• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK SERANGAN SEKUNDER PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT DI LAHAN SULFAT MASAM DENGAN TATA KELOLA AIR YANG TIDAK OPTIMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK SERANGAN SEKUNDER PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT DI LAHAN SULFAT MASAM DENGAN TATA KELOLA AIR YANG TIDAK OPTIMAL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK SERANGAN SEKUNDER PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA

SAWIT DI LAHAN SULFAT MASAM DENGAN TATA KELOLA AIR YANG

TIDAK OPTIMAL

menurut (Fitzpatrick et al., (2005) didefinisikan sebagai tanah utama yang mengandung bahan-bahan yang dapat dikenali sebagai mineral sulfida terutama berupa pirit (FeS2) atau iron monosulfide (FeS). Dalam taksonomi tanah, bahan-bahan tersebut dikenal sebagai bahan sulfidik yang pada kondisi alami berada pada kondisi jenuh permanen (anaerobic) dengan kedalaman lapisan sulfidik yang bervariasi tergantung proses pedogenesisnya (Soil Survey Staff, 2004). Lapisan sulfidik (pirit) akan mengalami oksidasi jika lingkungan berada pada kondisi aerobic yaitu air berada di bawah lapisan sulfidik dan akan menyebabkan pH yang sangat rendah atau sangat masam (Gomes, Ker, Ferreira, Dos Santos Moreau, & Moreau, 2016). Kondisi aerobic pada tanah sulfat masam untuk budidaya kelapa sawit dapat terjadi karena pembuatan parit drainase dengan sistem tata kelola air yang tidak mempertimbangkan kedalaman lapisan sulfidik sehingga muka air tanah berada di bawah lapisan sulfidik. Teroksidasinya lapisan pirit akan menyebabkan kemasaman tanah <3 dan akan

Heri Santoso dan Agus Susanto

PENDAHULUAN

Pengembangan perkebunan kelapa sawit ke lahan pasang surut umumnya terjadi sebelum diberlakukannya moratorium pemberian ijin baru (Inpres Nomor 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit) untuk ekstensifikasi melalui budidaya tanaman kelapa sawit di lahan pasang surut harus didasarkan pada karakteristik lahan pasang surut sehingga tercipta usaha perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Secara fisiografi, lahan pasang surut dipengaruhi oleh adanya proses limpasan air pasang laut. Tanah yang berkembang di lahan pasang surut dikenal dengan nama tanah sulfat masam (acid sulfate soils) yang

Abstrak - Tata kelola air merupakan kunci sukses pengelolaan perkebunan kelapa sawit di lahan pasang surut.

Tantangan utama pengelolaan lahan pasang surut untuk perkebunan kelapa sawit adalah potensi kemasaman tanah karena teroksidasinya lapisan pirit dan akumulasinya garam-garam yang menyebabkan peningkatan tingkat salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak sekunder dari kondisi tata kelola air yang kurang optimal di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang tanaman kelapa sawitnya banyak mengalami pelepah bawah kering, daun tombak tidak membuka lebih dari 3, pelepah bawah sengkleh, batang berlubang, tanaman tumbang, dan tanaman mati. Hasil observasi menunjukkan adanya lapisan pirit pada kedalaman 50-60 cm dan telah terjadi oksidasi pirit akibat turunnya muka air saat terjadi kemarau panjang sekitar 6 bulan.Tata kelola air belum mendukung proses pencucian unsur-unsur yang bersifat meracun bagi tanaman akibat kemasaman yang tinggi serta kemungkinan salinitas yang tinggi. Dampaknya, akar tanaman layu dan tanaman kelapa sawit menjadi lemah. Hal tersebut mendorong terjadinya serangan sekunder berupa munculnya jamur Fomitopsis pinicola yang mempunyai kemampuan mendegradasi jaringan tanaman yang kuat. Kerusakan jaringan tanaman menyebabkan tanaman tumbang dan mati dengan intensitas serangan yang mengelompok mengikuti pola areal yang mengalami oksidasi pirit. Langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dampak serangan sekunder dari jamur ini adalah perbaikan tata kelola air yang berfungsi ganda yaitu mempertahankan permukaan air di atas lapisan pirit dan pencucian unsur beracun serta garam-garam yang terendapkan di areal perakaran secara periodik.

Kata kunci: pasang surut, pirit, Fomitopsis pinicola, tata kelola air

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Heri Santoso( )*

Jl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, Indonesia Email: hs_jmp@yahoo.com

PENGANTAR REDAKSI

WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit adalah merupakan media publikasi ilmiah bagi para pakar, peneliti, praktisi, dan seluruh elemen yang terlibat di dalam industri kelapa sawit Indonesia. WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini berisi informasi hasil penelitian, kajian, maupun pengalaman di lapangan mengenai industri kelapa sawit. Berbagi informasi untuk perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia akan mempercepat peningkatan daya saing kelapa sawit Indonesia di dunia internasional. Saran perbaikan dan ide-ide pembaharuan untuk perbaikan WARTA ini sangat kami harapkan. Partisipasi aktif dari para pakar, peneliti, dan praktisi industri kelapa sawit di Indonesia sangat kami harapkan untuk lebih menghidupkan media publikasi ilmiah ini.

WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit Volume 25 Nomor 3 terbit dengan menyajikan artikel: Dampak serangan sekunder pada budidaya tanaman kelapa sawit di lahan sulfat masam dengan tata kelola air yang tidak optimal, Perbandingan metode pemurnian dalam penentuan residu parakuat diklorida pada minyak sawit, kejadian penyakit busuk pangkal batang pada tanaman belum menghasilkan varietas toleran ganoderma dengan sistem lubang tanam standar, ledakan hama minor ulat api kecil Olona gateri dan Penthocrates sp. (Lepidoptera: Limacodidae) di perkebunan kelapa sawit, Penerapan metode FTSW (Fraction to ranspirable oil aterT S W ) dalam

skrining tanaman kelapa sawit toleran kekeringan, dan Pentingnya bahan organik untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukan di perkebunan kelapa sawit.

Redaksi WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit mengharapkan di masa mendatang tulisantulisan mengenai kelapa sawit dari peneliti dan praktisi industri kelapa sawit yang akan bermanfaat bagi stakeholder dan industri perkelapasawitan.

