• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi International Criminal Court bagi Terjaminnya HAM di Indonesia. Oleh: Lindra Darnela *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berjalan Menuju Roma: Perlunya Ratifikasi International Criminal Court bagi Terjaminnya HAM di Indonesia. Oleh: Lindra Darnela *"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Lindra Darnela*

Abstrak

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan pengadilan independen dan otoritatif yang mencoba menuduh seseorang mengenai kejahatan HAM internasional yang sangat serius, yakni pemusnahan suatu bangsa, kejahatan melawan kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC diharapkan mampu menyelesaikan berbagai tindak kekerasan HAM yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) karena ICC fokus pada pengajuan kasus-kasus yang dibawa kepada percobaan oleh negara sebagai subjek hukum internasional. Pendirian ICC berasal dari persetujuan internasional yang dideklarasikan di Roma, Italia, dikenal sebagai Statuta Roma.

ICC didasarkan pada perjanjian yang ditandatangani oleh 106 negara. Sayangnya, Amerika Serikat, yang merasa paling menghargai HAM, telah menarik dukungannya terhadap organisasi tersebut. Alasannya, bahwa partisipasi sebuah negara dalam organisasi tersebut akan mengurangi kedaulatannya, sangat tidak beralasan karena jurisdiksi ICC adalah untuk menjadi benteng perlindungan terakhir dari persetujuan kasus ketika mahkamah nasional tentang keadilan gagal merekonsiliasi kasus tersebut.

Indonesia memiliki alasan logis untuk meratifikasi perjanjian ICC; oleh karena itu, masalah tindak kekerasan HAM di Indonesia dapat dibawa ke ICC agar supaya memperoleh solusi yang sangat baik.

Kata kunci: ICC, ICJ, ratifikasi, HAM

A.Pendahuluan

Berakhirnya era Perang Dingin telah memunculkan berbagai masalah baru dalam hubungan internasional. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan kini menjadi isu yang legitimite dalam hubungan antarnegara. Hal tersebut terjadi karena maraknya pelanggaran HAM, seperti: pembunuhan massal, penganiayaan, dan pemerkosaan kebebasan umat manusia yang dilakukan oleh kelompok orang atau individu atas nama negara.1

* Dosen Fakultas Syari'ah Sunan Kalijaga Yogyakarta

1 Bartanto Bandoro, Hak Asasi Manusia: Korban Perang Dingin, Pelajaran dan Agenda untuk Indonesia, Analisis CSIS, 2, 1994, p. 158.

(2)

Setelah PBB terbentuk, dibentuklah sebuah organ judisial permanen yang bernama Internasional Court of Justice (ICJ) atau biasa disebut Mahkamah Internasional. Dalam statuta Mahkamah Internasional2 secara

tegas dinyatakan bahwa yang dapat berperkara dalam Mahkamah Internasional hanyalah negara, sehingga tidak memungkinkan seseorang diajukan atau mengajukan suatu perkara kecuali harus melibatkan negara.

Untuk mengadili individu-individu yang melakukan kejahatan

internasional yang berupa pelanggaran HAM yang berat, dibentuk pengadilan-pengadilan internasional khusus (ad-hoc), di antaranya Tokyo Trial 1946.3 Namun demikian, banyak kerumitan yang terjadi pada setiap

pembentukan tribunal tersebut, maka masyarakat internasional yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menugaskan Komisi Hukum Internasional untuk menyusun suatu draf statuta pengadilan pidana internasional permanen.

Peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center di New York merupakan pembunuhan kejam terburuk warga sipil oleh kaum teroris yang ditafsirkan sebagai ‘crime against humanity’ dan para pelakunya harus dibawa ke Mahkamah Pengadilan Internasional. Dalam konteks ini, Statuta Roma telah membuka babakan baru dalam hukum internasional yang pasti akan mempengaruhi perilaku negara sekaligus juga perilaku manusia. Mimpi untuk memiliki sebuah Mahkamah Internasional (International Criminal Court) yang mengadili kejahatan internasional sebenarnya cita-cita yang sudah lama. Terlalu banyak kejahatan internasional dan pelanggaran hak asasi manusia yang tak bisa diadili di negara tempat kejahatan tersebut terjadi karena sistem hukum yang tidak

credible atau karena merupakan kepanjangan tangan suatu kekuasaan. Singkat kata, kejahatan tanpa hukuman atau impunity merupakan kenyataan pahit yang sangat berakar, apalagi di negara yang otoriter. Indonesia, misalnya, adalah surga bagi kejahatan tanpa hukuman. Kalaupun ada pengadilan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia, pengadilan ini adalah realitas baru setelah berpuluh-puluh tahun rakyat kita dipaksa menyerah pada impunity.

Banyak tanggapan yang pro dan kontra dari masyarakat internasional terhadap pembentukan ICC ini yang tergambar dari kesediaan atau keengganannya untuk meratifikasi Statuta Roma. Dalam hal ini, Amerika sebagai negara yang merasa paling menghargai HAM ternyata menarik kembali pernyataannya untuk ikut serta dalam organisasi

2 Pasal 34 Statuta Mahkamah Internasional.

3TB. Ronny Rahman Nitibaskara, “Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional”, Kompas, 20 Februari 2002.

