Perpindahan Kalor Aliran Dua Fase pada Pipa Berdiameter 7,6 mm dengan
Refrijeran R-22 dan R-290 pada Kualitas Uap Rendah
Eko Oktorio (0906637746) Departemen Teknik Mesin
Universitas Indonesia
Abstrak
Isu lingkungan mengenai pembatasan penggunaan refrijeran R-22 mulai diberlakukan. Untuk itu dibutuhkan refrijeran alternatif yang lebih baik untuk menggantikannya. Ciri dari refrijeran yang baik yaitu refrijeran yang memiliki nilai perpindahan kalor yang tinggi karena berpengaruh terhadap jumlah panas yang ditransfer dalam proses pendinginan. Dengan heat transfer yang tinggi, maka dapat membuat evaporator menjadi lebih kecil untuk menyerap besar kalor yang sama, sehingga ukuran dimensi sistem pendingin dapat dibuat lebih compact dan dapat menghemat ruang dalam kapal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomena didih alir dan karakteristik Koefisien perpindahan kalor dari refrigeran R-290 dan R-22 pada pipa konvensional. Penelitian ini juga menjelaskan pengaruh dari mass flux, heat flux dan temperature saturasi terhadap nilai koefisien perpindahan kalor. Hasil dari eksperimen kemudian dibandingkan dengan persamaan yang telah diberikan peneliti sebelumnya yaitu Gungor-Winterton, Shah, Kwang-il Choi, Tran dan Kandlikar.
Kata Kunci:
Koefisien Perpindahan Kalor, Aliran Dua Fasa, Refrigeran, R22, R290, Pipa Horizontal Daftar Notasi
X Kualitas massa uap ` (kg/kg)
υ
spesifik volume (m3/kg) L Panjang test Section (m)P Tekanan (kPa)
α Void fraction (m2/m2)
if entalpi pada saturasi liquid (J/kg)
ig entalpi pada saturasi uap (J/kg)
i entalpi fluida (J/kg)
Wg laju aliran massa fasa uap (kg/s)
G flux massa (kg/m2.s)
Q Daya yang diberikan pada pipa (W) Zsc Panjang subcooled (m)
xout Kualitas massa uap pada sisi keluaran
z Jarak titik dari sisi masuk ujung pipa (m) xz Kualitas uap pada titik yang berjarak z
dari sisi masuk ujung pipa
ifg kalor laten penguapan (J/kg)
h koefisien perpindahan kalor (W/m2K)
Twi Temperatur dinding dalam pipa (K)
Tsat Temperatur saturasi fluida (K)
TP
h
Koefisien perpindahan kalor konveksi dua fasa (W/m2.K)f
h
Koefisien perpindahan kalor konveksi fasaliquid (W/m2.K)
Subscript dan superscript O Outlet i Inlet f fluida gas g gas sat saturasi 1. Pendahuluan
Saat ini proses pendinginan suatu produk atau ruangan dengan menggunakan sistem refrigerasi telah banyak digunakan di lingkungan masyarakat dan di berbagai industry. Salah satu industry yang menggunakan sistem ini adalah kapal laut, dimana pendinginan pada kapal memegang peranan yang penting, terutama pada kapal yang memiliki muatan makanan yang harus didinginkan supaya
makanan tersebut tetap awet dalam jangka waktu yang lama. Refrigerant merupakan salah satu komponen pada sistem refrigerasi. HCFC (Hydro-Chloro-Fluoro-Carbon) atau biasa disebut R-22 merupakan refrigeran yang memegang peranan penting dalam sistem refrigerasi. Sampai dengan saat ini penggunaan refrigeran R-22 masih sering digunakan dalam sistem refrigerasi, baik untuk
industri air conditioning maupun industri lain yang menggunakan sistem refrigerasi, Hal ini dikarenakan R-22 memiliki properti fisika dan termal yang baik sebagai refrigeran, stabil, tidak mudah terbakar, tidak beracun dan kompatibel terhadap sebagian besar bahan komponen dalam sistem refrigerasi, akan tetapi penggunaan refrigeran R-22 ini sudah mulai dikurangi, setelah masyarakat mengetahui hipotesa bahwa R-22 termasuk Ozone Depleting Substance (ODS), yaitu zat yang dapat menyebabkan kerusakan ozon. Alternative yang ditawarkan sebagai pengganti R-22 adalah R-290 (propana) sebagai salah satu refrigerant yang memiliki performa yang cukup baik dan ramah lingkungan. R-290 ini memiliki nilai Ozon Depleting Potensial nol sehingga refrigerant ini cukup ramah lingkungan. Namun, kekurangan dari refrigerant R-290 ini adalah memiliki temperatur didih yang rendah, sehingga diperlukan tekanan yang cukup tinggi dalam pengoperasiannya. Dan juga disebabkan oleh kekhawatiran masyarakat akan sifat hidrokarbon yang bisa terbakar. Sifat ini sebenarnya tidak berbahaya jika digunakan sesuai prosedur yang benar.
