• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Budidaya Padi Di Lahan Pasang Surut-DeS 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prospek Budidaya Padi Di Lahan Pasang Surut-DeS 2017"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK BUD

PROSPEK BUDIDAYPA PADI

IDAYPA PADI DI LAHAN

DI LAHAN PASANG SURU

PASANG SURUT

T

Materi ELEARNING KLAS 11C, Desember 2017

Materi ELEARNING KLAS 11C, Desember 2017 Mata kuliah Pertanian Lahan Marjinal

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 2

I. PENDAHULUAN... 3

II. PENGELOLAAN BUDIDAYA PADI PASANG SURUT ... 4

III. TEKHNOLOGI TERSEDIA... 6

IV. KESIMPULAN... 11

V. DAFTAR PUSTAKA... 11

(3)

PROSPEK BUDIDAYA PADI DI LAHAN PASANG SURUT

I. Pendahuluan

Penduduk Indonesia dalam kurun waktu empat puluh tahun ke depan m asih akan terus  bertambah dengan laju pertumbuhan sekitar 1,5% tahun-1, sehingga kebutuhan akan pangan  juga terus meningkat. Agus dan Irawan (2007) memperkirakan pada tahun 2025 Indonesia akan mengimpor beras sekitar 11,4 juta ton jika konversi lahan sawah tetap terjadi dengan laju 190.000 ha th-1 dan pencetakan sawah baru hanya 100.000 ha th-1. Di luar Jawa selama  periode 1995-1999 luas lahan sawah meningkat, di Sumatera sekitar 213 ribu ha, sebaliknya

di Sulawesi berkurang sekitar 102 ribu ha dan di Kalimantan 170 ribu ha. Dalam waktu tiga tahun (periode 1999-2002) peningkatan konversi lahan sawah rata-rata mencapai 187.720 ha th-1 (Sutomo dan Suhariyanto, 2005), oleh karena itu dapat di katakan bahwa padi merupakan komoditas pangan yang strategis bagi bangsa Indonesai. Produksi padi dari tahun ke tahun perlu ditingkatkan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hanya mengandalkan lahan irigasi untuk produksi padi, tentu tidak efektif mengingat luas lahan ini dari tahun ke tahun terus melandai akibat berbagai alih fungsi lahan. Keadaan ini merupakan motivator untuk mencari pemecahan masalah dalam menangani produksi padi. Salah satunya melalui perluasan areal pertanian ke lahan sub optimal (lahan rawa pasang surut).

Lahan pasang surut, salah satu bagian lahan rawa, kini dan ke depan semakin  berperan dalam meningkatkan produksi padi nasional yang telah dibuktikan dengan  banyaknya hasil penelitian dan pengembangan. Di lahan pasang surut, inovasi teknologi  pertanian sangat dibutuhkan untuk melambungkan produktivitasnya, khususnya padi. Teknologi varietas unggul, tata air, pengelolaan hara, pengendalian hama terpadu, mekanisasi dan pasca panen telah dihasilkan dan diterapkan. Meskipun demikian, ada pula teknologi  budidaya padi yang telah dilakukan oleh petani secara turun temurun sejak ratusan tahun

yang silam.

Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian sekitar 8.535.708 ha. Dari luasan tersebut, yang sudah direklamasi sekitar 2.833.814 ha dan yang belum direklamasi sekitar 5.701.894 ha. Luas lahan rawa pasang surut yang sudah

(4)

dijadikan lahan sawah hingga tahun 2011 baru sekitar 407.594 ha (Ritung, 2011). Berdasarkan data tersebut peluang untuk melaksanakan ekstensifikasi pertanian khususnya untuk tanaman padi ke lahan rawa pasang surut masih terbuka luas.