(3)

internasional tersebut, dan hal ini menjadi suatu fenomena besar dalam masyarakat internasional.

Dengan maraknya isu terorisme serta banyaknya pelanggaran yang terjadi di Indonesia, khususnya Pasca Jajak Pendapat di Timor-Timur dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, serta pelanggaran lain terhadap

HAM di Indonesia, maka pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad-hoc

untuk mengadili pelaku-pelaku pelanggar tersebut. Untuk kemudian pemerintah membuat suatu undang-undang anti teroris yang kehadirannya menimbulkan pro dan kontra. Meskipun demikian, Statuta Roma sebagai payung pelaksanaan pengadilan pidana, paling tidak mengilhami terbentuknya undang-undang tersebut.

Tulisan ini akan membahas beberapa persoalan di antaranya adalah mengenai respon masyarakat internasional khususnya Amerika dengan hadirnya Internasional Crime Court (ICC) dalam menangani kasus HAM yang terjadi di dunia internasional dan pengaruh Statuta Roma dalam pembentukan Hukum, khususnya mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia.

B.Sejarah Singkat Pembentukan International Criminal Court

Tanggal 1 Juli 2002 merupakan hari bersejarah bagi negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Terletak di Den Haag, Belanda, pada hari tersebut telah lahir Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), sebuah organ judisial internasional baru di samping Mahkamah Internasional (International Crourt of Justice) yang sudah ada lebih dulu yang tugasnya mengadili sengketa antar negara. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia memiliki suatu lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, menghukum individu, presiden, jenderal, panglima perang atau pun tentara bayaran yang terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pun pembantaian umat manusia (genocide).4

Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) berlaku secara efektif berdasarkan Pasal 126 Rome Statuta of the International Criminal Court 1998 (ICC-Statuta Roma) yang dideklarasikan 17 Juli 1998 di Roma, Italia. Tanggal 11 April 2002 telah genap 60 negara yang meratifikasi ICC sebagai syarat berlakunya statuta tersebut. ICC menempatkan individu sebagai subyek penanggung jawab yang berbeda dengan International

4 A. Irman Sidin, “Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma)”, Kompas, 13 Juli 2002.

(4)

Court of Justice (ICJ) yang menempatkan negara sebagai subyek hukum internasional.5

Perjalanan perang menuju pembentukan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) digambarkan oleh Prof. M. Cherif Bassiouni dalam kalimat sebagai berikut:

A journey that started in Versailles in 1919 is about to end in Rome in 1998 … This three quarter of a century journey has been long and arduous. It was also filled with missed opportunities and marked by terrible, tragadies that revaged the world. World War I was dubbed ‘the war to ned all wars’, but then came World War II with its horrors and devastation. Since than, some 205 conflicts of all sorts and victimization by tyrannical regines have resulted in an estimated 170 million casualties. Throughout this entire period of time, most of the perpetrators of genocide, crimes against humanity and war crimes have benefited from impunity.”6

Dalam kurun waktu 50 tahun, negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat adanya perkembangan kebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-Hoc tersebut adalah:

(1). Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945);

(2). Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);

(3). Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan (4). Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International

Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)-1998 dengan tempat kedudukan di Arusha. 7

Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut di atas (butir 3 dan 4) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998

5 Ibid.

6 Romli Artasasmita, “Pengadilan Pidana Internasional”, Legalitas Online, 1 Juli 2002.

(5)

b. Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkah-langkah konkrit dalam skema perlindungan HAM universal.

c. Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi;

d. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sebagian besar sudah disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan;

e. Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatan-kejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.8

Jika diteliti lebih jauh, landasan pokok pembentukan pengadilan semacam itu merupakan kesepakatan anggota PBB yang duduk dalam Dewan Keamanan. Setelah kesepakatan tercapai dengan quorum yang cukup, maka dikeluarkan resolusi. Sebagai contoh dalam pembentukan

Internasional Tribunal for Farmer Yugoslavia yang diawali Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 808 dan 827 tahun 1993. Selain resolusi, payung hukum lain atas dibentuknya pengadilan itu adalah dengan Pasal 24-25 Piagam PBB.9

Dorongan kuat masyarakat internasional untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan perubahan sikap wakil-wakil negara peserta terhadap pembentukan Mahkamah ini terjadi dari tahun 1989 sampai dengan 1998 yaitu dengan berakhirnya Perang Dingin. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (MPI) juga tidak terlepas dari peran penting yang dilakukan oleh Parliamentarians for Global Action

(PGA) sehingga terjadi adopsi Statuta Roma tersebut. PGA bekerja sama dengan Non Govermental Organization (NGO) secara terus menerus melakukan kampanye tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tersebut. Awal paling signifikan dari kerja keras ini adalah ketika 120 negara (yang ditentang oleh tujuh negara dan abstain ada dua puluh satu), kemudian 139 negara, berhasil menyepakati sebuah piagam yang akan mendasari pembentukan dan operasionalisasinya MPI, yakni

8 Gatra, II/Juli 2002.

9 TB. Romy Rahman Nitibaskara, Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional, Kompas, 20 Februari 2002.

(6)

yang dikenal dengan Statuta Roma ini untuk pertama kalinya ditandatangani negara-negara pada tanggal 17 Juli 1998.10

