• Tidak ada hasil yang ditemukan

: modernisasi hukum, Indonesia, borjuis, Eropa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": modernisasi hukum, Indonesia, borjuis, Eropa Barat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Modernisasi Hukum di Indonesia:

Adakah Peran Golongan Borjuis Seperti di Eropa Barat ?

Oleh: M. Syamsudin*

Abstrak

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengaji proses modernisasi hukum di Indonesia, terkait dengan pertanyaan adakah peran dari golongan borjuis seperti yang terjadi di Eropa Barat yang telah berhasil melahirkan suatu bentuk hukum modern, seperti yang dikenal sekarang ini. Perkembangan hukum Eropa Barat dengan segala tradisinya sebagaimana dikenali sekarang sebagai hukum modern, pada awalnya berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi Kristiani, yang dimutakhirkan lewat revolusi-revolusi, mulai dari apa yang disebut ‘Papal Revolution’ sampai kepada apa yang dikenal ‘revolusi kaum borjuis-liberal’’ pada akhir abad ke-17. Dengan menelusuri kembali asal usul lahirnya hukum modern yang terjadi di wilayah Eropa Daratan, yang kemudian pada akhirnya juga diintroduksikan di Indonesia (Hindia Belanda saat itu) melalui suatu kebijakan politik hukum kolonial Belanda (bewuste rechtspolitiek), maka menjadi sangat penting untuk mencari benang merah apakah praktek hukum modern di Indonesia itu merupakan kelanjutan logis tradisi hukum Eropa ataukah ia mempunyai identitas tersendiri yang berbeda dengan negeri asalnya. Lahirnya negara modern Indonesia pada tahun 1945 menuntut pula dukungan penggunaan hukum modern untuk menata berbagai aspek kehidupan masyarakat sesuai visi dan misinya. Modernisasi hukum di Eropa Barat, dalam proses kemunculannya ditopang oleh keberadaan kelompok borjuis liberal-kapitalis yang berhasil merubah secara mendasar aspek-aspek sosial, kultural, politik dan ekonomi masyarakat Eropa pada waktu itu yang telah melahirkan konsepsi hukum modern. Kondisi seperti ini apakah juga terjadi di Indonesia dalam pembentukan dan pelaksanaan hukumnya?. Adakah golongan borjuis ala Indonesia yang juga ikut berperan dalam proses modernisasi hukum? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti dari uraian tulisan berikut ini.

Kata Kunci : modernisasi hukum, Indonesia, borjuis, Eropa Barat

A. Pendahuluan

Organski berpendapat bahwa bangsa-bangsa modern sekarang ini menjalani proses modernisasi melalui tiga tahapan, yaitu : (1) politik

* Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

dan sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang.

(2)

unifikasi, (2) politik industrialisasi, dan (3) politik kesejahteraan sosial. Tahap pertama masalah utamanya adalah integrasi politik menciptakan persatuan nasional. Tahap kedua perjuangan untuk modernisasi politik dan ekonomi. Pada tahap ini fungsi utama pemerintah adalah mendorong terjadinya akumulasi modal. Tahap ketiga pekerjaan utama pemerintah adalah melindungi rakyat dari penderitaan yang timbul akibat kehidupan industrialisasi.1

Inggris masuk pada tahap pertama pada zaman Henry II

(1154-1189) ditandai antara lain lahirnya Common Law dan terbentuknya Inggris

Raya. Inggris menunggu 500 tahun (lima abad) sampai terjadinya revolusi industri, untuk masuk pada tahap kedua. Baru pada abad ke-20 Inggris memasuki tahap ketiga.

Amerika Serikat masuk pada tahap pertama mulai lahirnya Konstitusi Amerika 1776. Setelah 60 tahun lebih merdeka, Amerika baru memasuki tahap kedua, era industrialisasi. Rostow menyebut negara ini mulai ‘take of” pada tahun 1840. Pada tahun 1861-1865 terjadi Perang saudara (Civil War) antara utara yang industrial dan selatan yang agraris, antara federasi dan konfederasi. Tidak kurang sekitar 10.000 kontak senjata terjadi yang menelan korban paling sedikit 500.000 orang, termasuk yang tewas, cacat, dan luka-luka, belum terhitung kerugian harta benda. Baru pada tahun 1930 Amerika Serikat masuk tahap ‘welfare state”.2

Jepang memasuki tahap pertama ketika keluarga Tokugawa di bawah beberapa Shogun mempersatukan Jepang dari tahun 1603 sampai 1867. Baru dengan Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang memasuki tahap kedua (industrialisasi). Hasilnya modernisasi yang cepat, GNP meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 1879 sampai 1898. Menjelang Perang Dunia I pada tahun 1914 Jepang menjadi negara industri terkemuka. Dalam 60 tahun, pada tahun 1939 GNP Jepang bertambah hampir 1000 persen. Setelah Perang Dunia II bangun dari kekalahan, Jepang memasuki tahap welfare state.3 Sejak tahun 1960-an negara-negara berkembang Asia-Afrika yang baru merdeka menolak pendapat tiga tahap satu persatu tersebut. Termasuk Indonesia ingin mencapai tiga tahap sekaligus dalam

waktu yang bersamaan.4

1 Wallace Mendelson, “Law and the Development of Nation”, The Journal of Politic.

Vol. 32, 1970, p. 223 dalam Erman Rajagukguk, “Perubahan Hukum Indonesia: Persatuan Bangsa, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (1998-2004)”,

Makalah, bahan mengajar di Magister Hukum UII, 2004, p. 6-7.

2Ibid. 3Ibid. 4Ibid.

