• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi Antara Pembatasan Dan Kebebasan Beragama Serta Implikasinya Terhadap Formalisasi Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Demokrasi Antara Pembatasan Dan Kebebasan Beragama Serta Implikasinya Terhadap Formalisasi Islam"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan

issn 2354-6174 eissn 2476-9649

Tersedia online di: journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah DOI: 10.21043/fikrah.v5i1.2657

Demokrasi Antara Pembatasan Dan Kebebasan Beragama

Serta Implikasinya Terhadap Formalisasi Islam

Abu Hapsin

UIN Walisongo Semarang, Indonesia abu_hapsin@walisongo.ac.id

Abstrak

Tulisan di bawah ini membahas hubungan antara demokrasi dan kebebasan beragama. Jika demokrasi memiliki arti bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja selama masih dalam frame konstitusional, permasalahannya kemudian apakah boleh memaknai demokrasi dengan melakukan formalisasi agama dalam tatanan politik dan hokum dari suatu negara demokrasi? Inilah yang menjadi inti permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan ini, sedikitnya ada dua cara pandang yang dapat digunakan untuk menganalisa. Pertama, cara pandang dari kalangan liberalis yang menempatkan agama sebagai institusi terpisah dari persoalan politik sehingga agama hanya menjadi persoalan privat. Karena wataknya yang demikian, kelompok ini sering disebut sebagai kelompok sparationist atau privatist. Sedangkan cara pandang kedua menyatakan bahwa prinsip demokrasi tetap bisa berjalan beriringan dengan prinsip kebebasan beragama. Bahkan agama harus hadir dalam dan menjadi bagian dari arena politik. Kelompok kedua ini beralasan tidak mungkin membagi manusia pada suatu saat menjadi manusia politik dan pada saat yang lain menjadi manusia agama.

(2)

Pendahuluan

Demokrasi mungkin merupakan kata yang paling sering kita dengar dewasa ini. Istilah ini telah menjadi sebuah jargon politik yang tidak hanya menarik kalangan politisi dan akademisi profesional, tapi orang-orang jalanan pun banyak terlibat dalam membicarakan persoalan ini. Bahkan dalam suasana dimana angin euforia politik masih terasa kencang, demokrasi seringkali dijadikan alat pembenar untuk segala tindakan yang memiliki nuansa kebebasan dan tidak jarang berujung pada suasana politik anarkis.

Dalam konteks kebebasan beragama, konsep demokrasi sering diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan formalisasi agama dalam platform politik. Memang, atas dasar demokrasi, masyarakat memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja selama masih dalam frame konstitusional. Namun apakah memaknai demokrasi dengan melakukan formalisasi agama dapat dibenarkan dari logika demokrasi itu sendiri? Inilah sebenarnya yang menjadi persoalan penting yang akan dibahas dalam makalah ini.

Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan di atas, sedikitnya ada dua cara pandang yang dapat digunakan untuk menganalisa. Pertama, cara pandang dari kalangan liberalis yang menempatkan agama sebagai institusi terpisah dari persoalan politik sehingga agama hanya menjadi persoalan individu. Karena wataknya yang demikian, kelompok ini sering disebut sebagai kelompok sparationist atau privatist. Sedangkan cara pandang kedua justeru sebaliknya, memandang agama sebagai bagian yang harus ada dalam arena politik. Sedangkan untuk mengatur lalulintas kepentingan berbagai kelompok keagamaan, solusi yang ditawarkan adalah pendekatan demokratis dengan bertumpu pada keadilan prosedural. Untuk kelompok yang pertama, kami akan mencoba menghadirkan pendapat John Rawls, seorang filosof politik dari Harvard University, yang gagasannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh di dunia Barat khususnya di Amerika. Sedangkan untuk pandangan kedua, kami akan menghadirkan pendapat Franklin I. Gamwell, seorang guru besar di bidang religious studies di University of Chicago.

Batasan Kebebasan Beragama

Dalam bahasa Inggris , kebebasan beragama diistilahkan dalam dua pengertian yakni “religious freedom” dan “religious liberty “. Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian dan memiliki pengertian sinonim yang mengekspresikan ketiadaan paksaan terhadap pikiran seseorang di dalam mengekspresikan apa yang menjadi keyakinannya. Namun dalam konteks politik dan hukum, istilah “religious freedom” lebih sering digunakan daripada “religious liberty.

Carillo de Albornoz sebagaimana dikutip oleh Koshy (1992: 22) berpendapat bahwa religious liberty atau kebebasan beragama memiliki empat aspek utama yakni: kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan

(3)

keagamaan (liberty of religious association), dan kebebasan melembagakan keagamaan (liberty of religious institutionalization). Diantara keempat aspek tersebut, aspek pertama (aspek kebebasan yang bersifat nurani) merupakan hak yang paling asli dan paling absolut dalam pengertian bahwa ketidakterpisahannya dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya. Karena kebebasan nurani ini merupakan hak yang paling absolut, maka konsep kebebasan beragama harus mencakup kebebasan untuk memilih atau tidak memilih agama tertentu.

Dengan batasan diatas maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai sebuah nilai yang paling luhur dan agung (supreme value). Ia menghendaki sebuah komitmen dan pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen dan pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti pemerintah, masyarakat dan bahkan Tuhan. Dalam pengertian inilah Prof. Gamwell (1995,30:31) mendefinisikan agama dan dalam konteks inilah ia melihat otentisitas atau keaslian manusia sebagai “manusia yang utuh” yang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan keyakinan hati nuraninya sendiri.

Kebebasan yang bersifat nurani merupakan dimensi internal dari konsep kebebasan beragama sedangkan manifestasi dari kesadaran ini , baik yang diwujudkan secara personal maupun secara sosial atau institusional , merupakan dimensi eksternalnya. Atas dasar pengertian ini maka definisi kebebasan beragama harus juga mencakup dimensi eksternal dari kebebasan nurani (liberty of conscience). Hal ini didasarkan atas logika bahwa sebuah agama hanya bisa disebut sebagai agama jika ia sudah berwujud institusi sosial. Sehebat dan sekuat apapun sebuah ajaran atau sebuah doktrin, selama ia hanya mengikat secara individual maka secara sosiologis ajaran tersebut belum bisa disebut sebagai agama. Dengan demikian kebebasan beragama harus mencakup pula kebebasan untuk menginstitusionalisasikan ajaran agama serta kebebasan untuk melakukan asosiasi keagamaan.

