• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DIPLOMASI LINGGARJATI DAN RENVILLE SERTA PENGARUHNYA DI SURAKARTA. A. Pengaruh Perjanjian Linggarjati di Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III DIPLOMASI LINGGARJATI DAN RENVILLE SERTA PENGARUHNYA DI SURAKARTA. A. Pengaruh Perjanjian Linggarjati di Surakarta"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

DIPLOMASI LINGGARJATI DAN RENVILLE SERTA

PENGARUHNYA DI SURAKARTA

A. Pengaruh Perjanjian Linggarjati di Surakarta

1. Latar Belakang Perjanjian Linggarjati

Tentara Sekutu mulai masuk ke Indonesia untuk melucuti Jepang pada 23 Agustus 1945. Pada tanggal 20 Oktober Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Bethell mulai memasuki Pulau Jawa, tepatnya Semarang. Maksud kedatangan Sekutu adalah untuk mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik oleh Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro. Beliau menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedangkan Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Pasukan Sekutu tidak hanya mendarat di Semarang, di Medan, Palembang, Bandung, Surabaya, pasukan Sekutu juga berdatangan. Kedatangan pasukan Sekutu dianggap sebagai ancaman sehingga menimbulkan konflik di berbagai daerah. Ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jenderal Bethel menegaskan bahwa pasukannya di Jawa Tengah tidak akan ikut campur.1 Pasukan Sekutu yang sebelumnya mendarat di Semarang, ketika sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah

1

Aan Ratmanto, KRONIK TNI Tentara Nasional Indonesia 1945-1949, (Yogyakarta: Mata Padi Presindo, 2013), hlm. 30.

(2)

dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran.2

Pasukan Sekutu kemudian mundur ke arah Ambarawa. Setibanya di Ambarawa pasukan Sekutu mengalami berbagai perlawanan dari beberapa Kompi pasukan TKR yang ada di dalam kota. Kedudukan pasukan Sekutu sempat terdesak, untuk menambah kekuatan pasukan Sekutu menggunakan tenaga pasukan Jepang yang menjadi tawanannya. Mengetahui keadaan tersebut, Kolonel Sudirman yang menjabat sebagai pimpinan Divisi V memerintahkan Letnan Kolonel Isdiman untuk membantu menyerang Sekutu di Ambarawa. Letnan Kolonel Isdiman gugur dalam suatu pertempuran dengan Sekutu, maka Kolonel Sudirman turun langsung ke medan pertempuran. Bergabungnya Kolonel Sudirman menambah semangat juang pasukan yang bertempur hingga dapat direbutnya benteng Sekutu di banyubiru pada 5 Desember 1945 dan lapangan terbang Kalibanteng pada 9 Desember 1945 sehingga putuslah kekuatan udara Sekutu. Direbutnya pusat pertahanan Sekutu menginspirasi Kolonel Sudirman untuk melakukan suatu serangan umum untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa. Kolonel Sudirman mengundang komandan TKR yang berada di Wilayahnya untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Sekutu. Ditetapkanlah tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30 pagi sebagai waktu penyerangan. Diawali dengan pengintaian dan pembagian tugas selanjutnya dilakukanlah serangan terhadap kedudukan pasukan Sekutu di Ambarawa. Luas Kota Ambarawa yang tidak terlalu besar menyebabkan pertempuran sengit terjadi di berbagai penjuru kota.

2

Yanuar Ridho N.A.Y.P., Peranan Kolonel Gatot Subroto Pada Masa

Darurat Militer Di Surakarta Tahun 1947 – 1950,Skripsi, (Jurusan Ilmu Sejarah

(3)

Para prajurtit TKR mampu menguasai berbagai kantor penting seperti gedung pemerintahan, setasiun kereta api, pemancar radio, pusat tenaga listrik, persimpangan jalan dan pusat lalu lintas kota. Keadaan tersebut membuat Sekutu yang diboncengi NICA terdesak dan mundur ke Semarang.3

Pasca terjadinya peristiwa Palagan Ambarawa pihak Sekutu menggelar konferensi di Jakarta untuk menarik pasukan-pasukan di beberapa daerah terutama Surabaya, namun Belanda (NICA) dapat membujuk Inggris agar menunda hal tersebut untuk sementara waktu. Selanjutnya Sekutu dan NICA melanjutkan aksinya di beberapa wilayah seperti terjadinya pertempuran Medan. Belanda juga mendaratkan pasukannya ke Tanjung Priok hal ini melatarbelakangi berpindahnya Ibukota ke Yogyakarta. Pada bulan Februari 1946 diadaan perundingan awal antara Belanda dengan Indonesia atas desakan Inggris, hal tersebut terus berlanjut hingga diadakan perundingan di Hooge Veluwe, Belanda pada 14-25 April 1946 namun tidak ada hasil yang dicapai. Perundingan genjatan senjata tidak mengalami kemajuan hingga akhir tahun 1946 tepatnya bulan Oktober atas prakarsa diplomat Inggris, Lord Killeran.4 Meskipun ketegangan dan pertempuran terkadang masih terjadi namun proses perundingan terus berjalan. Pada tanggal 11-15 November 1946 diadakanlah perundingan Linggarjati antara delegasi Indonesia yang salah satu wakilnya dalah Perdana Menteri Sutan Syahrir dan delegasi Belanda yang dipimpin oleh Prof. Schermerhourn. Sebagai penengah adalah Lord Killeran dari Inggris. suatu hal penting yang dicapai dalam perundingan ini adalah pengakuan de facto Belanda atas Republik Indonesia di Wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Hasil lainnya adalah pembentukan Negara