Salam,

Redaksi Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(2)

tanah, dan adanya bau belerang (H S) pada tanah 2 yang terganggu atau hasil galian parit. Oksidasi lapisan pirit akan terjadi selain karena penggalian parit juga disebabkan oleh muka air tanah yang berada di bawah lapisan pirit. Lapisan pirit hanya akan stabil pada kondisi reduksi atau muka air tanah berada di atas lapisan pirit.

Data kebun menunjukkan adanya 6 bulan kering (curah hujan < 60 mm) pada tahun 2019 yaitu pada bulan Mei sampai dengan Oktober (Gambar 2). Bulan kering yang panjang tersebut menyebabkan muka air tanah turun dan diperkirakan berada di bawah lapisan pirit yang dari hasil pengeboran berada pada kedalaman 50-60 cm.

Kunjungan dan observasi dilakukan pada beberapa blok tanaman kelapa sawit yang mengalami pelepah bawah mengering, pelepah bawah sengkleh 1-3 tingkat, tanaman tumbang, terdapat lubang di pangkal bawah, dan tanaman mati. Identifikasi terhadap indikasi adanya serangan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mencakup jenis patogen, tempat munculnya patogen, dan karakteristiknya. Identifikasi karakteristik

environments (lingkungan) mencakup kondisi iklim

(curah hujan dan bulan kering), tanah, dan drainase. Identifikasi kondisi tanah dilakukan dengan menggunakan bor tanah sedalam 120 cm dengan parameter yang diamati adalah kedalaman lapisan organik dan adanya lapisan sulfidik (FeS ) dengan 2 larutan hydrogen peroxide (H O 10%) berdasarkan 2 2 hasil penelitian Jennings et al.,(2000) pirit dapat bereaksi dengan larutan tersebut. Sedangkan identifikasi terhadap tanaman mencakup kondisi kanopi, batang, dan perakaran dengan pengamatan visual di lapangan. Diskusi di lapangan dengan manajemen kebun merupakan bagian dari kegiatan identifikasi dan observasi terutama terkait riwayat tanaman, iklim, pengelolaan kebun, dan tindakan yang sudah dilakukan.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Lingkungan

Berdasarkan peta kedalaman pirit, tanah yang berkembang di areal observasi terdapat lapisan pirit (FeS ) dengan berbagai kedalaman 2 dari permukaan tanah. Pengeboran tanah dengan bor tanah (120 cm) menunjukkan lapisan atas berupa lapisan organik dengan berbagai ketebalan dan adanya lapisan pirit pada kedalaman 50-60 cm terutama di 3 titik observasi. Lapisan pirit diidentifikasi dengan meneteskan larutan H O 10% pada lapisan tanah yang jika terdapat 2 2 lapisan pirit (Gambar 1), tanah akan bereaksi (berbuih).

Adanya lapisan pirit dalam lapisan tanah menunjukkan areal tersebut dipengaruhi oleh air pasang surut sungai yang umumnya dekat dengan laut. Indikator lain adanya areal pasang surut dan berpirit antara lain adalah adanya tanaman gelam, rumput purun, rumput perupuk (Phragmites karka), adanya hutan mangrove, ber cak jarosite berwarna kekuningan jerami pada menyebabkan terlepasnya unsur-unsur beracun 3+ 3+ 2+

seperti Fe ; Al ; dan Mn . Kemasaman yang tinggi beserta unsur-unsur beracun tersebut akan berdampak pada tanaman dan membunuh ikan (Fitzpatrick et al., 2015).

Selain permasalahan pirit, menurut Santoso and Winarna, (2013) di perkebunan kelapa sawit pada lahan pasang surut terdapat potensi terjadinya plasmolisis karena akumulasi garam yang tinggi pada daerah perakaran sebagai akibat proses pencucian garam-garam di dalam lahan perkebunan kelapa sawit tidak berjalan dengan baik. Tanaman kelapa sawit yang mengalami plasmolisis menunjukkan visualisasi berupa 3-4 tingkat pelapah tua (bawah) kering dengan daun muda yang menguning. Lebih detil Santoso and Winarna (2013) menjelaskan pada tanaman yang mengalami pelepah bawah kering, akar tanaman layu, dan menghitam serta nilai daya hantar listrik di daerah perakaran antara 11,59-16,63 mS/cm (sangat tinggi). Hal tersebut menjadi ancaman yang serius jika tata kelola air tidak bisa mengakomodir proses penggenangan serta pencucian garam-garam dan unsur-unsur beracun lainnya dari dalam tanah. Penelitian ini betujuan untuk mengevaluasi dampak sekunder dari kondisi tata kelola air yang kurang optimal di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang tanaman kelapa sawitnya banyak mengalami pelepah bawah kering, daun tombak tidak membuka lebih dari 3, pelepah bawah sengkleh, batang berlubang, tanaman tumbang, dan tanaman mati.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di salah satu perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki areal pasang surut dengan berbagai kedalaman pirit. Di beberapa areal kebun terutama pada areal dengan kedalaman pirit yang dangkal (<60 cm), tanaman mengalami pelepah bawah mengering, pelepah bawah sengkleh 1-3 tingkat, tanaman tumbang, terdapat lubang di pangkal bawah, dan tanaman mati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan yang meliputi kondisi lingkungan (lahan dan iklim), tanaman, dan potensi adanya patogen yang menyerang tanaman kelapa sawit. Prinsip observasi ini mengadopsi prinsip triangle disease yaitu pathogen, environments, dan

host (Brader et al., 2017; Francl, 2007).

Tanaman

Pengamatan terhadap kondisi tanaman tahun tanam 2008/2009 memiliki variasi dengan satu atau beberapa kombinasi dari gejala visual (Gambar 3) sebagai berikut:

a) Daun tombak tidak membuka lebih dari tiga. b) Pelepah tua (bawah) mengering dan sengkleh.

c) Pelepah tengah yang masih hijau mengalami sengkleh.

d) Batang tanaman bagian bawah mengalami pembusukan.

e) Tanaman tumbang sebagai akibat pembusukan bagian bawah dan berkurangnya kemampuan menopang batang dan kanopi.

f) Akar tanaman pada batang yang tumbang Gambar 1. Tanah yang diambil dengan bor tanah pada lapisan sulfidik memberikan reaksi berbuih setelah

ditambah H O 10%2 2

Gambar 2. Curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) tahun 2014-2019 di lokasi observasi Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(3)

tanah, dan adanya bau belerang (H S) pada tanah 2 yang terganggu atau hasil galian parit. Oksidasi lapisan pirit akan terjadi selain karena penggalian parit juga disebabkan oleh muka air tanah yang berada di bawah lapisan pirit. Lapisan pirit hanya akan stabil pada kondisi reduksi atau muka air tanah berada di atas lapisan pirit.