Pembedaan (bukan pembagian) kebebasan beragama ke dalam dimensi internal dan eksternal jelas akan membawa konsekuensi bahwa dimensi eksternal bersifat relatif. Hal ini berarti bahwa hak untuk mewujudkan kebebasan nurani tersebut bergantung pada agen-agen lainnya seperti pemerintah dan elemen-elemen body politics lainnya. Misalnya, meskipun keyakinan atau kesadaran pribadi mengatakan bahwa melakukan tindakan bunuh diri adalah suatu perbuatan mulia, seseorang tidak bisa dengan bebas mewujudkan hal tersebut hanya dengan alasan bahwa hal itu semata-mata adalah haknya dengan mengesampingkan pandangan masyarakat atau pemerintah. Manifestasi dari kebebasan beragama menjadi hak publik untuk memberikan penilaian terhadapnya. Dengan demikian masyarakat umum memiliki hak untuk melakukan penilaian terhadap sebuah keyakinan keagamaan pada saat agama memasuki arena politik. Dalam konteks inilah konsep kebebasan beragama sangat terkait erat dengan politik.

(4)

Demokrasi Dan Kebebasan Beragama

Hubungan antara agama dan politik dewasa ini telah menjadi sebuah problematika politik modern yang banyak menyita perhatian para pakar untuk mencarikan jalan keluarnya. Problematika politik modern merujuk pada suatu kondisi dalam mana otoritas keagamaan dari agama yang dominan dalam suatu negara telah kehilangan dominasi politiknya. Pada saat yang sama, keadaan di atas ditandai dengan munculnya kebebasan untuk memilih keyakinan keagamaan di kalangan komunitas politik. Begitu variatifnya keyakinan keagamaan yang muncul sehingga pembatasan hanya mungkin dilakukan dengan jalan “kekuatan kekuasaan ”. Namun, tentunya tidaklah bijaksana bila dalam suatu negara demokratis kita melakukan pendekatan kekuatan kekuasaan. Oleh karena itu, harus ada upaya-upaya yang mampu mempersatukan gagasan demokrasi di satu sisi dan konsep kebebasan beragama pada sisi lain.

Penilaian kebebasan beragama dan kaitannya dengan politik dapat digambarkan dalam dua cara. Cara pertama memandang agama sebagai suatu institusi sosial yang harus terpisah dari institusi politik (sparationist). Agama dan politik merupakan dua institusi yang memiliki dua bidang garap yang berbeda dan oleh karenanya harus ada pemisahan yang jelas agar tidak terjadi benturan kepentingan antara keduanya. Kalangan sparationist menempatkan agama sebagai urusan individu bukan merupakan urusan negara. Itulah karenanya kalangan sparationist seringkali disebut sebagai kalangan privatist karena kecenderungannya yang kuat untuk menempatkan agama menjadi urusan pribadi.

Bagi kalangan privatist agama dipandang sebagai sesuatu yang “non-rational” dan karenanya tidak layak untuk membawa agama ke dalam arena politik. Keyakinan keagamaan dengan wataknya komprehensif tidak perlu diperdebatkan secara publik. Kalaupun agama harus masuk ke dalam arena politik, hanya sebagian ajaran saja yang berhak masuk, yakni bagian dari ajaran agama yang memang sudah ditransformasikan menjadi nilai-nilai budaya politik tanpa membedakan latar belakang keyakinan keagamaan yang dianut oleh masyarakat. Inilah yang dimaksudkan oleh John Rawls (1993, 10, 144-145) dengan istilah overlapping consensus, sebuah istilah yang secara konotatif mengesampingkan peran agama secara keseluruhan untuk dijadikan dasar pijakan berpolitik.

Dalam bahasa sederhana, konsep overlapping consensus berarti sebuah kesepakatan bersama warga masyarakat dari berbagai latar belakang keyakinan keagamaan untuk menjadikan kesamaan-kesamaan visi politik mereka sebagai platform politik di mana semua masyarakat dapat beramain bersama di dalamnya. Prinsip ini didasarkan atas suatu asumsi bahwa pada adasarnya masyarakat merupakan sebuah sistem yang berkemampuan untuk melakukan kerja sama yang baik dan fair (Rawls, 1993,15). Setiap masyarakat yang terlibat dalam kerja sama harus diberikan kebebasan serta hak yang sama. Namun satu hal yang menjadi prinsip bahwa setiap gagasan yang dikemukakan, meskipun pada awalnya mungkin berasal dari sebuah keyakinan keagamaan, hendaknya tidak dikemas dalam bentuk

(5)

agama. Gagasan-gasan politik harus diupayakan agar netral dari bahasa serta jargon-jargon keagamaan. Inilah yang oleh Rawls (1993, 12) diistilahkan dengan freestanding view.

Gagasan liberalisme politik John Rawls memang pada satu sisi telah mampu meredam konflik politik horizontal maupun vertikal. Dengan menempatkan agama sebagai urusan pribadi, negara tidak lagi diributkan oleh ajaran-ajaran agama yang terkadang memicu persengketaan yang datang dari kelompok keagamaan lainnya. Namun satu kelemahan dari gagasannya itu adalah bahwa Rawls telah membawa manuasia pada keadaan split personality. Disaat tampil sebagai manusia politik, seseorang tidak lagi dapat menampilkan diri sebagai manusia yang utuh karena harus mengesampingkan keyakinan keagamaan untuk mendukung gagasan-gagasan politiknya demi terwujudnya prinsip overlapping consensus di atas. Oleh karena itu liberalisme politik yang dikembanggkannya sebenarnya merupakan sebuah paradox. Klaim liberalisme yang sebenarnya tidak liberal, dan bahkan tidak demokratis, membuat gagasan Rawls banyak yang meragukan efektifitasnya dalam rangka mengatasi problematika politik modern yang berkenaan dengan kebebasan beragama.