Sekalipun begitu banyak negara telah menandatangai Statuta Roma, namun MPI tidak dapat segera terbentuk karena ada satu syarat yang sangat berat terlebih dulu harus dipenuhi yakni perjanjian internasional tersebut harus disahkan (diratifikasi) sekurang-kurangnya enam puluh negara. Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa jumlah tersebut tidak akan bisa dicapai dalam tempo sepuluh tahun, bahkan ada yang memperkirakan tidak akan pernah tercapai sehingga Statuta Roma hanya akan merupakan perjanjian multilateral lain yang tidak efektif. Namun berkat usaha keras sejumlah negara dan LSM/NGO terutama International Coalition for the International Criminal Court, dalam waktu kurang dari empat tahun sejak Statuta Roma ditandatangani jumlah negara yang meratifikasi sudah melebihi persyaratan minimal untuk instrumen penting itu bisa berlaku (come into force). Pada tanggal resmi berdirinya MPI, 76 negara telah meratifikasinya.11

Meskipun ICC dibentuk untuk menyelesaikan kejahatan

internasional dengan segala akibat-akibatnya, namun hal ini tidaklah serta merta diterima oleh seluruh negara anggota PBB karena 3 (tiga) hal sebagai berikut:

(1). Pembentukan ICC semula dicurigai oleh negara-negara peserta sebagai salah satu bentuk campur tangan atau intervensi terhadap masalah dalam negeri sehingga dapat menganggu kedaulatan negara; (2). Pembentukan ICC sekalipun diusulkan oleh salah satu negara Afrika

(bukan negara maju), tetap tidak mengurangi kecurigaan sebagaimana telah diuraikan dalam butir 1;

(3). Draft ICC yang kemudian menjadi Statuta Roma (1998) masih mengandung kelemahan-kelemahan subtansial dan prosedural.12

C.ICC sebagai Organisasi Internasional 1. Kesekretariatan ICC

Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan di sebuah kompleks perkantoran Hipermoderen De Haagse di pinggiran kota Den Haag, pusat pemerintahan negeri Belanda. Kompleks De Haagse Arc cuma sementara, sebelum pembangunan kantor tetap di pantai Scheveningen benar-benar selesai. Dengan menyediakan De Haagse Arc sebagai kantor, maka Belanda memenuhi syarat sebagai tuan rumah Mahkamah Pidana

10 Kompas, 12 Juli 2002 11 Kompas, 8 Juli 2002

(7)

Internasional. Selama 10 tahun pertama, Mahkamah ini secara cuma-cuma dapat menempati perkantoran De Haagse Arc. Ini merupakan hadiah negeri Belanda karena sudah dipilih sebagai ibukota peradilan dunia.

Mulai tanggal 1 Juli 2002, setiap pelanggaran hak-hak asasi manusia berat yang digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional. Akan tetapi masih dibutuhkan waktu lama sebelum Mahkamah ini benar-benar menangani kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Juli 2002. 13

Den Haag, Belanda dipilih sebagai markas besar ICC berdasarkan pertimbangan bahwa Belanda selama ini telah mampu menjadi posisi sentral dalam menangani kasus-kasus yang diajukan kepada ICJ yang juga berkedudukan di sana. Selain itu, Belanda juga merupakan negara kaya yang tidak mudah diintervensi oleh pihak lain, sehingga mampu mewadahi lembaga peradilan dunia tersebut dalam menjalankan tugasnya secara independen.

Mahkamah Pidana Internasional tidak mungkin berdiri tanpa dukungan negara-negara adidaya seperti Amerika. Mahkamah Pidana Internasional misalnya sangat membutuhkan kucuran dana untuk menutupi biaya yang sangat besar. Standar gaji para hakim dan jasa mahkamah sama dengan standar gaji sekjen PBB. Dalam hal ini, negara-negara Eropa memikul 80 persen dari seluruh biaya Mahkamah Pidana Internasional, yang tiga perempat anggotanya adalah negara berkembang. Karena Mahkamah Pidana Internasional membutuhkan biaya yang sangat besar dan pendanaaannya bisa menjadi kendala terselenggaranya pengadilan pidana internasional ini, maka ditentukan bahwa dananya dipungut dari semua anggota yang ikut meratifikasi.14

Hal tersebut berbeda dengan ICJ yang memungut biaya dari pihak-pihak yang mengajukan sengketa kepadanya, karena dalam ICJ negara sebagai subjek hukum internasionallah yang berhak mengajukan sengketa, sedangkan ICC merupakan peradilan bagi individu atau kelompok yang melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia, sehingga masyarakat internasional sebagai pihak yang dirugikan, berhak mengajukannya kepada ICC.