Data kebun menunjukkan adanya 6 bulan kering (curah hujan < 60 mm) pada tahun 2019 yaitu pada bulan Mei sampai dengan Oktober (Gambar 2). Bulan kering yang panjang tersebut menyebabkan muka air tanah turun dan diperkirakan berada di bawah lapisan pirit yang dari hasil pengeboran berada pada kedalaman 50-60 cm.

Kunjungan dan observasi dilakukan pada beberapa blok tanaman kelapa sawit yang mengalami pelepah bawah mengering, pelepah bawah sengkleh 1-3 tingkat, tanaman tumbang, terdapat lubang di pangkal bawah, dan tanaman mati. Identifikasi terhadap indikasi adanya serangan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mencakup jenis patogen, tempat munculnya patogen, dan karakteristiknya. Identifikasi karakteristik

environments (lingkungan) mencakup kondisi iklim

(curah hujan dan bulan kering), tanah, dan drainase. Identifikasi kondisi tanah dilakukan dengan menggunakan bor tanah sedalam 120 cm dengan parameter yang diamati adalah kedalaman lapisan organik dan adanya lapisan sulfidik (FeS ) dengan 2 larutan hydrogen peroxide (H O 10%) berdasarkan 2 2 hasil penelitian Jennings et al.,(2000) pirit dapat bereaksi dengan larutan tersebut. Sedangkan identifikasi terhadap tanaman mencakup kondisi kanopi, batang, dan perakaran dengan pengamatan visual di lapangan. Diskusi di lapangan dengan manajemen kebun merupakan bagian dari kegiatan identifikasi dan observasi terutama terkait riwayat tanaman, iklim, pengelolaan kebun, dan tindakan yang sudah dilakukan.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Lingkungan

Berdasarkan peta kedalaman pirit, tanah yang berkembang di areal observasi terdapat lapisan pirit (FeS ) dengan berbagai kedalaman 2 dari permukaan tanah. Pengeboran tanah dengan bor tanah (120 cm) menunjukkan lapisan atas berupa lapisan organik dengan berbagai ketebalan dan adanya lapisan pirit pada kedalaman 50-60 cm terutama di 3 titik observasi. Lapisan pirit diidentifikasi dengan meneteskan larutan H O 10% pada lapisan tanah yang jika terdapat 2 2 lapisan pirit (Gambar 1), tanah akan bereaksi (berbuih).

Adanya lapisan pirit dalam lapisan tanah menunjukkan areal tersebut dipengaruhi oleh air pasang surut sungai yang umumnya dekat dengan laut. Indikator lain adanya areal pasang surut dan berpirit antara lain adalah adanya tanaman gelam, rumput purun, rumput perupuk (Phragmites karka), adanya hutan mangrove, ber cak jarosite berwarna kekuningan jerami pada menyebabkan terlepasnya unsur-unsur beracun 3+ 3+ 2+

seperti Fe ; Al ; dan Mn . Kemasaman yang tinggi beserta unsur-unsur beracun tersebut akan berdampak pada tanaman dan membunuh ikan (Fitzpatrick et al., 2015).

Selain permasalahan pirit, menurut Santoso and Winarna, (2013) di perkebunan kelapa sawit pada lahan pasang surut terdapat potensi terjadinya plasmolisis karena akumulasi garam yang tinggi pada daerah perakaran sebagai akibat proses pencucian garam-garam di dalam lahan perkebunan kelapa sawit tidak berjalan dengan baik. Tanaman kelapa sawit yang mengalami plasmolisis menunjukkan visualisasi berupa 3-4 tingkat pelapah tua (bawah) kering dengan daun muda yang menguning. Lebih detil Santoso and Winarna (2013) menjelaskan pada tanaman yang mengalami pelepah bawah kering, akar tanaman layu, dan menghitam serta nilai daya hantar listrik di daerah perakaran antara 11,59-16,63 mS/cm (sangat tinggi). Hal tersebut menjadi ancaman yang serius jika tata kelola air tidak bisa mengakomodir proses penggenangan serta pencucian garam-garam dan unsur-unsur beracun lainnya dari dalam tanah. Penelitian ini betujuan untuk mengevaluasi dampak sekunder dari kondisi tata kelola air yang kurang optimal di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang tanaman kelapa sawitnya banyak mengalami pelepah bawah kering, daun tombak tidak membuka lebih dari 3, pelepah bawah sengkleh, batang berlubang, tanaman tumbang, dan tanaman mati.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di salah satu perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki areal pasang surut dengan berbagai kedalaman pirit. Di beberapa areal kebun terutama pada areal dengan kedalaman pirit yang dangkal (<60 cm), tanaman mengalami pelepah bawah mengering, pelepah bawah sengkleh 1-3 tingkat, tanaman tumbang, terdapat lubang di pangkal bawah, dan tanaman mati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan yang meliputi kondisi lingkungan (lahan dan iklim), tanaman, dan potensi adanya patogen yang menyerang tanaman kelapa sawit. Prinsip observasi ini mengadopsi prinsip triangle disease yaitu pathogen, environments, dan

host (Brader et al., 2017; Francl, 2007).

Tanaman

Pengamatan terhadap kondisi tanaman tahun tanam 2008/2009 memiliki variasi dengan satu atau beberapa kombinasi dari gejala visual (Gambar 3) sebagai berikut:

a) Daun tombak tidak membuka lebih dari tiga. b) Pelepah tua (bawah) mengering dan sengkleh.

c) Pelepah tengah yang masih hijau mengalami sengkleh.

d) Batang tanaman bagian bawah mengalami pembusukan.

e) Tanaman tumbang sebagai akibat pembusukan bagian bawah dan berkurangnya kemampuan menopang batang dan kanopi.

f) Akar tanaman pada batang yang tumbang Gambar 1. Tanah yang diambil dengan bor tanah pada lapisan sulfidik memberikan reaksi berbuih setelah

ditambah H O 10%2 2

Gambar 2. Curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) tahun 2014-2019 di lokasi observasi Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(4)

Gambar 3. Kondisi tanaman di blok pengamatan menunjukkan akar mengalami pembusukan.

g) Adanya patogen dengan munculnya tubuh buah pada pangkal batang tanaman kelapa sawit dan di piringan pohon.