Cara lain yang diangap bisa mengatasi problematika politik modern adalah cara yang ditawarkan oleh Franklin I. Gamwell. Menurut Gamwell kebebasan beragama dan demokrasi merupakan dua prinsip yang dapat berjalan parallel. Namun hal ini tidak akan berjalan dengan baik manakala agama dipandang sebagai sesuatu yang non-rational sebagaimana pandangan kalangan sparationist. Karenya merubah thesis agama sebagai non-rational menjadi agama sebagai rational merupakan prasyarat untuk dapat melakukan dialog agama dan politik. Dengan thesis agama sebagai rational berarti setiap keyakinan keagamaan siap untuk masuk ke dalam arena politik dan siap untuk memasuki debat publik. Dalam wacana demokratik memang tidak seorang pun dilarang untuk membatasi orang lain menyampaikan keyakinan keagamaannnya. Pelarangan serta pembatasan keyakinan keagamaan merupakan pembatasan terhadap hak orang lain untuk mengekpspresikan keaslian dirinya secara utuh, karena, sebagaimana dikemukakan di atas, keutuhan serta otentisitas manusia justeru terletak pada kebebasannya untuk menyampaikan apa yang menjadi keyakinan keagamaannya.

Keyakinan keagamaan merupakan hasil pemahaman komprehensif (comprehensive understanding) seseorang terhadap dunia yang mengitarinya. Dengan demikian pemahaman komprehensif ini merupakan representasi dari setiap tindakan manusia baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak. Atas dasar ini, maka pemahaman manusia terhadap alam sekitarnya tidak selalu bersifat eksplisit. Banyak hal yang dipilih dan dilakukan manusia dengan tanpa sadar dan hanya bersifat implisit. Namun demikian, pemahaman implisit ini cukup determinan sehingga pemahaman eksplisit manusia seringkali bergantung pada pemahaman yang bersifat implisist tersebut (Gamwell 1995, 17, 217).

(6)

untuk diketahui agar secara formal kegiatan politik dapat dibedakan dari kegiatan yang bersifat keagamaan. Karena baik aktivitas keagamaan maupun aktivitas politik merupakan kegiatan manusia, maka keduanya hanya bisa dibedakan dari pemahaman eksplisitnya bukan dari pemahaman implisitnya. Sebagai contoh, negara menetapkan sebuah peraturan perundangan yang menghukum pengedar dan pengkonsumsi minuman keras. Kegiatan manusia ini sudah barang tentu ditujukan untuk menjawab secara “eksplisit” pertanyaan mengenai kebijakan negara. Dengan demikian pemahaman secara “eksplisit” mengatakan bahwa pengundangan larangan mengedarkan dan mengkonsumsi minuman keras merupakan kegiatan politik. Namun secara “implisit” masyarakat Muslim boleh mengklaim bahwa pelarangan tersebut merupakan kegiatan keagamaan karena hal tersebut mengimplikasikan bahwa negara mendukung dan sekaligus melaksanakan salah satu keyakinan keagamaan Islam, yakni keharaman mengedarkan dan meminum minuman keras.

Karena “pemahaman” manusia pada dasarnya disediakan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tertentu, maka kegiatan manusia juga dibedakan atas dasar pertanyaan yang secara “eksplisit” diajukan. Dengan demikian kegiatan keagamaan dibedakan dari kegiatan politik sebab pertanyaan yang secara “eksplisit” diajukan. Atas dasar pertimbangan pertanyaan eksplisit ini, maka kemudian agama didefinisikan sebagai “bentuk kebudayaan primer yang dengannya pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab (Gamwell, 1995, 23).” Dengan istilah komprehensif dimaksudkan bahwa pertanyaan itu bersifat menyeluruh tidak terbatas oleh sekat-sekat kegiatan manusia selama hidup. Oleh karena itu pertanyaan mengenai kegiatan keagamaan dapat dirumuskan sebagai berikut: Apa yang harus dilakukan oleh agama untuk memenuhi tujuan hidup ini? Inilah pertanyaan eksplisit yang membedakan kegiatan keagamaan berbeda dari kegiatan politik.

Jika agama bertanya dan menjawab secara eksplisit pertanyaan yang bersifat komprehensif, maka politik bertanya dan menjawab permasalahan tentang negara secara eksplisit. Dengan demikian pertanyaan eksplisit yang harus dijawab oleh politik tidak bersifat komprehensif seperti yang diajukan terhadap agama. Pertanyaan yang diajukan serta jawaban yang disediakan oleh politik hanya bersifat partial, yakni sebatas mengenai negara. Atas dasar pertanyaan-pertanyaan eksplisit inilah maka politik didefinisikan sebagai bentuk asosiasi, bukan bentuk kebudayaan, yang bertanya dan menjawab persoalan-persoalan negara, bukan persoalan-persoalan hidup secara keseluruhan. Oleh karena itu pertanyaan ekpslisit berkenaan dengan kegiatan politik dapat dirumuskan : Bagaimana seharusnya kegiatan-kegiatan kenegaraan diwujudkan dan apa yang harus diperbuat oleh negara?

Dengan penjelasan diatas, jelas bahwa kegiatan manusia sehari-hari merupakan representasi dari pemahaman yang dilakukan baik secara eksplisit maupun secara implisit. Jika kegiatan manusia ditujukan untuk memahami tujuan hidup maka kegiatan tersebut direpresentasikan dalam pemahaman yang komprehensif. Itulah mengapa pertanyaan mengenai tujuan hidup manusia harus termuat dalam pertanyaan yang komprehensif, dan jawaban atas pertanyaan yang komprehensif inilah otentisitas manusia dapat ditemukan (Gamwell 1995,35-36).