Produktivitas lahan sawah di Indonesia menurut data BPS tahun 2011 rata-rata nasional 5,2 ton GKG ha-1, tertinggi di Jawa 5,5 ton GKG ha-1, Sumatera serta Sulawesi 4,5 ton GKG ha-1, dan Kalimantan 3,5 ton GKG ha-1. Perbedaan produktivitas tersebut disebabkan berbagai faktor diantaranya: (1) jenis lahan sawah, (2) jenis atau sifat-sifat tanah, (3) tingkat pengelolaan, dan (4) varietas padi yang ditanam. Demikian pula dengan jenis atau tipe lahan sawah yang terdiri dari sawah irigasi, sawah tadah hujan , sawah pasang surut, dan sawah lebak. Potensi hasil gabah yang diperoleh di lahan sawah rawa pasang surut dengan menerapkan teknologi pengelolaan yang tepat dapat mencapai 4,5-5,5 ton GKG ha-1. Kendala yang dihadapi dalam usahatani padi di lahan rawa pasang surut antara lain: (1) tingkat kesuburan lahan rendah, (2) infrastruktur yang masih belum berfungsi secara optimal, (3) tingkat pendidikan petani masih rendah, (4) indeks panen masih sekali tanam setahun, dan (5) tingginya serangan organisme pengganggu tanaman.

II. Pengelolaan Budidaya Padi Pasang Surut

Secara umum upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut antara lain melalui: (1) penerapan teknologi yang sudah ada secara optimal, dan (2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan  pembukaan areal baru.

Usahatani padi di lahan sawah pasang surut memerlukan teknik budi daya tersendiri, karena keadaan tanah dan lingkungannya tidak serupa dengan lahan sawah irigasi. Kesalahan  budi daya dapat menyebabkan gagalnya panen dan dapat pula merusak tanah dan lingkungan. Berdasarkan tipe luapan air, padi sawah pasang surut dapat dibudidayakan pada lahan bertipe luapan air A, B, atau C yang telah menjadi sawah tadah hujan. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan yang selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Sedangkan lahan tipe C lahan tidak terluapi air  pasang, namun air tanahnya dangkal. Lahan pasang surut juga dapat ditanami padi gogo,

tetapi teknik budi dayanya berbeda dengan padi sawah.

Penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya di lahan rawa pasang surut secara  parsial, selain memerlukan input dan biaya lebih tinggi, juga dampaknya terhadap

(5)

 peningkatan produktivitas lahan memakan waktu lama sehingga hasilnya tidak optimal dan keberlanjutan penerapannya oleh petani sangat rendah. Oleh karena itu, konsepsi dasar teknologi percepatan peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut yang tepat untuk dilaksanakan adalah mengacu pada pendekatan pengelolaan sumberdaya terpadu. Konsep tersebut didasarkan kepada pemaduan secara komplementer antara upaya peningkatan kualitas lahan sampai tingkat tertentu dengan input serendah mungkin dan penggunaan tanaman yang toleran pada tingkat kualitas tersebut. Upaya ini secara tidak disadari sebenarnya sudah dilakukan oleh petani lokal dengan indigineous knowledge. Teknologi  pengelolaan sumberdaya terpadu adalah memadukan teknologi pengelolaan sumberdaya yang  berupa tanah, air, bahan amelioran, pupuk dan tanaman secara serasi dan sinergi. Penerapan teknologi tersebut selain dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan secara lebih cepat, juga dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan biaya yang relatif lebih murah.

Pembukaan lahan rawa pasang surut beberapa dekade yang lalu akan menstimulasi  perkembangan tanah. Proses tanah utama yang terjadi dan masih berlangsung hingga sekarang adalah perkembangan fisik, homogenitas, desalinisasi, gleisasi, perkembangan lapisan coklat dan oksidasi pirit yang berkaitan dengan tanah sulfat masam (Prasetyo, et al., 1990). Tanah sulfat masam berkembang sebagai akibat drainase bahan induk yang kaya dengan pirit (FeS2) (Shamsuddin dan Sarwani, 2002). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang banyak mengandung bahan organik dan sulfat terlarut yang biasanya berasal dari air laut. Ketika drainase membawa oksigen melalui tanah tergenang tersebut, maka pirit akan teroksidasi menjadi asam sulfat. Tanah sulfat masam berkembang jika produksi asam melebihi kemampuan netralisasi dari bahan induk, sehingga pH tanah turun menjadi kurang dari 4. Sekali pirit teroksidasi, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit bereaksi dengan oksigan. Inilah awal rusaknya lahan rawa pasang surut akibat kemasaman tanah dan air yang meningkat dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen (H+), dan sulfat ( SO42-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak didrainase. Hal ini memberikan implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan drainase akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Konsten et al. (1990) menunjukkan total SO42- yang tercuci (leached) dari lahan yang didrainase adalah 3,34 mol m-2 tahun-1, sebanding dengan 1,17 mol pirit m-2 tahun-1 atau 140 g pirit m-2 tahun-1. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol pirit m-2 tahun-1 yang sebanding dengan 0,59 mol pirit m-2 tahun-1 atau 71 g pirit m-2 tahun-1.

