dishut Kabupaten Buol/BP DAS Palu Poso Tahun 2009, mencapai luas 2.063 Ha dengan rincian seperti disajikan pada Tabel 2.9 berikut.

Tabel 2.9. Kegiatan RHL di Kabupaten Buol

No. Kecamatan

Luas (Ha) Jumlah

(Ha)

Desa Sasaran (Bh) Gerhan DAK DAK/Gerhan MDM

1 Biau/Karamat 160 50 60 - 270 6 2 Lipunoto 116 - - - 116 4 3 Momunu 150 - - 50 200 5 4 Tiloan 175 - - - 175 4 5 Bokat 310 50 - - 360 9 6 Bukal 103 50 175 - 328 4 7 Bonubogu 209 - - - 209 3 8 Gadung 145 100 - 245 6 9 Paleleh/Paleleh Barat 60 - 50 50 160 4 Jumlah 1,428 250 285 100 2,063 45

Sumber: BPDAS Palu Poso, Tahun 2009.

Kegiatan RHL seperti pada Tabel 2.9 di atas, pelaksanaanya menyebar pada seluruh wilayah kecamatan, dan sebanyak 45 desa sasaran. Berbagai jenis tanaman kayu-kayuan dan serbaguna (MPTS) yang telah

(45)

ditanam/dibudidayakan pada areal reboisasi yakni: Jenis kayu-kayuan adalah Nyatoh (Palaqium sp.), Palapi (Heritiera sp), Meranti (Shorea sp), Linggua dan Cempaka (Elmerillia ovalis).

Memperhatikan kondisi di atas, menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Buol s.d. Tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup berarti dalam mengatasi kerusakan hutan dan lahan. Pengembangan tanaman reboisasi di Kabupaten Buol sudah berlangsung lama yakni sejak digulirkannya program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan, DAK DR dan MDM) tahun 2004 s.d. tahun 2008.

Memperhatikan besarnya kemauan masyarakat untuk mengembang-kan tanaman kayu-kayuan pada lahan-lahan usaha mereka, maka untuk mendukung pengembangan hutan tanaman kedepan tetap direncanakan pengembangannya sesuai kebutuhan masyarakat. Pada Tahun 2008, Kabupaten Buol berhasil menyusun rancangan teknis reboisasi dan penghijauan yang mencakup 11 (sebelas) kecamatan dan 25 (dua puluh lima) desa/kelurahan dengan total luas 2.008 Ha (HR = 1.000 ha., dan RB = 1.008 Ha). Rincian lokasi/desa-desa sasaran kegiatan RH (reboisasi) yang telah tersedia rancangan teknisnya sejak Tahun 2008 dalam kawasan hutan produksi di Kabupaten Buol dan realisasinya tahun 2009 sbb.:

 Kecamatan Biau: Reboisasi di Desa Tuinan 208 Ha.

 Kecamatan Bukal: Reboisasi di Desa Rantemaranu 200 Ha.

 Kecamatan Bonubogu: Reboisasi di Desa Bonubogu 200 Ha.

 Kecamatan Gadung: Reboisasi di Desa Nandu 100 Ha dan Desa Rlipubogu 100 Ha.

(46)

Selanjutnya kegiatan reboisasi di Kabupaten Buol lebih ditingkatkan lagi melalui kegiatan RHL sejak tahun 2010 hingga sekarang.

F. Posisi KPH Dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah

Dalam Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah 2000-2015, tujuan pengembangan tata ruang makro Provinsi Sulawesi Tengah yaitu:

1. Membuka wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai antisipasi dari kondisi keterisolasian antar wilayah guna menciptakan peluang percepatan pembangunan dan pemanfaatan potensi wilayah dalam hal investasi dan aktifitas perekonomian.

2. Menjaga keamanan daerah perbatasan, untuk mengantisipasi adanya gangguan terhadap pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan potensi wilayah.

3. Mengembangkan sistem interaksi ruang antar wilayah nasional, KTI dan antar wilayah dalam lingkup Pulau Sulawesi sehingga tercipta pemerataan pembangunan antar wilayah dan pemantapan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dalam perannya sebagai pemasaran produk unggulan wilayah (kehutanan, perkebunan, perikanan danpariwisata).

Selanjutnya tujuan pengembangan tata ruang mikro Provinsi Sulawesi Tengah yaitu:

1. Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah Provinsi Sulawesi Tengah terutama sumberdaya alam.

Gambar

Gambar 2.1. Peta Zonasi Curah Hujan di Wilayah KPHP Unit I
Gambar 2.2. Peta Kelas Lereng di Wilayah KPHP Unit I
Gambar 2.3. Peta DAS Prioritas di Wilayah KPHP Unit I
Gambar 2.4. Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHP Unit I
+7

Referensi

Dokumen terkait