(7)

Karena agamalah yang memberikan sebuah pemahaman yang komprehensif serta yang dapat menyediakan jawaban terhadap pertanyaan yang komprehensif, maka tidak bijaksana untuk membuang agama dari percaturan politik. Namun hal ini jelas membawa suatu konsekuensi bahwa setiap keyakinan keagamaan harus sedia untuk masuk ke dalam debat publik yang bebas.

Pernyataan di atas jelas mengindikasikan bahwa bagi Gamwell keyakinan keagamaan harus direpresentasikan dalam ekspresi politik dan karenanya tidak ada larangan bagi keyakinan keagamaan tertentu untuk ditransformasikan atau bahkan diadopsi menjadi kebijaksanaan suatu negara. Akan tetapi, sebelum menjadi kebijaksanaan politik, keyakinan keagamaan harus melalui test terlebih dahulu melalui diskusi atau debat publik dalam institusi yang dianggap mewakili masyarakat, misalnya parlemen. Diskusi atau debat publik ini sangat penting untuk melihat sejauh mana validitas keyakinan keagamaan yang dipegangi oleh kelompok masyarakat tertentu. Dalam diskusi publik ini sudah barang tentu “akal sehat” serta “pengalaman kemanusiaan” akan sangat menentukan apakah keyakinan keagamaan yang diajukan untuk menjadi kebijaksanaan negara itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian atau tidak.

Debat publik yang sehat dan bebas hanya mungkin dilaksanakan dengan baik jika kita merubah cara pandang dari thesis “agama sebagai sesuatu non-rational” menjadi “agama sebagai sesuatu yang non-rational”. Ini merupakan langkah yang pertamakali harus diambil sebelum menetapkan langkah-langkah pemecahan masalah demokratis dalam kaitannya dengan kebebasan beragama.

Pemecahan masalah kebebasan beragama secara demokratis menghendaki suatu konstitusi yang demokratis pula. Konstitusi yang demnokratis hendaknya mampu menjawab rumusan permasalahan baik secara politik maupun secara agama. Ada dua rumusan permasalahan yang jika tidak terjawab oleh sebuah konstitusi, maka konstitusi tersebut cacat dengan sendirinya dan karenanya tidak dapat dianggap sebagai konstitusi demokratis. Pertama, konstitusi yang demokratis harus konsisten dengan keyakinan keagamaan yang berragam dan yang kedua, konstitusi demokratis harus mendapatkan affirmasi oleh para pengikut dari berbagai keyakinan keagamaan. Dua hal tersebut merupakan prakondisi untuk memastikan apakah debat publik yang dilaksanakan di parlemen itu dapat berjalan dengan baik atau tidak. Suatu konstitusi yang tidak memuat kedua permasalahan di atas jelas bukan merupakan konstitusi demokratis. Jika demikian halnya maka jaminan kebebasan beragama berarti tidak ada dalam konstitusi.

Konstitusi demokratis harus juga mengidentifikasi para partisipan yang akan terlibat dalam diskusi atau debat serta hak-hak mereka agar diskusi dapat berjalan dengan penuh kebebasan. Prosedur untuk membuat keputusan, prosedur untuk melaksanakan keputusan, prosedur untuk menegakkan aturan-aturan konstitusi serta prosedur untuk mengatasi perbedaan pendapat dari para peserta juga harus secara eksplisit dijelaskan dalam konstitusi. Konstitusi demokratis bukanlah konstitusi yang mati, karenanya klausul yang mewadahi penilaian yang berkelanjutan

(8)

terhadap konstitusi tersebut harus juga dimuat secara jelas dalam konstitusi. Dengan demikian prosedur untuk merubah serta mengamandemen konstitusi harus secara eksplisit dimuat dalam konstitusi (Gamwell 1995,163).

Agar diskusi atau debat dapat berjalan dengan baik maka konstitusi harus berada pada posisi netral, dalam arti konstitusi itu tidak mendukung, baik secara eksplisit maupun implisit, keyakinan keagamaan tertentu. Sebagaimana dijelaskan di atas, pekerjaan membuat konstitusi merupakan kegiatan manusia yang tidak diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang komprehensif. Ia merupakan kegiatan politik yang hanya disediakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang partial, yakni pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana sebuah negara harus berbuat. Oleh karena itu, merupakan sebuah keharusan bahwa sebuah konstitusi demokratis berada pada posisi netral dari klaim-klaim pemahaman komprehensif atau klaim-klaim keagamaan, mengingat ia, secara eksplisit, bukanlah merupakan kegiatan keagamaan.

Keputusan-keputusan yang diproduk atas dasar konstitusi demokratis mungkin tidak sejalan dengan para pengikut dari berbagai kelompok keyakinan keagamaan lainnya. Akan tetapi sejauh prosedur yang digunakan untuk menghasilkan keputusan itu mencerminkan keadilan, dalam arti bahwa prosedur tersebut teklah mendapatkan affirmasi dari berbagai kelompok keyakinan keagamaan, maka tidak ada alasan bagi yang tidak puas untuk tidak mematuhi keputusan-keputusan di atas. Sikap inkonsisten terhadap prosedur yang demokratis berarti inkonsisten terhadap keputusan-keputusan terdahulu yang telah ditetapkan oleh mereka sendiri.

Pendirian terhadap suatu konstitusi dapat saja sewaktu-waktu berubah. Kelompok keagamaan tertentu pada suatu saat mungkin merasa bahwa prosedur atau tatacara untuk membuat keputusan dianggap telah memenuhi rasa keadilan dan karenanya mereka merasa terikat untuk patuh dan tunduk terhadapnya. Namun pada saat lain setelah terjadi berbagai perubahan situasi politik mereka merasa bahwa prosedur untuk membuat keputusan dianggpnya tidak lagi mencerminkan keadilan dan karenanya mereka ingin merubah komitmennya yang lalu.

Dalam wacana demokrasi perubahan komitmen bukanlah merupakan stigma politik yang haram dilakukan. Perubahan komitmen karena perubahan suasana politik dapat dibenarkan. Oleh karena itu konstitusi yang demokratis harus memberikan ruangan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul akibat terjadinya perubahan komitmen tersebut. Bahkan kebebasan untuk meyakinkan orang lain untuk mencabut komitmennya terhadap prosedur yang dianggap tidak lagi mencerminkan keadilan pun harus disediakan ruangan dalam konstitusi (Gamwell 1995, 167).