3

Medan Juang Ambarawa, Arsip Koleksi Dinas Sejarah TNI AD.

4

(4)

Republik Indonesia Serikat Serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai Ratu Belanda.5

2. Pengaruh Perjanjian Linggarjati di Surakarta

Hasil dari perjanjian Linggarjati memang Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, namun dalam kenyataannya posisi Indonesia juga dirugikan. Pihak Indonesia dianggap terlalu mengalah kepada Belanda. Hasil yang didapatkan melalui jalur diplomasi ini tidak membuat pemuda pemuda di Surakarta puas. Jalur diplomasi dianggap hanya strategi Belanda untuk kembali berkuasa.6 Semangat juang pemuda yang masih membara seperti ingin dilampiaskan kepada Belanda yang mengusik kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu seorang pemuda akan merasa malu bila tidak ikut berperang.7 Pemerintah juga telah mengumumkan adanya perjanjian damai sehingga menghimbau untuk menghentikan tembak menembak. Kebutuhan hidup pada waktu itu sangat sulit didapatkan, hal ini akibat dari adanya blokade Belanda. Blokade tersebut mendapatkan tentangan dari berbagai negara, salah satunya adalah India. Bantuan-bantuan yang masuk tetaplah ada namun tidaklah banyak.8 Orang-orang luar wilayah Surakarta juga banyak yang berdatangan ke Surakarta. Penduduk dari luar itu antara lain dari Salatiga, Boyolali, Semarang dan daerah-daerah lainnya. Tujuan kedatangan mereka selain ada yang ingin mengungsi juga ada yang datang untuk berdagang, namun tingkat kriminalitas di Surakarta

5

Radik Utoyo Sudirjo, Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, (Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/BP Alda, 1983), hlm. 96.

6

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

7

Wawancara dengan Sunaryo, tanggal 14 September 2016.

8

(5)

memang tinggi pada saat itu.9 Ditambah lagi dengan maraknya peredaran uang palsu, kondisi ini menunjukkan lemahnya kontrol terhadap peredaran uang palsu di Surakarta.10

Meski perundingan dilakukan pada akhir 1946 namun naskah perjanjian Linggarjati baru ditandatangani pada 25 Maret 1947., dan sekitar dua bulan kemudian pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota ultimatum kepada Indonesia. Nota ultimatum tersebut memuat beberapa tuntutan yaitu : membentuk pemerintahan ad interim bersama, mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama, Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah pendudukan Belanda, menyelenggarakan ketertiban dan keamanan bersama di seluruh wilayah Indonesia dan menyelenggarakan peninjauan bersama atas impor dan ekspor. Ultimatum ini harus dijawab dalam tempo 14 hari. Pemerintah Indonesia menjawab nota ultimatum tersebut yakni : setuju membuat pemerintahan peralihan dan mempersiapkan penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Pemerintah Federal Nasional, kedudukan de

facto Indonesia tidak boleh diganggu, menyusun badan pusat pembagian makanan

untuk seluruh rakyat Indonesia, kewajiban mengurus ketertiban dan keamanan adalah urusan Polisis Republik Indonesia sendiri, perdagangan ekspor dan impor dijalankan menurut petunjuk pemerintahan peralihan, dan mengenai penyelenggaraan perjanjian Linggarjati diurus oleh kedua delegasi yang dijalankan pemerintahan peralihan. Perdana menteri Syahrir kemudian memberikan pidato pada 19 Juni 1947 yang menyatakan pengakuan secara de jure

9

Wawancara dengan Sunaryo , tanggal 14 September 2016.