Tanaman kelapa sawit dengan gejala daun tombak yang tidak membuka, pelepah bawah

mengering dan sengkleh, dan pelepah tengah yang masih hijau sengkleh menurut Henry and Wan (2012) dan Santoso and Winarna (2013) karena kandungan garam (salinitas) yang tinggi di daerah perakaran. Pada pengamatan ini salinitas tidak dilakukan pengamatan karena alat tidak tersedia.

Teridentifikasinya patogen berupa munculnya tubuh buah pada pangkal batang tanaman kelapa sawit yang mirip serangan penyakit busuk pangkal batang karena jamur Ganoderma boninense yang dapat dijumpai di pangkal batang tanaman kelapa sawit ini menimbulkan kekhawatiran munculnya

penyakit baru, sehingga dilakukan sensus. Hasil sensus dari pihak kebun dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut di atas antara lain dijumpai di Blok A sebanyak 33 tanaman kelapa sawit terserang dengan perincian 2 tanaman tumbang, 28 tanaman mengalami pelepah kering, dan 3 tanaman terindikasi awal berupa

daun tombak tidak membuka lebih dari 3 dan pelepah sengkleh. Di Blok B terindikasi terserang 51 tanaman kelapa sawit dengan 17 tanaman tumbang dan 44 tanaman mengalami pelepah kering.Tanaman kelapa sawit di Blok C terindikasi terserang sebanyak 716 tanaman kelapa sawit dengan 5 tanaman tumbang dan 668 tanaman mengalami pelepah kering. Blok D terindikasi terserang lebih parah dengan jumlah 2.017 tanaman kelapa sawit.

Ganoderma boninense), berwarna kuning belerang

sampai kuning kecoklatan, dan dapat dijumpai menempel di pangkal batang kelapa sawit dan di piringan pohon (Gambar 4). Dari karakteristik

tersebut patogen tersebut dikenal dengan nama

Fomitopsis pinicola (FP). FP ini mempunyai

kemampuan mendegradasi komponen kayu seperti selulosa dan lignin (Son et al., 2011).

Patogen

Pengamatan terhadap patogen di tanaman dan sekitar tanaman yaitu di piringan pohon menunjukkan adanya tubuh buah jamur. Berdasarkan karakteristik patogen yang dijumpai, jamur tersebut tergolong dalam Basidiomycetes yang bertipe lemah. Mempunyai tubuh buah yang tidak keras (berbeda dengan tubuh buah jamur

Gambar 4. Fomitopsis pinicola yang tumbuh di pangkal batang dan piringan pohon sawit. Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(5)

Gambar 3. Kondisi tanaman di blok pengamatan menunjukkan akar mengalami pembusukan.

g) Adanya patogen dengan munculnya tubuh buah pada pangkal batang tanaman kelapa sawit dan di piringan pohon.

Tanaman kelapa sawit dengan gejala daun tombak yang tidak membuka, pelepah bawah

mengering dan sengkleh, dan pelepah tengah yang masih hijau sengkleh menurut Henry and Wan (2012) dan Santoso and Winarna (2013) karena kandungan garam (salinitas) yang tinggi di daerah perakaran. Pada pengamatan ini salinitas tidak dilakukan pengamatan karena alat tidak tersedia.

Teridentifikasinya patogen berupa munculnya tubuh buah pada pangkal batang tanaman kelapa sawit yang mirip serangan penyakit busuk pangkal batang karena jamur Ganoderma boninense yang dapat dijumpai di pangkal batang tanaman kelapa sawit ini menimbulkan kekhawatiran munculnya

penyakit baru, sehingga dilakukan sensus. Hasil sensus dari pihak kebun dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut di atas antara lain dijumpai di Blok A sebanyak 33 tanaman kelapa sawit terserang dengan perincian 2 tanaman tumbang, 28 tanaman mengalami pelepah kering, dan 3 tanaman terindikasi awal berupa

daun tombak tidak membuka lebih dari 3 dan pelepah sengkleh. Di Blok B terindikasi terserang 51 tanaman kelapa sawit dengan 17 tanaman tumbang dan 44 tanaman mengalami pelepah kering.Tanaman kelapa sawit di Blok C terindikasi terserang sebanyak 716 tanaman kelapa sawit dengan 5 tanaman tumbang dan 668 tanaman mengalami pelepah kering. Blok D terindikasi terserang lebih parah dengan jumlah 2.017 tanaman kelapa sawit.

Ganoderma boninense), berwarna kuning belerang

sampai kuning kecoklatan, dan dapat dijumpai menempel di pangkal batang kelapa sawit dan di piringan pohon (Gambar 4). Dari karakteristik

tersebut patogen tersebut dikenal dengan nama

Fomitopsis pinicola (FP). FP ini mempunyai

kemampuan mendegradasi komponen kayu seperti selulosa dan lignin (Son et al., 2011).