2. ICC dalam Klasifikasi Organisasi Internasional

International Crime Court (ICC) dapat diklasifikasikan sebagai organisasi internasional publik, karena anggotanya terdiri dari pemerintahan dari berbagai negara secara umum. Berdasarkan kriteria

13 Suara Pembaharuan, 1 Juli 2002. 14 Kompas, 12 Juli 2002.

(8)

keanggotaan, ICC ini merupakan organisasi yang bersifat universal, karena keanggotaannya heterogen terbuka bagi semua negara dengan berbagai kebudayaan, pandangan politik, struktur ekonomi dan mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda-beda. 15

Menurut kriteria pemberian status organisasi internasional yang dibentuk, ICC merupakan organisasi internasional antarpemerintah karena dibentuk antarpemerintah dan tidak mempunyai status di atas negara. Posisi subordinatif adalah antara yang memerintah dan yang diperintah seperti yang berlaku dalam hukum nasional, dalam ICC tidak berlaku, karena diadopsinya prinsip dalam hukum internasional yaitu “prinsip masyarakat bangsa-bangsa” bahwa setiap negara memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek hukum internasional. Inilah yang disebut asas equality among states atau prinsip persamaan kedudukan di antara negara-negara.16

Dengan melihat pada lingkup fungsi yang harus dilaksanakan, ICC merupakan organisasi fungsional karena badan ini mempunyai tugas dan fungsi yang terbatas yaitu sebagai badan khusus PBB yang secara spesifik mengadili tindakan pidana yang dilakukan oleh individu atau kelompok dan secara teknis sebagai badan legislatif menangani kasus tersebut secara langsung.

3. Tujuan dan Prinsip ICC

Sebagaimana laiaknya suatu organisasi internasional, ICC mempunyai suatu instrumen dasar (constituent instrument) yang memuat prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi tersebut bekerja yang terangkum dalam Statuta Roma. Sesungguhnya tugas dan fungsi dari Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dan pertimbangan kebijakan yang sangat penting, bukan hanya untuk mencapai keadilan, memberantas dan mencegah kejahatan internasional melainkan juga untuk mempersiapkan, memelihara, dan memperkuat perdamaian. Yang sangat penting dari pembentukkan Mahkamah Pidana Internasional adalah bagaimana Mahkamah Pidana Internasional mampu menterjemahkan nilai-nilai moral universal yang diakui masyarakat dunia ke dalam suatu wujud reaksi kolektif yang bersifat positif.

Sebagai organisasi pada umumnya, ICC mempunyai tujuan umum yaitu:

15 Mohd, Burhan Tsani. Bahan Perkuliahan Hukum Organisasi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1997, pp. 9-10.

16 TB. Ronny Rahman Nitibaskara, “Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional”, Kompas, 20 Februari 2002.

(9)

a. Mewujudkan dan memelihara perdamaian dunia, serta keamanan internasional.

b. Mengurus serta meningkatkan kesejahteraan dunia maupun negara anggota. 17

Adapun tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, diantaranya adalah:

(1). Meningkatkan keadilan distributif; (2). Memfasilitasi aksi dari korban; (3). Pencatatan sejarah;

(4). Pemaksaan penataan nilai-nilai internasional; (5). Memperkuat resistensi individual;

(6). Pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang; (7). Mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM. 18

Secara umum, tujuan utama keberadaan lembaga tersebut adalah untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab melakukan kekejaman yang sangat keji. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.

Dengan terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional ini, berarti

sekarang masyarakat internasional memiliki sebuah pengadilan

internasional yang mampu menyeret dan menghukum orang-orang semacam Hitler, Pinochet atau Pol Pot di masa yang akan datang.

Ada beberapa prinsip-prinsip hukum yang dianut di dalam Statuta Roma (1998), dan telah disetujui oleh segenap peserta Konferensi Diplomatik di Roma. Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Komplemeritaritas atau Complementarily Principle

Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut:

“An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of internasional concern, … shall be complementary to nationl criminal jurisdiction.”

Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat untuk seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan

17 Mohd. Burhan Tsani, Ibid, p. 11. 18 Romli Artasasmita, “Pengadilan.

(10)

penyelidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional.

Prinsip ini menunjukkan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:

(1). Bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari Pengadilan Nasional dari suatu negara;

(2). Bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional.

Kedua hal yang bersifat esensial tersebut di atas dapat diukur dari standar penerimaan dan standards of admissibility19 yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut:

1). Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika:

a. Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara sungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.

b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sungguh melakukan penuntutan.

c. Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).

d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan diadili oleh Mahkamah.

2. Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy)

Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi: “No person shall be tried before another court for a crime referred to ini article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court”.

Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam pasal 20 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut:

19 Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma 1998

(11)

“No person who has been tried by another Court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the Court:

a). were the purposes of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or

b). Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in manner which, in circumstances was inconsisten with an intent to bring the person concerned to justice.

Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 3 tersebut di atas ditegaskan, bahwa terhadap kejahatan-kejahatan genocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem

dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu:

a. Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/ kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana

b. Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersangkutan.

3. Prinsip “nullum crimen sine lege”.

Prinsip ini diatur dalam Pasal 22 yang sangat dikenal dengan asas legalitas, merupakan tiang yang kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari Statuta Roma 1998 mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yaitu berbunyi:

“The definition of crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted”.

Dari ketentuan tersebut di atas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence) jika ada keragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta Roma ini, maka penafsiran atas ketentuan tersebut harus “berpihak” kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili.