Dengan penjelasan di atas, jelas bahwa klaim-klaim formal tentang keadilan mendapatkan tempat lebih utama dalam pembahasan demokrasi dalam kaitannya dengan kebeasan beragama daripada klaim-klaim material tentang keadilan. Atau dengan kata lain, keadilan yang bersifat prosedural harus lebih diutamakan daripada keadilan yang bersifat material. Itulah karenanya permasalahan demokrasi dan

(9)

kebebasan beragama sebenarnya merupakan persoalan prosedur konstitusional yang akan digunakan sebagai tempat rujukan dalam pembuatan keputusan-keputusan lainnya. Oleh karena itu affirmasi dari body politics yang terwakili dalam parlemen merupakan faktor desisif untuk memastikan bahwa klaim formal tentang keadilan telah terpenuhi.

Memang benar, bahwa dalam wacana demokratis yang dipertaruhakan adalah keadilan prosedural. Namun hal ini bukan berarti mengesampingkan arti penting keadilan yang bersifat material. Keputusan-keputusan yang diproduk atas dasar prosedur konstitusional harus juga mendapatkan pertimbangan yang mendalam agar tetap sejalan dan tidak bertentangan dengan prosedur konstitusional secara keseluruhan. Disamping itu, nilai-nilai kemanusiaan yang ditetapkan atas dasar akal sehat juga harus menjadi bahan pertimbangan agar materi keputusan yang diproduk melalui prosedur konstitutional tersebut mencerminkan rasa keadilan. Misalnya, setelah melalui diskusi yang mendalam akhirnya parlemen menetapkan suatu peraturan perundangan yang membolehkan melakukan praktek perbudakan. Meskipun peraturan perundangan ini telah ditetapkan melalui prosedur konstitusional yang adil, peraturan tyersebut tidakl sejalan dengan wacana demokrasi karena pengalaman kemanusiaan serta akal sehat jelas akan menolak praktek perbudakan untuk masa sekarang.

Rasa keadilan antara satu dengan lain orang atau antara satu dengan kelompok keagamaan lainnya mungkin berbeda. Akan tetapi sejauh prosedur konstitusional yang termuat dalam tatacara membuat keputusan, tatacara melaksanakan, menegakkan serta merubah keputusan telah mendapatkan affirmasi sebelumnya dari berbagai kelompok keyakinan keagamaan, maka demokrasi berarti telah berjalan dengan baik. Dengan demikian, meskipun ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan materi keputusan yang diproduk melalui prosedur konstitusional yang sudah mendapatkan affirmasi sebelumnya, tidak ada alasan bagi pihak-pihak yang tidak setuju untuk tidak patuh terhadap keputusan yang dihasilkan.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa solusi demokratis untuk permasalahan kebebasan beragama menghendaki keterlibatan seluruh kelompok keyakinan keagamaan untuk bermain dalam arena politik. Hanya saja disini diperlukan perubahan cara pandang terhadap agama. Jika agama akan diiukut-sertakan dalam arena politik, maka agama harus dilihat sebagai sesuatu yang rational dalam arti bahwa setiap keyakinan keagamaan yang akan diangkat menjadi produk politik harus siap diperdebatkan secara publik. Hal ini berbeda dengan kelompok sparationist atau kelompok privatist yang melihat agama sebagai non-rational dan oleh karenanya mereka secara tegas menolak melibatkan agama untuk masuk ke dalam panggung politik.

Demokrasi Dan Formalisasi Politik Islam

Formalisasi politik Islam berarti sebuah upaya untuk melakukan islamisasi dalam bidang-bidang politik dengan cara mengemas konsep-konsep politik dengan

(10)

kemasan Islam. Dalam bentuknya yang ekstrim, formalisasi Islam ditandai dengan upaya untuk melakukan islamisasi dalam setiap institusi politik yang dinyatakan secara eksplisit dan muaranya adalah pendirian negara Islam. Persoalannya sekarang bagaimanakah hubungan antara demokrasi, formalisasi Islam dan prinsip kebebasan beragama? Dapatkah logika demokrasi berjalan beriringan dengan gagasan formalisasi Islam, dan juga, dapatkah gagasan formalisasi Islam berjalan searah dengan prinsip kebebasan beragama?

Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai negara memang pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw. Preseden inilah yang seringkali membangkitkan romantisme sebagian umat Islam untuk melakukan formalisasi Islam, meskipun sekarang mereka hidup dalam zaman yang sangat berbeda dengan permasalahan politik yang berbeda pula.

Paling tidak ada empat hal yang seringkali menjadi keinginan kelompok formalis dalam upaya menghidupkan kembali politik Islam. Pertama, menyangkut prinsip kedaulatan. Konsep kedaulatan dalam politik Islam berada di Tangan Tuhan. Oleh karena itu para penguasa dalam mengatur negara tidak boleh hanya berdasar pada keinginan rakyat tetapi mereka harus bertindak atas nama Tuhan. Tugas utama para penguasa hanyalah melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Karena kepatuhan itu pada dasarnya hanya kepada Tuhan, maka tidak ada ruang bagi nasionalisme dalam politik Islam (al-Maududi 1983, 92, Rauf 1988,22). Yang kedua adalah konsep tentang Shura. Dalam politik Islam institusi Shura ini telah menjadi praktek kenegaraan yang dilakukan sejak zaman Nabi sampai pada zaman khalifah Ali. Institusi Shura berhenti beroperasi ketika terjadi perubahan bentuk pemerintahan Islam dari sistem khilafah menjadi sistem kerajaan. Yang ketiga, negara Islam harus committed terhadap pelaksanaan syariah. Keempat, negara Islam menganut asas kesamaan hak bagi seluruh warga negara. Baik Muslim maupun non-Muslim memiliki harga darah yang sama. Karena inilah, sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an, jika seorang Muslim membunuh seorang non-Muslim, si pembunuh yang Muslim tersebut berhak mendapatkan hukuman mati (Rauf 1988, 36-37).