Karakteristik koefisien perpindahan kalor merupakan salah satu aspek yang penting pada aliran refrigerant karena berpengaruh terhadap jumlah panas yang ditransfer dalam proses pendinginan Oleh karena itu, banyak dilakukan penelitian–penelitian dibidang ini demi menciptakan alat-alat refrigerasi yang lebih efisien dalam ukuran dan dalam penggunaan.
2. Batasan Masalah
Percobaan aliran didih menggunakan 290 dan R-22 sebagai pembanding dengan
• Fluk kalor dari 5.09 kW/m2 sampai 19.03
kW/m2,
• fluk massa dari 339.74 kg/m2.s sampai
751.74 kg/m2.s
• dan temperatur saturasi 5.59oC sampai
18.12 oC untuk R-22
• dan sedangkan R-290 dari 114.91 kg/m2.s
sampai 637.63 kg/m2.s dan
• temperatur saturasi dari 4.77 oC sampai
16.45 oC dengan fluk kalor yang sama
dengan R-22.
• Asumsi yang diberikan adalah pemanas
diasumsi memanaskan secara uniform, penurunan tekanan bersifat linier dan roughness diasumsi seragam
3. Metodologi Penelitian
Gambar 1 skema penelitian
Secara umum prinsip kerja alat uji seperti yang terlihat pada gambar, sistem sirkulasi yang digunakan pada perangkat alat uji ialah sistem sirkulasi tertutup. Dimana refrigrant nantinya akan disirkulasikan pada sistem dengan menggunakan pompa refrigerant. Refrigerant masuk ke kondensor. Kondensor yang digunakan bermodel tube and tube dengan tabung yang diisolasi karena temperaturnya lebih rendah dibanding lingkungan. Kondensasi pada refrigerant menggunakan fluida dingin berupa larutan ethylene glycol yang didinginkan menggunakan sistem pendingin kapasitas 3 PK.. Setelah dari kondensor lalu refrigerant masuk ke dalam liquid receiver. Penggunaan liquid receiver yaitu untuk menampung refrigerant ketika sistem berhenti beroperasi, selain itu untuk menjaga agar tidak ada vapor yang masuk ke tahap selanjutnya.
Kemudian refrigerant berfase liquid masuk ke gear pump yang di-couple dengan motor listrik. Gear pump yang digunakan dapat menghasilkan tekanan sebesar 10 bar dengan kapasitas motor 0.5 PK. Motor disambungkan dengan voltage regulator sehingga dapat mengatur voltase dari motor yang otomatis tekanan pada pompa juga berubah. Kemudian refrigerant bertekanan mengalir ke flow meter dengan model coriolis untuk diukur massa, rate atau debit refrigerant yang akan masuk ke test section. Flux massa refrijeran yang disirkulasikan dapat diatur besarnya dengan mengatur putaran pompa dengan menggunakan inverter yang terpasang pada pompa.
Gambar 2. Gambaran umum alat
Refrigeran kemudian masuk ke test section untuk di boilingkan. Dimana pada test section dipanaskan dengan cara memberikan flux kalor yang merata ke heater yang dililitkan disepanjang test section dengan mengalirkan arus listrik menggunakan power supply dimana besarnya daya yang keluar dapat diatur sesuai dengan besarnya flux kalor yang dibutuhkan pada kondisi pengujian. Untuk mencegah terbuangnya kalor kelingkungan sekitar maka pada bagian luar test section diberikan insulasi agar kalor yang diberikan nantinya tidak terbuang kelingkungan sekitar. Inlet dan outlet test section dipasang sight glass untuk menentukan pola aliran dan fase refrigerant.
Untuk mengetahui temperatur dinding luar test section dipasang termokopel pada tiga sisi yaitu sisi bagian atas, samping dan bawah dan diletakkan di 9 titik di sepanjang pipa test section ditambah termocouple di inlet dan outlet, lalu untuk mengetahui fasa yang terjadi sebelum dan setelah melewati test section dipasang sight galss. Sedangkan untuk mengetahui tekanan masuk dan keluar test section dipasang pressure gauge pada bagian inlet dan oulet test section. Keluar dari test section selanjutnya refrigeran akan mengalir menuju kondenser untuk dilepas kalornya dimana pada unit ini refrigran yang dalam keadaan fasa gas atau dua fasa akan diubah menjadi fasa liquid dan disirkulasikan kembali.
Reduksi Data
Untuk menghitung perpindahan kalor lokal sepanjang test section :
Namun sebelumnya harus ditentukan dahulu panjang subcooled dan kualitas massa uap outlet.
, ∆ , ⁄ ∆ ,
4. Hasil dan Analisis
Proses Pengujian Refrijeran R-22 dan R-290 Variasi yang dilakukan pada esperimen ini adalah variasi heat flux, mass flux, dan temperatur saturasi. Kemudian, dari hasil data yang didapat dari hasil variasi tersebut akan dianalisa. Beberapa nilai yang akan dianalisa diantaranya adalah pengaruh heat flux, mass flux, temperatur saturasi, dan kualitas uap pada perpindahan kalor yang terjadi pada sistem.
4.1 Variasi Mass Flux D at a Heat Flux (kW/m 2) Mass Flux (kg/m2 s) Pressure (Bar) Temper ature Saturati on (oC) X outle t 1 11.51 409.10 7.87 14.89 0.11 11.51 578.77 7.65 13.92 0.07 2 19.03 339.74 8.40 17.16 0.20 19.03 606.75 8.63 18.11 0.12
Variasi Mass Flux R22
Dat a Heat Flux (kW/m2 ) Mass Flux (kg/m2s ) Pressure Saturatio n (bar) x Outle t 1 5.21 464.59 5.80 0.03 5.21 373.67 5.83 0.05 2 19.03 427.91 6.58 0.08 19.03 365.75 6.63 0.10
Variasi Mass Flux R-290
Gambar 3 Pengaruh Mass terhadap koefisien perpindahan kalor R-22.
Gambar 4 Pengaruh Mass Flux terhadap koefisien perpindahan kalor R-290.
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa mass flux tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai koefisien perpindahan kalor pada kualitas uap yang rendah. Kejadian yang sama juga terjadi pada percobaan Pamitran et al (2007) menggunakan R-410a di mini channel, yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nilai perpindahan kalor yang signifikan pada saat kualitas uap rendah karena nucleate boiling mendominasi pada saat itu. Tingginya nucleate boiling pada perpindahan kalor disebabkan oleh physical properties refrigerant dan geometri ukuran pipa.
Kwang et al (2007) yang melakukan percobaan mendidihkan alir 134a dan CO2 juga menunjukkan hasil bahwa tidak adanya efek yang signifikan seiring bertambahnya mass flux. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Kwang Il Choi et al (2007), Kwang Il Choi et al (2009), Rin Yun et al (2003), Hoo Kyu Oh (2008), A. S. Pamitran et al (2011),), Ricardo J. da Silva Lima (2009), R Mastrullo et al (2009), Hoo Kyu Oh (2011), A. S. Pamitran (2011).
4.2 Variasi Heat Flux
Gambar 6 Pengaruh Heat Flux terhadap koefisien
perpindahan kalor R-22
Gambar 5 Pengaruh Heat Flux terhadap koefisien
perpindahan kalor R-290
Dari kedua grafik diatas dapat dilihat bahwa
Fluk kalor memiliki efek yang cukup signifikan pada nilai kofisien perpindahan kalor. Semakin tinggi fluk kalor yang diberikan, maka akan semakin tinggi besarnya nilai koefisien perpindahan kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nucleate boiling pada perpindahan kalor, terutama pada fluk kalor yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh data R-22 dan R-290 dimana semakin tinggi nilai fluk kalor maka koefisien perpindahan kalor didih alir semakin besar. Hal ini dukung oleh penurunan numerik dari Jhon Thome et al (1994) yang menjelaskan bahwa nilai radius cavity berbanding terbalik dengan selisih dengan temperatur gas dengan temperatur saturasi, artinya ketika fluk kalor tinggi maka temperatur gas menjadi tinggi sehingga radius cavity dimana calon posisi gelembung terbentuk lebih kecil, dan peluang pembentukan gelembung lebih besar. sehingga di posisi kualitas uap rendah nucleate boiling lebih dominan.
Sama halnya pada variasi fluk massa, banyak yang telah melaporkan trend dari variasi fluk kalor dimana hasilnya sama dengan kondisi percobaan ini, seperti Kwang et al (2007), A. S. Pamitran (2011), A. S. Pamitran (2007), Kwang Il Choi et al (2009), Rin Yun et al (2003), Hoo Kyu Oh (2008), A. S. Pamitran et al (2011), Ricardo J. da Silva Lima (2009), Hoo Kyu Oh (2011), 4.3 Variasi Temperatur Saturasi
Gambar 7 Pengaruh Temperatur saturasi terhadap koefisien perpindahan kalor R-290
Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur saturasi maka akan semakin tinggi nilai koefiisen perpindahan kalor yang terjadi. Temperatur saturasi berhubungan langsung dengan parameter thermodinamic dari refrijeran dalam hal ini R-290. Karena saturasi temperatur menurun, maka rasio dari masa jenis liquid dibanding vapor membesar. Dengan kata lain, relatif masa jenis vapor lebih rendah pada saturasi rendah, hal ini membuat kecepatan vapor membesar sehingga penahanan nucleat boiling menjadi lebih cepat. Kemudian surface tension pada temperatur saturasi tinggi lebih rendah, sehingga peluang timbulnya gelembung lebih besar. Perbandingan viskositas liquid dan vapor menunjukkan pada temperatur saturasi tinggi nilainya lebih rendah, sehingga liquid film akan mudah hancur menjadi vapor.
Hoo Kyu Oh (2008) menjelaskan bahwa alasan gelembung meningkat pada temperatur satusai tinggi dan pelepasan gelembung meningkat yang pada akhirnya nucleate boiling menjadi dominan. Cooper (1984) menjelaskan bahwa masa jenis antara liquid dan vapor menurun pada peningkatan saturasi temperatur, sehingga area dari gas gelembung aliran menjadi meningkat. A. S. Pamitran et al (2011) menjelaskan bahwa semakin tinggi temperatur saturasi maka nucleate boiling menjadi lebih aktif. Hasil dari percobaan sesuai hasil dari Kwang Il Choi et al (2007), A. S. Pamitran (2011), Kwang Il Choi et al (2007), Kwang Il Choi et al (2009), Hoo Kyu Oh (2008), A. S. Pamitran et al (2011).
4.4 Perbandingan fluida kerja R22 dan R290 Secara teori R-290 mempunyai koefisien perpindahan kalor lebih besar dibanding R-22 pada kondisi temperatur saturasi, fluk kalor, fluk massa konstan. Hal ini disebabkan oleh properties dari R-290 yang mempunyai perbandingan perbandingan
massa jenis liquid dan gas lebih rendah sehingga nucleate boiling lebih lama terjadi. Selain itu surface tension dari R-290 lebih rendah sehingga gelembung lebih mudah terbentuk.
4.5 Perbandingan Korelasi
Pada penelitian ini digunakan beberapa korelasi peneliti terdahulu untuk membandingkan nilai perpindahan kalor hasil percobaan dengan beberapa korelasi yang sudah ada pada jurnal-jurnal seperti korelasi Gungor-Winterton, Shah, Kwang-il choi, Tran, Kandlikar. Sehingga nantinya di dapat suatu persamaan baru untuk aliran dua fasa. Perbandingan dengan korelasi-korelasi yang sudah ada ini juga mencakup average deviasi dan juga mean deviasi.
R22
Gambar 8 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Gungor Winterton (1986) pada R22.
Gambar 9 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen
Gambar 10 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Kwang-il Choi (2007) pada R22.
Gambar 11 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Tran (1995) pada R22.
Gambar 12 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Kandlikar (1990) pada R22.
Dari perbandingan hasil eksperimen nilai koefisien perpindahan kalor dan perhitungan nilai koefisien perpindahan kalor berdasarkan korelasi
para peneliti, maka didapat mean deviasi dan average deviasi. Hasil average deviasi yang menunjukkan nilai positif, artinya nilai koefisien perpindahan kalor prediksi berdasarkan korelasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai koefisien perpindahan kalor yang terjadi pada sistem, hal ini disebabkan karena korelasi dari peneliti, belum tentu sesuai dengan keadaan sistemhal itu tergantung dari fluida kerja R22, diameter pipa, mass flux, heat flux, dan tekanan saturasi yang diberikan kepada sistem. Pada fluida kerja R22 ini, hasil dari prediksi yang paling mendekati nilai koefisien perpindahan kalor eksperimen adalah dengan menggunakan korelasi Kandlikar. dengan Average deviation sebesar -0.56% dan Mean Deviation sebesar 8.40%.
Gambar 13 Perbandingan perhitungan perpindahan kalor R22 eksperimen dengan perhitungan prediksi
R290
Gambar 14 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Gungor Winterton (1986) pada R22.
Gambar 15 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Shah (1982)) pada R22.
Gambar 16 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Kwang-il Choi (2007) pada R22.
Gambar 17 Perbandingan nilai perpindahan kalor eksperimen dengan prediksi Kandlikar (1990) pada R22.
Dapat dilihat pada grafik-grafik diatas perbandingan nilai koefisien perpindahan kalor eksperimen propane dibandingkan dengan nilai koefisien perpindahan kalor berdasarkan korelasi peneliti yang lain. Pada fluida kerja R290 ini, hasil
dari prediksi yang paling mendekati nilai koefisien perpindahan kalor eksperimen adalah dengan menggunakan korelasi Shah dengan Average deviation sebesar 17.82 % dan Mean Deviation sebesar 27.46% .
Gambar 18 Perbandingan perhitungan perpindahan kalor eksperimen dengan perhitungan prediksi.
5. Kesimpulan
Koefisien perpindahan kalor dua fasa refrigran R-22 meningkat dengan meningkatnya pengaruh variasi heat flux dan temperature saturasi pada kualitas uap rendah. Sedangkan pengaruh mass flux tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Korelasi prediksi perpindahan kalor berdasarkan korelasi para peneliti terdahulu yang nilainya paling mendekati nilai perpindahan kalor pada eksperimen dengan fluida kerja R22 adalah korelasi Kandlikar dengan Average deviation sebesar -0.56% dan Mean Deviation sebesar 8.40%. Sedangkan pada fluida kerja R290 (propane) adalah korelasi Shah dengan Average deviation sebesar 17.82 % dan Mean Deviation sebesar 27.46%
Daftar Pustaka
Choi, Kwang Il., Pamitran,A.S., Oh, C.Y., Oh, J.T., Boiling heat transfer of R-22, R-134a, and CO2 in horizontal smooth minichannels. International Journal of Refrigeration 30 (2007) 1336-1346
Choi, Kwang-il, Pamitran, A.S., Oh, Jong-Taek,Saito,K., Pressure drop and heat transfer during two-phase flow vaporization of propane in horizontal smooth minichannels. International Journal of Refrigeration 32 (2009) 837-845
Choi, Kwang Il, Pamitran, A.S.,Oh,C-Y., Oh, J.T., Two-phase pressure drop of R-410a in horizontal smooth minichannel, International Jurnal of Refrigeration 31 (2008) 119-129.
Choi, Kwang Il, Pamitran, A.S., Oh, J.T., Oh, H.K., Two-phase flow heat transfer of CO2
vaporization in smooth horizontal minichannels. International Journal of Refrigeration. 30 (2007) 767e777
Pamitran, A.S., Choi, Kwang ill, Oh, Jang-Taek, Hrnjak, Pega. 2010. Characteristics of two-phase flow pattern transitions and pressure drop of five refrigerants in horizontal circular small tubes.Int J. Refrigeration 33 (2010) 578-588.
Pamitran, A.S., Choi, Kwang-II, Oh, J.T., Oh, H.K., Forced Convective Boiling Heat Transfer of R-401 A in Horizontal Minichannels. International Journal of Refrigeration,30, (2007), 155-165
Pamitran, A.S., Oh, J-T., Experimental study and correlation of two phase flow evaporation heat transfer coefficient of propane in intermittent, stratified wavy, and annular flow, The 2nd IMAT (2009).
Pamitran A.S, Choi K.I., Oh J.T., Oh. Hoo-Kyu. Two-phase pressure drop during CO2
vaporization in horizontal smooth minichannels. International Jurnal of Refrigeration (2008) 31 375-383.
Thome, John R., Collier, John G., 1994. Convective Boiling and Condensation Third Edition. Clarendon Press. Oxford. Cengel, Yunus A., 2008. Fundamental of Heat and
Mass Transfer. United States of America. Incropera,F.P.,Dawitt,D.P.,Bergman,T.L.,
Lavine,A.S.,2007. Fundamental of heat and mass transfer 6th Edition. John Wiley
and Sons, Inc: Singapore.
Munson, Bruce R., Young, Donald F., Okiishi, Ted H., Huebsch, Wade W., 2009. Sixth Edition Fumdamentals of Fluid Mechanics. United States of America. Oh,Hoo-Kyu., Son,Chang-Hyo. Flow boiling heat
transfer and pressure drop characteristic of CO2 in horizontal tube of 4.57-mm inner
diameter. Aplied Thermal Engineering 2011:31 (163-172)