(3)

Dilihat dari sejarahnya, hukum nasional (modern) Indonesia tidak lain merupakan kelanjutan dari hukum kolonial (Belanda), dan pada gilirannya sejarah hukum kolonial itu adalah kelanjutan pula sejarah hukum Eropa Barat. Perkembangan hukum Eropa Barat dengan segala tradisinya sebagaimana dikenali sekarang sebagai hukum modern, pada awalnya berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat revolusi-revolusi, mulai dari apa yang disebut ‘Papal Revolution’ sampai kepada apa yang dikenal ‘revolusi kaum borjuis-liberal’’ di Perancis pada akhir abad ke-17.5 Perkembangan pasca Revolusi Perancis sangat mempengaruhi pula perkembangan hukum di negeri Belanda dan seterusnya di negeri jajahannya yang kala itu disebut Hindia Belanda.

Ciri-ciri hukum (modern) Eropa Barat yang terwariskan melalui proses transplantasi sampai ke negeri Indonesia sekarang ini yang penting antara lain :

1. Bahwa hukum itu bersifat positif, dalam arti dinyatakan secara

eksplisit dalam rumus-rumus pasal/ayat yang tertulis (corpus iuris) demi terjaminya kepastian;

2. Bahwa hukum itu dilandasi oleh keyakinan ideologik bahwa hukum

yang dalam maknanya yang demikian itu berstatus supremasi mengatasi norma-norma sosial lain yang tidak atau belum dipositifkan (ius) sebagai hukum (lege);

3. Bahwa hukum itu memiliki karakter historisitas, yang berarti bahwa hukum barat itu selalu dalam proses perubahan dialektik-dialogik yang terus-menerus, menuju ke kesempurnaan yang fungsional; 4. Bahwa hukum itu dirawat dan dikelola secara eksklusif oleh kaum

professional tertentu;

5. Bahwa untuk kelestarian profesi ini ditunjang oleh adanya institusi pendidikan universiter di bidang kehukuman.6

B. Lahirnya Hukum Modern (Barat) dan Peran Golongan Borjuis

Tradisi hukum (modern) barat yang diintroduksikan ke Indonesia oleh kaum kolonial ini sebenarnya mempunyai tradisi sejarahnya tersendiri, yang tentunya berbeda dengan tradisi sejarah yang ada di bumi nusantara. Menurut Gianfranco Poggi proses pembentukan hukum

5 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika

Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995), p. 2.

6 Soetandyo Wignjosoebroto, Sinopsis Sejarah Hukum Nasional Indonesia, Bahan

(4)

modern barat tak dapat dilepaskan dan beriringan dengan proses terbentuknya negara modern (konstitusional). Poggi membagi tahapan pembentukan negara modern melalui berbagai tahapan yaitu: (1) masa feodal; (2) standestaat; (3) absolutisme; (4) masyarakat sipil; dan (5) negara konstitusional.7

Pembentukan negara konstitusional (modern) dan hukum modern di Eropa Barat, tak dapat dilepaskan dari pengaruh golongan masyarakat

borjuis 8 yaitu kelompok dalam masyarakat yang diberi ciri oleh kekayaan dan pendidikan. Di Eropa Barat, kaum borjuasi muncul terkait erat dengan munculnya masyarakat sipil (civil society) pada masa sistem peraturan yang absolut yang sangat didominasi oleh kekuasaan negara. Lahirnya kelas borjuis ini sebagai awal lahirnya masyarakat sipil (civil society) di Eropa. Kaum borjuis di Eropa terdiri dari para usahawan kapitalis yang mengalami kemajuan sehingga menginginkan identitas tersendiri sebagai kelas tertentu. Kelas ini menghendaki kompetisi di antara anggotanya yaitu perorangan dengan kepentingan-kepentingan sendiri sehingga akan tercipta keadaan yang ekuilibirium. Kelas ini tidak menghendaki adanya kekuasaan sebab dengan adanya kekuasaan di dalam kelas akan menyebabkan kekuasaan tersebut berhadapan dengan golongan lain yang tidak mempunyai kekuasaan. Keadaan ini menyebabkan tidak terciptanya kompetisi yang sepadan lagi.

Di lain pihak golongan borjuis juga menghendaki adanya peraturan yang dapat menjamin berjalannya sistem pasar yang otonom. Mereka menghendaki agar badan yang menyelenggarakan hukum secara struktural berada di atas semua kelas, yaitu yang mempunyai sifat publik yang khas dan berkedaulatan. Negara seolah-olah berada di atas masyarakat yang membentuk organisasinya sendiri terdiri dari jabatan-jabatan dan pejabat-pejabatnya. Dalam kedudukan yang demikian, Negara menghadapi masyarakatnya yang dilihatnya semata-mata terdiri-dari orang-orang atau individu. Negara menghadapai dan memperlakukan individu-individu dalam kapasitasnya sebagai subyek-subyek, sebagai pembayar pajak, wajib bela Negara dan sebagainya. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai kumpulan individu-individu yang hanya mampu melakukan kegiatan dan hubungan di antara sesamanya apabila disediakan dan digerakkan oleh hukum Negara.9

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), p. 215. 8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) golongan borjuis/borjuasi

adalah golongan masyarakat kelas menegah, yaitu golongan bangsawan/hartawan.