Ketiga prinsip tersebut di atas hanya sebagian saja dari seluruh prinsip-prinsip yang dimuat dalam Statuta Roma 1998 yang sangat penting dan dapat dikatakan merupakan prinsip-prinsip dasar Statuta tersebut. 4. Kompetensi ICC

Berdasarkan Pasal 17, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi

the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta. ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat.

(12)

Apabila negara tersebut tidak berkeinginan (unwilling) atau ketidaksediaan (unable) untuk serius menuntaskannya, barulah kemudian menjadi jurisdiksi ICC. Oleh karena itu, ICC hanya bersifat pengadilan komplementasi atas pengadilan domestik. ICC tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002.

Indonesia, jika meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda.20

Semua dugaan delik pelanggaran HAM berat yang mengemuka saat ini tidak termasuk yurisdiksi ICC. Namun, yang perlu dicermati bahwa walaupun delik ini tidak menjadi yurisdiksi ICC, mahkamah internasional tidak tertutup kemungkinan digelar apabila kita dianggap tidak serius menuntaskannya. Melalui Resolusi DK PBB maka dapat dibentuk tribunal internasional (ad hoc court) seperti pembentukan International Tribunal for the Farmer Yugoslavia 1993 (ICTY) dan International Tribunal for Rwanda 1995

(ICTR).

ICTY ditetaskan oleh Resolusi DK PBB Nomor 808 dan 827 Tahun 1993, sedangkan ICTR oleh Resolusi DK PBB Nomor 935 dan 955 Tahun 1994 yang disandarkan pada Artikel 24 dan 25 Piagam PBB (Charter of the United Nations). Di sinilah letak perbedaan ICC dengan tribunal internasional karena ICC melaksanakan yurisdiksinya tanpa Resolusi DK PBB dan jurisdiksi delik tribunal internasional “tidak dibatasi” oleh ratione temporis, tetapi tergantung pada kasus yang mau diangkat oleh PBB, di sinilah ratione temporis diidentifikasi.

Keseriusan sebuah negara tidak diukur dengan indikator menggelar pengadilan HAM dan orang yang didakwa harus mendapatkan hukuman pidana. Keseriusan juga diukur dari kualitas fair trial yang terbuka, transparan, dan berkesanggupan. Kalau ada terdakwa yang diputus bebas oleh suatu pengadilan yang fair karena tidak terbukti sah dan menyakinkan, maka tidak serta-merta ICC atau PBB menggelar Mahkamah Intenasional. Pengadilan domestik yang menghukum terdakwa dengan sanksi pidana seadanya melalui proses unfair trial, dapat mengundang masuknya dunia internasional.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ICC merupakan suatu organisasi internasional karena sebagai badan PBB yang mempunyai perangkat norma hukum yang berhubungan dengan organisasi

20 Pasal 11 dan 12 Statuta Roma 1998.

(13)

internasional tersebut21 serta mempunyai persyaratan sebagai suatu organisasi internasional di antaranya, yaitu:

1. Merupakan suatu organisasi yang permanen untuk melaksanakan serangkaian fungsi yang berkesinambungan, yaitu dalam hal ini untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh individu atau kelompok.

2. Keanggotaannya bersifat sukarela asal memenuhi syarat yang ditentukan. Dengan adanya instrumen retifikasi yang terbuka untuk setiap negara, hal ini menunjukkan sifat kesukarelaannya tersebut. 3. Suatu instrumen pokok yang menyatakan tujuan dan struktur.

D.Respon Masyarakat Internasional terhadap Keberadaan ICC 1. ICC bagi Undang-Undang Invasi Amerika

Harapan dan kegembiraan yang menyertai kelahiran MPI ternyata tidak terwujud sepenuhnya sebagaimana yang diharapkan para pendukungnya. Dalam suatu pernyataan yang mencengangkan, pada tanggal 3 Mei 2002 pemerintah Amerika Serikat telah mencabut kembali persetujuannya atas Statuta Roma yang telah diberikan negara semasa pemerintahan Clinton. Hal tersebut sangat ironis, ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat kemanusiaan, Amerika Serikat (AS), yang distigma sebagai police of the world malah menyatakan tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan AS adalah ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya.22

Selain hal tersebut di atas, pemerintahan Bush melihat banyak kelemahan dalam Statuta Roma sehingga tidak memungkinkan negaranya menyetujuinya. Di antara alasan-alasan yang diberikan adalah bahwa berdirinya ICC akan menghilangkan sistem check and balances yang diyakini pemerintah AS dalam sistem ketatanegaraannya. Mereka melihat kekuasaan jaksa penuntut akan tidak terkendali. Kemudian berdirinya MPI akan mengambil sebagian dari kewenangan Dewan Keamanan PBB (di mana AS memiliki hak veto). AS juga percaya bahwa kekuasaan mengadili dan menghukum para penjahat tersebut lebih pantas dipegang oleh negara bukan oleh sebuah organisasi.

21 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: UI Press, 1990), pp. 1-5.

22 Office of Internatinal Information Programs, US Departement of State, Mei 2002.

(14)

Lebih lanjut, Pierre Prosper, Duta Besar Amerika Serikat untuk Masalah Kejahatan Perang, berkata “The United States is not and will not be a part of ICC,”23. Pengunduran diri Amerika Serikat dari Mahkamah

Pidana Internasional ini jelas sebuah pukulan bagi masyarakat internasional dan menunjukkan bahwa Amerika Serikat selalu menerapkan standar ganda dalam banyak hal, termasuk dalam bidang hak asasi manusia.