Patogen

Pengamatan terhadap patogen di tanaman dan sekitar tanaman yaitu di piringan pohon menunjukkan adanya tubuh buah jamur. Berdasarkan karakteristik patogen yang dijumpai, jamur tersebut tergolong dalam Basidiomycetes yang bertipe lemah. Mempunyai tubuh buah yang tidak keras (berbeda dengan tubuh buah jamur

Gambar 4. Fomitopsis pinicola yang tumbuh di pangkal batang dan piringan pohon sawit. Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(6)

Interaksi Antara Lingkungan, Tanaman, dan Patogen

Lapisan pirit 50-60 cm agar tidak terjadi oksidasi harus berada pada kondisi reduksi atau tinggi muka air tanah di atas lapisan pirit. Kejadian enam bulan kering pada tahun 2019 menyebabkan muka air tanah turun dan diperkirakan levelnya berada di bawah lapisan pirit. Hal tersebut menyebabkan terjadinya oksidasi lapisan pirit, reaksi kimia akan berlangsung jika ada air yang akan melepaskan ion hidrogen dan menyebabkan kemasaman tanah meningkat. Reaksi kimia dari pirit yang teroksidasi dan mengakibatkan kemasaman tanah meningkat seperti yang disampaikan oleh Dent (1986) dan Gomes et al., (2016) adalah sebagai berikut:

2- +

FeS + 15/4 O + 7/2 H O Fe(OH) + 2SO + 4H2 2 2 3 4 Pirit Oksigen Air Koloidbesi III Asam Sulfat Jika pH dari proses oksidasi ini lebih kecil dari 4 dan + semakin masam akan menyebabkan kelarutan Fe3 semakin tinggi dan mengoksidasi pirit dengan cepat. + Reaksi tersebut dipengaruhi oleh adanya Fe3 , reaksi + kimia antara pirit dan Fe3 adalah sebagai berikut:

3+ 2+ 2- +

FeS + 14Fe + 8H O 15Fe + 2SO + 16H2 2 4

Kemasaman tanah yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya kelarutan/ketersediaan 3+ 3+ 2+ Fe ; Al ; dan Mn+ yang bersifat racun bagi tanaman. Ion Al3 yang bebas akan mendesak kation K, Ca, dan Mg dari komplek jerapan, begitu juga dengan ketersediaan fosfat akan bekurang karena terikat oleh besi dan aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminium fosfat. Dengan demikian tanah akan menjadi miskin hara karena kation basa terikut dalam pencucian air drainase baik secara vertikal maupun horizontal (Suastika, Hartatik, & Subiksa, 2014). Pada kondisi areal dengan genangan air tanpa sirkulasi air yang baik terdapat potensi tanaman mengalami keracunan besi II dan hidrogen sulfida. Sirkulasi air yang tidak baik akan mendorong akumulasi garam pada daerah perakaran sawit dan dapat menyebabkan plasmolisis. Kondisi ini akan menyebabkan akar tanaman kelapa sawit menjadi busuk dan mengganggu penyerapan air dan hara dari tanah. Tanaman menunjukkan gejala seperti stress karena cekaman kekeringan yaitu daun tombak tidak membuka, pelepah sengkleh dan pelepah tua mengering. Dengan terganggunya serapan air dan

nutrisi tanaman maka tanaman akan lemah.

Tanaman kelapa sawit yang lemah akan mendorong munculnya serangan sekunder dari

Basidiomycetes yaitu jamur FP. Jamur ini menjadi

parasit bagi tanaman kelapa sawit yang menyebabkan pembusukan jaringan tanaman berwarna coklat (browncubical rot). Dengan demikian jamur FP merupakan serangan sekunder dari kejadian tanaman kelapa sawit yang mengalami daun kering, sengkleh, daun tombak tidak membuka, dan tanaman tumbang. Pemicu utama adalah tanaman kelapa sawit mengalami keracunan akibat teroksidasinya lapisan pirit dan kemungkinan tingginya salinitas di daerah perakaran sebagai dampak kemarau panjang sekitar 6 bulan. Kondisi jaringan tanaman yang lemah dan layu mendorong tumbuhnya jamur FP di batang sawit dan piringan. Serangan sekunder dari jamur FP ini lebih berdampak merusak bagi tanaman kelapa sawit dengan intensitas serangan yang menggerombol mengikuti pola kondisi areal yang mengalami oksidasi pirit dan salinitas tinggi. Beberapa spesies jamur yang muncul setelah serangan kumbang (Dendroctonus ponderosae) menyebabkan kehilangan 50% masa kayu setelah 12 minggu (Son et al., 2011).

Saran teknis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak sekunder dari serangan jamur FP:

a) Memperbaiki tata air (water management) untuk mendukung proses sirkulasi air yang baik, sehingga mampu mendukung proses pencucian zat-zat beracun bagi tanaman; mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran; dan mengatur muka air agar tidak terjadi oksidasi pirit. b) Pada tanah sulfidik yang mempunyai lapisan

organik (gambut), muka air tanah harus dipertahankan pada level di atas lapisan pirit. c) Untuk mendukung kegiatan water management

agar melakukan pengukuran mikrotopografi. d) Kegiatan moulding tanaman kelapa sawit yang

doyong harus mempertimbangkan kedalaman lapisan pirit. Pada areal dengan kedalaman lapisan pirit < 50 cm, tanah moulding harus diambil dari tanah permukaan.

e) Pengutipan tubuh buah (fruit body) dan aplikasi

Trichoderma dapat dilakukan.

Kesimpulan

Lapisan pirit yang teroksidasi akan menyebabkan kemasaman tanah dan mendorong meningkatnya 3+ 3+ 2+ ketersediaan Fe ; Al ; dan Mn dalam tanah yang bersifat racun bagi tanaman. Pada areal pasang surut dengan tata kelola air yang tidak memungkinkan pencucian garam-garam secara periodik akan menyebabkan peningkatan salinitas tanah. Kondisi tanah yang sangat asam dan salinitas tinggi menyebabkan kerusakan jaringan tanaman kelapa sawit yang dimulai dari akar layu dan tanaman menjadi lemah. Jaringan tanaman yang lemah dan layu mendorong munculnya serangan sekunder berupa serangan jamur Fomitopsis pinicola. Serangan jamur ini dapat menyebabkan degradasi jaringan tanaman dan menyebabkan tanaman kelapa sawit tumbang dan mati. Tahap pengelolaan untuk mengurangi dampak serang sekunder dari jamur ini adalah memperbaiki tata kelola air sehingga memungkinkan menjaga permukaan air di atas lapisan pirit dan melakukan pencucian secara periodik terhadap unsur-unsur meracun serta garam-garam yang terendapkan di daerah perakaran. Kondisi media tumbuh yang baik dan mendukung bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkatkan imunitas tanaman terhadap serangan sekunder jamur

Fomitopsis pinicola. DAFTAR PUSTAKA

Brader, G., Compant, S., Vescio, K., Mitter, B., Trognitz, F., Ma, L.-J., & Sessitsch, A. (2017). Ecology and Genomic Insights into Plant-Pathogenic and Plant-Nonpathogenic E n d o p h y t e s . A n n u a l R e v i e w o f

P h y t o p a t h o l o g y , 5 5 ( 1 ) , 6 1 – 8 3 .

https://doi.org/10.1146/annurev-phyto-080516-035641

Dent, D. (1986). Acid sulphate soils: a baseline for research and development. Acid Sulphate

Soils: A Baseline for Research and Development., 150, 250. Retrieved from

http://www.cabdirect.org/abstracts/19861907 515.html

Fitzpatrick, R. W., Shand, P., Merry, R. H., Marschner, P., Jayalath, N., & Grocke, S. (2015). Acid Sulfate Soil Assessment and

Monitoring of the Banrock Station wetland.