10

Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.,

Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, (Wonogiri: Bina Citra

(6)

terhadap Belanda. Pidato ini membuat posisi Syahrir goyah disusul beberapa hari kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook kembali mengultimatum agar pihak Republik Indonesia segera memenuhi segala tuntutan Belanda. Akhirnya karena kondisi politik yang memanas Perdana Menteri Syahrir menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden Sukarno dan selanjutnya digantikan Amir Syarifudin.11

Situasi tidak segera membaik, justru terdengar kabar bahwa Belanda akan melakukan serangan terhadap Indonesia setelah perintah Jenderal Spoor salah satu pimpinan militer Belanda tersebar. Belanda dikabarkan sedang melakukan persiapan-persiapan untuk melakukan penyerangan. Kabar tersebut segera tersebar, Jendral Sudirman yang saat itu telah diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang segera memerintahkan pasukan TNI dan seluruh rakyat Indonesia agar selalu waspada dan bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi dan bersiap melawan dengan sebaik-baiknya apabila Belanda benar-benar menyerang. Surakarta yang pada waktu itu juga menjadi pusat perjuangan turut bersiap menghadapi serangan. Golongan pelajar yang tergabung dalam tentara pelajar juga turut mempersiapkan diri, selain bersekolah diadakan pula latihan-latihan dasar kemiliteran.12 Latihan kemiliteran sebenarnya bukan hal baru untuk para pelajar. Semasa Jepang masih berkuasa Jepang juga melatih para pelajar. Jepang pada waktu itu memberikan pelatihan dasar militer berupa kedisiplinan dan latihan fisik. Sehingga pemuda-pemuda pada waktu itu kuat dan berani, tidak semua yang ditinggalkan Jepang buruk.13

11

Aan Ratmanto, Op.Cit., hlm. 81-84.

12

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

13

(7)

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertamanya. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Belanda hendak merusak kemerdekaan Indonesia dengan ingin berkuasa kembali di Indonesia. Jendral Spoor, kepala staff Koninklijk Nederlandschi Indisch Leger (KNIL) memerintahkan komandan Brigade Tijger, Kolonel Van Langen untuk merebut kota penting di Jawa Tengah yaitu Surakarta, Magelang dan Salatiga. Brigade Tijger yang berada di Semarang selanjutnya akan melancarkan serangan ke arah tenggara yang merupakan wilayah operasi Divisi IV/ Panembahan Senopati. Pergerakan pasukan Van Langen tidaklah mudah meskipun telah mandapat bantuan serangan dari udara. Gangguan dari pasukan TNI dan juga medan berat berupa pegunan dan persawahan menghambat laju Brigade Tijger. Keputusan Pasukan Belanda untuk melakukan langkah terobosan dari Semarang ke arah selatan ternyata sudah mulai terhambat di sekitar Srondol akibat ranjau darat yang disebar oleh pasukan TNI.14 Brigade Tijger tidak pernah menduga bahwa lawan mereka ternyata adalah pasukan profesional dengan kemampuan bertempur yang baik dan terorganisir, bukan hanya ekstrimis yang bertempur dengan senjata rampasan.

Perlawanan pasukan TNI, Tentara Pelajar dan semua elemen lainnya sangat hebat, meskipun kalah dalam hal persenjataan, karena senjata dari pihak Indonesia hanya seadanya.15 Keputusan pemindahan Batalyon II Resimen 26 dari Pacitan ke Sumowono pada Bulan Mei sangat tepat. Anggota pasukan yang sebelumnya sudah sering melakukan latihan perang secara intensif serta penggemblengan mental dan fisik, setidaknya membuat mereka lebih siap dalam menghadapi serangan Belanda. Hal itu terbukti saat Brigade Tijger tidak pernah

14

Julius Pour., Op.Cit. hlm. 56.

15

(8)

berhasil sampai ke wilayah Surakarta dan tidak mampu menembus pertahanan Batalyon II Resimen 26 Divisi IV/ Panembahan Senopati. Akurasi tembakan pasukan TNI sangat bagus, terarah pada setiap gerakan. Keuletan mereka juga sangat tinggi, mampu memberikan perlawanan secara terus-menerus.16

Pada tanggal 4 agustus kesepakatan gencatan senjata tercapai, Panglima Besar Jenderal Jenderal Sudirman memerintahkan segala permusuhan, namun harus tetap waspada dengan kemungkinan yang mungkin terjadi. Keberadaan Batalyon II Resimen 26 Divisi IV/ Panembahan Senopati yang ditempatkan di Sumowono selanjutnya ditarik ke daerah Klaten, penempatan di Klaten tidak lama karena kembali dipindahkan ke Surakarta. Tujuannya adalah untuk merebut sebagian wilayah Boyolali dan menjaga di wilayah perbatasan Surakarta dan Semarang. Selain pasukan TNI Tentara Pelajar juga dikirimkan untuk berjaga di Srondol, selain menjaga keamanan juga mencegah Belanda menyusup.17 Selain Srondol juga ada yang ditempatkan di daerah Tlawah sekitar Semarang. Pasukan diangkut menggunakan kereta dari Stasiun Gundih menuju Semarang, namun pada saat itu posisi gerbong berada di depan dan lokomotif berada di belakang. Strategi ini dilakukan apabila Belanda tiba tiba menyerang maka lokomotif akan lebih cepat menarik kereta untuk mundur. Pasukan yang dikirimkan pun juga mengalami banyak kendala. Terkadang kesulitan bahan makanan hingga ada yang memakan daging babi hutan dan monyet. Semua dilakukan untuk bertahan demi menjaga keamanan. Selain itu tak jarang juga yang terkena penyakit kulit. Peristiwa Agresi I Belanda menyebabkan semakin banyaknya pengungsi yang

16

Julius Pour., Op.Cit. hlm. 56.