Puncak penolakan Amerika terhadap Mahkamah Pidana Internasional ini adalah apa yang disebut undang-undang invasi, yang memungkinkan Amerika membebaskan warga negaranya, dengan kekerasan, dari penjara milik Mahkamah yang berlokasi di dekat pantai Scheveningen.24

Sebenarnya kekhawatiran Amerika terhadap yuridiksi yang bukan Amerika ini agak berlebihan juga, karena kemungkinan seorang warga negara Amerika sampai diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional sangatlah kecil. Misalnya saja ada seorang prajurit Amerika yang ikut sebuah operasi perdamaian sampai didakwa melakukan kejahatan perang di wilayah negara anggota Mahkamah, maka Amerika Serikat sendiri yang pertama-tama harus mengadili orang ini. Mahkamah Pidana Internasional memang hanya memiliki wewenang yang menambah wewenang pengadilan dalam negeri sebuah negara anggota. Hanya kalau pengadilan nasional sebuah negara anggota tidak mampu mengadili seorang terdakwa, atau bahkan tidak mau, baru Mahkamah Pidana Internasional berwenang sepenuhnya.

Menurut penulis, alasan-alasan ini mengada-ada karena sebenarnya Statuta sendiri telah mengantisipasi hal-hal seperti ini. Mungkin alasan sebenarnya adalah kekhawatiran bahwa warga negara atau personel militer AS sendiri kemungkinan akan diseret di hadapan mahkamah ini mengingat negara adidaya ini menempatkan orang-orangnya di sekitar seratus negara di dunia. Aksi-aksi militer negara ini terhadap Irak telah mendorong sejumlah LSM/NGO internasional untuk menempatkan para petinggi AS sendiri sebagai penjahat perang. Sekarang ini bukan mustahil serangan tentara Amerika Serikat ke Afganistan dan ke Iran akan dikategorikan sebagai kejahatan perang, kejahatan agresi, dan mungkin juga sebagai crime against humanity.

Pada akhirnya, kepentingan nasional yang menentukan apakah ratifikasi itu dilakukan atau tidak. Dalam koalisi internasional, tempat Amerika Serikat meminta dukungan dalam menghadapi terorisme, skala

23 The Straits Times, 30 Maret 2002. 24 Tempo, 14 April 2002.

(15)

keangkuhan Amerika Serikat sebaiknya diturunkan. Kita semua tahu bahwa sistem peradilan di Amerika Serikat sudah sangat maju, tapi sebagai bagian dari komunitas antarbangsa, sebuah kebersamaan merupakan prasyarat mutlak yang diperlukan dalam membangun suatu perjuangan yang bahu-membahu. Pada dasarnya, kejahatan internasional adalah musuh kolektif umat manusia. Untuk menghadapinya, kita pun harus secara kolektif berjuang bersama-sama. Mahkamah Pidana Internasional seharusnya menjadi semen pengikat dari koalisi internasional dalam penegakan hak asasi manusia.

2. Implikasi Pembentukan ICC terhadap Kebijakan Legislasi di Bidang Peradilan terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia

Bertitik tolak pada latar belakang, substansi dan muatan ketentuan dalam Statuta Roma (1998), maka Indonesia yang merupakan anggota PBB dan peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik yang membahas Statuta Roma tersebut sangat berkepentingan untuk terus menerus mengikuti dan memantau pembahasan-pembahasan dalam Sidang Persiapan Konferensi Diplomatik di New York sejak bulan Maret 1999 sampai dengan bulan Desember 2000.

Perkembangan situasi politik dan keamanan di wilayah Republik Indonesia sejak masa Pemerintahan Orde Baru sampai saat ini telah membuktikan berbagai tindakan-tindakan kekerasaan oleh aparatur negara terhadap perorangan atau kelompok dalam masyarakat yang telah menimbulkan korban yang sangat banyak dan menyengsarakan.

Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama kurun waktu kurang dari 50 tahun Indonesia Merdeka telah menunjukkan bahwa suatu proses peradilan atas pelaku pelanggaran HAM merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM selama Orde Baru dan peristiwa Timor Timur telah meningkatkan intensitas tekanan-tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di luar negeri terhadap pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit mencegah dan mengatasi pelanggaran HAM yang lebih luas lagi dan menimbulkan korban yang lebih besar.

Langkah-langkah pemerintah di bidang legislasi untuk menghadapi pelanggaran HAM sudah dimulai dengan upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM (antara lain Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan peraturan perudang-undangan yang melindungi HAM (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM).