(6)

Penggenangan dan pengeringan tanah menyebabkan perubahan beberapa sifat kimia tanah antara lain peningkatan pH tanah, ketersediaan P meningkat, dan kadar Fe2+ makin  berkurang. Perubahan sifat kimia tersebut berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman  padi (Luki et al., 1990). Takahashi (1999) menyatakan bahwa pengeringan menyebabkan oksida besi ferri secara bertahap terkeristalisasi menjadi bentuk besi yang kurang reaktif. Penggenangan berkala merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan pengaruh  buruk yang timbul akibat penggenagan seperti: akumulasi CO2, H2S, asam-asam organik, Fe, dan Mn tereduksi. Kondisi oksidasi dan reduksi secara bergantian dalam tanah dapat menyebabkan penambahan senyawa-senyawa besi ferro.

Sekarang ini telah ditemukan teknologi percepatan perbaikan lahan rawa pasang surut sulfat masam yang telah mengalami degradasi akibat kesalahan dalam pengelolaan lahan. Malaui oksidasi tanah secara intensif dan investasi bakteri Thiobacillus feroxidans, kemudian diikuti dengan pelindian menggunakan air insitu dengan sistem pompanisasi dapat mempercepat peningkatan produktivitas lahan. Lahan rawa pasang surut sulfat masam yang tidak dapat ditanami tanaman jika dibiarkan secara alami akan pengalami perbaikan  produktivitas lahan sehingga dapat ditanami tanaman memerlukan waktu 25-30 tahun. Jika menggunakan teknologi tersebut, maka perbaikan produktivitas lahan dapat berlangsung lebih cepat yaitu 3-5 tahun.

III. Teknologi Tersedia

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan  pemupukan. Tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran. Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan air  pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman selain dapat memperlancar pencucian bahan beracun. Sedangkan pengelolaan air pada saluran tersier  bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air pada saluran dan  petakan, dan 3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di

(7)

 petakan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro bergantung pada tipe luapan air pasang dan tingkat keracunan. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah, sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat (disekat) dengan stoplog untuk menjaga permukaan air sesuai dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.

Penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman  padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan

tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah untuk guludan diambil dari lapisan atas untuk menghindari oksidasi pirit. Sistem surjan merupakan salah satu contoh penataan lahan rawa melalui diversifikasi tanaman. Lebar guludan dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m, sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap hektar lahan dapat dibuat 6−10 guludan dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa.

Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah. Oleh karena itu, diperlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanah sehingga produktivitas lahan meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan untuk meningkatkan pH dan rock phosphate (RP) untuk memenuhi kebutuhan hara P. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah derajat pelapukan bahan induk, kandungan liat, kandungan bahan organik,  bentuk kemasaman, pH tanah awal, metode kebutuhan kapur, dan waktu (Al-Jabri 2002). Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan berdasarkan metode inkubasi dan titrasi. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur, tanah, dan air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya satu minggu sampai beberapa minggu, lalu kebutuhan kapur ditentukan  pada nilai pH tertentu. Metode inkubasi memiliki kelemahan yaitu terjadi akumulasi garam

(8)

yang seharusnya. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05  N untuk mencapai pH tertentu memerlukan kapur lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi, serta relatif lambat sehingga tidak sesuai untuk analisis rutin. Walaupun metode titrasi memerlukan kapur lebih rendah, sebagian besar kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa, karena reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi  berlangsung sangat lambat. Hasil penelitian di rumah kaca dan di lapangan menunjukkan  penentuan takaran kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti, Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001).