Dalam kasus hukum baik menyangkut kriminal maupun perdata, semua warga negara tanpa perbedaan latar belakang keyakinan keagamaan dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama. Warga non-Muslim memiliki hak untuk ambil bagian dalam kegiatan pelayanan negara. Sebagaimana warga Muslim, warga non-Muslim harus diberikan kepercayaan untuk menduduki pos-pos pelayanan umum serta terlibat dalam kegiatan militer. Warga non-Muslim tidak boleh mengalami penderitaan akibat diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa Muslim (Rauf 1988, 55-59).

Dalam sebuah negara Islam, warga non-Muslim memiliki hak untuk melaksanakan ajaran serta keyakinan keagamaan selama dalam melaksanakan ajaran tersebut tidak membahayakan kepentingan umum. Mereka juga dibebaskan dari peraturan-peraturan yang dikhususkan bagi warga Muslim . Oleh karena itu

(11)

mereka bebas mengkonsumsi minuman keras maupun daging babi selama dalam pengkonsumsian itu tidak ada pihak-pihak yang dirugikan (Rauf 1988, 50-51).

Apa yang telah dikemukakan di atas hanyalah merupakan gambaran kecil dan sederhana tentang apa yang dikehendaki oleh sebagian umat Islam dalam upaya melakukan formalisasi Islam. Terlepas dari persoalan apakah mereka realistis atau tidak, dengan dalih demokrasi banyak yang berpendapat bahwa pendirian negara serta pembuatan peraturan yang secara eksplisit mengatasnamakan syariah adalah bukan hal terlarang, terlebih lagi jika umat Islam merupakan mayoritas. Namun benarkah demikian?

Sebenarnya penyebutan istilah “negara Islam” itu sendiri menunjukkan secara eksplisit bahwa negara mendukung Islam sebagai jawaban atas pertanyaan komprehensif. Pada hal, sebagaimana disebutkan di muka, pemahaman secara eksplisit berkenaan dengan pengaturan negara merupakan aktifitas politik bukan aktifitas keagamaan. Oleh karena mengatur negara merupakan aktifitas politik, maka aturan-aturan yang dibuat tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan yang sifatnya komprehensif. Disamping itu, dukungan secara eksplisit ini sudah barang tentu tidak dibenarkan karena akan menghilangkan kesempatan lahirnya suatu debat atau diskusi publik yang bebas. Penyebutan kata “Islam” dalam konstitusi bagaimanapun akan memiliki dampak politis yang sangat besar, yakni hilangnya hak para pengikut kelompok keagamaan lainnya untuk mengekspresikan dirinya atas dasar keyakinan keagamaan yang dianutnya. Dengan demikian keutuhan serta otentisitas diri sebagai manusia justeru akan terkurangi atau mungkin tidak akan didapatkan oleh mereka yang menjadi minoritas.

Hal yang sama akan terjadi jika kata-kata kedaulatan Tuhan disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi. Penempatan kata “kedaulatan Tuhan” jelas akan mengkaburkan pandangan mengenai kegiatan yang sedang dilakukan, kegiatan politik ataukah kegiatan keagamaan. Jika kata “kedaulatan Tuhan” disebutkan secara jelas dalam konstitusi, maka konstitusi tersebut tidak lagi mencerminkan kegiatan politik. Agar konstitusi mencerminkan kegiatan politik maka sebuah konstitusi harus secara eksplisit menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Bahwa para pemimpin Islam harus selalu menjaga amanat Allah, dan bahwa mereka akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah nanti di akhirat, itu adalah persoalan lain yang tidak harus disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi. Sebagai Muslim yang taat sudah seharusnya jika masalah kepemimpinan, serta kegiatan-kegiatan politik lainnya tidak dipandang sebagai urusan politik yang bersifat duniawi belaka. Ini berarti bahwa meskipun kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu secara eksplisit merupakan kegiatan politik, seorang Muslim yang baik akan secara implisit menganggapnya sebagai kegiatan keagamaan.

Dalam wacana demokrasi, negara tidak dibenarkan untuk mendukung secara eksplisit terhadap keyakinan yang bersifat komprehensif, yakni keyakinan keagamaan tertentu. Namun hal ini bukan berarti hilangnya peran agama dalam kehidupan politik. Agama tetap menjadi bagian essensial dari keseluruhan

(12)

kehidupan body politics dalam arti bahwa setiap keputusan politik harus secara implisit mewakili keyakinan keagamaan. Apa yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi ialah persetujuan yang dinyatakan secara eksplisit terhadap suatu keyakinan keagamaan tertentu (Gamwell 1995, 205). Itulah karenanya selama negara tertentu mencantumkan persetujuannya dalam konstitusi secara eksplisit terhadap suatu keyakinan keagamaan tertentu, misalnya Negara Islam Pakistan atau Republik Islam Iran, maka secara prinsip negara tersebut menafikan unsur-unsur demokrasi. Hal demikian ini jelas tidak memenuhi tuntutan keadilan formal atau keadilan prosedural. Lalu di mana letak kebebasan beragama dalam negara yang secara eksplisit menyatakan dukunyannya terhadap suatu keyakinan keagamaan tertentu?

Dalam prakteknya mungkin saja negara yang secara eksplisit mendukung suatu keyakinan keagamaan tertentu lebih mendukung terlaksananya kebebasan beragama dari pada negara yang netral dari dukungan terhadap keyakinan keagamaan. Kehidupan kebebasan beragama di Iran misalnya, mungkin lebih baik daripada di Indonesia yang secara jelas tidak mendukung salah satu keyakinan keagamaan tertentu. Namun satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam wacana demokrasi bahwa jaminan keadilan yang bersifat prosedural jauh lebih bermakna daripada keadilan yang bersifat material. Atas dasar prinsip keadilan prosedural inilah maka dapat dikatakan bahwa meskipun negara Islam lebih menjanjikan materi keadilan sebagaimana dijelaskan oleh baik al-Mawdudi maupun Prof. Abd. Rauf seperti di muka, selama tidak ada jaminan keadilan prosedural maka pada dasarnya tidak ada prinsip demokrasi.