(16)

Implikasi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Statuta Roma (1998) terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia sangat mendasar karena beberapa sebab sebagai berikut:

(1). Pelanggaran HAM yang sangat berat (serious violation of human right) sudah merupakan dan dipandang oleh seluruh masyarakat internasional sebagai “serious crimes of international concern” sehingga pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata masalah hukum nasional, melainkan merupakan masalah hukum internasional. Konsekuensi logis dari dasar pemikiran tersebut, peradilan atas pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata jurisdiksi pengadilan nasional melainkan juga merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

(2). Penggolongan atas pelanggaran HAM yang sangat berat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8 Statuta Roma 1998, bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) sehingga penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan suatu pengadilan terhadap kejahatan ini memerlukan pengaturan secara khusus dan berbeda dengan pengaturan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti KUHP dan Undang-undang Pidana Khusus lainnya. (3). Institusi yang relevan dan sesuai untuk memeriksa, dan menyidik

pelanggaran HAM yang berat memerlukan prasarana dan sarana secara khusus yang memadai sehingga proses peradilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan secara “impartial”, “fair” dan “transparan” dengan mengacu kepada standar yang diakui berdasarkan hukum Internasional. 25

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat dielakkan. Perubahan mendasar tersebut adalah:

(1). Diperlukan pembentukkan Pengadilan HAM Permanen sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari dan dalam sistem kekuasaan kehakiman sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 199 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

(2). Diperlukan Hukum Acara Khusus, jika perlu ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari asas-asas umum hukum acara pidana untuk peradilan pelanggaran HAM yang sangat berat.

(3). Diperlukan lembaga khusus yang diberi wewenang melakukan penyelidikan seperti Komnas HAM dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang sudah ada.

25 A. Irmanputra Sidin, Ibid.

(17)

(4). Diperlukan penyidik khusus dan Jaksa Penuntut Umum Khusus serta Hakim Khusus seperti Penyidik Ad-Hoc, jaksa dan Hakim Ad-Hoc. (5). Diperlukan sistem pemidanaan tertentu yang berbeda dengan sistem

pemidanaan yang berlaku umum, dimana memungkinkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah hukuman seumur hidup.26

Indonesia hingga saat ini juga masih enggan untuk meratifikasi ICC, padahal kesiapan sistem penegakan hukum HAM sudah memadai. Perangkat subtansi hukum (legal subtances) terdapat Pasal 28 Perubahan II UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Pada struktur hukum (legal structure), kita memiliki pengadilan HAM permanen yang memiliki hakim ad hoc dan penuntut ad hoc. Penyelidikan atas kasus Pelanggaran HAM berat Juga diberikan Ekslusif kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).27

Meskipun demikian, secara politik posisi itu tidak menguntungkan Indonesia karena seolah-olah Indonesia berniat melindungi para pelaku pelanggaran berat HAM. Mahkamah Pidana Internasional, sebenarnya jauh lebih tidak bersifat politis dibanding keberadaan International Criminal Tribual yang bersifat ad hoc.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini memilih untuk aksesi yaitu keputusan untuk menyetujui subtansi Statuta Roma, namun belum bersifat mengikat karena belum meratifikasi statuta tersebut. Edi Sutopo, staff Departemen Luar Negeri, mengemukakan bahwa di pihak pemerintah ada dua kecenderungan yang berkembang. Pertama bahwa opsi ratifikasi tetap terbuka. Opsi kedua, bersikap menunggu dengan melihat terlebih dahulu kinerja Mahkamah Pidana Intenasional sembari meningkatkan pengadilan HAM di dalam negeri. Sekjen Komisi Nasional (Komnas) HAM pada saat itu, Asmara Nababan berpendapat tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda-nunda ratifikasi. 28

Statuta Roma karena nasionalisme tidak bisa lagi dipertentangkan dengan universalisme dan humanisme. Apalagi konstitusi telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara, terutama pemerintah, berkewajiban memajukan HAM. Mahkamah Pidana Internasional hanyalah pilihan terakhir ketika mekanisme nasional gagal mengadili para pelaku pelanggaran berat HAM. Ratifikasi itu penting, karena ada potensi pelanggaran HAM makin besar di Indonesia, antara lain berkaitan dengan

26 Kompas, 30 Juli 2002.

27 Hatta, "Menyambut Kelahiran Mahkamah Internasional", Tempo, 1 Juli 2002. 28 Kompas, 4 April 2002.

(18)

kasus di Aceh dan Papua. Ratifikasi Statuta Roma akan menyudahi pendekatan-pendektanan militeristik dan represif dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti itu.29

Oleh karena itu, tampaknya Indonesia tidak bisa lepas dari tanggung jawab internasional atas delik pelanggaran HAM berat. Di tengah menyempitnya kedaulatan domestik atas kasus pelanggaran HAM berat, maka cara yang terbaik adalah Indonesia memilih jalur “berjalan menuju Roma” atau meratifikasi ICC.

Pertimbangan politisnya, bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet maka tidak ada lagi blok yang mengimbangi hegemonik AS dan karenanya kohesi internasional ICC akan muncul sebagai blok baru. Kohesi ICC akan mengimbangi hegemonik AS (blok lama) terlebih lagi setelah AS menyatakan diri tidak berkohesi dengan komunitas ICC. Kita tidak memprediksikan bahwa negara-negara yang kurang respek dengan Indonesia (anggapan melindungi teroris) akan menganggu ketenangan domestik.

Pertimbangan hukumnya, ICC perlu untuk terbentuknya kepastian hukum dan sebagai sarana hukum terakhir dalam menangani kasus pidana berat yang terjadi di Indonesia dan tidak dapat ditangani oleh perangkat hukum nasional. Dan dengan keikutsertaan Indonesia dalam ICC, maka keberadaan Indonesia sebagai subyek hukum Internasional lebih diakui.