Biochar merupakan limbah bahan organik yang diproses melalui pembakaran tidak sempurna (pyrolisis) dan dapat bertahan lama hingga ratusan tahun. Biochar di dalam tanah dapat menjadi habitat bagi mikroba tanah, dalam jangka panjang biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tetapi mampu menahan dan menjadikan air serta nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Aplikasi biochar ke dalam tanah merupakan pendekatan baru untuk menjadi suatu penampung (sink) bagi CO2 atmosfir jangka panjang, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), memperbaiki kesuburan tanah dan produksi tanaman pertanian (Gani, 2010). Hasil penelitian Balittra terbaru menunjukkan bahwa biochar yang dibuat dari sampah kota dengan kotoran sapi mampu meningkatkan kualitas biochar sebagai bahan amelioran. Tanah sulfat masam umumnya memiliki ketersediaan hara P dan K rendah, namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual, kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Takaran  pupuk P adalah 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Supardi et al. 2000). RP yang bermutu baik untuk tanah sulfat masam aktual adalah RP Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan P2O5 total 28,80% (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Untuk pupuk K cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah. Padi sawah mempunyai daya adaptasi yang lebih baik di lahan  pasang surut khususnya tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Menurut Suwarno et al. (2000), sampai saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang cocok dengan lahan  pasang surut. Varietas yang sesuai untuk lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, Dendang, Margasari, Martapura, Inpara 1 sampai dengan Inpara 7. Namun hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa varietas Inpara yang sesuai untuk lahan rawa pasang surut adalah Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 4. Untuk tanah sulfat masam aktual di mana kadar Al dan Fe sangat tinggi, lebih sesuai ditanam

(9)

varietas lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, Bayur serta  berbagai varietas Siam. Dua faktor penyebab utama tingginya intensitas serangan hama dan  penyakit tanaman adalah (1) kedekatan lokasi lahan rawa pasang surut dengan hutan dan (2)

sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit terkonsentrasi. Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit diarahkan pada strategi  pengelolaan hama terpadu (PHT) melalui penggunaan varietas tahan dan musuh alami, teknik  budidaya yang baik dan sanitasi lingkungan. Penggunaan pestisida kimia dilakukan sebagai tindakan terakhir. Sebagai contoh, pengendalian hama tikus terpadu yang strateginya didasarkan pada kombinasi taktik-taktik pengendalian berdasarkan stadia tanaman padi di lapangan. Untuk keberhasilan pengendalian hama dan penyakit ini diperlukan partisipasi akti f  petani dan dukungan aparat pemerintah serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai.

Gulma di lahan rawa pasang surut memiliki tingkat perkembangan yang cepat dan dapat menurunkan hasil padi hingga 74,2%. Gulma yang banyak tumbuh di lahan rawa  pasang surut tipe luapan C dan D adalah gulma darat seperti: alang-alang, gerintingan dan  babadotan. Sedangkan pada tipe luapan A adalah gulma air seperti: eceng gondok, semanggi,  jajagoan dan jujuluk. Kemudian pada lahan tipe luapan B adalah gulma darat dan gulma air (Noor dan Ismail, 1995). Gulma dapat dikendalikan secara manual atau menggunakan herbisida. Gulma pada pertanaman padi dapat dikendalikan dengan Diuron 80 WP, Metachlor 500 EC, Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC. Pemberian herbisida tersebut masing-masing dengan takaran 0,5; 2,0; dan 2,0 l ha-1 satu hari setelah tanam (HST) diikuti dengan  penyiangan secara manual pada umur tanaman 35 HST dapat memberantas gulma secara

efektif. Hasil penelitian Yusuf et al. (1993) pada padi sawah di lahan gambut memperlihatkan hasil serupa, yaitu penyiangan dengan herbisida DMA 6 takaran 1,5 l ha-1 diikuti dengan cara manual pada umur tanaman 30 HST memberikan hasil sama dengan penyiangan secara manual dua kali.