Acid Sulfat Soils Report No ASSC_035, 28 April 2015. Glen Osmond, South Australia.

Francl, L. J. (2007). The Disease Triangle: a plant pathological paradigm revisited. Retrieved M a y 1 5 , 2 0 2 0 , f r o m https://www.apsnet.org/edcenter/foreducator s/TeachingNotes/Pages/DiseaseTriangle.asp x

Gomes, F. H., Ker, J. C., Ferreira, T. O., Dos Santos Moreau, A. M. S., & Moreau, M. S. (2016). Characterization and pedogenesis of mangrove soils from Ilhéus-BA, Brazil.

Revista Ciencia Agronomica, 47(4), 599–608.

https://doi.org/10.5935/1806-6690.20160072 Henry, W., & Wan, H. H. (2012). Effects of Salinity on

Fresh Fruit Bunch ( FFB ) Production and Oil-to-bunch Ratio of Oil Palm ( Elaeis guineensis ) Planted in Reclaimed Mangrove Swamp Areas in Sabah. Oil Palm Bulletin, 65 (November 2012), 12–20.

Jennings, S. R., Dollhopf, D. J., & Inskeep, W. P. (2000). Acid production from sulfide minerals using hydrogen peroxide weathering. Applied

G e o c h e m i s t r y , 1 5 ( 2 ) , 2 3 5 – 2 4 3 .

h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / S 0 8 8 3 -2927(99)00041-4

Santoso, H., & Winarna. (2013). Plasmolisis Pada Tanaman Kelapa Sawit: Studi Kasus di Lahan Pasang Surut. Warta PPKS, 18(2), 45–50. Soil Survey Staff. (2014). Soil Survey Field and

Laboratory Methods Manual. United States

Department of Agriculture, Natural Resources Conservation Service, (Soil Survey

Investigations Report No. 51, Version 2.0),

4 8 7 .

https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3803.8889 Son, E., Kim, J. J., Lim, Y. W., Au-Yeung, T. T.,

Yang, C. Y. H., & Breuil, C. (2011). Diversity and decay ability of basidiomycetes isolated from lodgepole pines killed by the mountain pine beetle. Canadian Journal of Microbiology, 57, 33–41. https://doi.org/10.1139/W10-102 Suastika, I. W., Hartatik, W., & Subiksa, I. G. M.

(2014). Karakteristik Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. In

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(7)

Interaksi Antara Lingkungan, Tanaman, dan Patogen

Lapisan pirit 50-60 cm agar tidak terjadi oksidasi harus berada pada kondisi reduksi atau tinggi muka air tanah di atas lapisan pirit. Kejadian enam bulan kering pada tahun 2019 menyebabkan muka air tanah turun dan diperkirakan levelnya berada di bawah lapisan pirit. Hal tersebut menyebabkan terjadinya oksidasi lapisan pirit, reaksi kimia akan berlangsung jika ada air yang akan melepaskan ion hidrogen dan menyebabkan kemasaman tanah meningkat. Reaksi kimia dari pirit yang teroksidasi dan mengakibatkan kemasaman tanah meningkat seperti yang disampaikan oleh Dent (1986) dan Gomes et al., (2016) adalah sebagai berikut:

2- +

FeS + 15/4 O + 7/2 H O Fe(OH) + 2SO + 4H2 2 2 3 4 Pirit Oksigen Air Koloidbesi III Asam Sulfat Jika pH dari proses oksidasi ini lebih kecil dari 4 dan + semakin masam akan menyebabkan kelarutan Fe3 semakin tinggi dan mengoksidasi pirit dengan cepat. + Reaksi tersebut dipengaruhi oleh adanya Fe3 , reaksi + kimia antara pirit dan Fe3 adalah sebagai berikut:

3+ 2+ 2- +

FeS + 14Fe + 8H O 15Fe + 2SO + 16H2 2 4

Kemasaman tanah yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya kelarutan/ketersediaan 3+ 3+ 2+ Fe ; Al ; dan Mn+ yang bersifat racun bagi tanaman. Ion Al3 yang bebas akan mendesak kation K, Ca, dan Mg dari komplek jerapan, begitu juga dengan ketersediaan fosfat akan bekurang karena terikat oleh besi dan aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminium fosfat. Dengan demikian tanah akan menjadi miskin hara karena kation basa terikut dalam pencucian air drainase baik secara vertikal maupun horizontal (Suastika, Hartatik, & Subiksa, 2014). Pada kondisi areal dengan genangan air tanpa sirkulasi air yang baik terdapat potensi tanaman mengalami keracunan besi II dan hidrogen sulfida. Sirkulasi air yang tidak baik akan mendorong akumulasi garam pada daerah perakaran sawit dan dapat menyebabkan plasmolisis. Kondisi ini akan menyebabkan akar tanaman kelapa sawit menjadi busuk dan mengganggu penyerapan air dan hara dari tanah. Tanaman menunjukkan gejala seperti stress karena cekaman kekeringan yaitu daun tombak tidak membuka, pelepah sengkleh dan pelepah tua mengering. Dengan terganggunya serapan air dan

nutrisi tanaman maka tanaman akan lemah.