(5)

Menurut Cicero (106-43 SM) masyarakat sipil disebutnya sebagai masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban sebuah masyarakat tersendiri. Masyarakat yang seperti ini di zaman dulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota masyarakatnya telah menundukkan hidupnya di bawah satu bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar untuk mengatur kehidupan bersama. Bahkan dapat pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota.10

Di zaman modern, istilah masyarakat sipil diambil dan dihidupkan kembali oleh John Locke, pemikir Inggris (1632-1704 M) dan J.J. Rousseau, pemikir Perancis (1712-1778 M) untuk mengungkapkan pemikiranya tentang masyarakat dan politik. Locke mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat politik (political society). Ciri-ciri dari masyarakat sipil itu meliputi terdapatnya tata kehidupan politik yang terikat pada hukum, adanya kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar, terjadinya tukar-menukar atau perdagangan dalam suatu pasar bebas, dan terjadinya perkembangan teknologi yang dipakai untuk mensejahterakan dan memuliakan hidup. Masyarakat politik menurut Rousseau merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (social contract). Dalam perjanjian tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola hubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat tersebut membedakan diri dari keadaan alami dari suatu masyarakat. Dalam konsep Locke dan Rousseau belum dikenal pembedaan antara masyarakat sipil dengan Negara, karena Negara, lebih khusus lagi pemerintah, merupakan bagian dan merupakan bentuk masyarakat sipil. Bahkan keduanya beranggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil, yang membedakannya dari masyarakat alami atau keadaan alami.11

Pembedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel (1770-1831), pemikir Jerman. Seperti halnya Locke dan Rousseau, Hegel melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ini adalah arena di mana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar untuk

10 Dawam Raharjo, “Demokrasi, Agama dan Masyarakat Sipil”, Jurnal UNISIA

NO. 39/XXII/III/1999, p. 27.

(6)

menghancurkan dirinya sendiri. Menurut Hegel masyarakat sipil bukanlah masyarakat politik. Yang dimaksud dengan masyarakat politik adalah Negara. Menurut Hegel masyarakat sipil dihadapkan pada Negara. Oleh karena itu lahir konsep yang dikhotomis antara Negara dan masyarakat (state and society).12

Pengertian tentang masyarakat sipil oleh Hegel dibalik dari pandangan Rousseau dan Locke. Baginya masyarakat sipil bukan satu-satunya yang dibentuk dalam kontrak sosial. Dengan perkataan lain, masyarakat sipil adalah satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain adalah Negara (state). Di sini yang dimaksud dengan masyarakat sipil adalah perkumpulan merdeka antara orang-seorang yang membentuk apa yang disebut

burgerlische gesellschaft atau masyarakat bourjuis (bourgeois society). Oleh karena itu Hegel membedakan pengertian masyarakat sipil (bourgeois society) dengan Negara (state). Yang pertama adalah bentuk perkumpulan yang bersifat spontan dan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, tetapi tidak bergantung pada hukum, sedangkan yang kedua adalah lembaga hukum dan politik yang mengayomi masyarakat secara keseluruhan. Dari berbagai pandangan itu dapat dibedakan antara gejala masyarakat sipil (civil society)

dan masyarakat (society) secara umum. Yang pertama adalah

perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik, sedangakan yang kedua merangkum keseluruhan perkumpulan baik yang terartikualsi secara legal-politis maupun yang tidak, tetapi diayomi dan dilindungi oleh Negara. Bahkan prinsip non-intervensi yang meminimalkan peran Negara dalam kehidupan ekonomi, seperti laissez faire memerlukan legalitas dari atau diciptakan oleh Negara sendiri.13

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perkembangan modernitas hukum dan negara di dunia barat (Eropa) sangat dipengaruhi oleh gerakan dari golongan borjuis liberal-kapitalis. Golongan ini berhasil merubah secara mendasar aspek-aspek sosial, kultural, politik dan ekonomi masyarakat Eropa pada waktu itu yang telah melahirkan konsepsi hukum modern. Dengan kata lain menurut Satjipto Rahardjo, lahirnya hukum modern pada hakekatnya merupakan respon terhadap sistem produksi ekonomi modern yang bersifat kapitalis. Proses-proses produksi ekonomi yang bersifat kapitalis itu memerlukan tatanan sosial yang mampu menciptakan dan yang mengharuskan proses-proses ekonomi berlangsung secara baik. Oleh karena itu tuntutan yang mendesak adalah diciptakannya suatu sistem hukum yang formal-logis yang dapat

12Ibid. 13Ibid

(7)

memberikan prediktabilitas tinggi yang dapat mengkalkulasikan produksi ekonomi.14

Dengan lahirnya kapitalisme, maka hukum tidak lagi bersifat spontan sebagai hasil proses-proses dalam masyarakat, tetapi merupakan ketentuan yang dibuat, dinyatakan dan diumumkan oleh negara. Dengan kata lain bahwa hukum modern itu berkonotasi atau bahkan identik

dengan hukum negara (state of law). Sistem hukum modern telah

melepaskan hukum dari pengaruh hukum alam (natural law) yang kurang lebih 20 abad mendominasi dunia sampai munculnya era industrialisasi di Eropa. Hukum modern melepaskan pengaruh ketuhanan. Dengan sistem ini yang namanya ‘keadilan’ sudah dianggap diberikan dengan mebuat hukum positip (undang-undang). Keadilan yang akan ditegakkan ditentukan melalui hukum positip tersebut.

C. Mengenali Golongan Borjuis di Indonesia: Siapa Mereka Itu ?

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang peran golongan borjuis dalam modernisasi hukum di Indonesia terlebih dahulu harus dikenali terlebih dahulu siapa sebenarnya yang dapat disebut golongan borjuis itu. Baru kemudian golongan ini setelah dikenali, pembicaraan dapat dilanjutkan ke masalah peran dan kontribusinya dalam proses modernisasi hukum di Indonesia.

Adakah golongan borjuis yang menopang muncul dan bekerjanya sistem hukum modern seperti yang terjadi di Eropa? Jawaban terhadap hal ini memang mengandung perdebatan di atara para para ahli, khususnya dikaitkan dengan peran golongan borjuis (menengah) dalam pembentukan masyarakat sipil dalam wadah Negara modern Indonesia, yang secara politis lahir pada 17 Agustus 1945. Beberapa pemikir menyatakan bahwa kelas menegah di Indonesia, bagaimanapun lemahnya mereka itu nampak, dan merupakan sumber daya penting dalam pemberdayaan Masyarakat Sipil. Kelas menegah itu terdiri-dari para professional, aktivis LSM, intelektual, dan para bisnisman yang secara total tidak berada pada dominasi negara. Mereka dapat melaksanakan proses pemberdayaan melalui memperkokoh otonomi mereka sendiri dan solidaritas di kalangan sejawat dan anggota. LSM perlu dicatat secara khusus karena mereka dapat secara langsung menumpang kepada masyarakat melalui kerja advokasi, pelatihan, dan program pembangunan masyarakat lainnya.15

14 Satjipto Rahardjo, “Kepastian Hukum” harian Kompas, 2 Desember 1999. 15 AS. Hikam, “Diskursus Intelektual tentang Civil Society di Indonesia”, Jurnal

(8)

Beberapa pemikir yang lain tidak begitu menaruh harapan terhadap keunggulan kelas menegah di Indonesia dalam upaya pemberdayaan masyarakat sipil. Mereka lebih mengharapkan kepada organisasi-organisasi dan asosiasi massa, termasuk asosiasi keagamaan, untuk menjalankan tugas. Pemikiran bahwa kelas menegah di Indonesia akan mampu menjadi pioner sangat diragukan berdasarkan fakta bahwa kelompok ini sedemikian lemah dan cenderung kepada konservatisme. Menurut Arief Budiman, kelas menengah Indonesia tidak dapat banyak diharap untuk menjadi ujung tombak perubahan politik karena ketergantungan mereka pada negara. Oleh karena itu masyarakat sipil Indonesia dapat berkembang dengan cara lain, yaitu dating dari kelompok-kelompok sosial yang secara tradisional mandiri dari Negara atau kelas-kelas sosial baru yang telah dipinggirkan oleh Negara. Kelompok-kelompok sosial ini meliputi kelompok-kelompok agama, mahasiswa, pekerja dan sebagainya yang masih nampak tetap berada di pinggiran yang menjadi penentang kuat bagi negara. Kelas menengah harus didorong oleh kelompok-kelompok sosial ini untuk bergabung dalam perjuangan mereka melawan kekuatan kekuasaan negara. Kelas menengah di Indonesia belum mempunyai kepercayaan diri dalam rangka menjadi tulang punggung masyarakat sipil (modern) Indonesia.16

Dari paparan terdahulu dapat diketahui bahwa lahirnya tatanan masyarakat yang disebut ‘masyarakat sipil’ di Eropa Barat ditopang oleh keberadaan kaum berjouis kapitalis yang bercorak liberal dan individual. Akan tetapi lain halnya dengan keadaan yang terjadi di Eropa Timur di bawah Rezim Sosialis, lahirnya (konsep) masyarakat sipil, para pakar mengaitkan dengan gejala pergerakan Serikat Buruh Solidaritas yang bangkit melawan negara. Dalam sistem sosialis, kehadiran dan peranan Negara sangat kuat. Negara mendominasi kehidupan individu dan masyarakat sehingga sulit dibayangkan adanya konsep masyarakat sipil seperti di Eropa Barat. Akan tetapi dalam realitas serikat buruh ternyata cukup kuat dan berperan sebagai masyarakat sipil berhadapan dengan Negara. Pada akhirnya serikat buruh itu ternyata mampu menumbangkan rezim yang sangat kuat. Setelah pemerintahan tumbang, Lech Walensa, pemimpin Serikat Buruh Solidaritas diangkat menjadi kepala Negara yang baru.17

Namun anehnya dalam kasus di Polandia, rezim sosialis justru mendapat perlawanan dari kelas buruh, padahal rezim sosialis memerintah atas nama kelas buruh dan kaum berjouis dianggap tidak ada. Sebagaimana

16Ibid., p. 24. 17Ibid.

(9)

diketahui bahwa Polandia adalah sebuah Negara yang mayoritas penduduknya beragama Katholik yang taat. Sri Paus yang menduduki tahta Vatikan juga berasal dari Polandia. Rupanya, di Negara yang sikap pemerintahannya sangat kuat anti agama, ternyata agama Katholik mampu bertahan. Di balik organisasi dan gerakan buruh, berdiri kekuatan sosial gereja. Lebih dari itu fondasi serikat buruh itu adalah umat beragama yang telah tumbuh menjadi kekuatan rakyat (people’s power). Dalam kasus Polandia, sulit berbicara mengenai kesadaran kelas (class consciusness) pada kaum buruh, karena dalam kelas tersebut tidak dikenal kelas kapitalis (borjuis), yang lebih nampak adalah kesadaran agama yang ternyata mampu mengatasi kesadaran kelas.18

Dari uraian di atas dapatlah ditarik benang merah tentang konsep masyarakat sipil yang mana di dalamnya bersemayam golongan borjuis yaitu suatu ruang partisipasi masyarakat dalam perkumpulan suka rela, media masa, perkumpulan profesi, serikat buruh dan tani, perkumpulan keagamaan atau organisasi-organisasi massa (di Indonesia). Para ahli berbeda pendapat dalam menilai ruang-ruang kegiatan yang dilakukan. Locke, Rousseau cenderung untuk mengedealisasikan masyarakat sipil sebagai hasil perkembangan masyarakat pada tahap yang lebih maju yang memilki kekuatan memancar dari dalam dirinya, berupa rasionalitas yang akan menuntun anggota masyarakat ke arah kebaikan umum. Akan tetapi Hegel mempunyai pandangan yang sebaliknya, masyarakat sipil mengandung potensi konflik di antara kepentingan-kepentingan individu yang berbeda dan bahkan berbenturan. Hanya melalui Negara saja kepentingan-kepentingan umat manusia yang universal dapat terpelihara dan dicapai. Hegel mengedealisasikan negara sebagai penumbuhan segala nilai kebaikan.

D. Moedernisasi Hukum di Indonesia : Adakah Peran Golongan Borjuis ?

1. Introduksi Hukum Modern di Indonesia

Jika modernisasi Indonesia dilihat dan diukur dari saat penggunaan hukum perundang-undangan (hukum yang dipositipkan), maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sudah mulai memodernisasikan dirinya ketika diintroduksikan Hukum Eropa Barat ke wilayah nusantara pada awal pertengahan abad ke-18. Introduksi ini didorong oleh garis kebijakan politik di negeri Belanda waktu itu yang amat dikuasai oleh para politisi berhalauan liberal. Kebijakan ini bertujuan untuk membukakan

(10)

peluang lebar modal-modal swasta dari Eropa guna ditanamkan ke dalam usaha-usaha perkebunan besar di daerah jajahan. Introduksi ini sebenarnya dimaksudkan juga untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih pasti kepada mereka yang termasuk golongan Eropa, dan juga kepada anak negeri (bumi putra) di wilayah jajahan.19

Terdapat dua motivasi introduksi hukum ini, yaitu pertama motivasi ideal yang bertujuan termajukannya nilai-nilai kemanusiaan yang dianggap universal untuk siapapun tanpa kecuali dalam wujud terbebaskannya siapapun dari status perbudakan dan perhambaan, dan kedua motivasi pragmatik, yang bertujuan termajukannya kemakmuran seluruh anak

negeri tanpa kecuali lewat usaha-usaha ekonomik yang menguntungkan.20

Motivasi ideal ini dibangkitkan oleh para politisi liberal di Parlemen Belanda untuk mendayagunakan hukum di daerah-daerah jajahan guna membebaskan anak manusia (Eropa dan Pribumi) dari segala bentuk absolutisme kekuasaan pemerintah. Hukum harus difungsikan untuk memajukan perlindungan kebebasan dan hak-hak warga masyarakat. Hukum Kebiasaan dan hukum agama dipandang tidak dapat memberikan perlindungan seperti itu. Upaya para politisi liberal itu adalah menundukkan seluruh penduduk pribumi ke bawah yurisdiksi hukum Eropa yang terkodifikasikan. Motivasi pragmatik didasarkan pada pertimbangan yang tak sepenuhnya ideal melainkan didasarkan pada pertimbangan keuntungan atau kemanfaatan ekonomi. Pembebasan orang-orang pribumi dari yurisdiksi tradisi hukum mereka, akan memungkinkan diperolehnya keuntungan ekonomi yang diperlukan sebagai tenaga kerja penggerak roda perekonomian liberal yang telah diusahakan di negeri Belanda.21

Jadi penggunaan hukum modern oleh pemerintah penjajahan Belanda pada waktu itu sebenarnya lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi yaitu bertujuan untuk menopang sistem produksi kapitalis yang menghendaki a highly calculable normative order dengan semangat mencari untung sebanyak-banyaknya bagi kepentingan pemerintahan Belanda. Pada saat itu negeri Belanda sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemeikiran kaum liberal kapitalis yang merupakan tangan panjang dari kelompok borjuasi Eropa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ide-ide golongan borjuasi Eropa sudah diintroduksikan di wilyah nusantara melalui penggunaan hukum perundang-undangan (positip) Belanda. Menurut Marx Weber hanya hukum perundang-undanganlah yang dapat

19 Soetandy W.S., Dari Hukum Kolonial…, p. 3. 20Ibid., p. 4.

(11)

memberikan tingkat kepastian untuk kelangsungan kepentingan kapitalisme.22

2. Lemahnya Peran Golongan Borjuis di Indonesia

Jika modernisasi Indonesia dilihat dari berdirinya sebuah negara nasional (national state) yang merdeka, maka sejak keberhasilan revolusi kemerdekaan Indonesia (17/8/1945) itulah negara modern Indonesia lahir. Lahirnya negara nasional Indonesia tidak dapat dilepaskan dari andil para pejuang yang boleh dibilang berasal dari kelas menengah (borjuis) Indonesia pada waktu itu. Hal ini dapat dibuktikan dari peran sejarah yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok pejuang rakyat baik yang berhalauan Nasionalis, Islam dan Marxis, maupun perkumpulan-perkumpulan lain yang bersifat netral. Yang bercorak nasionalis misalnya :

Indische Partij (1912); Indische Vereeniging (1908) yang kemudian menjadi

Indische Vereeniging (1922) dan perhimpunan Indonesia (1925); PNI (1927);

Partindo dan PNI Baru (1931); persatuan Bangsa Indonesia (PBI, 1924) yang kemudian berfusi dengan BU menjadi Parindra (1935). Yang bercorak Islam misalnya : Sarekat Dagang islam (1911) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1912); Partai Serikat Islam Indonesia (1930); Muhamadiyah (1912); Partai Islam Indonesia (1931); Nahdatul Ulama (1926); dsb. Yang bercorak marxis misalnya Partai Komunis Indonesia (1920). Di sisi lain juga terdapat perkumpulan-perkumpulan pemuda yang netral yang telah menghasilkan gagasan persatuan nasional melalui

Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928.23

Kelompok-kelompok masyarakat tersebut pada akhirnya berhasil mendirikan negara nasional Indonesia dan berhasil membentuk hukum modern dalam bentuk Konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945.24 Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan mereka mendirikan negara nasional baru dan hukum modern tersebut juga tak lepas dari campur tangan pihak Jepang yang memberi peluang saat itu.25 Keberhasilan

22 FX. Adji Samekto, “Kapitalisme dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum

Modern”, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi, (Bandung: Citra aditya Bakti, 2000), p. 243.

23 Menurut M. Koesnoe, pada Kongres Pemuda tersebut ide hukum nasional

(modern) mendapatkan bentuknya secara ideologis dengan dicantumkannya hukum adat sebagai dasar persatuan Indonesia. Baca M. Koesnoe, Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum Bagian I (Historis), (Bandung: Mandar Maju, 1992), p. 80-81.

24 Ibid. Konsep ideologis dari hukum adat dalam perkembangannya menjadi

rechtide hukum modern (UUD 45) dalam sekala nasional yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa.

25 Baca Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Kenegaraan, (Yogyakarta: Unit Percetakan

(12)

mereka dalam mentransformasikan negara dan hukum modern juga lebih bersifat aksidental,26 tidak seperti yang terjadi di Eropa Barat yaitu melalui proses transformasi linier-progressive dengan kelompok borjuasi sebagai agennya. Dunia modern di Eropa pada abad 17-18 lahir karena peran kelompok borjuis yang telah meletakkan landasan sosial bagi perubahan-perubahan masyarakat dan kebudayaan Eropa secara radikal. Dengan kata lain sebenarnya negara Indonesia modern belum siap dilahirkan jika diukur dengan perkembangan yang terjadi di Eropa karena belum didukung oleh perangkat-perangkat modernitas (terutama adanya kelompok borjuis progresif) yang seharusnya sudah tersedia seperti yang terjadi di masyarakat Eropa Barat kala itu.

Keadaan kelas menengah (borjuis) di Indonesia yang telah disebutkan di atas peran dan karakteristiknya jauh berbeda dengan ciri-ciri kelompok borjuis Eropa. Sebagai kelas ekonomi pada mulanya, borjuasi

Eropa segera mengembangkan diri sebagai logical consequences dari

kepentingan-kepentingannya dan menuntut perubahan-perubahan

mendasar. Hal ini membuat dunia bergerak. Keadaan lama kacau, keadaan baru muncul dengan kekuatan besar, sistem feodal dan seignorial mundur, peran bangsawan di pedalaman digantikan oleh borjuasi di kota-kota. Sebagai kelas sosial akhirnya borjuasi berhasil menempatkan diri dalam masyarakat dan mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Ia terus menuntut kebebasan yang lebih besar, dimulai dari hak-hak ekonomi, kemudian hak-hak politik pada pemerintah kota, dan setrusnya kebebasan

ekonomi dalam pemasaran dan kebebasan politik yang lebih luas.27

Borjuasi Eropa mampu membebaskan kehidupan ekonomi dari

ikatan moral agama warisan zaman pertengahan, dan usury mulai

diperkenalkan. Usury adalah akar pertama dari kapitalisme. Ekonomi natural digantikan dengan ekonomi uang yang menjadi ukuran nilai alat penukar, dan simbol sejumlah kekayaan, yang menggantikan ukuran kehormatan lama yang didasarkan pada status kelahiran. Ikatan yang menjamin kesetiaan bukan lagi karena status, tetapi berdasarkan perjanjian/kontrak. Orang berhadapa satu dengan lainnya tidak lagi berdasarkan status, tetapi pribadi dengan pribadi. Negara feodal digantikan dengan negara nasional, masyarakat feodal digantikan oleh masyarakat industri. Warga masyarakat feodal digantikan oleh warga negara national citizen class. Borjuasi bertanggungjawab atas pembentukan

26 Dalam rumusan Pembukaan UUD’45 dikatakan sebagai: Berkat rahmat Allah… 27 Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transforamsi Eropa, (Yogyakarta: Ombak,

(13)

negara nasional di Eropa baik yang menjadi absolute despotisme atau crown republic seperti di Inggris.28

Borjuasi Eropa dalam mempertahankan cita-citanya menimbulkan kemajuan pula dalam pemikiran. Sikap rasional dan sekuler dalam kehidupan ekonomi mempengaruhi pula sikap dalam ilmu pengetahuan dan keagamaan. Revolusi ilmu pengetahuan sebagai dua kejadian yang bersamaan dengan naiknya borjuasi, dan dapat dikatakan sebagai akibat langsung daripadanya. Hukum alam yang rasional mereka pakai sebagai dasar bagi kekayaan yang dimilki borjuasi di luar dasar-dasar doktrin agama. Hubungan antara negara dengan warganya didasarkan pada teori perjanjian sosial bagi kelas warga negara yang telah menyadari hak-hak dan kewjibannya dalam berhubungan dengan negara atau pemerintah, dan tidak lagi didasarkan pada doktrin yang ada dalam Kristiani. Borjuasi perlu

perlindungan terhadap kekayaan dari ancaman kekacauan.29

Borjuasi sangat memerlukan kebebasan dan kemerdekaan. Doktrin

laissez faire dalam kehidupan ekonomi, menjalar dalam kehidupan politik, sosial dan kebudayaan atau secara keseluruhan menjadi doktrin liberalisme yang merata dalam berbagai segi kehidupan. Mereka percaya pada manusia, dunia akan selalu mengalami kemajuan yang tak henti-hentinya. Revolusi ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa kebodohan, kejahatan, prasangka dan segala bentuk keburukan di masa lampau telah hilang. Harapan akan kemajuan (progress) merupakan keyakinan borjuasi. Ide tentang progress mendapatkan tempat terhormat dalam pemikiran para sarjana abad 17-18. Mereka percaya pada kemampuan manusia sendiri, bahkan telah melemparkan agama dan Tuhan. Kebudayaan yang mereka bangunkan adalah suatu self-suffisient civilization, kebudayaan yang cukup diri, menolak otoritas agama, karena wahyu telah digantikan dengan akal. 30

Keadaan seperti yang telah diuraikan di atas, tidak sepenuhnya ada pada kelompok menengah Indonesia baik pada saat berdirinya negara modern Indonesia maupun waktu-waktu selanjutnya. Keadaan golongan menengah dan borjuasi Indonesia menurut Richard Robison pada tahun 1950-an dan 1960-an tergolong kecil dan tidak memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang berarti. Golongan ini berada di lingkungan birokrasi negara yang semrawut, khaostik, dan digaji rendah. Kaum borjuis nampak lemah dan berkeping-keping. Setelah kamar-kamar dagang besar dan bank-bank Belanda henkang dari Indonesia pada penghujung 1950-an

28Ibid., p. 229. 29Ibid. 30Ibid., p. 233.

(14)

yang tersisa hanyalah para pedagang dan pengusaha skala kecil dan menengah. Dari etnis China pun Cuma sedikit yang tampil sebagai tokoh bisnis yang berpengaruh di tingkat nasional. Mereka yang telah meraih posisi penting di level nasional pada masa Soekarno amat tergantung pada akses politik dan terbukti tidak mampu terus bertahan menyusul transisi kekuasaan ke pemerintahan Orde Baru Soeharto. Akibatnya, negara menjadi kekuatan terpenting dalam hal investasi dan kepemilikan perusahaan.31

Peran sosial dan politik mereka bervariasi, sesuai situasi historisnya dan tergantung dari lingkungan sosial dan politik mereka dilahirkan serta kendala-kendala berkenaan dengan bentuk-bentuk aliansi yang dapat mereka bangun. Golongan tuan-tuan tanah di Indonesia juga tidak mampu mendominasi kultur dan proses politik yang membentuk aliansi dengan birokrat negara dan borjuasi yang tengah berkembang, sebagaimana terjadi di Eropa dan Amerika Latin. Kelas menengah dan borjuasi amat bergantung pada negara dalam hal pekerjaan, karier, kontrak dan monopoli, serta lebih luas lagi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Akibatnya mereka enggan mengusik perimbangan kekuatan dan kekuasaan kalangan politikus-birokrat. Dengan kata lain kalangan kelas menengah dan borjuasi belum membangun pengaruh mereka sebagai kekuatan sosial dominan yang otonom dari negara. Mereka masih membutuhkan sumber-sumber finansial dan alat-alat koersif dari negara untuk memelihara ketertiban sosial. Borjuasi dan kelas menengah memainkan peran sentral dalam transformasi-transformasi yang liberal di Inggris dan Amerika Utara, sementara kelas menengah dan borjuasi di Indonesia menerapkan strategi yang sangat berbeda-beda.32

3. Dampaknya pada Sistem Hukum Indonesia

Lemahnya peran dan dukungan kelompok menengah dan borjuasi di Indonesia berdampak pula pada lemahnya budaya hukum yang mendukung bekerjanya sistem hukum di Indonesia yang bersandar pada hukum modern. Friedman mengatakan, bahwa subtansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Friedman menekankan pada pentingnya budaya hukum (legal culture). Sistem hukum tanpa budaya hukum yang mendukungnya serupa dengan ikan di dalam baskom, yang tidak dapat berenang. Jika sistem hukum diibaratkan seperti pabrik, subtansi hukum itu adalah produknya, aparatur adalah mesinnya,

31 Richard Robison, dalam Hadijaya (ed), Kelas Menengah Bukan Ratu Adil,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), p. 25.

(15)

sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan menghidupkan dan mematikan mesin, yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Mengapa orang taat atau tidak taat pada hukum ? mencari sebabnya kita memasuki pada masalah budaya hukum. Menjawab pertanyaan mengapa orang lebih suka menyelesaikan sengketa di luar pengadilan ? kita memasuki bidang budaya hukum. Begitu pula bila kita

ingin mengetahui mengapa orang atau masyarakat main hakim sendiri ? 33.

Lebih lanjut Friedman mengatakan bahwa budaya hukum itu tergantung pada sub culture individu yang bersangkutan. Sub culture tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : agama, ekonomi, budaya, nilai yang diterima, pendidikan, posisi dan kepentingan-kepentingan. Ia bertanya, mengapa pasangan Katholik tidak bercerai, atau orang Islam dan Yahudi tidak makan babi? jawabnya jelas bahwa agama mereka melarangnya.34

Masyarakat Indonesia, bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa maupun Amerika Serikat, masuk dalam golongan masyarakat yang tidak

berorientasi pada hukum (non-law minded society). Hukum modern

sebagimana dikenal di masyarakat Eropa, tidaklah secara efektif dipatuhi di Indonesia. Dalam masyarakat yang tidak berorientasi pada hukum, hukum tidak mungkin berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hukum dianggap dapat diatur. Hukum hanyalah sekedar menjadi simbol yang tidak perlu dipatuhi. Demikian halnya dengan budaya hukum masyarakat Indonesia akan sangat mempengaruhi pelaksanaan hukumnya. Hukum bisa mati karena masyarakat tidak menerimanya karena dianggap bukan bagian dari norma yang harus dipatuhi. Sebaik apapun peraturan perundang-undangan dan sebaik apapun aparatur penegak hukum, hukum tidak akan bekerja dengan baik tanpa dukungan budaya hukum.35

Lemahnya kelompok menengah dan borjuis di Indonesia juga berdampak pada kuatnya posisi politik negara terhadap rakyat yang akhirnya membawa dampak negatip pada pemakaian hukum perundang-undangan pada masa kini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh negara untuk memproduksi hukum perundang-undangan sebanyak-banyaknya tanpa

33 Lawrence M. Friedman, American Law in the 20 th Century, (New Haven and

London: Yale University Press, . 2002), p. 505-519 dalam Erman Rajagukguk, 2004. “Perubahan Hukum Indonesia: Persatuan Bangsa, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (1998-2004)”. Makalah, bahan mengajar di Magister Hukum UII, p. 13-24.

34Ibid.

35 Hikmahanto Juwana, “Tantangan Reformasi Hukum di Indoneia”, dalam

Perubahan Hukum di Indonesia (1998-2004), Harapan 2005, (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2004).

(16)

kontrol36. Semua persoalan hendak diselesaikan dengan menerbitkan undang-undang. Monopoli negara itu terjadi pada level pembuatan, isi perundang-undangan, dan juga penegakan hukumnya. Tak satupun organisasi sosial di luar negara yang diperbolehkan untuk menyelesaikan persoalan di luar negara. Jika terjadi kasus atau sengketa yang telanjur diselesaikan oleh komunitas-komunitas lokal, tetap saja harus mendapatkan legalisasi dari negara (PN, PT atau MA). Pada akhirnya juga berakibat pada terjadinya krisis penggunaan hukum modern di Indonesia. Krisis ini ditandai oleh adanya ketidakpercayaan lagi masyarakat pada hukum. Ini semua disebabkan lemahnya kelompok menengah dan borjuis untuk mengontrol dan mengecilkan kekuasaan negara. Lemahnya posisi kelompok menengah ini dimanfaatkan oleh negara untuk melaksanakan kepentingan-kepentingannya tanpa adanya partisipasi masyarakat.37

E. Penutup

Modernisasi hukum di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Eropa Barat. Di Eropa prosesnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan progressif golongan borjuis. Kelompok ini benar-benar menjadi agent of

social change yang telah merubah tatanan masyarakat lama menjadi tatanan

masyarakat baru (modern). Mereka mampu merubah secara mendasar sendi-sendi kehidupan masyarakat lama yang bercorak feodal, irrasional-religius, dan teosentris menjadi masyarakat baru (modern) yang demokratis-individual, rasional-sekuler dan antroposentris. Di bidang hukum ciri yang menonjol dari perubahan ini yaitu lahirnya hukum dalam bentuk undang-undang yang dibuat secara sadar dan bercorak positivistik yang menonjolkan nilai kepastian.

Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, modernisasi hukum kurang mendapatkan pengaruh dari kelompok menengah/borjuis. Kelompok ini tergolong kecil dan tidak memiliki pengaruh ekonomi, politik sosial dan budaya yang berarti. Golongan ini berada di lingkungan birokrasi negara yang semrawut, khaostik, dan tidak otonom. Kaum borjuis nampak lemah dan berkeping-keping. Akibatnya, negara menjadi kekuatan terpenting yang tak terkontrol. Kelas menengah dan borjuasi

36 Kondisi ini sering disebut perundang-undangan mania atau hyper regulated.

Jumlah perundang-undangan begitu banyak hingga membentuk jaringan hukum yang sangat rumit dan semrawut.

37 Rikardo Simarmata, "Krisis Hukum Modern: Kontektualisasi Tradisi Hukum

Perundang-undangan di Indonesia,” dalam Winarno Yudho dkk (ed), Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten, kumpulan tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo W., (Jakarta: Huma Walhi, 2002), p. 242-254.

(17)

amat bergantung pada negara dalam hal pekerjaan, karier, kontrak dan monopoli, serta lebih luas lagi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Lemahnya posisi kelas menengah/borjuis itu menyebabkan tumpulnya kerja sistem hukum Indonesia karena tidak didukung oleh budaya hukum yang kondusif seperti yang terjadi di Eropa. Akibatnya hukum modern menjadi mati suri dan akhirnya membawa krisis hukum modern di Indonesia. Krisis itu nampak pada hilangnya keparcayaan masyarakat pada hukum negara (positip) karena hukum negara tidak mampu mewujudkan nilai keadilan dan kebahagian masyarakat yang didambakan.

(18)

Daftar Pustaka

Adji Samekto, FX., “Kapitalisme dan Pengaruhnya terhadap Sistem Hukum Modern”, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi, Bandung: Citra aditya Bakti, 2000.

Hikam, AS. “Diskursus Intelektual tentang Civil Society di Indonesia”.

Jurnal UNISIA NO. 39/XXII/III/1999.

Juwana, Hikmahanto, “Tantangan Reformasi Hukum di Indoneia”, dalam

Perubahan Hukum di Indonesia (1998-2004), Harapan 2005, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2004.

Koesnoe, M. Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum Bagian I (Historis),

Bandung: Mandar Maju, 1992.

Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transforamsi Eropa, Yogyakarta: Ombak, 2005.

Rahardjo, Satjipto, “Kepastian Hukum” harian Kompas, 2 Desember 1999.

________, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Raharjo, Dawam, “Demokrasi, Agama dan Masyarakat Sipil”, Jurnal

UNISIA NO. 39/XXII/III/1999.

Rajagukguk, Erman, “Perubahan Hukum Indonesia: Persatuan Bangsa, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (1998-2004)”,

Makalah, bahan mengajar di Magister Hukum UII, 2004.

Robison, Richard, dalam Hadijaya (ed), Kelas Menengah Bukan Ratu Adil. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Simarmata, Rikardo, ”Krisis Hukum Modern: Kontektualisasi Tradisi Hukum Perundang-undangan di Indonesia,” dalam Winarno Yudho dkk (ed), Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten, kumpulan tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo W., Jakarta: Huma Walhi, 2002.

Thaib, Dahlan, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Unit Percetakan AMP YKPN, 1991.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional,

Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,

Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995.

________, Sinopsis Sejarah Hukum Nasional Indonesia, Bahan Kuliah

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui serta memahami bagaimana peran yang dilakukan partai politik dalam melakukan pengawasan terhadap kadernya yang duduk di DPRD, dengan

Penelitian menunjukkan beberapa temuan, yaitu (1) harga berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk Wingsfood dikota Mojokerto, (2) citra

Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka, tujuan dari penelitian ini yaitu, (1) untuk mengetahui Strategi pengelolaan Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) melalui media sosial

Compared to the existing method such as Local Binary Pattern (LBP), LLBP method is more reliable than LBP method for feature extraction on dorsal hand vein recognition with

Atau jika anda ingin menyimpan dengan nama ekstensi yang lain (.pptx atau.potx untuk jenis umum powerpoint template), kita bisa menyimpannya dengan melakukan Save As pada

Access and reporting is frequently a standardized tool—for example by online analytical processing (OLAP)—within firms and is mainly descriptive in nature. One could

Hari Jam ke Mata Kuliah SKS Dosen Pengampu Ruang.. Selasa III Manajemen

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita panjatkan atas segala rahmat,hidayah dan karunia-Nya yang telah memberikan kelancaran kepada kita dalam