Unsur penunjang bagi keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan teknologi hasil  penelitian oleh petani di lahan rawa pasang surut menurut Alihamsyah (2002) mencakup : (1)  peta dan informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3)

ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah.

Peta dan infromasi karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola  pemanfaatan lahan dan perakitan komponen teknologi pengelolaan lahan dan sistem usahataninya. Peta tersebut minimal memuat informasi penyebaran tipologi lahan dan tipe

(10)

luapan serta sifat fisiko-kimia penting tanah dan air termasuk masalah biofisiknya. Apabila informasi ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi wilayah di calon lokasi atau wilayah pengembangan.

Untuk bisa diadopsi dan diterapkan, teknologi hasil penelitian dan pengkajian tersebut  perlu dimasyarakatkan kepada petani dan penyuluh melalui berbagai cara, antara lain  pelatihan dan pembinaan secara intensif serta percontohan dan kunjungan lapang. Untuk efisiensi, pelatihan bisa dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan kepada para  penyuluh pertanian dan selanjutnya kepada para petani dan kelompoknya yang dilakukan oleh para penyuluh yang sudah dilatih disertai dengan berbagai percontohan. Materi pelatihan tidak hanya aspek teknologi tersebut saja, tetapi termasuk pula berorganisasi, kedisiplinan dan kekompakan serta kerjasama antar anggota kelompok dalam berusahatani. Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi juga permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan modal usaha bagi petani secara cepat dengan prosedur yang sederhana dan mudah. Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi tidak hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga pihak swasta atau  pengusaha dan aparat pemerintah.

Teknologi hasil penelitian baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani apabila tersedia sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi pengelolaan air  perlu didukung oleh prasarana tata air makro yang sesuai, sedangkan untuk teknologi varietas, ameliorasi dan pemupukan perlu didukung oleh penyediaan benih bermutu, bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu. Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan panen serta pasca panen memerlukan dukungan  pengembangan alsintan berupa traktor, mesin panen dan perontok serta pengering, sedangkan  penerapan teknologi pengendalian OPT memerlukan selain bahan pengendali OPT juga  peralatan untuk aplikasinya. Tanpa penyediaan sarana dan prasarana yang memadai secara tepat dan terjangkau, penerapan teknologi hasil penelitian di lahan rawa tidak akan berjalan dengan baik. Dalam kaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diperlukan  pengembangan kelembagaan agribisnis yang sesuai terutama dengan melibatkan kelompok

atau koperasi petani dan pengusaha swasta lokal.

Dari berbagai pengalaman pengembangan pertanian di daerah rawa menunjukkan  bahwa kebijaksanaan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung

(11)

 pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa secara berkelanjutan mencakup beberapa hal, terutama : (1) identifikasi dan karakterisasi daerah pengembangan potensial, (2) rehabilitasi dan peningkatan prasarana jaringan tata air, (3) peningkatan kemampuan petugas dan petani termasuk fasilitas dan sarana penyuluhan, (4) insentif harga yang layak serta fasilitas kredit dan permodalan, (5) penyediaan dan deregulasi tata niaga sarana produksi dan  pemasaran hasil, (6) peningkatan atau pengembangan kelembagaan, terutama yang berakar dari masyarakat termasuk lembaga keuangan pedesaan dan jasa penyewaan alsintan, (7)  pengembangan jaringan perhubungan antar wilayah, dan (8) peningkatan koordinasi dan keterpaduan kerja antar instansi terkait melalui pendekatan mekanisme fungsional maupun struktural.

IV. Kesimpulan

1. Masih terbuka peluang untuk mengembangkan lahan sawah baru di lahan rawa pasang surut karena luas lahan yang tersedia masih luas (2.426.220 ha). Pengembangan sawah dapat dilakukan terutama pada lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan B dan C.

2. Melalui perbaikan produktivitas lahan, produksi padi pada masing-masing tipologi lahan rawa pasang surut masih bisa ditingkatkan menjadi 6,3-7,0 t GKG ha-1, pada lahan sulfat masam potensial 4,5-6.0 t GKG ha-1, lahan sulfat masam aktual 4,0-5,0 t GKG ha-1 dan lahan gambut serta salin 4,0-4,5 t GKG ha-1.