Tanaman kelapa sawit yang lemah akan mendorong munculnya serangan sekunder dari

Basidiomycetes yaitu jamur FP. Jamur ini menjadi

parasit bagi tanaman kelapa sawit yang menyebabkan pembusukan jaringan tanaman berwarna coklat (browncubical rot). Dengan demikian jamur FP merupakan serangan sekunder dari kejadian tanaman kelapa sawit yang mengalami daun kering, sengkleh, daun tombak tidak membuka, dan tanaman tumbang. Pemicu utama adalah tanaman kelapa sawit mengalami keracunan akibat teroksidasinya lapisan pirit dan kemungkinan tingginya salinitas di daerah perakaran sebagai dampak kemarau panjang sekitar 6 bulan. Kondisi jaringan tanaman yang lemah dan layu mendorong tumbuhnya jamur FP di batang sawit dan piringan. Serangan sekunder dari jamur FP ini lebih berdampak merusak bagi tanaman kelapa sawit dengan intensitas serangan yang menggerombol mengikuti pola kondisi areal yang mengalami oksidasi pirit dan salinitas tinggi. Beberapa spesies jamur yang muncul setelah serangan kumbang (Dendroctonus ponderosae) menyebabkan kehilangan 50% masa kayu setelah 12 minggu (Son et al., 2011).

Saran teknis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak sekunder dari serangan jamur FP:

a) Memperbaiki tata air (water management) untuk mendukung proses sirkulasi air yang baik, sehingga mampu mendukung proses pencucian zat-zat beracun bagi tanaman; mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran; dan mengatur muka air agar tidak terjadi oksidasi pirit. b) Pada tanah sulfidik yang mempunyai lapisan

organik (gambut), muka air tanah harus dipertahankan pada level di atas lapisan pirit. c) Untuk mendukung kegiatan water management

agar melakukan pengukuran mikrotopografi. d) Kegiatan moulding tanaman kelapa sawit yang

doyong harus mempertimbangkan kedalaman lapisan pirit. Pada areal dengan kedalaman lapisan pirit < 50 cm, tanah moulding harus diambil dari tanah permukaan.

e) Pengutipan tubuh buah (fruit body) dan aplikasi

Trichoderma dapat dilakukan.

Kesimpulan

Lapisan pirit yang teroksidasi akan menyebabkan kemasaman tanah dan mendorong meningkatnya 3+ 3+ 2+ ketersediaan Fe ; Al ; dan Mn dalam tanah yang bersifat racun bagi tanaman. Pada areal pasang surut dengan tata kelola air yang tidak memungkinkan pencucian garam-garam secara periodik akan menyebabkan peningkatan salinitas tanah. Kondisi tanah yang sangat asam dan salinitas tinggi menyebabkan kerusakan jaringan tanaman kelapa sawit yang dimulai dari akar layu dan tanaman menjadi lemah. Jaringan tanaman yang lemah dan layu mendorong munculnya serangan sekunder berupa serangan jamur Fomitopsis pinicola. Serangan jamur ini dapat menyebabkan degradasi jaringan tanaman dan menyebabkan tanaman kelapa sawit tumbang dan mati. Tahap pengelolaan untuk mengurangi dampak serang sekunder dari jamur ini adalah memperbaiki tata kelola air sehingga memungkinkan menjaga permukaan air di atas lapisan pirit dan melakukan pencucian secara periodik terhadap unsur-unsur meracun serta garam-garam yang terendapkan di daerah perakaran. Kondisi media tumbuh yang baik dan mendukung bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkatkan imunitas tanaman terhadap serangan sekunder jamur

Fomitopsis pinicola. DAFTAR PUSTAKA

Brader, G., Compant, S., Vescio, K., Mitter, B., Trognitz, F., Ma, L.-J., & Sessitsch, A. (2017). Ecology and Genomic Insights into Plant-Pathogenic and Plant-Nonpathogenic E n d o p h y t e s . A n n u a l R e v i e w o f

P h y t o p a t h o l o g y , 5 5 ( 1 ) , 6 1 – 8 3 .

https://doi.org/10.1146/annurev-phyto-080516-035641

Dent, D. (1986). Acid sulphate soils: a baseline for research and development. Acid Sulphate

Soils: A Baseline for Research and Development., 150, 250. Retrieved from

http://www.cabdirect.org/abstracts/19861907 515.html

Fitzpatrick, R. W., Shand, P., Merry, R. H., Marschner, P., Jayalath, N., & Grocke, S. (2015). Acid Sulfate Soil Assessment and

Monitoring of the Banrock Station wetland.

Acid Sulfat Soils Report No ASSC_035, 28 April 2015. Glen Osmond, South Australia.

Francl, L. J. (2007). The Disease Triangle: a plant pathological paradigm revisited. Retrieved M a y 1 5 , 2 0 2 0 , f r o m https://www.apsnet.org/edcenter/foreducator s/TeachingNotes/Pages/DiseaseTriangle.asp x

Gomes, F. H., Ker, J. C., Ferreira, T. O., Dos Santos Moreau, A. M. S., & Moreau, M. S. (2016). Characterization and pedogenesis of mangrove soils from Ilhéus-BA, Brazil.

Revista Ciencia Agronomica, 47(4), 599–608.

https://doi.org/10.5935/1806-6690.20160072 Henry, W., & Wan, H. H. (2012). Effects of Salinity on

Fresh Fruit Bunch ( FFB ) Production and Oil-to-bunch Ratio of Oil Palm ( Elaeis guineensis ) Planted in Reclaimed Mangrove Swamp Areas in Sabah. Oil Palm Bulletin, 65 (November 2012), 12–20.

Jennings, S. R., Dollhopf, D. J., & Inskeep, W. P. (2000). Acid production from sulfide minerals using hydrogen peroxide weathering. Applied

G e o c h e m i s t r y , 1 5 ( 2 ) , 2 3 5 – 2 4 3 .

h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / S 0 8 8 3 -2927(99)00041-4

Santoso, H., & Winarna. (2013). Plasmolisis Pada Tanaman Kelapa Sawit: Studi Kasus di Lahan Pasang Surut. Warta PPKS, 18(2), 45–50. Soil Survey Staff. (2014). Soil Survey Field and

Laboratory Methods Manual. United States

Department of Agriculture, Natural Resources Conservation Service, (Soil Survey

Investigations Report No. 51, Version 2.0),

4 8 7 .

https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3803.8889 Son, E., Kim, J. J., Lim, Y. W., Au-Yeung, T. T.,

Yang, C. Y. H., & Breuil, C. (2011). Diversity and decay ability of basidiomycetes isolated from lodgepole pines killed by the mountain pine beetle. Canadian Journal of Microbiology, 57, 33–41. https://doi.org/10.1139/W10-102 Suastika, I. W., Hartatik, W., & Subiksa, I. G. M.

(2014). Karakteristik Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. In

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(8)

Husnain, P. Wigena, W. Hartatik, Y. Sulaiman, I. W. Suastika, & J. Purnomo (Eds.), Pengelolaan Lahan Pada Berbagai

Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah

Lingkungan (pp. 95–120). Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

PERBANDINGAN METODE PEMURNIAN DALAM PENENTUAN RESIDU

PARAKUAT DIKLORIDA PADA MINYAK SAWIT

residu pestisida dapat melekat di kulit buah dan akan diabsorbsi melalui kulit buah. Duijn and Dekker (2010) menambahkan bahwa herbisida dapat menjadi kontaminan pada buah yang jatuh di piringan (berondolan). Dengan demikian, residu pestisida yang terdapat pada buah sawit dapat tercampur ke dalam minyak sawit saat pengolahan di Pabrik Kelapa Sawit. Menurut Environmental Protection Agency (2012), batas toleransi residu parakuat pada buah dan sayuran cukup kecil yaitu < 1 ppm.

Parakuat diklorida berbahaya untuk kesehatan yang dapat mengganggu saraf sehingga menyebabkan penyakit Parkinson (Nistico et al., 2011). Adanya gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh parakuat dikorida maka diperlukan penentuan kadarnya pada bahan pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode analisis parakuat diklorida pada minyak sawit yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjaga kualitas minyak sawit demi keamanan pangan. Metode yang umum digunakan adalah pemisahan antara bahan aktif pestisida dari matriks minyak secara ekstraksi dan adsorpsi. Kuntom et al. (1999) telah mengembangkan teknik analisa parakuat diklorida dalam minyak sawit secara adsorpsi dengan adsorben Amberlit dan Duolite menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan residu parakuat diklorida pada

PENDAHULUAN

Herbisida parakuat diklorida adalah herbisida yang dapat diaplikasikan pada saat gulma tumbuh. Herbisida jenis ini merupakan herbisida kontak yang dapat mematikan jaringan tumbuhan yang terkontaminasi dan beracun pada sel-sel tumbuhan yang hidup (Sarbino dan Syahputra, 2012). Parakuat diklorida merupakan salah satu herbisida yang digunakan untuk membasmi gulma di perkebunan kelapa sawit sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Wibawa (2013) melaporkan bahwa penggunaan parakuat di perkebunan kelapa sawit dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (tanah, air dan udara) dan berpengaruh terhadap organisme yang tidak ditargetkan.

Residu bahan aktif pestisida dapat masuk ke dalam tanaman melalui akar pada saat terjadinya penyerapan mineral dari dalam tanah, penetrasi melalui daun dan ranting atau langsung melalui injeksi batang (Sammarie and Akela, 2011)). Tidak hanya itu,

Hasrul Abdi Hasibuan dan Aga Prima Hardika

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Hasrul Abdi Hasibuan( )* Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Jl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, Indonesia Email: hasibuan_abdi@yahoo.com

Abstrak - Parakuat diklorida merupakan bahan aktif herbisida yang digunakan untuk membasmi gulma di

perkebunan kelapa sawit. Penggunaan parakuat diklorida yang tidak sesuai dengan standar memungkinkan dapat meninggalkan residu pada minyak sawit (crude palm oil, CPO) sehingga kadarnya perlu ditentukan untuk keamanan produk pangan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan parakuat diklorida pada matriks minyak sawit dengan proses pemurnian (clean up) dan analisa menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Proses clean up dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan sentrifugasi. Adsorpsi dilakukan menggunakan Amberlit IR-120 dengan preparasi melalui pemanasan dan tanpa pemanasan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kalibrasi menggunakan spektrofotmeter cukup akurat dengan koefisien korelasi sebesar 0,997, batas minimum deteksi (limit of detection, LOD) sebesar 0,09 ppm dan batas minimum kuantitasi (limit of quantitation, LOQ) sebesar 0,29

ppm. Perolehan kembali parakuat diklorida secara adsorpsi dengan tanpa pemanasan (66,14-77,54%) lebih tinggi

dibandingkan dengan pemanasan (65,21-71,73%) dan sentrifugasi (65,21-67,67%). Hasil analisis beberapa sampel CPO menunjukkan bahwa sampel tidak terdeteksi mengandung residu parakuat diklorida.

Kata kunci: parakuat diklorida, minyak sawit, spektrofotometer, adsorpsi, amberlite IR-120, sentrifugasi

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Gambar

Gambar 2. Curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) tahun 2014-2019 di lokasi observasiYahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah
Gambar 3. Kondisi tanaman di blok pengamatanmenunjukkan akar mengalami pembusukan.
Gambar 3. Kondisi tanaman di blok pengamatanmenunjukkan akar mengalami pembusukan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penilaian tiga (3) orang Judgement dengan pengambilan Nilai Tengah (NT) terhadap dua puluh satu (21) orang sampel pada teknik renang gaya punggung Mahasiswa Jurusan Kepelatihan

Untuk menguji hipotesis yang diaju- kan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kuantitatif dengan menguna- kan metode analisis regresi berganda tiga prediktor

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada 8 Ogos 2012 untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Nurul Nadia Binti Ibrahim bagi menilai tesis

Metode penelitian yang digunakan dalam disain ADC pipeline 80MSPS 8-bits dengan topologi 1-bit/stage adalah metode ekspirimen dengan mengabungkan metode- metode yang sudah

Hasil praktikalitas oleh mahasiswa diperoleh dengan menggunakan angket uji praktikalitas. Data lengkap hasil uji praktikalitas oleh mahasiswayang secara ringkas ditampilkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan pengenalan kemampuan mengenal konsep bilangan 1-5 melalui bermain edukatif aquarium pancing pada anak

1) Keempat subjek penelitian memiliki pemaknaan yang berbeda dalam memaknai konstruksi wajah cantik dan tubuh ideal menurut mereka serta dalam memaknai segala

Pemroduksi kapal ikan local mampu bersaing dengan kualitas yang baik, dengan adanya potensi ini penelitian ini dilakukan untuk menganalisa kelayakan usaha usaha kapal ikan di