Memiliki kommitmen yang tinggi terhadap Shari’ah memang merupakan keharusan bagi setiap Muslim. Akan tetapi prinsip demokrasi jelas akan menolak jika Shari’ah secara eksplisit dijadikan sebagai tata hukum bagi negara tertentu. Perlu dijelaskan di sini bahwa penolakan ini bukan berarti menafikan arti penting Shari’ah bagi, serta mengasingkannya dari, kehidupan Muslim. Penolakan ini didasarkan atas prinsip demokrasi yang tidak menghendaki adanya pernyataan dukungan secara eksplisit terhadap keyakinan keagamaan. Seperti dijelaskan dimuka, bahwa kegiatan politik tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan komprehensif tetapi hanya ditujukan untuk menjawab pertanyaan yang bersidfat parsial yakni pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pengurusan negara.

Pada prakteknya, suatu negara mungkin menerima banyak masukan peraturan perundangan yang berasal dari Shari’ah, misalnya hukuman qisas, had bagi pengkonsumsi menuman keras dan lain-lainnya. Sudah barang tentu aturan Shari’ah itu masuk menjadi perundang-undangan negara setelah melalui proses diskusi dan debat publik yang mencerminkan keadilan prosedural. Berkat usaha dari para wakil rakyat yang Muslim, akhirnya mereka berhasil meyakinkan anggota parlemen lainnya sehingga banyak aturan Shari’ah yang diterima menjadi hukum Pidana dan Perdata. Akan tetapi jika negara menerima berbagai ketentuan Shari’ah menjadi Hukum Pidana dan Perdata, hal ini semata-mata hanya karena body politics yang diwakili parlemen dengan berbagai pertimbangan rationalnya setuju untuk

(13)

menjadikan sahari’ah sebagai Hukum Pidana dan Perdata, bukan karena terdorong oleh keinginan negara untuk menjadikan Shari’ah sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bersifat komprehensif. Dengan demikian, secara eksplisit negara harus menyatakan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kegiatan politik dan oleh sebab itu pengadopsian Shariah yang berhasil dilakukannya pun tidak boleh diklaim sebagai kegiatan keagamaan. Secara implisit negara boleh saja mengklaim bahwa apa yang dilakukannya merupakan tugas suci keagamaan, namun secara eksplisit harus tetap dinyatakan bahwa kegiatan pembuatan aturan Hukum Pidana dan Perdata yang diadopsi dari Shari’ah itu merupakan kegiatan politik dan ditujukan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat partial, bukan pertanyaan yang bersifat komprehensif.

Dalam melakukan debat publik di parlemen, masing-masing kelompok keagamaan diperbolehkan untuk merujuk kepada apa yang menjadi pemahaman komprehensif atau keyakinan keagamaannya. Muslim dipersilahkan merujuk pada al-Qur’an, Sunnah Nabi serta sumber-sumber lainnya yang dianggap otoritatif. Sama halnya, kelompok Kristen diperbolehkan untuk merujuk pada kitab-kitab kanonikal dan sumber-sumber otoritatif lainnya untuk mendukung pendapatnya. Kelompok Budha juga dibenarkan untuk menggunakan Tri Pitaka sebagai sumber rujukan dan, bahkan kelompok a-theist pun dipersilahkan untuk menggunakan logika serta etika sekular untuk mendukung argumennya. Pendek kata, dalam wacana demokrasi setiap kelompok atau setiap orang bebas untuk mengemukakan gagasannya dengan menggunakan dukungan keagamaan yang diyakininya sebagai alat pembenarnya. Hal ini berbeda dengan prinsip free-standing justice dari John Rawls yang hanya menghendaki pembenaran dari ide-ide yang secara implisit hidup dalam budaya politik (Rawls 1993,10). Dengan demikian Rawls menganggap bahwa keyakinan keagamaan sama sekali tidak memiliki arti penting dalam kehidupan politik. Keyakinan keagamaan harus dikesampingkan manakala seseorang bermain dalam arena politik.

Meskipun Shari’ah telah menjadi elemen utama dalam sistem perundangan suatu negara, negara harus tetap menjaga netralitasnya. Negara tidak boleh beranggapan bahwa ketentuan Shariah yang diadopsinya diperuntukan bagi jawaban atas pertanyaan yang sifatnya komprehensif. Ketika Shari’ah telah diadopsi menjadi hukum positif, fungsinya menjadi berubah. Shari’ah yang semula dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan yang komprehensif, sekarang telah berubah menjadi kebijakan negara dan karenanya telah masuk dalam lingkup kegiatan politik. Untuk itu, tidak dibenarkan memberlakukan Shariah yang telah berubah menjadi hukum positif tersebut untuk menjawab pertanyaan yang sifatnya komprehensif.

Simpulan

Dari penjelasan di atas kita sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya permasalahan kebebasan beragama merupakan suatu diskursus politik yang hanya bisa dilaksanakan secara baik dengan pendekatan demokratis. Model pendekatan demokratis seperti yang dikemukakan oleh Prof. Gamwell merupakan

(14)

cara yang tepat untuk mengatasi problematika politik modern yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Hal ini didasarkan atas dua alasan. Pertama, model pendekatan demokratis yang dikemukakannya sangat mengedepankan arti penting otentisitas serta keutuhan manusia sebagai subjek yang memainkan dua peran sekaligus, yakni peran sebagai manusia politik dan peran sebagai manusia agamis. Hal ini berbeda dengan model pendekatan liberal-privatist dari John Rawls yang menempatkan manusia dalam posisi split personality karena pada saat tampil sebagai manusia politik, seseorang harus meninggalkan perannya sebagai manusia agamis. Kemampuan dalam memadukan dua peran inilah yang membuat model pendekatan Gamwell menjadi sangat padu dan tepat untuk mengatasi problematika politik modern yang berkenaan dengan persoalan kebebasan beragama. Kedua, keunggulan model pendekatannya terletak dari penekanannya terhadap prinsip procedural justice. Hal inilah yang membuat pendekatan demokratis yang dikembangkannya akan mampu meredam konflik politik horizontal karena masing-masing kelompok pendukung keyakinan keagamaan baik dari kalangan mayoritas maupun, khususnya, dari kalangan minoritas akan merasa terayomi dengan adanya jaminan prosedur konstitusional.