3. Telah banyak teknologi peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut dihasilkan melalui penelitian, tinggal bagaimana teknologi tersebut di adopsi dan diterapkan oleh petani. V. Daftar Pustaka

Agus, F. Dan Irawan, 2007. Agricultural land conversion as a treat to food securyty and enviromental quality. Jurnal peneliian dan Pengembangan Pertanian 25 93) 90-98. Al Jabri, M, T. 2002, Penetapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi

(oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan, Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran Bandung.

Gani, A. 2010. Multiguna arang hayati biochar, Sinar Tani edisi 13-19 Oktober 2010

Konstens, C. J. M., S Suping, I B Aribawa and IPG Widjaja Adhi 1990, Chemical Proses in acid sulhate soil in Pulau Patak, South and Central Kalimantan p. 109 –  135 In AARD/ LAWOO, Paper Workshop on Acid Sulphate Soils In The Humik Tropics. Bogor.

Luki, U. R. Syahni dan R, Rasyidin, 1990. Pengaruh lamanya waktu penggenangan dan  pencucian terhadap beberapa ciri kimia tanah pertumbuhan tanaman padi sawah. P.

(12)

439-435. Dalam  prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Menunjang Swasebada Pangan dan Program Transmigrasi. Balai Peneltian Tanaman Pangan Sukarami. Padang.

Prasetyo, B.H. 2007. Genesisi Tanah sawah Bukaan baru, Hal 25 -52 Dalam Tanah Sawah Bukaan Baru ISBN: 978 –   602-8039-04-8. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Penegmabanagn Pertanian Bogor.

Ritung, 2011. Karakteristik dan sebaran lahan sawah di Indonesia hal. 83-98  Dalam Prosiding Semnas Tekhnologi Pemupukan dan Pemulihan lahan Terdegradasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor

Sjamsudin J, dan M Sarwani 2002 Pyrite in acid sulphate soils: transformation and inbition of its oxiaion by aplication of natural material 97: 1-5. Symposiom 17th WCSS 14-21 Agust 2001 Thaiand.

Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi 2001. Tekhnologi Peningkatan produktifitas tanah sulfat masam. Laporan akhir Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat hlm 6-12.

Suwarno, R. H. 2009 Review Hasil pembahasana Workshop Pengembangan dan  pengelolaan Rawa dalam Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional 16

Desember 2009, hotel Nikko Jakarta. 27 hal.

Sutomo, S dan K. Suhariyanto 2005 Data Konservasi Lahan Pertanian, Hasil sensus Pertanian 2003. BPS- Statistic Indonesia.

Takashi, T, C., Y. Park H. Nakjima, H. Sekiya and K Toriyana 1999, Ferric ion transfomation in soils with rotation of irrigated rice and effect on soil tillage properties. Soil Sci. Plant Nurt. 454: 163 -173

Yusuf A. Nusyirawan dan E. Rusdi 1993, Penyiangan Gulma padi sawah secara manual dan kimiawi di lahan gambut. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Tekhnologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Proyek ISDP, Badan Litbang Pertanian.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penutup Penyimpulan mengenai hasil diskusi yang telah dilakukan dan pemberian tugas kepada mahasiswa untuk merumuskan konsep pendahuluan sesuai dengan topik

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

Perolehan asam lemak tertinggi dicapai pada hidrolisis dengan penambahan volume buffer 5% terhadap air yang ditambahkan, suhu reaksi 50°C dan rasio air dedak 1:5

Kesimpulannya, asas percukaian yang lebih meluas serta yang dikenakan pada satu kadar melalui pengenalan GST akan memudahkan kerajaan mengurus dan mentadbir sistem tersebut dan ia

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara penggunaan gaya mengajar komando dan

Untuk mendapatkan performa yang optimal dari kelinci tersebut dilakukan sistem pembibitan yang terdiri dari proses pemuliaan (Breeding) dan pembiakan (Multiplier) yang

3 Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada