• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM BAWON DI DESA MUNGSENG KECAMATAN TEMANGGUNG KABUPATEN TEMANGGUNG RINGKASAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM BAWON DI DESA MUNGSENG KECAMATAN TEMANGGUNG KABUPATEN TEMANGGUNG RINGKASAN SKRIPSI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM BAWON DI DESA MUNGSENG KECAMATAN TEMANGGUNG KABUPATEN TEMANGGUNG

RINGKASAN SKRIPSI

Disusun

Handi Tris Tanto

08401244007

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

SISTEM BAWON DI DESA MUNGSENG KECAMATAN TEMANGGUNG KABUPATEN TEMANGGUNG

Oleh:

Handi Tris Tanto dan Setiati Widihastuti, M.Hum.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan sistem bawon, mendeskripsikan makna sistem bawon dan mendeskripsikan penyebab mulai ditinggalkannya sistem bawon oleh petani desa Mungseng.

Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive dan teknik snowball. Subyek penelitian ini adalah kepala desa, ketua gapoktan, empat petani dan empat buruh tani. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan model analisis induktif, yang meliputi reduksi data, unitisasi dan kategorisasi, display data dan pengambilan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa realisasi sistem bawon diawali dengan petani menyuruh tetangga dekat untuk menanam padi pada setiap bagian yang telah ditentukan kemudian setelah padi siap panen, tetangga tersebut disuruh kembali untuk derep (memanen) dan membagi hasil upah padi dengan petani pemilik dengan cara ditakar atau ditimbang dengan pola perbandingan 5:1 atau 6:1. Makna dalam sistem bawon bagi masyarakat desa yaitu terdapat makna berbagi, gotong-royong dan kebersamaan. Penyebab ditinggalkannya sistem bawon oleh petani di desa Mungseng yaitu sulitnya pengawasan saat panen dan timbulnya rasa sungkan (pekewuh) saat pengerjaan panen, munculnya sistem tebasan, guna memperoleh pendapatan yang lebih dan sulitnya mencari tenaga kerja (buruh tani).

Kata kunci: Sistem Bawon, Petani, Desa Mungseng

I. PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa

(3)

identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009: 146). Pengaturan interaksi dalam masyarakat tidak terlepas dari norma-norma kehidupan yang dijadikan acuannya. Tanpa adanya norma tersebut, masyarakat hanya sebatas kumpulan manusia dengan tidak adanya rasa kebersamaan.

Aktivitas gotong-royong ini sering dijumpai di setiap daerah yang masing-masing memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar berdasarkan sistem gotong-royong, walaupun gotong-royong tidak terbatas pada hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat. Salah satu tahap pekerjaan dalam pertanian padi di sawah yang dilakukan dengan cara gotong-royong dan biasa mendapatkan bantuan dari orang lain (luar keluarga petani yang bersangkutan) adalah tahap pekerjaan terakhir di sawah, yaitu panenan. Dalam pekerjaan panen ini dikenal istilah derep. Derep ialah melakukan panenan di sawah orang lain (Satjadibrata R, 1954: 83). Untuk pekerjaan tersebut para buruh tani biasa memperoleh upah berupa sebagian dari hasil derepnya. Hasil yang menjadi bagian penderep ini disebut bawon. Bawon merupakan upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Bawon juga merupakan sistem upah secara tradisional yang dikenal para petani pedesaan Jawa.

Warga desa biasanya akan lebih senang apabila para pemilik sawah saat musim padi menggunakan sistem bawon dimana para tetangga sekitar petani tersebut diajak menanam, derep dan bawon dengan perbandingan 4:1. Pemberian upah gabah menggunakan bawon 4:1 akan lebih berguna dibandingkan dengan upah uang harian seperti buruh tetap, apabila dengan upah uang maka akan cepat habis untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan apabila menggunakan upah bawon maka akan lebih awet. Selain masih berbentuk gabah yang harus digiling dulu, biasanya ibu-ibu di desa cenderung malu untuk menjual gabah hasil bawon yang tidak seberapa besar.

(4)

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, kini para petani pemilik sawah mulai beralih meninggalkan sistem bawon pada masyarakat tradisional. Contohnya petani di Mertoyudan Magelang, selalu kesusahan mencari tenaga panen apabila menjelang waktu panen padi. Desanya sekarang sepi dari tenaga kerja produktif karena para pemuda lebih senang merantau ke Jakarta. Masalah selanjutnya adalah hilangnya hasil panen sekitar 11-17% karena masih menggunakan alat dan cara tradisional. Artinya apabila hasil padi yang dibawa pulang petani itu 6 ton/ha, maka sebenarnya ada gabah yang hilang tercecer dilahan selama proses panen sebesar 660-1.020 kg atau rata-rata sekitar 840 kg/ha. Contoh lainnya yaitu proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa buruh tani. Hal itu disebabkan oleh murahnya tenaga buruh tani dan makin bertambahnya jumlah petani yang tidak memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat sempit sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu keluarga Jawa sepanjang musim. Paradigma pemberian upah dari majikan kepada buruh tani telah bergeser, sebelumnya imbalan yang diberikan diwujudkan dengan bentuk hasil panenan, kini pemberian upah didominasi dalam bentuk uang.

Fenomena tersebut akan menjadi permasalahan ketika kebiasaan turun-temurun yang sangat berhubungan dengan keterikatan antar individu di dalam masyarakat mula mengikis dan pudar. Hal inilah menarik bagi penulis ketika sebuah kebiasaan kebersamaan telah berlangsung secara turun-temurun dan merupakan hal ideal dari masyarakat desa, ternyata dalam perkembangannya telah terjadi pengikisan kebiasaan akibat banyak faktor yang melatarbelakangi kesenjangan tersebut. Oleh karena itu berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin meneliti lebih khusus mengenai Bagaimana Realisasi Sistem Bawon di Desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung.

II. KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat

(5)

Banyak deskripsi yang dituliskan oleh para pakar mengenai pengertian masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi” (Koentjaraningrat, 2009: 116). Menurut Phil Astrid S. Susanto (1999: 6), masyarakat atau society merupakan manusia sebagai satuan sosial dan suatu keteraturan yang ditemukan secara berulang-ulang, sedangkan menurut Dannerius Sinaga (1988: 143), masyarakat merupakan orang yang menempati suatu wilayah baik langsung maupun tidak langsung saling berhubungan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan, terkait sebagai satuan sosial melalui perasaan solidaritas karena latar belakang sejarah, politik ataupun kebudayaan yang sama.

2. Masyarakat Tani

a. Masyarakat Desa

Soerjono Soekanto (2006: 162), istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat adalah wilayah kehidupan sosial ang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat tersebut. Ciri-ciri pokok suatu masyarakat yaitu manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan, dan merupakan suatu sistem hidup bersama.

Menurut Soerjono Soekanto (2006: 166-167) masyarakat pedesaan pada hakikatnya bersifat gradual. Warga suatu masyarakat pedesaan memupunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupannya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat desa pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat

(6)

adanya tukang kayu, tukang membuat genteng dan bata, tukang bangunan, akan tetapi inti pekerjaan penduduk pedesaan adalah pertanian. Masyarakat ditandai oleh ciri-ciri, yaitu adanya interaksi, ikatan pola tingkah laku yang khas didalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, dan adanya rasa identitas terhadap kelompok, dimana individu yang bersangkutan menjadi anggota kelompoknya.

B. Tinjauan tentang Petani 1. Pengertian pertanian

Secara etimologi pertanian, berasal dari kata agriculture, dimana ager artinya lahan atau tanah dan cultura artinya memelihara atau menggarap. Menurut A.T Mosher (1968: 19) pertanian adalah sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, sektor peetanian merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk dan merupakan sasaran pembangunan di pedasaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Suhartono dalam Harumiasih (2002: 23) prioritas pembangunan masyarakat di pedesaan dijatuhkan pada sektor ekonomi pertanian. Hal tersebut disebabkan karena mata pencaharian sebagai petani di Indonesia identik dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Tidak bisa disanggah lagi bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah penduduk pedesaan yang bekerja pada sektor agraris atau pertanian sebagai mata pencaharian utamanya.

Menurut cara tanamnya, padi dapat dibagi menjadi padi sawah dan padi gogo. Padi sawah adalah padi yang ditanam di sawah dengan pengairannya sepanjang musim atau setiap saat. Sedangkan padi gogo adalah padi yang diusahakan di tanah tegalan kering secara menetap. Padi gogo diusahakan dengan menerapkan teknik budidaya seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pergiliran tanaman.

C. Tinjauan tentang Hukum Adat 1. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak

(7)

berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan (Hilman Hadikusuma, 1992: 8). Menurut Cornelis van Vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Tetapi rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan adat recht pada jaman tersebut bukan untuk hukum adat pada masa kini (Abdulrahman, 1984: 17-18).

Pengertian dan batasan diatas dapat dijadikan pedoman untuk membahas suatu tradisi yang ada di salah satu masyarakat tani di tengah-tengah masyarakat modern. Salah satu contoh tradisi yang akan dibahas adalah sistem bawon. Bawon yang merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang para petani sudah memenuhi unsur hukum adat karena merupakan aktifitas atau kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat tani.

2. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia

Menurut Hilman Hadikusuma (1992: 33), corak hukum adalah hukum adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan corak yang kepercayaan, tradisional, kebersamaan, konkrit dan visual. Sistem keseluruhan hidup bersama yang tersusun dari berbagai bagian dimana antara bagian satu dengan bagian yang lain saling bertautan atau berhubungan. Tiap hukum merupakan suatu sistem, sebagai suatu sistem yang kompleks dari norma-norma, yang merupakan suatu kebulatan sebagai wujud dari kesatuan alam pikiran yang hidup dalam masyarakat yang bersendi atas dasar alam pikiran yang berkaitan dengan unsur-unsur yang menjadi dasar corak sistem hukum adat (I Gede A.B Wiranata 2003: 57-58). Adapun corak-corak dalam hukum adat sebagai berikut:

a. Kepercayaan (Religio Magis) b. Kebersamaan (Komunal) c. Tradisional

(8)

d. Konkrit dan Visual e. Tidak dikodifikasikan

D. Tinjauan Tentang Sistem Bawon

Collier et.al (1974: 10) menyebutkan pada sistem bawon tradisional, bawon merupakan upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Panen padi merupakan aktifitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. Menurut hasil di beberapa tempat petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang benar-benar terbuka dalam arti setiap orang diijinkan ikut memanen (Hayami dan Kikuchi, 1981: 50).

Sistem bawon adalah suatu sistem upah yang berlaku di pedesaan di pulau jawa, dimana pemetik padi disawah orang lain akan mendapatkan bagian hasil padi sebanyak 20 % dari padi yang berhasil dipetiknya, yang dinamakan bawon. Pemberian bawon 20 % ini tidak mutlak, tetapi kebanyakan di beberapa daerah atau beberapa desa dipulau jawa biasanya memberikan bawon sebesar 20 % atau 1/5 bagian (Kasihono Arumbinang, 1993: 17-18). Terdapat beberapa tinjauan tentang sistem bawon yaitu :

III. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana prosedur pemecahan masalahnya diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya yang meliputi interprestasi, data dan analisis data. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berupa kata-kata yang tertulis dan lisan. Prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang perilakunya diamati.

(9)

Secara deskriptif dalam hal ini merupakan sebuah pendekatan dengan mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai sebuah fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendiskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah atau unit yang diteliti (Sanapiah Faisal, 2005: 20).

Penentuan subyek penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive dan teknik snowball. Berkaitan dengan kriteria tersebut, maka dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian menggunakan teknik purposive adalah:

1. Kepala desa Mungseng yang merupakan pemimpin di desa Mungseng secara historis dan administratif dapat mengetahui tentang pertanian di desa Mungseng secara umum serta sistem bawon di desa Mungseng. 2. Ketua Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) desa Mungseng merupakan

ketua semua kelompok petani yang anggotanya adalah semua petani di desa Mungseng yang dapat menjelaskan seluk-beluk sistem bawon dan fenomena petani di desa Mungseng.

Sedangkan yang dijadikan subyek penelitian yang ditentukan menggunakan teknik snowball dengan kriteria sebagai berikut :

1. Petani pemilik sawah di desa Mungseng merupakan petani yang berhak menentukan siapa saja yang akan ikut menanam padi dan dapat bawon dan menentukan berapa takaran pembagian upah bawon.

2. Petani penggarap sebagai wakil dari pemilik sawah dan menentukan buruh tani yang akan ikut menanam padi dan bawon.

3. Buruh tani yang ada di desa Mungseng merupakan pihak yang melaksanakan sistem bawon dan berjumlah 4 orang yang ditentukan atau diawali dari informan awal.

Untuk teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara yaitu dengan observasi, wawancara dan dokumentasi maka teknik yang digunakan dalam pemeriksaan data adalah menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2011: 327).

(10)

Tiga metode pengumpulan data yakni wawancara, observasi dan dokumentasi sehingga teknik triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengecek hasil wawancara dengan subyek penelitian dan observasi ke sawah tempat panen padi berlangsung dengan data yang diperoleh dari dokumen di kantor kepala desa Mungseng.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data induktif. Analisis data bersifat induktif yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan atau menjadi hipotesis (Sugiyono, 2011: 333). Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam analisis data antara lain sebagai berikut:

1. Reduksi Data

2. Unitisasi dan Kategorisasi 3. Display Data

4. Pengambilan Kesimpulan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Lokasi Penelitian

Desa Mungseng merupakan salah satu dari 25 Desa/Kelurahan yang ada di bawah wilayah pemerintahan Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung. Temperatur desa tersebut berkisar antara 20C°-26C°. Secara geografis desa Mungseng berada di sebelah selatan Kecamatan dan kota Kabupaten Temanggung. Jarak tempuh antara desa Mungseng dengan ibukota Kabupaten Temanggung adalah 1,75 Km dengan akses transportasi yang mudah dan keterjangkauan cukup tinggi, sedangkan jarak tempuh dengan Kecamatan Temanggung adalah 2 Km.

Desa Mungseng yang termasuk wilayah di bagian barat Kabupaten Temanggung keadaan tanahnya sudah mulai tinggi karena berada tepat di kaki gunung Sumbing. Oleh karena itu temperatur dan iklim di desa tersebut termasuk dalam iklim tropis basah dengan musim hujan rata-rata antara bulan Nopember-April dan musim kemarau antara bulan Mei-Oktober.

(11)

2. Pelaksanaan Sistem Bawon di Desa Mungseng

Dahulu masyarakat petani di desa Mungseng sebelum memulai mengerjakan lahan sawah akan diawali dengan perhitungan secara primbon jawa dengan adanya pranatamangsa. Para petani di desa Mungseng menggantungkan hidupnya pada alam semesta, Pranatamangsa diartikan sebagai perhitungan suatu musim berdasar gejala-gejala alam dan lingkungan. Menurut ketua gapoktan desa Mungseng, dari perhitungan pranatamangsa waktu tanam yang paling baik tahun ini sekitar tanggal 15-25 Desember, rentang waktu ini diperuntukkan bagi petani yang ingin menanam padi umur pendek antara 90 dan 100 hari.

Mengikuti pranatamangsa hanya salah satu syarat agar penanaman berhasil. Untuk selanjutnya para petani akan mulai merencanakan dan mempersiapkan semua alat, bahan maupun modal dalam menanam padi. Berikut tahap-tahap dalam realisasi penanaman padi dan bawon oleh petani di desa Mungseng:

1) Persiapan lahan tanam

2) Pembenihan dan penyemaian bibit padi

3) Penanaman bibit padi

4) Pemupukan dan perawatan tanaman padi

5) Pemanenan tanaman padi

Proses bawon dilakukan setelah penderep selesai memanen padi dan mengumpulkan hasil derepnya kedalam karung atau bagor. Dengan cara diangkut ke rumah pemilik sawah maka pemilik akan langsung bawoni dengan cara membagi padi dengan perbandingan 5:1 artinya apabila buruh tani mendapat derep 60 kg maka yang 50 kg akan diperoleh petani dan 10 kg untuk buruh tani. Terkait pembagian upah dengan bawon ini terdapat dua macam cara di desa Mungseng. Ketua gapoktan mengungkapkan ada dua

(12)

macam bentuk pemberian bawon yang ada di desa Mungseng, pertama pemberian upah bawon menggunakan takaran berupa mangkuk atau baskom kecil, kedua langsung menggunakan timbangan yang kesemua perbandingan takaran tergantung pemberian masing-masing pemilik sawah.

Pemberian upah bawon dengan takaran ini sudah muncul lebih dulu sebelum adanya timbangan. Dahulu ketiadaan alat timbang mengharuskan para petani menggunakan takaran sebagai alat pembagi antara penderep dengan pemilik sawah. Menurut pemilik sawah, sudah menggunakan takaran sejak dari simbah-simbahnya dulu, biasanya menggunakan baskom kecil untuk menakar dengan perbandingan takaran setiap 5 baskom untuk bagian pemilik sawah dan 1 baskom untuk bagian penderep. Setelah muncul alat timbang kemudian para petani mulai menggunakan timbangan untuk membagi hasil derep. Akan tetapi berbeda dengan salah satu petani yang lain yaitu menggunakan alat timbang dirasa lebih mudah dan cepat dalam membagi hasil panen, jumlahnya pun hampir sama dengan yang menggunakan takaran, karena rata-rata setiap 1 takaran seperti baskom kecil berisi 1 kg padi.

Pada pembagian upah bawon dengan cara ditakar atau ditimbang pasti diikuti dengan perbandingan pemberian bagian. Menurut ketua gapoktan, di desa Mungseng ini terdapat macam-macam perbandingan pemberian upah misalnya 4:1, 5:1, 6:1, ada juga yang 9:1 jika buruh tani tidak ikut menanam padi sebelumnya. Hal tersebut tergantung wewenang atau rasa berbagi dari setiap pemilik sawah meskipun tidak ada ukuran patokan atau standarisasi perbandingan upah. Meskipun demikian para buruh tani tetap saja menerima pemberian upah tersebut dengan senang hati.

3. Makna Sistem Bawon di Desa Mungseng

a. Makna Berbagi

Hal pertama cermin dari nilai-nilai berbagi adalah saat petani menyuruh atau mengajak tetangganya untuk ikut menanam padi. Menurut

(13)

seorang petani penggarap, alasan untuk mengajak tetangga dekat untuk ikut menanam padi dilandasi dengan rasa berbagi dan tolong-menolong, rasa berbagi agar para tetangganya dapat mendapatkan bawonan dan agar para tetangganya mendapat pekerjaan sampingan dan tambahan pendapatan dari selain pekerjaan pokoknya. Saat ditanya kenapa tidak memakai tenaga kerja dari luar desa Mungseng, petani penggarap tersebut menjelaskan bahwa selain untuk saling berbagi kepada tetangga, juga karena adanya rasa pekewuh atau sungkan apabila menyewa tenaga buruh tani dari luar desa. Lain halnya dengan yang ditunjukkan oleh salah satu petani pemilik, saat pemberian upah bawon ia sering menambahkan padi sedikit dari takaran biasanya, hal tersebut karena niatnya untuk mendapatkan rezeki yang berkah dari hasil panen padi yaitu dengan cara bersedekah (berbagi) kepada tetangga-tetangganya yang ikut derep.

Selanjutnya nilai-nilai sosial diatas juga tercermin saat proses derep dan bawon. Saat derep para tetangga yang dulunya ikut tandur maka secara otomatis akan ikut derep juga, saat itulah rasa kebersamaan dan tolong-menolong juga timbul. Rasa kebersamaan mereka ciptakan pada saat memotong padi, merontokkan dan mengangkut padi, apabila ada penderep wanita yang kebetulan sudah janda atau suaminya sedang merantau ke daerah lain maka penderep lain khususnya yang laki-laki akan langsung membantu dalam memotong, merontokkan padi dan mengangkut padi ke rumah pemilik sawah untuk dibawonkan.

b. Makna gotong-royong

Bentuk dari gotong-royong dan tolong-menolong yaitu pada saat panen atau derep, biasanya penderep akan saling gotong-royong dan tolong-menolong apabila ada salah satu tetangganya belum selesai nggebuk padi. Artinya para penderep akan saling membantu satu sama lain agar pekerjaan derep cepat selesai dan bisa cepat pulang bersama-sama. Seperti yang dikemukakan oleh seorang buruh tani, para penderep biasanya akan mengajak

(14)

keluarganya untuk derep, jika ada salah satu penderep yang tidak bisa mengajak keluarganya maka ia dan penderep lainnya akan langsung membantu penderep tersebut menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Tolong-menolong pada saat derep juga dicontohkan penderep saat mengangkut hasil derep berupa padi yang sudah dimasukkan ke dalam bagor atau karung, ibu-ibu atau nenek-nenek yang sudah tidak kuat menggendong karung biasanya akan mendapat bantuan dari penderep lain yang memiliki motor untuk mengangkut gabah ke rumah pemilik.

Bentuk gotong-royong selanjutnya adalah ketika sawah tempat untuk derep agak jauh dari rumah pemilik sawah, maka para penderep akan iuran bersama untuk menyewa mobil bak terbuka untuk mengangkut hasil derepnya ke rumah pemilik sawah. Menurut seorang buruh tani, dengan adanya iuran bersama menyewa mobil maka pekerjaan pengangkutan ke rumah pemilik padi menjadi ringan karena penderep tidak harus menggendong atau memanggul padi yang berat dengan jarak yang jauh. Adanya gotong-royong dan tolong-menolong diantara petani ini merupakan suatu keharusan, sehingga kehidupan petani padi terutama yang berada di desa Mungseng bagaikan suatu keluarga. Dimana tolong-menolong tersebut tidak diukur oleh uang atau benda lainnya sebagai pembayaran.

c. Makna kebersamaan

Prinsip kebersamaan masyarakat desa juga tercermin dalam hal bercocok tanam atau pertanian. Di desa Mungseng para petani biasa melakukan prinsip kebersamaan, misalnya saat kerja bakti membersihkan aliran sungai, menanam tembakau, membuat lahan, menanam padi, derep, bawon, dll. Seorang buruh tani mengemukakan, bawon merupakan kegiatan panen padi dan pembagian upah dengan rasa kebersamaan karena para penderep yang merupakan para tetangga pemilik sawah melakukan kegiatan dari mulai nandur, derep dan bawon dilakukan secara bersama-sama tanpa saling mendahului, saling egois atau saling curang satu sama lain. Dengan

(15)

rasa kebersamaan tersebut menurutnya pekerjaan di sawah menjadi terasa ringan dan cepat selesai.

Pada saat mengangkut padi dan bawon para penderep biasanya akan saling tunggu satu sama lain, karena dengan menunggu penderep lain yang belum selesai bekerja akan menimbulkan kekompakan dan merasa senasib sepenanggungan. Tindakan kebersamaan ini juga mereka wujudkan melalui kerjasama saling membantu dan tolong-menolong dalam mengerjakan derep dan bawon. Hal itulah yang menunjukkan bahwa dalam sistem bawon terdapat makna kebersamaan antar petani.

4. Penyebab Ditinggalkannya Sistem Bawon oleh Petani di Desa Mungseng

a. Sulitnya pengawasan saat panen (derep) dan timbulnya rasa sungkan/pekewuh dalam proses pekerjaan panen.

Terkait dengan masalah pengawasan, saat derep juga menimbulkan sedikit kecurangan oleh penderep, menurut petani pemilik sawah suatu ketika ada salah satu penderep yang ternyata tidak dapat ikut derep pada waktu yang telah ditentukan, ternyata diam-diam penderep tersebut menyuruh penderep lain untuk memanenkan bagiannya kemudian sebelum hasil panen dikumpulkan di rumah pemilik sawah sudah dibagi dengan penderep tersebut di sawah tanpa sepengetahuan pemilik sawah. Hal inilah yang akan menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan antara petani pemilik dengan penderep yang secara tidak langsung akan mempengaruhi hubungan keduanya menjadi kurang harmonis di lingkungan tetangga ataupun tetangga.

Selain hal diatas tradisi bawon ini juga menimbulkan adanya kecenderungan rasa sungkan atau pekewuh antara petani pemilik sawah dengan buruh tani (penderep). Berhubungan dengan proses pengerjaan di sawah, dimana petani pemilik sawah cenderung pekewuh atau sungkan apabila akan menyuruh-nyuruh buruh tani (penderep) layaknya majikan dengan buruhnya, karena dengan tradisi bawon maka perlakuan petani pemilik terhadap penderep harus didasari oleh rasa kekeluargaan dan

(16)

kekerabatan. Berbeda dengan sistem pemberian upah berupa uang harian, petani pemilik akan cenderung lebih bebas apabila menyuruh-nyuruh dalam pekerjaannya di sawah.

b. Munculnya sistem tebasan pada panen padi

Sistem panen tebasan ini memberikan andil besar untuk semakin ditinggalkannya sistem panen tradisional. Dengan demikian akan mengurangi peluang petani subsisten lain untuk terlibat dalam pekerjaan panen padi sistem terbuka. Penebas tentunya menginginkan hasil yang maksimal dan akan menentukan sendiri cara panen yang menurutnya lebih menguntungkan. Selain itu penebas juga tidak memiliki ikatan dengan komunitas petani, biasanya penebas akan menggunakan pekerjaan dengan sistem buruh upahan yang tentu saja lebih memilih bekerja dengan peralatan sabit dibanding dengan ani-ani.

Seperti yang dikemukakan oleh seorang petani pemilik, yang sudah sekitar empat tahun lalu telah meninggalkan sistem bawon dan beralih ke sistem tebasan, hal itu dilakukan karena sudah lansia, sedangkan anak-anaknya tidak ada yang mau meneruskan pekerjaannya sebagai petani. Menurutnya dengan meninggalkan sistem bawon dan beralih ke sistem tebasan agar dalam pekerjaan memanen padi menjadi lebih efisien dan cepat dan langsung mendapatkan uang tunai dari penebas. Dengan sistem tebasan tengkulak dalam peranannya sebagai penebas bebas dari kewajiban tradisi terhadap komunitas desa, mereka menutup panen ini bagi mayoritas penduduk desa dan memperkerjakan sedikit pekerja untuk memanen hasil yang telah dibeli.

Mereka membayar upah secara kontan kepada para pekerja dan menyediakan untuk efisiensi yang lebih tinggi, dengan cara-cara ini biaya panen bisa dikurangi. Peralihan dari sistem bawon ke sistem tebasan juga disebabkan oleh tekanan penduduk karena pertumbuhan penduduk akan menekan areal tanah garapan yang terbatas, maka jumlah pekerja yang tidak

(17)

memiliki lahan dan petani dengan lahan penguasaan yang terlalu kecil untuk mencari nafkah juga menjadi bertambah.

c. Guna memperoleh pendapatan lebih (ekonomis)

Pemberian upah dengan bawon memang dituntut untuk mengeluarkan sedikit hasil dan rezeki kita bagi tetangga dekat dan sesama, karena kita semua tidak dapat hidup hanya seorang diri tanpa bantuan orang lain. Meski sarat dengan rasa berbagi dan kebersamaan tidak lantas mendorong semua petani untuk melestarikan tradisi tersebut. Seperti yang ditunjukkan oleh salah satu petani, ia sudah tidak menggunakan sistem bawon dalam pemberian upah, karena disamping sudah jarang yang mau disuruh tandur dan derep, hasil dari bawon tersebut agaknya berkurang dibandingkan dengan menyewa buruh tandur dan derep. Untuk mengatasinya petani tersebut menggunakan sistem kroyokan (borongan) dalam pekerjaan memanen padi, dimana padi yang sudah siap panen akan dipanen oleh beberapa orang saja dalam satu kelompok dan upahnya akan diberikan dengan uang harian dan pemberian makan atau minum.

Salah satu petani menambahkan, lebih memilih menyewa buruh tanam padi dari luar desa daripada menyuruh tetangga dekat karena di desa Mungseng saat ini sudah jarang yang mau bekerja di sawah sebagai patani atau buruh tani. Sudah sekitar tujuh musim yang lalu ia lebih memilih menyewa buruh tanam dari luar desa, menurutnya para tetangganya saat ini hanya mau ketika disuruh tandur padi dan bawon saja, ketika disuruh menanam tanaman lain atau melakukan pekerjaan lain di sawah sudah jarang yang mau. Suatu pekerjaan yang dilandasi dengan rasa tolong-menolong juga membutuhkan konsistensi dan berkelanjutan.

d. Sulitnya mencari tenaga kerja (buruh tani)

Keengganan buruh tani untuk ikut memanen padi (derep) tersebut menurut salah satu buruh tani terkait dengan hasil panen yang minim akibat terkena dampak kekeringan dan hama, yang mengakibatkan hasil panen tiap

(18)

penderep menjadi sedikit. Logikanya para penderep menginginkan hasil panen yang banyak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, sementara perolehan gabah saat panen akhir-akhir ini hanya beberapa kilogram saja. Jika para petani pemilik kesulitan mendapatkan tenaga derep, maka masa panen pun juga akan bertambah, otomatis padi akan tambah menua dan terlalu lama di sawah. Hal tersebut mengakibatkan padi akan semakin rentan rusak karena hama ataupun cuaca, maka ini juga akan kembali berpengaruh terhadap hasil panen dan pendapatan petani apabila kualitas gabah buruk dan sedikit, maka petani pemilik pasti akan mengalami kerugian yang besar.

Hal ini juga sangat berdampak dalam kelestarian tradisi masyarakat, terutama tradisi yang erat kaitannya dengan rasa berbagi, gotong-royang dan kebersamaan di masyarakat. Untuk itu dibutuhkan saling toleransi dan kesadaran bersosial antar petani dan buruh tani khususnya, agar tradisi yang penuh dengan manfaat yang diwariskan oleh nenek moyang dapat tetap terjaga walaupun sulit untuk beradu dengan cepatnya perubahan jaman dan teknologi dalam pertanian.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sebelum proses pelaksanaan bawon diawali dengan beberapa tahap terkait dengan kegiatan penanaman sampai dengan pemanenan. Tahap-tahap tersebut dimulai dengan tahap persiapan lahan atau sawah yaitu proses pembentukan lahan/media tanam di areal sawah yang dilakukan dengan pembajakan dengan traktor ataupun alat tradisional (hewan). Tahap selanjutnya yaitu pembenihan dan penyemaian bibit padi, penyiapan bibit ini padi biasanya petani akan merendam gabah selama 3-4 hari untuk kemudian disemai di areal tanah pembibitan. Setelah tahap pembibitan dan penyemaian selanjutnya pada tahap penanaman para buruh tanam padi

(19)

akan bersama-sama ke sawah untuk tandur atau menanam padi pada pagi hari. Tahap pemupukan dan perawatan tanaman padi menjadi tahap selanjutnya, pemupukan pertama dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam. Pada proses pemanenan atau derep ini diawali dengan pemotongan batang padi terlebih dahulu, setelah padi selesai di potong menggunakan sabit maka proses selanjutnya yaitu perontokan padi. Apabila semua padi sudah terkumpul dan dimasukkan ke dalam karung maka para buruh tani akan mengangkut ke rumah pemilik sawah untuk dikumpulkan dan di bawonkan. Pelaksanaan bawon ini bila hasil derep terkumpul maka pemilik akan bawoni dengan cara membagi padi dengan perbandingan 5:1 artinya apabila buruh tani mendapat derep 60 kg maka yang 50 kg akan diperoleh petani dan 10 kg untuk buruh tani.

2. Makna sistem bawon yang pertama adalah makna berbagi, hal tersebut tercermin saat petani menyuruh atau mengajak tetangganya untuk ikut menanam padi, alasan untuk mengajak tetangga dekat untuk ikut menanam padi dilandasi dengan rasa berbagi dan tolong-menolong, rasa berbagi agar para tetangganya dapat mendapatkan bawonan dan agar para tetangganya mendapat pekerjaan sampingan. Makna bawon selanjutnya adalah makna gotong-royong, pada saat panen atau derep, biasanya penderep akan saling gotong-royong dan tolong-menolong apabila ada salah satu tetangganya belum selesai nggebuk padi. Makna bawon terakhir adalah makna kebersamaan. Sistem bawon mempunyai makna kebersamaan karena penderep yang merupakan para tetangga pemilik sawah melakukan kegiatan nandur, derep dan bawon secara bersama-sama tanpa saling mendahului, mereka tanpa egois atau saling curang satu sama lain. Tindakan kebersamaan mereka wujudkan melalui kerja sama saling membantu dan tolong-menolong dalam mengerjakan derep dan bawon.

3. Beberapa penyebab yang melandasi ditinggalkanya sistem bawon di desa Mungseng adalah: a)sulitnya pengawasan saat panen (derep) dan timbulnya rasa sungkan dalam proses pekerjaan panen. b)Munculnya

(20)

sistem tebasan pada panen padi yakni petani menjual padi langsung kepada penebas/tengkulak ketika tanaman padi masih menguning dan masih tegak disawah beberapa hari sebelum dipanen. c)Faktor guna memperoleh pendapatan lebih (ekonomis), meski sarat dengan rasa berbagi dan kebersamaan tidak lantas mendorong semua petani untuk melestarikan tradisi tersebut. Salah satu petani sudah tidak menggunakan sistem bawon dalam pembagian upah, karena disamping sudah jarang yang mau disuruh tandur dan derep, hasil dari bawon tersebut juga agak berkurang dibandingkan dengan menyewa buruh tandur dan derep. d)Sulitnya mencari tenaga kerja (buruh tani) karena para warga desa yang tidak mempunyai sawah sudah jarang yang mau bekerja di sawah, mereka lebih memilih pekerjaan lain seperti berdagang, kuli bangunan, tukang meubel atau merantau ke kota besar. Para pemuda di desa Mungseng saat ini sudah tidak ada yang mau apabila disuruh kerja di sawah, mereka cenderung gengsi dan malu bila menjadi seorang petani.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan tentang sistem bawon di desa Mungseng Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung, maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran yang dijadikan masukan atau bahan pertimbangan yaitu, sebagai berikut:

1. Kepada masyarakat dan petani di Desa Mungseng, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, agar tetap mendukung dan melestarikan sistem bawon, terutama karena terdapat banyak makna didalamnya yang sangat berguna dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari serta bagi generasi penerus bangsa.

2. Kepada buruh tani di Desa Mungseng, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, agar lebih bersikap disiplin dan teratur dalam melakukan pekerjaan derep dan bawon agar sistem bawon yang

(21)

mempunyai banyak manfaat dan maknanya dapat tetap terjaga kelestariannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman. (1984). Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia. Jakarta: Cendara Press.

Amiruddin. (2010). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Arikunto Suharmisi. (2002). Prosedur Penelitian. Edisi Lima. Jakarta: Rineka Cipta.

Arumbinang Kasihono. (1993). Sistem Bawon Untuk KUD: Suatu Alternatif Pengalihan Saham 20%. Jakarta: CV Haji Masagung.

A.T, Mosher. (1968). Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Yasagama.

Basrowi. (2005). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Burhanuddin Bungin. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

C.E. Bishop, W.D. Toussaint. (1979). Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Jakarta: Mutiara.

Dannerius Sinaga. (1988). Sosiologi dan Antropologi. Klaten: PT. Intan Pariwara.

(22)

Gatut Murniatmo, dkk. (2000). Khazanah Budaya Lokal (Sebuah Pengantar untuk Memahami Kebudayaan Daerah di Nusantara). Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Gunawan Wiradi dkk. (2009). Ranah Studi Agraria: Penguasaan dan Hubungan Agraris. Yogyakarta: STPN.

Hayami Yujiro dan Masao Kikuchi. (1987). Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hilman Hadikusuma. (1992). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

I Gede A.B Wiranata. (2003). Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa. Bandung: Departemen Pendidikan Nasional.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (Edisi Keempat). (2008). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Lexy J. Moleong. (2009). Metode Penelitian Kualtitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Margono, S. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta.

Munandar Soelaeman. (1992). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(23)

OK. Chairudin. (1993). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Paul Johnson, Doyle. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.

Phil. Astrid S. Susanto. (1999). Pengatar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Garindo Press.

P.J. Bouman. (1980). Ilmu Masyarakat Umum: Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Pembangunan.

Sanapiah Faisal. (2001). Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Graindo Press.

Selo Soemardjan. (1993). Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan (Pokok-pokok Pikiran Selo Soemardjan). Jakarta: Pusakata Sinar Harapan.

Sinaga, Dannerius dkk. (1988). Sosiologi dan Antropologi. Palembang: PT Intan Pariwara.

Soekartawi. (1986). Pembangunan Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soepomo. (1989). Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari. Jakarta: Pustaka Rakyat.

. (1997). Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnjaparamita.

Soerjono Soekanto. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

(24)

. (2011). Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Soleman B. Taneko. (1984). Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2006). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Wahyudi Panjta Sunjata. (1997). Kupatan Jalasutera Tradisi, Makna dan Simboliknya. Yogyakarta: Depdikbud.

Internet

http://paskomnas.com/id/berita/Biaya-panen-murah-produksi meningkat.php/ (diakses pada tanggal 03 September 2012 pukul 20.30 WIB).

http://www.suaramerdeka.com/harian/0704/02/kedu05.htm/ (diakses pada tanggal 06 September 2012 pukul 13.40 WIB).

Referensi

Dokumen terkait

Bila lembaga inspeksi Tipe B yang merupakan suatu bagian dari suatu organisasi pemasok, menginspeksi item yang dirakit (dimanufaktur) oleh atau untuk organisasi induk lembaga

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan (uji F) yang telah dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan / bersama-sama gross profit margin, return

In this paper we focus on how a workflow tool can help the consumer as well as the producer to get a better understanding about which product characteristics are important.. For

Latar Belakang ……… Landasan Hukum ……… Maksud dan Tujuan ……… Sistematika Penulisan ……… BAB II GAMBARAN PELAYANAN KECAMATAN.. Tugas, Fungsi, dan Struktur

The increasing number of users and their growing demand for high actuality of the topographic data sets motivates the Dutch Kadaster to innovate and improve

Penyusunan dokumen Kurikulum ini dilakukan dengan merujuk pada Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar isi, Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar

Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material dan

Untuk operasional kegiatan peran dan fungsi TKPK provinsi, maka tim teknis TKPK Provinsi telah melakukan fasilitasi, koordinasi dan pengendalian terhadap TKPK Provinsi dan