Karena pendekatan demokratis melihat persoalan kebebasan beragama itu merupakan persoalan prosedur konstitusional, maka janji-janji keadilan yang bersifat material bukan merupakan tujuan utama. Dengan demikian meskipun sistem politik Islam lebih menjanjikan akan adanya kebebasan beragama serta lebih menekankan pada persamaan hak antara Muslim dan non-Muslim, selama tidak ada jaminan prosedur konstitusional maka demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Jaminan prosedur konstitusional ini harus secara eksplisit dinyatakan dalam konstitusi bahwa negara bersikap netral terhadap keyakinan keagamaan tertentu.

Dengan berpijak pada prinsip di atas, upaya untuk melakukan formalisasi Islam dalam kaitannya dengan wacana demokrasi akan memunculkan sedikitnya dua permasalahan yakni: Dapatkah sebuah negara dikatakan “negara Islam” tanpa harus mengklaim dirinya secara eksplisit sebagai “negara Islam? Dapatkah sebuah negara disebut negara Islam tanpa harus menyatakan secara eksplisit keterikatannya terhadap Shari’ah atau hukum Islam? Dengan kata lain, dapatkah sebuah negara mengklaim dirinya sebagai negara Islam tanpa harus melakukan formalisasi ajaran Islam? Jika jawabannya “tidak” berarti formalisasi Islam tidak sejalan dengan prinsip kebebasan beragama dan tidak juga sejalan dengan prinsip demokrasi. Sebaliknya, jika jawabannya “ya” berarti Islam dapat berjalan beriringan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan beragama.

Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa jawaban yang terakhir ini tidak mudah untuk dilakukan. Jawaban “ya” jelas akan membawa konsekuensi yang berhubungan erat dengan reformulasi pola pendekatan Islam. Pendekatan etik-substantifistik atau pendekatan moral ideal yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman, juga pendekatan semiotik yang dikembangkan oleh Muhamad Arkoun merupakan dua contoh pendekatan yang, menurut hemat penulis, dapat menghasilkan pemahaman keagamaan yang lentur tanpa harus kehilangan prinsip sehingga

(15)

mampu berjalan seiring dengan prinsip demokrasi serta kebebasan beragama seperti yang dikembangkan oleh Prof. Fanklin I. Gamwell. Untuk memenuhi maksud itu, IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi sudah barang tentu diharapkan mampu menjadi motor penggerak untuk menerobos kekakuan berpikir serta melakukan perubahan-perubahan paradigmatik keagamaan. Hal ini jelas memerlukan sebuah visi yang terpadu antara kalangan birokrat kampus dan para akademisi. Karena itu kemampuan serta wawasan akademis merupakan syarat yang mesti dimiliki oleh kalangan birokrat kampus atau pejabat yang akan menduduki pos-pos yang berhubungan erat dengan lembaga pendidikan tinggi.

(16)

Referensi

Audi, Robert and Wolterstorff, Nicholas, Religion in the Public Square, The Place of Religious Conviction in Political Debate, Boston , Rowman &Littlefield Publishers, Inc., 1977

El-Wa, Mohammed S., Sistem Politik Dalam Islam (terj.), Surabaya, Bina Ilmu 1983

Gamwell, Franklin I., The Meaning of Religious Freedom, Modern Politics and the Democratic Resolution, Albany, State University of New York Press, 1995 Gray, John, Liberalisms, Essays in Political Philosophy, London and New York,

Routledge, 1991

---, Post Liberalism, Studies in Political Thought, London and New York, Routledge, 1993

Greenawalt, Kent, Religious Convictions and Political Choice, Oxford, Oxford University Press, 1988

Haynes, Jeff, Religion in Third World Politics, Buckingham, Philadelphia, Open University Press, 1993

Koshy, Ninan, Religious Freedom in a Changing World, Geneva, World Council of Churches, 1992

Maududi, Abul ‘Ala, Dasar-dasar Konstitusi Islam, dalam Azzam, Salim, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam (terj), Bandung, Mizan, 1983

Rauf, Muhammad Abdul, The Concept of Islamic State with Particular reference to Treatment of non-Muslim Citizens, Kualalumpur, Islamic Affairs Division Prime Minister’s Department, 1988

Rawls, John, Political Liberalism, New York, Columbia University Press, 1993 ---, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts, Harvard University Press,

1971

Sandel, Michael J., (ed.), Liberalism and Its Critics, Oxford and New York, Blackwell, 1984

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri Ramdani (2015)tentang tingkat pengetahuan ibu menopause tentang perubahan fisiologi dan psikologi pada

Untuk mengetahui bagaimana keserasian belanja yang dilihat dari besaran nilai belanja operasi terhadap total belanja, belanja modal terhadap total belanja dan belanja langsung

Jika nilai produk/jasa industri dan volume barang/jasa sama besar, maka pilih kegiatan yang menghasilkan barang/jasa dengan waktu terlama d2. Jika nilai produk/jasa

Pada perkembangan selanjutnya banyak bermunculan s}ah}i@fah- s}ah}i@fah yang memuat hadis Nabi di abad ketiga Hijriyah. Sedangkan kumpulan s}ah}i@fah tersebut merupakan

Di bidang fiqih, dalam dalam bentuk risalah maupun fatwa, Syekh Arsyad menulis Kita>b Nika>h, berisi tentang fiqih pernikahan berdasarkan madzah Syafi’i,

Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien,

Active Directory Users and Computers on Windows Server 2003 domain controllers, is the main tool used for managing the Active Directory users, groups, and computers.. To set up

Sistem yang dibangun adalah sistem informasi inventory obat yang mampu mengolah data persediaan stok obat, pengecekan, pemesanan dan pembuatan laporan secara