17

Wawancara dengan Gio Sarjoko, tanggal 23 Agustus 2016., Wawancara dengan Sunaryo, tanggal 14 September 2016.

(9)

berdatangan ke wilayah Surakarta.18 Agresi militer belanda mengundang reaksi dan kecaman dari dunia. PBB menyerukan gencatan senjata dan membentuk KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai komisi jasa baik yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia yang bertugas sebagai pengawas gencatan senjata.

B. Gejolak Akibat Perjanjian Renville di Surakarta

Desakan internasional dan perundingan yang berlarut-larut akhirnya perjanjian perdamaian ditandatangani di atas kapal USS Renville, kapal milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Isi perjanjian Renville diantaranya adalah mengenai pengaturan garis batas demarkasi antara wilayah Indonesia dengan wilayah yang telah diduduki Belanda. Keputusan penandatanganan Perjanjian Renville mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin, yang kemudian digantikan oleh Kabinet Hatta. Jatuhnya kabinet Amir adalah karena ketidakpuasan dalam Perjanjian Renville. Sementara itu kelompok oposisi yang beraliran kiri bergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh dan partai sosialis. Sebaliknya, partai dan organisasi yang mendukung pemerintah bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Gencatan senjata memang tercapai, namun terkadang masih terjadi kontak senjata di perbatasan wilayah. Masa-masa gencatan senjata ini juga dimanfaatkan pelajar untuk kembali bersekolah, didalam satu kelas mungkin terdapat teman yang berusia lebih tua ataupun muda, karena memang masa perang tidak memungkinkan untuk

18

(10)

bersekolah, sehingga harus berbagi.19 Para pelajar yang bersekolah tidak semua kembali ke rumah masing-masing ada yang tinggal bersama-sama dengan yang lain di Asrama agar mudah untuk berkomunikasi dan melakukan koordinasi.20

1. Pertentangan Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Di Surakarta Salah satu program setelah menjabat. Kabinet Hatta mencanangkan program Reorganisasi dan Rasionalisasi atau dikenal juga dengan Re-Ra. Tujuan Re-Ra adalah menata Rasio pasukan dan senjata, karena tidak semua kesatuan setiap personelnya bisa mendapat senjata. Program ini mendapat tentangan, karena pada saat itu jumlah pejuang yang ingen berjuang mempertahankan kemerdekaan tidak sedikit jumlahnya, meskipun ada pula yang ingin ikut berjuang daripada menganggur. Selain itu juga ada alasan kesetiaan terhadap pimpinan yang menjadi panutan dalam berjuang. Penolakan terhadap program Re-Ra juga datang dari Divisi IV/Panembahan Senopati. Kolonel Sutarto yang saat itu menjadi Komandan Divisi Istimewa X yang membawahi resimen 26 dan 27 Divisi IV/Panembahan Senopati secara tegas menolak program tersebut. Kolonel Soetarto bahkan menggelar parade pasukan besar besaran pada peringatan 40 Tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1948. Parade tersebut dianggap sebagai unjuk kekuatan dan kekompakan dari pasukan Kolonel Soetarto.21

Pada awal bulan Mei Soetarto dan pasukannya dinyatakan non-aktif dan diwajibkan untuk melapor ke Markas Besar di Yogyakarta, hal ini didasarkan pada peraturan Re-Ra. Penolakan Kolonel Soetarto mengakibatkan Divisi

19

Wawancara dengan Kuswanto, tanggal 28 Agustus 2016.

20

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

21

(11)

IV/Panembahan Senopati tidak jadi digabungkan dengan divisi lain melainkan dirubah menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS). Kesatuan lain yang terdapat di wilayah Jawa Tengah adalah Divisi II/Pangeran Diponegoro yang merupakan penggabungan Divisi II/Sunan Gunung Djati dengan Divisi III/Pangeran Diponegoro, pemimpinnya adalah Kolonel Bambang Soegeng. Divisi II memiliki empat Brigade, Brigade I dipimpin oleh Letnan Kolonel Sapari yang kemudian digantikan Letnan kolonel Moch. Bachroen. Brigade II Letnan Kolonel Pranoto Brigade III Letnan Kolonel Soeharto dan Brigade IV letnan Kolonel Martono. KPPS dibawah pimpinan Kolonel Soetarto terbagi menjadi 5 Brigade. Secara berturut-turut, Brigade V dipimpin Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo, Brigade VI dipimpin kolonel Slamet Soediarto, Brigade VII Letnan kolonel Ahmad Yadau, Brigade VIII Letnan kolonel Iskandar dan Brigade IX Letnan kolonel Soejoto. Brigade V sendiri memiliki empat batalyon tempur. Batalyon 13 dipimpin oleh Mayor Soedigdo, Batalyon 14 dipimpin Mayor Slamet Riyadi, Batalyon 15 Mayor Soenitioso, dan Batalyon 16 Mayor Soeharto Goegoet.22

Pada tanggal 29 Mei 1948 Gubernur Daerah Istimewa Surakarta, Letnan Jendral Wikana dilengserkan. Hal ini dilakukan karena wilayah Daerah Istimewa Surakarta sudah tidak ada lagi. Pelengseran Wikana dianggap sebagai aksi pemerintah untuk membersihkan golongan kiri, mengingat Wikana adalah salah satu pimpinan PKI. Setelah lengsernya Wikana dibentuklah Komando Militer Kota (KMK) yang dipimpin Mayor Achmadi. Dua bulan setelah melakukan parade bersama pasukannya, tepatnya tanggal 2 Juli 1948 Kolonel Soetarto

22

(12)

ditembak dan terbunuh. Sebagai pengganti Kolonel Soetarto ditunjuklah Kolonel Soeadi Soeromihardjo yang sebelumnya menjabat Komandan Brigade V. Posisi komandan Brigade V kemudian diisi oleh Mayor Slamet Riyadi yang sebelumnya menjabat Komandan Batalyon 14. Selain itu Slamet Riyadi juga ditetapkan sebagai Komandan Komando Pertempuran Daerah Surakarta. Kolonel Sutarto ditembak di depan rumahnya sepulang dari kantor. Pembunuhan tersebut tidak terungkap hingga menimbulkan berbagai spekulasi.23

2. Hijrah Divisi Siliwangi Dan Konflik Militer di Surakarta

Salah satu kesepakatan yang dicapai dalam Perjanjian Renville adalah pengosongan wilayah Jawa Barat dari kekuatan-kekuatan militer, yang berarti Divisi Siliwangi harus berpindah ke luar wilayah Jawa Barat. Berbeda dengan keadaan di Jawa Tengah yang hanya sebagian wilayah yang dikuasai oleh Belanda, di Jawa Barat anggota Divisi Siliwangi hidup berkantong-kantong di luar kota yang dikuasai Belanda. Jumlah pasukan Divisi Siliwangi yang hijrah cukup banyak. Para pasukan Divisi Siliwangi dalam hijrahnya ada yang diangkut menggunakan kapal dari Cirebon, ada yang menggunakan kereta api ada pula yang berjalan kaki menuju wilayah yang ditentukan.24 Peristiwa hijrahnya Divisi Siliwangi juga menimbulkan permasalahan tersendiri karena pada waktu itu Surakarta penuh dengan berbagai macam organisasi, pejuang dan pengungsi, serta adanya orang-orang pro Belanda yang menyamar sebagai pasukan hijrah. Pasukan Siliwangi disebut sebagai Kesatuan Reserve Umum (KRU) karena berada diluar daerah operasinya.25

23

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

24

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

25

(13)

Pasukan–pasukan Siliwangi yang hijrah dari Jawa barat sebagian besar ditempatkan di Yogyakarta dan Magelang dan dapat digerakkan atas perintah langsung dari Panglima Besar, dan sebagian lagi ditempatkan di Surakarta, yaitu Brigade Siliwangi II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin. Di Surakarta mereka tidak mempunyai mess dan tempat singgah maka oleh Markas Besar, pasukan Siliwangi ini ditempatkan tersebar di kota Surakarta sekitarnya dan ditempatkan di beberapa pabrik – pabrik gula. Di pabrik gula Tasikmadu ada Batalyon I Sunan Gunung Jati pimpinan Mayor Rukman, Batalyon II Taruma Nagara di bawah pimpinan Mayor Sentot Iskandardinata ditempatkan di Delanggu, Batalyon III Prabu Kian Santang pimpinan Mayor Sambas Atmadinata ditempatkan di Sragen dan Batalyon IV Taji Malela pimpinan Mayor Umar Wirahadikusuma ditempatkan di pabrik gula Colomadu. Brigade II Siliwangi sendiri di Surakarta tidak dapat mengadakan latihan fisik dan lain – lain akibat dari banyak persoalan yang timbul yang di hembuskan oleh FDR (Front Demokrasi Rakyat) bahwa Siliwangi adalah pasukan yang selalu kalah.26

Meskipun TNI sudah dibentuk namun masih ada persaingan-persaingan antar badan keamanan yang dulunya terbentuk karena ideologi, ikatan sosial dan solidarisme tertentu. Solidarisme dan fanatisme kelompok yang begitu kuat seringkali menimbulkan benturan kepentingan dengan kelompok-kelompok lain yang juga mempunyai solidaritas kuat.27 Adanya kelompok-kelompok seperti itu menimbulkan kekacauan dan gangguan keamanan di Surakarta. Kelompok pengacau yang meresahkan salah satunya adalah kelompok Mardjoeki. Mardjoeki adalah anggota Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), meskipun

26

Yanuar Ridho N.A.Y.P., Op.Cit., hlm. 57-58.

27

(14)

berpangkat Letnan Kolonel dan memiliki pasukan namun Mardjoeki melakukan tindakan-tindakan pelanggaran disiplin, pencurian dan tindakan kriminal lainnya. Pasukan Mardjoeki ini dalam pemenuhan kebutuhannya bertindak semena-mena terhadap rakyat. Mereka mengambil segala yang mereka inginkan tanpa membayar atau menggantinya.28 Aksi pasukan Mardjoeki sering dilakukan pada malam hari dengan melakukan penggedoran-penggedoran. Selain mengambil bahan makanan juga pakaian dan perhiasan.29 Menanggapi hal itu turun perintah dari kementrian pertahanan untuk melakukan pembersihan di Surakarta.30 Berdasarkan perintah tersebut Letnan Kolonel Soeadi menetapkan Mayor Slamet Riyadi sebagai pelaksana. Dalam menghadapi masalah ini, Slamet Riyadi menemui dan mengadakan koordinasi dengan Achmadi pimpinan Tentara Pelajar Surakarta untuk mengatur siasat penumpasan pengacauan-pengacauan tersebut.31 Secara serentak setelah dilakukan koordinasi Pasukan TNI dan Tentara Pelajar (TP) menyerang markas eks BPRI yang dipimpin Mardjoeki. Kontak senjata tidak berlangsung lama, anak buah Letkol Mardjoeki banyak yang menyerang. Seorang pejuang TP bernama Gadjah Soeranto gugur dalam peristiwa itu, sedangkan Letkol Mardjoeki berhasil melarikan diri. Pengejaran segera dilakukan guna menangkap Letkol Mardjoeki. Mardjoeki kemudian tertangkap di daerah Pasar Legi tanpa perlawanan. Slamet Riyadi kemudian memerintahkan agar Mardjoeki dibawa dengan sepeda motor ke daerah Panasan dan atas

28

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016.

29

Wawancara dengan Sunaryo, tanggal 14 September 2016.

30

Gerakan Pembersihan di Solo, Arsip Delegasi indonesia. No. 500, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.

31

Keluarga Besar SA/CSA dan Mantan Perwira Brigade V Divisi II,

Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, (Jakarta: Keluarga Besar SA/CSA, 1996),

(15)

kesalahannya yang telah diketahui dan dirasakan masyarakat Surakarta, Mardjoeki akhirnya dieksekusi tembak mati di Panasan.32 Tindakan eksekusi itu menimbulkan reaksi keras dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Wakil Presiden marah atas tindakan tersebut, dan berpesan agar Slamet Riyadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan mengingat BPRI merupakan salah satu unsur TNI. Bung Hatta berpesan agar lain kali Slamet Riyadi lebih berhati-hati. Kasus Letkol Mardjoeku dianggap selesai BPRI pusat yang sebelumnya tidak terima akhirnya memahami keputusan hukuman Mardjoeki, mengingat banyaknya kejahatan yang diperbuat Mardjoeki.33

Ditengah situasi yang memanas pada tanggal 2 Juli 1948, Kolonel Soetarto selaku panglima KPPS (Komando Pertempuran Panembahan Senopati), ditembak oleh orang yang tidak dikenal di depan rumahnya di Timuran. Dimata lawan– lawannya Kolonel Soetarto dikenal dekat dengan FDR. FDR berusaha sekeras kerasnya untuk mempengaruhi dan membuat kesan bahwa Kolonel Soetarto telah berpihak kepadanya. Reaksi terbunuhnya Kolonel Soetarto segera meluas di lingkungan KPPS, kemudian timbul desas–desus bahwa Kolonel Soetarto ditembak oleh Siliwangi karena di tempat perkara ditemukan emblem tentara Siliwangi. Kemudian Mayor Achmadi selaku KMK ( Komando Militer Kota ) datang ke markas Siliwangi dengan membawa barang bukti. Dengan melalui diskusi yang cukup alot, akhirnya Mayor Achmadi mau menerima alasan Letnan Kolonel Omon selaku Kepala Staf Brigade yang mengatakan bahwa tidak mungkin seorang pembunuh tokoh penting meninggalkan jejak. KPPS akhirnya

32

Ibid.

33

(16)

bisa menerima bahwa pembunuhan Kolonel Soetarto adalah pembunuhan yang berlatar belakang politik.34

Kondisi Surakarta semakin mencekam dengan memanasnya hubungaan tentara hijrah Divisi Siliwangi dengan KPPS. Suasana yang mencekam berusaha diredakan pemerintah pusat dengan mengadakan pameran pembangunan memperingati tiga tahun proklamasi dan pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Acara yang diadakan tersebut berjalan kurang lancar. Pameran pembangunan yang diadakan di Sriwedari justru terbakar, muncul dugaan adanya sabotase dalam acara tersebut. Beberapa hari setelah kebakaran yang menghanguskan pameran pembangunan di Taman Sriwedari, Pekan Olahraga Nasional dibuka oleh Presiden Soekarno pada tanggal 9 September 1948 di Stadion Sriwedari. Insiden kembali terjadi satu hari setelah PON usai. KRU Siliwangi yang berada di daerah Srambatan disergap oleh pasukan KPPS yang masuk dalam Resimen Yadau. Insiden ini disebabkan adanya penculikan terhadap anggota KPPS di sekitar Srambatan yang merupakan markas dari KRU Siliwangi. Letnan Kolonel Soeadi memberi ultimatum agar Siliwangi membebaskan anggota KPPS yang diculik. Pada waktu itu Slamet Riyadi selaku komandan Batalyon V sudah bersiap apabila sewaktu-waktu mendapat perintah menyerang. Keadaan bertambah rumit setelah Dr. Moewardi diculik dan terjadi bentrok antara Barisan Banteng yang dibantu Pasukan Siliwangi dengan Pesindo yang diduga pelaku penculikan.35

34

Pramoedya Ananta Toer, kronik revolusi Indonesia jilid IV- 1948, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 389-390.

35

(17)

Panglima Besar Jenderal Soedirman yang mendapat berita mengenai peristiwa tersebut segera menuju Surakarta untuk meredakan suasana. Jenderal Soedirman memanggil masing-masing pimpinan kesatuan yaitu Letnan Kolonel Soeadi dan Letnan Kolonel Sadikin untuk berunding dan membahas masalah yang sedang terjadi. Kedatangan Jenderal Soedirman ditambah dengan adanya perundingan yang mempertemukan kedua pimpinan membuat suasana kembali tenang. Presiden Sukarno kemuadian menetapkan Surakarta, Semarang dan Madiun sebagai daerah militer dan menetapkan Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer. Presiden Soekarno juga menetapkan Kolonel Bambang Soegeng sebagai Kepala Staf Pertahanan Jawa Tengah dan Moeljanto sebagai wakil jaksa Agung.36 Permasalahan antara KPPS dengan Divisi Siliwangi sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kesalahpahaman, dan juga ada pihak-pihak yang sengaja ingin membuat situasi tidak aman yaitu pihak-pihak yang berhaluan kiri salah satunya PKI. Berhubung banyak pejuang pada waktu itu yang masih berusia muda maka masih wajar bila terjadi cekcok atau salah paham, namun diluar itu banyak juga yang saling berteman dengan Divisi Siliwangi.37

3. Menumpas Pemberontakan PKI Madiun

Pada tanggal 18 September 1948 PKI telah mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan pemerintahan di bawah pimpinan Muso. Pukul 09.00 pagi tanggal 18 September 1948, Madiun sudah dikuasai oleh

36

Pengumuman Pemerintah, Arsip Kementrian Pertahanan. No. 1433, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.

37

Wawancara dengan Djoko Ramelan, tanggal 10 Agustus 2016., Wawancara dengan Sudiyono, tanggal 12 Agustus 2016.

(18)

pemberontak.38 Gedung-gedung penting telah berhasil dikuasai dan pasukan TNI serta aparat keamanan yang dianggap tidak sepaham, dilucuti dan ditahan. Peristiwa Madiun dianggap memiliki kaitan dengan peristiwa kekacauan di Surakarta. Yadau dan Soejoto merupakan TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) yang pasukannya termasuk dalam pasukan tambahan KPPS telah dibubarkan dan dipecat dari tentara karena terdapat indikasi bahwa mereka beraliran kiri dan sering memancing bentrokan dengan Divisi Siliwangi. Panglima Besar jenderal Sudirman yang menenangkan situasi di Surakarta juga menekankan bahwa peristiwa bentrok dan kekacauan di Surakarta disebabkan hasutan-hasutan dari PKI. Pelantikan Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer dianggap keputusan yang tepat, karena Markas Besar Angkatan Perang (MBAP) Indonesia memiliki perwira terpercaya di garis depan. Salah satu kesulitan untuk menumpas PKI adalah beranekaragamnya pasukan atau tentara pada waktu itu. Sebab itu, tugas pertama Gubernur Militer Surakarta ialah menentukan dahulu manakah pasukan atau tentara pemerintah dan mana pasukan pemberontak PKI. 39

Slamet Riyadi mendapat instruksi dari Kolonel Gatot Soebroto untuk mencegah Mayor Soedigdo yang berada di Wonogiri bergabung dengan PKI Musso. Selain mendapatkan misi menyadarkan Mayor Soedigdo, Mayor Slamet Riyadi juga mendapat tugas khusus yaitu menemui Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo. Tugas menemui pimpinannya tersebut guna menjelaskan situasi dan kondisi Surakarta yang sebenarnya, sehingga tidak

38

Julius Pour., Op.Cit. hlm. 90.

39

Keluarga Besar SA/CSA dan Mantan Perwira Brigade V Divisi II,

(19)

terpengaruh hasutan PKI. Mayor Digdo berhasil ditemui dan diajak kembali. Slamet Riyadi kemudian menempatkan Mayor Soedigdo bersama pasukannya ke salah satu markas di daerah Paras, Boyolali. Tugas kedua untuk menemui Letnan Kolonel Soeadi juga berhasil dilakukan, setelah mendapat info dari Mayor Soedigdo mengenai lokasi Letnan Kolonel Soeadi kemudian menyampaikan seputar peristiwa yang sebenarnya terjadi. Letnan Kolonel Soeadi mengerti dan berjanji memenuhi himbauan Gubernur Militer.40 Keberhasilan Mayor Slamet Riyadi ini menyebabkan pasukan pemberontak di Madiun gagal mendapatkan bantuan militer.

Operasi menumpas pemberontakan di Madiun selanjutnya digelar dengan dipimpin langsung oleh Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Operasi tersebut menggunakan empat kelompok pasukan. Kelompok pasukan pertama dalah kelompok pasukan Siliwangi, terdiri dari delapan batalyon dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin. Kelompok kedua adalah Brigade V/Panembahan Senopati dibawah pimpinan Mayor Slamet Riyadi. Kelompok pasukan ketiga adalah Tentara Pelajar yang dipimpin Mayor Achmadi dan kelompok ke empat adalah pasukan yang dipimpin dari Banyumas yang dipimpin Mayor Soerono Reksodimedjo. Sementara itu, di Jawa Timur Gubernur Militer kolonel Soengkono menugaskan Brigade Surachmad untuk melakukan operasi penyerbuan Madiun dari arah timur. 41

Usaha pemberantasan PKI terus dilakukan, termasuk dengan penerangan kepada masyarakat melalui RRI dan pamflet lewat udara. Penerangan dilakukan untuk mencegah meluasnya propaganda PKI. Jenderal

40

Ibid., hlm.59.

41

(20)

Sudirman menekankan upaya pemberantasan pemberontakan PKI lebih ditujukan untuk menangkap dan mengadili para tokoh intelektualnya, bukan untuk menyeret anak buah serta massa pengikutnya. Pendekatan kekeluargaan lebih ditekankan kepada pasukan yang mungkin masih bisa diajak kembali membela Indonesia.42 Pada Tanggal 30 September 1948 pusat kota Madiun berhasil direbut namun, pasukan komunis berhasil melarikan diri. Dalam usaha pelarian tersebut Musso tewas tertembak, sementara Amir Syarifuddin dan petinggi lainnya berhasil tertangkap. Slamet Riyadi dalam operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun berhasil menangkap tiga perwira komunis, yaitu Letnan Jenderal Sukono Djojopratiknjo, Letnan Kolonel Syamsudin musanif dan Mayor Soewitojo. Para tahanan politik ini nantinya dieksekusi pada saat Belanda melancarkan Agresi Militer ke dua, hal itu dikarenakan keadaan darurat mengingat Belanda bisa menyerang sewaktu waktu.43

42

Wawancara dengan Sudiyono, tanggal 12 Agustus 2016.

43

Referensi

Dokumen terkait

Penamaan ―Islam Liberal‖ yang baru beberapa tahun belakangan populer, hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara eksplisit maupun

 Additional response ; adalah tambahan skor untuk setiap elaborasi atau spesifikasi pada main response, baik yang diberikan pada saat PP (performance proper) maupun inquiry.

Dalam penelitian ini untuk mencari pengaruh sarana dan pra sarana belajar dalam menunjang kegiatan kewirausahaan pada siswa kelas XI SMK PGRI 1 Tulungagung Semester

Kelompok 3 tikus diberi larutan DMBA (Dimetil Benz Antrasena) dengan dosis 20mg/kg BB dan ekstraks Sarangsemut fraksi air dengan dosis 750ppm/kgBB selama 5 minggu

dimaksud dengan tradisi Selamatan Suroan ialah suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak dahulu dalam suatu kelompok untuk menyambut bulan Muharram atau Suro yang dilakukan

Untuk dapat menemukan tiga temuan di atas, potensi-potensi strategis dari kesultanan Samudra Pasai untuk menjadi Living Museum Samudra Pasai dan infrastruktur, rute

Menurut pengamatan sementara diketahui bahwa dalam upaya peningkatan efektivitas kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II telah dilakukan

Analisa pe sioner yang dapat dilihat ambar 3 Bag ka Pemikir menjamin sen lainnya Penyebaran media cet untuk men am suatu pr asi yang d pertanian o am leaflet asi