E.Penutup

Bagi masyarakat internasional, terbentuknya ICC cukup memberi harapan bagi mereka yang bercita-cita menegakkan Rule of Law secara internasional. Di mana kepentingan hukum ditempatkan di atas kepentingan politik. Demokratisasi yang mewarnai proses negoisasi serta partisipasi yang sangat luas dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan internasional ini tampaknya mengalahkan pertimbangan-pertimbangan politik dan ideologis.

Amerika Serikat nampaknya tetap berupaya menghindari Mahkamah Pidana Internasional, dengan alasan Amerika sudah mengancam untuk menggunakan kekerasan militer dalam upaya membebaskan warganya kalau sampai ada yang ditahan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Argumentasi penolakan AS bahwa ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan dan mengancam kedaulatannya adalah alasan yang mengada-ada.

29 Kompas, 4 April 2002.

(19)

Mendukung ICC merupakan suatu langkah yang positif bagi suatu negara yang kini sedang disorot akibat pelanggaran HAM para aparatnya di masa lampau, terlebih lagi dengan adanya isu terorisme di Indonesia. Setidak-tidaknya ada dua aspek positif jika kita menjadi pendukung ICC. Pertama, terangkat citra kita sebagai negara yang memiliki keinginan politik untuk melihat para pelanggara HAM berat diadili dan dijatuhi hukuman seadil-adilnya menurut ukuran negara-negara beradab. Kedua, mendukung ICC berarti akan memperkuat usaha penegakan hukum di dalam negeri sendiri, paling tidak Pengadilan HAM benar-benar akan melaksanakan proses hukum secara benar (due process of Law), jika Indonesia tidak ingin diaggap “unwilling of unable”.

Indonesia hendaknya selalu peka terhadap situasi yang terjadi dalam dunia internasional khususnya sekarang ini masyarakat sedang dihebohkan dengan adanya isu teroris yang mengancam keselamatan umat manusia seluruhnya. Terlebih lagi, banyaknya anggapan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara “gembong teroris”, harus disikapi dan dibuktikan kepada dunia atas ketidakbenaran hal tersebut. Hal ini sangat penting mengingat terancamnya kedaulatan negara serta keselamatan rakyat Indonesia baik yang berada di luar maupun di dalam negeri akan adanya kecurigaan tersebut. Maka pemerintah harus segera membuat hukum positif yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang cinta damai serta menghargai HAM. Undang-undang yang melindungi hak-hak warga negara dalam bidang apapun baik itu perbuatan ataupun pendidikan, hendakya menjadi agenda penting yang harus segera dilaksanakan.

(20)

Daftar Pustaka

Artasasmita, Romli, Pengadilan Pidana Internasional, Legalitas Online, 1 Juli 2002.

Bandoro, Bartanto, Asasi Manusia; Korban Perang Dingin, Pelajaran dan Agenda untuk Indonesia, Analisis CSIS 2, 1994.

Hatta, "Menyambut Kelahiran Mahkamag Internasional", Tempo, 1 Juli 2002.

Nitibaskara, TB. Ronny Rahman, "Pengadilan HAM dan Masyarakat Internasional", Kompas, 20 Februari 2002.

Sidin, A. Irmanputra, "Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma)", Kompas, 13 Juli 2002.

Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI Press, 1990.

Tsani, Mohd. Burhan, Bahan Perkuliahan Hukum Organisasi Internasional,

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1997. ________, Gatra, II/Juli 2002.

________, Kompas, 30 Juli 2002. ________, Kompas, 4 April 2002. ________, Kompas, 12 Juli 2002. ________, Kompas, 8 Juli 2002.

________, Office of International Information Programs, US Departement of State, Mei 2002.

________, Statuta Mahkamah Internasional. ________, Statuta Roma 1998.

________, Suara Pembaruan, 1 Juli 2002. ________, The Straits Times, 30 Maret 2002. ________, Tempo, 14 April 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi Public Relations dalam Komunikasi Pemasaran menjadi salah satu bagian yang amat penting. Sebab Public Relations sendiri memiliki fungsi dan peran yang

Berbagai arahan dari Guru pamong dan Dosen Pembimbing sangat membantu praktikan dalam melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan di SMA N 1 KENDAL, sehingga dapat

Kerja sama pembangunan dengan BUMN, BUMD, maupun pihak swasta baik dari dalam maupun luar negeri penting dilakukan agar anggaran yang dialokasikan APBN dapat dialihkan

KODE PROGRAM UNTUK

Sego Kokoh is rice which symbolize the power of cardinal direction of the universe. The implementation of Boyong Dewi Sri traditionis a representation of highSradha

Penentuan harga yang berorientasi pada harga pokok perusahaan saingan, juga terjadi pada penjualan barang atau jasa secara lelang atau tender Perusahaan selalu memperkirakan

Artifisial, yaitu RAP yang dibuat dengan menggunakan material sisa-sisa sampel pada praktikum bahan perkerasan yang dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil

³%DKZD SHUOX GLDGDNDQ Undang-Undangtentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan sehingga khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu