• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK BONE DENGAN INGGRIS DAN BELANDA DI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONFLIK BONE DENGAN INGGRIS DAN BELANDA DI SULAWESI SELATAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

THE CONFLICT BETWEEN BONE WITH ENGLAND AND NETHERLAND AT SOUTH SULAWESI IN 1812-1825

Sritimuryati

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166

Pos-el: sritimuryati@yahoo.com

Diterima: 18 Februari 2014; Direvisi: 10 April 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT

This paper talks about the refusal conducted by the nobilities of the Kingdom of Bone for the presence of the Netherland. The nobles of Bone felt disappointment for the Dutch politics shown by giving power to the England in their region. The presence of England had large impact to the Kingdom of Bone and became a major consideration to refuse the recame of the Netherlands in Bone. Finally, war occurred and no political decision. The nobles of the Kingdom of Bone were divided as the impact of war. This paper uses the rules of historical research with the main point to critique the historical sources used. This paper at least can show that good relations which established between the local authorities with the Netherland depend on the circumstances that existed contemporarily.

Keywords:&RQÀLFWNLQJGRPSROLWLFDOGHFLVLRQ6RXWK6XODZHVL

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang penolakan yang dilakukan oleh para penguasa Kerajaan Bone atas kehadiran Belanda. Penguasa Bone merasa kecewa terhadap sikap politik yang diperlihatkan oleh Belanda dengan memberi kekuasaan kepada Bangsa Inggris di wilayah mereka. Kehadiran Inggris berdampak besar bagi Kerajaan Bone dan menjadi pertimbangan utama untuk menolak masuknya kembali Belanda di Bone. Akhirnya, perang terjadi dan tidak ada keputusan politik. Bangsawan di Kerajaan Bone terpecah belah sebagai dampak dari perang. Tulisan ini menggunakan kaidah penelitian sejarah dengan sandaran utama melakukan kritik pada sumber sejarah yang digunakan. Tulisan ini setidaknya dapat memperlihatkan bahwa hubungan baik yang terbina antara penguasa setempat dengan Belanda bergantung pada situasi dan kondisi yang ada pada zamannya.

Kata kunci:.RQÀLNNHUDMDDQNHSXWXVDQSROLWLN6XODZHVL6HODWDQ

PENDAHULUAN

Pada tahun 1667 Kerajaan Gowa takluk dari Veregnigde Oost Indische Compagnie (VOC). Perang diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667. Isi perjanjian itu telah mengkerdilkan Kerajaan Gowa, satu kerajaan yang selama ini memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar, tidak saja di Sulawesi Selatan, tetapi juga meluas sampai ke wilayah timur Nusantara.

Perjanjian Bungaya menjadi legitimasi bagi VOC untuk tetap dapat menjalankan kekuasaannya di wilayah ini. Pada waktu VOC dinyatakan bangkrut pada akhir abad XVIII, Pemerintah Hindia

Belanda mengambil alih kekuasaan VOC di Hindia Belanda. Mereka mencoba memanfaatkan daerah jajahan VOC untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Namun, usaha itu terhambat untuk sementara waktu karena pecah perang di Eropa. Wilayah Belanda jatuh ke tangan Perancis dan Raja Belanda melarikan diri ke Inggris. William of Orange, raja Belanda ketika itu, membuat satu perjanjian yang memperbolehkan Inggris untuk menguasai wilayah Hindia Belanda mulai tahun 1811-1816.

Setelah perang tersebut usai, Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Hindia Belanda. Ketika mereka mencoba menerapkan

(2)

PEMBAHASAN

.RQÀLN%RQHGHQJDQ,QJJULV

Penguasa Kerajaan Bone merasa tertipu dengan hadirnya Inggris di Sulawesi Selatan. Menurut penguasa Kerajaan Bone, tindakan menyerahkan wilayah Sulawesi Selatan tidak sesuai dengan Perjanjian Bungaya. Salah satu isi dari Perjanjian Bungaya 1667/1669, pasal 6 yang berisi antara lain bahwa orang-orang Inggris harus diusir dari Celebes (Stapel,1922:356). Isi perjanjian itu menunjukkan bahwa tidak ada satu kuasa pun yang diperbolehkan bercokol di wilayah ini kecuali Belanda. Oleh karena itu, tindakan Belanda memberi kewenangan kepada Inggris mendapat tantangan dari Bone.

Kehadiran Inggris di mana-mana mendapat penolakan. Bangsa Inggris yang menganggap bahwa kehadirannya di wilayah ini atas restu Belanda, tidak tinggal diam atas perlakuan yang dilakukan oleh para penguasa Bone dan para sekutunya. Inggris tidak habis pikir bagaimana mungkin Kerajaan Bone dapat bertindak sangat arogan terhadap kehadirannya. Penguasa Kerajaan Bone dipandang terlalu berani melakukan penolakan secara terbuka terhadap kehadiran Inggris. Melihat sikap politik penguasa Bone itu, Inggris melakukan penelitian untuk mencari tahu mengapa sikap itu muncul. Hasil penyelidikan itu menunjukkan bahwa sikap arogan itu muncul karena kekuasaan Kerajaan Gowa merosot sejak kekalahannya melawan VOC pada tahun 1667. Oleh karena itu, Pemerintah Inggris mencoba membangun kembali kekuasaan Kerajaan Gowa. Langkah pertama yang dilakukan adalah meminta penguasa Bone untuk mengembalikan kalompoang Kerajaan Gowa yang ketika itu berada di tangan penguasa Kerajaan Bone. Pengambil alihan kalompoang itu menjadikan sebagian besar rakyat Gowa yang berada di daerah pedalaman menolak untuk mengakui raja Gowa dan beralih kesetiaannya kepada raja Bone.

Penolakan penguasa Kerajaan Bone terhadap kehadiran Inggris di wilayah bekas kekekuasaan VOC tidak semata persoalan kalompoang. Jauh sebelumnya, ketika La Tenritappu berkuasa (1775-1812), telah memperlihatkan rasa ketidak senangannya terhadap penjajah, terutama VOC ketika itu. Penolakan itu ditunjukkan ketika raja kembali kekuasaannya di Sulawesi Selatan,

mereka mendapat perlawanan dari penguasa Kerajaan Bone dan sekutu-sekutunya, terutama Kerajaan Suppa dan Tanete. Hambatan yang dihadapi oleh Belanda itu diselesaikan dengan mengundang para penguasa di daerah ini untuk membicarakan kembali Perjanjian Bungaya. Usaha itu mendapat hambatan karena tuntutan yang diajukan oleh Bone, sekutu Belanda di masa lalu. Tindakan Kerajaan Bone itu mendapat dukungan dari beberapa kerajaan lainnya.

Untuk menyelesaikan persoalan itu, Pemerintah Hindia Belanda membentuk satu komisi untuk mempersiapkan pertemuan para raja dengan penguasa Belanda. Beberapa kerajaan, terutama Kerajaan Gowa dan sekutunya, memberi respon positif atas usaha Belanda itu. Penguasa Kerajaan Bone yang diundang untuk hadir dalam pertemuan itu menolak, bahkan secara terbuka menentang Belanda.

Sehubungan dengan gambaran singkat tersebut, maka yang menjadi pokok persoalan GDODPNDMLDQLQLDGDODKPHQJDSDWHUMDGLNRQÀLN antara Kerajaan Bone dengan Inggris dan Belanda. Pokok persoalan itu dirumuskan dalam pertanyaan EDJDLPDQDODWDUEHODNDQJGDQGLQDPLNDNRQÀLN antara Bone dengan Inggris dan Belanda. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu menjadi tujuan utama kajian ini.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian sejarah dengan menggunakan analisis deskriptif melalui studi pustaka, dengan menggunakan sumber-sumber sejarah, baik sumber-sumber sejarah primer maupun sumber sejara sekunder. Penggunaan arsip Belanda menjadi sesuatu yang diutamakan. Buku-buku yang digunakan terutama yang terkait dengan tema penelitian ini.

Penelitian dimulai dengan mencari sumber-sumber sejarah yang dikenal dengan istilah heuristik. 'DWDGDWD\DQJGLWHPXNDQGLODNXNDQYHUL¿NDVLDWDX kritik sumber dengan cara membandingkan satu dengan lainnya untuk mendapatkan fakta sejarah. Setelah ditemukan faktanya maka disusun dalam satu kesatuan agar fakta-fakta itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah penulisan sejarah.

(3)

Bone tidak mengakui lagi Perjanjian Bungaya. Selain itu, raja Bone mulai melakukan campur tangan di dalam beberapa kerajaan seiring dengan makin melemahnya kekuasaan VOC.

Pihak Kerajaan Bone juga memberi isyarat bersyarat kepada Inggris yang berkuasa. Raja Bone pengganti La Tenritappu, La Mappatunru To Appasessu, meminta kepad Inggris untuk mengakui keberadaan hak-hak istimewa yang selama ini dipegang oleh Belanda (VOC). Hak istimewa itu adalah kewajiban bagi setiap penguasa di wilayah ini yang ingin bertemu dengan perwakilan Inggris (dahulu VOC) harus ditemani atau setidaknya meminta izin dengan penguasa Bone. Atas keinginan Bone, Inggris menolak karena hal itu dianggap hanya berlaku di masa kekuasaan VOC tetapi tidak bagi Inggris.

B e b e r a p a k e b i j a k a n y a n g s u d a h berlangsung, seperti halnya pembayaran pajak persepuluh yang dipungut oleh Belanda dan diterima juga oleh Bone, mulai dipersoalkan. Bagi Kerajaan Bone tindakan yang dilakukan oleh VOC dapat diterima karena kerjasama yang sudah berlangsung lama. Namun penguasa Kerajaan Bone menolak jika penarikan pajak itu dilakukan oleh Inggris. Penguasa Kerajaan Bone menghasut agar para petani di Maros tidak lagi membayar pajak persepuluh itu. Tindakan yang dilakukan oleh penguasa Kerajaan Bone itu membangkitkan kemarahan pihak Inggris, karena apa yang dilakukan Inggris itu hanyalah melanjutkan apa yang sudah terjadi sebelumnya.

Kehadiran Inggris di bekas wilayah kekuasaan VOC sebelumnya, sedikit banyak menghambat keinginan para penguasa Kerajaan Bone untuk merangkul Kerajaan Gowa dalam satu ikatan pengaruh. Pada waktu terjadi kemelut sehubungan dengan kalompoang yang sempat berada di tangan Arung Mampu dan sebagian rakyat Gowa memberikan kepatuhan kepadanya, raja Bone memberi lampu hijau mendukung Arung Mampu untuk menjadi raja di Kerajaan Gowa. Meskipun demikian, Inggris menolak dengan pertimbangan bahwa hal itu membuat Kerajaan Gowa semakin terpuruk dan perimbangan kekuasaan di daerah ini semakin pincang.

Jika dilihat secara keseluruhan, maka dapat diberi catatan bahwa perlawanan Kerajaan Bone terhadap Inggris disebabkan oleh beberapa

masalah antara lain:



Bone menuntut supaya raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak menemui residen atau pembesar Inggris harus melalui raja Bone. Hal yang demikian ini ditolak oleh Inggris.  

Bone menentang pajak persepuluh yang dipungut oleh Belanda yang kemudian diteruskan oleh pihak Inggris pada daerah kekuasaannya seperti yang tercantum di dalam Perjanjian Bungaya.

 

Mengembalikan pusaka Kerajaan Gowa (kalompoang) yang ada di tangan raja Bone.  

Raja Bone La Mappatunru Aru Palakka menghendaki dan mengakui Arung Mampu sebagai raja Gowa, sedang Inggris tidak setuju yang merasa khawatir jangan sampai Bone mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Gowa.

 

Raja Bone tidak mengakui hak yang dipertuan orang Inggris di daerah-daerah Maros, Bantaeng, dan Bulukumba.  

Raja Bone menuntut kedudukan yang wajar dan layak dalam soal pemerintahan di Sulawesi Selatan di samping wakil pemerintah Inggris (Sagimun,1964:156). Inggris yang telah melakukan penyelidikan tentang budaya politik yang berlaku selama ini di wilayah Sulawesi Selatan, memutuskan untuk mengambil satu tindakan terhadap peri laku politik yang dimainkan oleh penguasa Kerajaan Bone selama ini. Pihak Inggris memutuskan untuk mendesak Kerajaan Bone mengembalikan kalompoang yang berada di tangan penguasa Kerajaan Bone. Inggris menyadari bahwa penguasaan kalompoanglah yang membuat kepatuhan sebagian masyarakat Kerajaan Gowa yang berada di daerah pedalaman mengalihkan kesetiaannya kepada Bone. Tanggal 6 Juni 1814, Inggris mendesak raja Bone untuk menyerahkan kalompoang yang berada di tangan raja Bone, namun tidak dipenuhinya.1 Keinginan Inggris tidak direspon dengan baik oleh para penguasa

1Kalompoang adalah alat legitimasi para

penguasa tradisional di wilayah Sulawesi Selatan untuk tetap memegang tampuk kekuasaan. Pada umumnya masyarakat akan memberikan ketaatannya pada mereka yang menguasai kalompoang tersebut (Poelinggomang,2004:53).

(4)

Belanda, bahkan penguasa Bone melakukan berbagai tindakan termasuk menghasut sekutu-sekutunya untuk bangkit melawan. Tindakan yang dilakukan oleh penguasa Bone, menimbulkan kemarahan bagi penguasa Inggris.

Setelah berbagai usaha dilakukan untuk mengubah sikap politik penguasa Bone dianggap gagal, akhirnya tentara Inggris menyerang perkampungan orang-orang Bugis di Bontoala, tempat kedudukan raja Bone pada 7 Juni 1814.2 Setelah terjadi perang secara terbuka antara kedua belah pihak, akhirnya raja Bone harus mengakui keunggulan Inggris. Serangan yang dilakukan oleh Inggris mendapat dukungan penuh dari para penguasa Kerajaan Gowa beserta sekutunya (Meinsma, 1873:97). Bontoala yang selama ini menjadi basis pertahanan Kerajaan Bone dihancurkan dengan jalan dibakar. Raja Bone ketika itu, La Mappatunru, beserta para pengikut setianya terpaksa mengungsi. Kerajaan Bone mengaku kalah dan akhirnya kalompoang dikembalikan kepada Kerajaan Gowa (Emanuel, MOV; Abdurrazak,1989:228).

Setelah berhasil merebut kalompoang dari tangan penguasa Kerajaan Bone, dilakukan pelantikan raja Gowa yang selama ini terpuruk karena ketiadaan kalompoang. I Mappatunru Karaeng Lembangparang (putra Raja Tallo/ Mangkubuni Gowa I Makkasuma Karaeng Lempangan Sultan Safiuddin dan Karaeng Mangara’ Bombang) diangkat menjadi raja di Gowa. Pengambilan kalompoang itu membuat sedikit demi sedikit wibawa penguasa Kerajaan Gowa pulih kembali. Rakyat Gowa yang berada di daerah pedalaman kembali memberikan dukungan kepada raja yang baru.

Keberhasilan Inggris mengambil kembali kalompoang, telah menyebabkan kekuasaan Kerajaan Gowa mulai membaik. Tindakan Inggris tidak hanya sebatas melenyapkan pusat kekuasaan Bone di Bontoala, tetapi dilanjutkan dengan menyerang daerah-daerah yang selama ini digunakan oleh Bone untuk membangun

2Sejak tahun 1667, para penguasa Kerajaan Bone

menjadikan Bontoala sebagai basis kekuatannya. Wilayah ini diberikan oleh VOC kepada Arung Palakka karena jasa Arung Palakka dalam Perang Makassar. Mengenai .kedudukan Arung Palakka dapat dilihat dalam tulisan Andaya (1981).

basis kekuatan. Kekuasaan Bone yang berada di Bantaeng juga dilenyapkan. Kerajaan Tanete dan Suppa, dua kerajaan yang dianggap pendukung Bone juga tidak lepas dari sasaran Inggris. Pelabuhan Parepare juga direbut dan diberikan kepada para penguasa yang telah memberi bantuan kepada Inggris.

Meskipun Inggris berhasil memulihkan kembali kekuasaan Kerajaan Gowa dan mencoba membangun kekuasaannya di daerah ini, tindakan Inggris itu tampaknya sia-sia. Perkembangan politik yang terjadi di Eropah mengharuskan penguasa Inggris di Indonesia harus menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Usaha-usaha yang dilakukan Inggris untuk membangun satu kekuasaan yang kuat di banyak tempat mendapat perlawanan. Sebelum usaha-usaha yang dilakukan oleh Inggris menampakkan hasilnya, Inggris dengan sangat terpaksa harus mengembalikan wilayah kekuasaannya kambali kepada pihak Belanda (Hall,1976:438).35DIÀHV penguasa tertinggi Inggris di Indonesia kecewa dengan perkembangan politik yang terjadi. Meskipun demikian, beliau harus menyerahkan kekuasaannya pada tahun 1816.

Menolak Kehadiran Kembali Belanda

Sikap menolak yang ditunjukkan oleh penguasa Kerajaan Bone sehubungan dengan kehadiran Inggris dipandang sebagai sesuatu yang positif bagi Belanda. Pihak penguasa Belanda beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh penguasa Bone itu merupakan bukti bahwa penguasa Bone menolak Inggris tetapi tidak demikian dengan Belanda. Anggapan itu bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Hubungan yang dibangun sejak Arung Palakka pada abad XVII tentu masih dikenang. Hubungan keduanya cukup harmonis.

Anggapan penguasa Belanda itu tidak terbukti. Serah terima yang dilakukan oleh Inggris

3 Penyerahan ini sesuai dengan Traktat London

1814. Pemerintah Belanda telah menyerahkan untuk sementara waktu wilayahnya kepada Inggris agar tidak diambil oleh Perancis. Penyerahan itu dilakukan oleh Williem of Orange berdasarkan “Surat-Surat Kew” (Kew Letters) yang dibuat pada bulan Februari pada tahun 1795.

(5)

ke Belanda tidak diikuti oleh penguasa Bone yang sejak awal sangat marah atas tindakan Belanda menyerahkan kekuasaannya ke tangan Inggris tanpa sepengetahuan penguasa Bone. Tindakan itu dianggap sebagai sesuatu tindakan yang melecehkan. Oleh karena itu, penguasa Kerajaan Bone menaruh dendam pada Belanda, terlebih penguasa Kerajaan Bone telah kehilangan satu wilayah yaitu Bontoala.

Pada waktu Belanda mulai berkuasa kembali di wilayah ini, penguasa Kerajaan Bone tidak menunjukkan tanda-tanda bersahabat. Bahkan beberapa wilayah bekas kekuasaan VOC di masa lalu dikuasai, terutama wilayah Maros yang kaya dengan hasil pertanian, terutama beras. Bahkan dalam banyak hal, penguasa Kerajaan Bone menunjukkan sikap menolak secara terbuka atas kehadiran Belada.

Sikap keras yang ditunjukkan Kerajaan Bone sehubungan dengan kehadiran Belanda kembali di Sulawesi Selatan, membuat Van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia merasa perlu untuk datang di Sulawesi Selatan. Dibentuk sebuah komisi yang anggotanya terdiri atas Gubernur Makassar, Kolonel Jan David van Scheele dan Mr. Johan Hendrick Tobias (Kern,1947:8; Meinsma, 1873:205). Tugas dari komisi ini adalah memantau dan mencari tahu bahkan mencari solusi untuk mengatasi persoalan yang terjadi di daerah ini (Meinsma,1873:205; Sagimun,1964:485). Penolakan yang dilakukan oleh Kerajaan Bone dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan mengingat peran sosial yang selama ini dimainkan oleh penguasa Kerajaan Bone. Penguasa Kerajaan Bone memiliki pengaruh yang besar di wilayah ini, terutama setelah perkawinan politik yang diprakarsai oleh Arung Palakka, raja Bone ke-16.4

Setelah menjalankan tugasnya untuk beberapa waktu lamanya, diketahui bahwa terdapat beberapa ketidakpuasan di kalangan kerajaan di daerah ini, terutama Kerajaan Bone yang selama pemerintahan Inggris terpuruk. Tidak hanya wibawa sosialnya di mata sebagian kerajaan di daerah ini semakin merosot, tetapi juga wilayah

4 Sebagian sumber menuliskan Raja Bone

ke-15. Perbedaan ini dikarenakan ada yang menghitung La Maddaremmang dua kali menduduki posisi raja, yaitu raja Bone ke-13 dan 15.

pemukiman mereka di Bontoala dihancurkan. Sehubungan dengan laporan yang dibuat oleh tim yang dibentuk itu, Gubernur Jenderal Van der Capellen memerintahkan kepada komisi itu agar mengundang semua raja-raja yang berada di Sulawesi Selatan untuk menghadiri perundingan di Makassar. Sebelum undangan itu tersebar luas, komisi itu sempat melakukan pembicaraan khusus kepada beberapa penguasa yang dianggap dapat membantu mengatasi kemelut yang selama ini terjadi.

Khusus untuk penguasa Kerajaan Bone, undangan disampaikan langsung untuk menjamin bahwa penguasa Kerajaan Bone dapat hadir. Pemerintah Hindia Belanda sadar bahwa pertemuan yang dilaksanakan itu dilakukan karena sikap politik yang ditunjukkan penguasa Kerajaan Bone sehubungan kehadiran mereka kembali. Seperti yang telah diduga semula, raja Bone menolak untuk hadir dalam pertemuan yang dilaksanakan di Makassar. Penguasa Kerajaan Bone hanya mengirimkan utusannya, yaitu saudara raja Bone yang juga sebagai anggota Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone. Utusan itu tidak diberi wewenang untuk bertandatangan sebagai tanda persetujuan atas putusan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut.

Ketidakhadiran raja Bone harus diakui sangat mengecewakan Pemerintah Hindia Belanda. Jika dilihat pada inti persoalan diadakannya pertemuan itu, maka kehadiran raja Bone sesuatu yang sangat diharapkan. Selain karena pengaruh sosial penguasa Kerajaan Bone yang demikian besar, keberadaan penguasa Bone berdampingan dengan Pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai sesuatu yang mutlak ada mengingat keadaan politik ketika itu.

Ketidakhadiran penguasa Kerajaan Bone berbuntut panjang. Penguasa Kerajaan Tanete dan Suppa juga menolak untuk menghadiri pertemuan itu. Tindakan yang dilakukan oleh penguasa Kerajaan Suppa dan Tanete itu, tidak hanya karena hubungan emosional antara kedua kerajaan itu dengan penguasa Kerajaan Bone, tetapi juga karena selama kehadiran Inggris, kedua penguasa ini juga merasa diperlakukan tidak adil. Pelabuhan Parepare yang selama ini dikuasainya, kini diberikan kepada mereka yang selama itu membantu Inggris dalam melawan

(6)

Kerajaan Bone.

Tanggal 4 juli 1824 perundingan dibuka dan dihadiri oleh beberapa raja yang selama ini menunjukkan kesetiaannya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kehadiran mereka dalam pertemuan itu tidak didasarkan atas kesetiaan mereka pada penguasa Belanda, tetapi lebih pada keinginan membangun kerjasama untuk mengelakkan dari tindakan sewenang-wenang yang selama ini dipandang sering dilakukan oleh para penguasa Bone, terutama pasca Perjanjian Bungaya. Penguasa Bone menjadi satu-satunya kerajaan yang kuat dan memiliki pengaruh sosial yang besar. Kerajaan Gowa misalnya, mengharapkan kehadiran Belanda untuk membantunya dalam membangun kembali wibawa sosial dan ekonominya. Oleh karena itu kehadiran kembali Belanda dan upaya untuk membicarakan kembali Perjanjian Bungaya, oleh penguasa Kerajaan Gowa disambut baik (Abdurrazak,1989:240; Sartono,1973).5

Pertemuan yang dilaksanakan di Makassar itu telah mengeluarkan beberapa putusan penting, dua di antaranya yaitu:



Kerajaan-kerajaan kecil, seperti Suppa dan Tanete yang menjadi pengikut Kerajaan Bone menentang Belanda dengan ancaman senjata, harus diperangi dan ditaklukkan.  

Tindakan memerangi untuk menaklukkan datu (raja) Suppa dan datu (raja) Tanete juga dimaksudkan oleh Belanda, sebagai ancaman langsung kepada raja Bone, agar segera dapat mengubah sikap politiknya selama ini.

Putusan yang dikeluarkan dalam pertemuan itu secara keseluruhan dipandang sukses, meskipun demikian rasa kecewa karena ketidak hadiran penguasa Kerajaan Bone tidak dapat disembunyikan. Pemerintah Hindia Belanda sangat mengharapkan keterlibatan penguasa Bone dalam pembicaraan pembaharuan Perjanjian Bungaya, sebagaimana mereka terlibat di masa lalu. Oleh karena itu, penguasa Kerajaan Bone masih diberi waktu untuk berpikir selama 15 hari

5 Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Raja

Makassar, Sidenreng, Buton, Sanro Bone, Binamu, Bangkala dan Laikang, sedangkan yang tidak hadir adalah Bone, Luwu, Soppeng, Suppa dan Mandar.

untuk mempelajari hasil putusan pertemuan itu, dan jika penguasa Kerajaan Bone berubah pikiran, kehadiran mereka di Fort Rotterdam masih dinantikan (Kern,1947:13; Meinsma,1873:206). Sepucuk surat dikirimkan dan diantar langsung oleh kurir untuk menghadap raja Bone.

Raja Bone dan seluruh anggota Dewan Adat Pitu melakukan perundingan untuk membicarakan surat Pemerintah Hindia Belanda. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk menolak memenuhi permintaan Pemerintah Hindia Belanda selama keinginan penguasa Kerajaan Bone belum dipenuhi. Penguasa Kerajaan Bone membalas surat itu. Dalam surat itu ditekankan bahwa selama penguasa Belanda tidak menunjukkan perubahan dalam hubungannya dengan penguasa Kerajaan Bone sebagai mitra yang setara, maka Kerajaan Bone tetap pada pendiriannya.

Selama ini penguasa Kerajaan Bone menuntut beberapa hal yang pada masa kekuasaan Inggris, hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Bone dihilangkan. Salah satu hal penting yang diminta oleh penguasa Kerajaan Bone adalah hak menjadi penghubung antara raja-raja di Sulawesi Selatan dengan penguasa Belanda seperti yang dilakukan pada masa VOC. Pada waktu itu, setiap penguasa lokal yang akan menghadap penguasa VOC di Fort Rotterdam harus didampingi oleh penguasa Kerajaan Bone atau meminta persetujuan dengan penguasa Kerajaan Bone. Selain itu masih terdapat banyak hak-hak istimewa yang selama ini dimiliki penguasa Bone kini sudah dihilangkan. Hak-hak itulah yang kini diperjuangkan oleh para penguasa Kerajaan Bone (Mappangara, 2004:174).

Di lain pihak, sikap yang ditunjukkan oleh penguasa Kerajaan Bone dipandang tidak pada tempatnya. Para penguasa Belanda menyadari bahwa hubungan antara kedua kuasa ini di masa lalu cukup harmonis, namun itu tidak berarti apa yang terjadi di masa lalu harus diikuti pula. Situasi dan kondisi yang sudah berubah. Pada masa lalu, para penguasa VOC adalah mereka yang lebih mementingkan perdagangan, sehingga faktor ekonomi menjadi sesuatu yang menonjol. Tidak demikian halnya pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Ketentuan harus berlaku menyeluruh di wilayah kekuasaannya, tidak ada pengecualian.

Selain itu, ada sedikit kekeliruan dalam melihat peran besar yang dimainkan oleh

(7)

Arung Palakka. Selain karena jasa besar yang dimainkan oleh Arung Palakka dalam penaklukkan Kerajaan Gowa, Arung Palakka memiliki atau menguasai bahasa Melayu dengan baik karena itu kehadirannya dalam berbagai kesempatan menjadi sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda tidak melihat bahwa kehadiran para penguasa dan didampingi oleh para penguasa Kerajaan Bone sebagai sesuatu hak yang tetap dipertahankan.

Tanggal 30 Juli 1824, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Cappellen direvisi beberapa butir dalam Perjanjian Bungaya 1667. Revisi itu dilakukan tanpa kehadiran penguasa Kerajaan Bone. Batas waktu 15 hari yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sudah lewat dan tidak ada tanda-tanda keinginan baik yang ditunjukkan oleh penguasa Kerajaan Bone. Demikian pentingnya keterlibatan Bone dalam pembaharuan Perjanjian Bungaya, Pemerintah Hindia Belanda masih membuka kesempatan kedua kalinya kepada penguasa Bone. Pemerintah Hindia Belanda masih memberikan waktu VHODPDGXDEXODQXQWXNEHU¿NLUMLNDLQJLQPDVXN menjadi anggota persekutuan dengan status “anggota tertua”. Tenggang waktu dua bulan harus digunakan sebaik-baiknya, karena setelah itu raja Bone tidak akan diberikan status anggota tertua dalam persekutuan tersebut (Emanuel, MOV; Kern,1947:13 ; Meinsma, 1873:91). Pada tanggal 19 Agustus 1824 Perjanjian Bungaya yang selama ini digunakan oleh Belanda sebagai alat legitimasi kehadiran mereka diperbaharui dan disebut Contract Bungaya te Oejoeng Pandang di Makassar.

Sikap politik yang ditunjukkan oleh Kerajaan Bone mendapat dukungan dari beberapa kerajaan, terutama kerajaan yang selama ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Bone. Tidak hanya kedekatan karena hubungan darah, tetapi juga karena letak geografisnya. Selama ini para penguasa, terutama penguasa kerajaan-kerajaan kecil cenderung mengambil kesempatan atau mendua dalam bersikap. Dalam beberapa catatan ditemukan bahwa ada sebagian kerajaan kecil yang mengalihkan kesetiaannya karena para penguasa terdahulu dianggap lemah atau juga karena letaknya yang sangat jauh.

Demikianlah yang diperlihatkan oleh

Kerajaan Suppa dan Tanete. Mereka ikut mendukung sikap politik Kerajaan Bone dan memutuskan untuk tidak hadir dalam pertemuan membicarakan Perjanjian Bungaya yang diperbaharui. Sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh kedua kerajaan itu dipandang sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dengan segera. Tindakan keras harus dilakukan atas kedua kerajaan itu, tidak hanya dipandang sebagai satu pelajaran berarti, tetapi juga untuk menunjukkan kepada Kerajaan Bone akibat yang akan diterimanya jika bersikap bersebelahan dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Letnan Marinir Buys untuk memimpin serangan atas Kerajaan Suppa. Pada bulan Agustus 1824, Suppa diserang. Anggapan bahwa Suppa dengan mudah dapat ditaklukkan ternyata sirna. Belanda kewalahan dengan berbagai taktik dan strategi untuk melumpuhkan Kerajaan Suppa. Belanda gagal dalam misinya menaklukkan Suppa. Banyak korban yang berjatuhan di pihak Belanda. Akhirnya diputuskan untuk meninggalkan Suppa dan kembali ke Makassar.6 Meskipun Kerajaan Suppa gagal ditaklukkan, namun hal itu tidak berlangsung lama. Akhirnya kedua kuasa, yaitu Suppa dan Tanete berhasil ditaklukkan secara politik.

Perang Bone Melawan Belanda

Tidak lama setelah Van der Cappellen meninggalkan Makassar, pasukan Bone melakukan ekspansi ke daerah milik pemerintah Belanda di Maros dan Pangkajene, dua kerajaan yang termasuk memihak kepada Belanda sewaktu menyerang daerah Tanete.7 Benteng

6 Kegagalan pasukan Belanda untuk menduduki

daerah Suppa memberi pukulan psikologis bagi Belanda. Kekalahan ini dikarenakan musuhnya (kerajaan-kerajaan Bugis) saling bantu-membantu. Setelah kekalahan Belanda, jumlah pasukan Belanda diperbanyak dengan mendatangkan pasukan tambahan dari Pulau Jawa. Agresi militer ke Suppa dipimpin oleh kapten Letnan Buys dan Letnan Kolonel Reeder (Mappangara,2004).

7 Kedua daerah ini merupakan daerah penghasil

beras yang utama di daerah ini. Penguasaan kedua daerah ini dari segi startegis militer adalah sesuatu yang harus dilakukan. Daerah Maros merupakan pintu masuk ke wilayah Bone dari jalur barat, selain sebagai lumbung padi di Sulawesi Selatan . Penguasaan Maros dapat digunakan VHEDJDL EHQWHQJ GDQ GDUL VHJL JHRJUD¿V GDHUDK %RQH jika sekiranya hendak diserang lewat selatan, penguasaan

(8)

Belanda “Valkenburg” yang berada di Maros diduduki, bahkan beberapa orang serdadu Belanda terbunuh, termasuk pimpinan pasukan Belanda (Perelaer,1872:79). Jumlah korban yang tewas dalam pertempuran itu sebanyak 84 orang serdadu Belanda, 19 orang serdadu pribumi, 2 orang opsir dan menyita dua pucuk senjata meriam. Jumlah serdadu Kerajaan Bone yang tewas kurang lebih 800 orang (Perelaer,1872:80).8

Dalam salah satu pertempuran yang terjadi pada tanggal 18 Oktober 1824 di sekitar Bonto-Bonto, pasukan Kerajaan Bone berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan Gowa. Kapten Le Clerg dan Letnan Kriss tewas dalam pertempuran tersebut, beserta ratusan pasukan Gowa. Selain di bagian utara, keberadaan Belanda di wilayah selatan tidak luput dari serangan pasukan Kerajaan Bone. Bantaeng dan Bulukumba mendapat giliran untuk diserang. Dalam pertempuran itu Kerajaan Bone berhasil membunuh Letnan Simonius, namun demikian wilayah ini tetap berada di tangan Belanda.

Sikap agresif yang ditunjukkan Bone beserta sekutunya mengkhawatirkan penguasa Belanda yang ada di Makassar. Kekalahan pasukan Belanda di beberapa tempat kekuasaannya, memaksa Kolonel Van Schelle meminta tambahan pasukan ke Batavia. Permohonan bantuan itu mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta. Pada bulan Oktober 1824, di bawah pimpinan Kolonel Bischoof, pasukan Belanda berangkat dari Batavia dan tiba di Makassar pada bulan Nopember 1824. Akhirnya pasukan Belanda kembali berhasil merebut daerah-daerah itu, karena pasukan Kerajaan Bone yang berada di daerah ini, telah meninggalkan Maros dan kembali ke Bone untuk menanam padi karena musim menanam sudah tiba.9

Maros adalah mutlak diperlukan.

8 Dalam Sejarah Bone karangan Abdurrazak

Daeng Patunru, dkk., dikatakan bahwa jumlah yang mati dalam pertempuran itu sebanyak kurang lebih 100 orang (Abdurrazak,1989:245).

9 Kembalinya pasukan-pasukan Bone ini dapat

menjelaskan pada kita bahwa prajurit-prajurit Kerajaan Bone tidak sepenuhnya adalah prajurit-prajurit yang dipersiapkan untuk berperang. Mereka merupakan pasukan cadangan, atau amatiran yang turut serta dalam

Dalam banyak hal, ada sistem atau cara perang yang lazim berlaku di beberapa kerajaan lokal. Tidak ada pasukan dalam jumlah yang besar dididik khusus untuk berperang. Pasukan Kerajaan Bone memiliki panglima perang yang tersusun dalam beberapa tingkatan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, mereka tidak merekrut orang dalam jumlah yang banyak. Ketika rencana perang telah disusun, maka setiap arung berkewajiban datang ke pusat kekuasaan untuk menunjukkan rasa kesetiaannya dan kesiapannya dalam berperang. Mereka ini merekrut penduduk setempat. Tidak semua laki-laki yang harus meninggalkan kampung halamannya untuk berperang. Oleh karena itu banyak di antara mereka adalah kaum petani. Jika musim menanam tiba, banyak di antara mereka akan meninggalkan medan tempur untuk kembali bersawah, terlebih jika kemenangan sudah dapat dipastikan. Demikianlah yang terjadi pada pasukan Kerajaan Bone yang telah berhasil menguasai medan tempur di Maros. Oleh karena merasa yakin, banyak di antara mereka yang kembali ke Bone dan situasi ini dimanfaatkan oleh pasukan Belanda untuk melakukan serangan yang mematikan.

Komisaris tertinggi Hindia Belanda di Makassar, Mr. J.M. Tobias pergi ke Batavia melaporkan perkembangan terakhir yang terjadi di Makassar dan daerah Sulawesi Selatan pada umumnya (Perelaer,1872:80). Tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan Pemerintah Hindia Belanda bahwa sangatlah diperlukan untuk memberi pelajaran pada Kerajaan Bone yang sekarang ini bertindak sangat jauh. Laporan dari Tobias ini dapat meyakinkan pimpinan tertinggi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Untuk merealisasikan usul Tobias itu, ditunjukklah Mayor General van Geen melakukan agresi militer perang ke Sulawesi Selatan untuk menaklukkan Kerajaan Bugis (Bone), dan semua kerajaan yang

perang karena adanya perintah dari atasannya, atau mereka adalah petani-petani dari daerah–daerah palili yang setiap waktu harus menyediakan tenaga (orang) untuk ikut serta berperang, yang merupakan salah satu kewajiban bagi daerah–daerah palili Kerajaan Bone. Selain itu, hal ini menunjukkan juga bahwa persediaan makanan bagi kerajaan harus dijaga dengan baik. Tanpa persediaan makanan segalanya dapat menjadi musnah, termasuk kelangsungan hidup mereka sendiri.

(9)

masih berkuasa. Pasukan di bawah pimpinan Van Geen ini terdiri atas pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri.

Pasukan Van Geen yang tiba di pelabuhan Bajoe pada tanggal 24 Maret 1825, tidak segera melakukan serangan. Pasukan Belanda melakukan pengintaian terlebih dahulu untuk mengetahui tempat yang strategis untuk melakukan pendaratan. Van Rijneveld ditugaskan untuk mengadakan pengintaian. Hasil pengintain diketahui bahwa benteng-benteng yang ada di sepanjang pantai tidak menjadi penghalang utama untuk melakukan pendaratan. Benteng-benteng yang ada diibaratkan sebagai kubangan kerbau semata.

Walaupun pasukan Bone mempertahankan wilayah di sepanjang pantai ini dengan sekuat tenaga, akan tetapi karena peralatan persenjataan yang tidak seimbang, wilayah pantai dan pelabuhan Bajoe dapat direbut dalam waktu satu hari. Jatuhnya benteng pertahanan di sepanjang pantai dan juga pelabuhan Bajoe mengakibatkan pasukan Belanda tanpa susah payah dapat memasuki ibu kota Kerajaan Bone tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti. Raja bersama pembesar-pembesar kerajaan dengan pengawalan khusus meninggalkan ibu kota kerajaan dan mengungsi ke daerah perbukitan. Ibu kota Kerajaan Bone ditinggalkan dalam keadaan kosong. Dalam pertempuran mempertahankan pantai Bone, Kerajaan Bone kehilangan anggota pasukan kurang lebih 200 orang, dan 60 pucuk meriam serta puluhan bedil, mesiu, serta puluhan perahu-perahu pengangkut. Tekanan berat yang dilancarkan Belanda menjadikan pasukan Bone terpaksa mundur seiring dengan majunya pasukan Belanda. Untuk melemahkan pasukan Belanda, taktik gerilya menjadi alternatif lain dalam memenangkan pertempuran. Taktik yang demikian ini sangat didukung oleh karena laskar-laskar Bone mengetahui dengan baik medan pertempuran. Diungsikannya ratu Bone secara psikologis telah membangkitkan perlawanan di kalangan rakyat Bone karena Raja bagi rakyat Bone dianggap sebagai inti Kerajaan. Oleh karena itu, Van Geen mengirim surat kepada Dewan Adat Pitu Kerajaan Bone dan juga kepada raja Bone, untuk segera bersama-sama menyerahkan diri di Watampone.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Belanda kemudian tertunda karena adanya laporan yang diterima bahwa di Jawa telah pecah perang yang

dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda harus ditarik kembali ke Jawa. Dalam situasi yang sangat sulit dan merepotkan, Mayor Van General memutuskan untuk kembali ke Makassar.

Elite Bangsawan Bone Terpecah

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perang ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Target untuk menangkap I Manning Arung Data, raja Bone, tidak membuahkan hasil. Penarikan pasukan Belanda menjadi faktor utama mengapa target dalam perang ini gagal dicapai. Meskipun demikian, dampak atas serangan itu adalah terpecahnya sikap para bangsawan dalam memandang kehadiran Belanda di wilayah ini.

Sebagian bangsawan tinggi melihat bahwa pasukan Bone belumlah cukup kuat untuk melawan pasukan Belanda sehingga mereka menginginkan agar kerjasama yang baik harus dibina dengan penguasa Belanda yang ada di Makassar. Sikap lunak ini ditunjukkan oleh to-marilalang Kerajaan Bone. Tidak demikian halnya dengan Raja Bone, I Manning Arung Data. Sikap menolak tetap diperlihatkannya, seperti yang dilakukan oleh ayahnya, La Tenritappu dan kakaknya, La Mappatunru. Mereka tetap menolak kehadiran Belanda (Sartono,1973:306;Ab durrazak,1989:252).10

Kerajaan Bone dari dalam terpecah belah. Hubungan antara raja dengan to-marilalang, yang

10Sejak tahun 1825 sikap pro dan kontra tentang

ke-hadiran Belanda semakin jelas di Kerajaan Bone. Sikap pro dan kontra tersebut adalah sebagai berikut:

1. Golongan pertama, adalah pendirian Arumpone Sultana Saleha Rabiatuddin, didukung oleh Arung Lompu dan Punggawa (panglima perang) Kerajaan Bone serta sebagian pembesar pemerintahan pusat Kerajaan Bone. Pendirian dari golongan ini ialah sama sekali menolak adanya niat dan usah perdamaian dengan pemerintah Hindia Belanda.

2. Golongan kedua, dipelopori Mangkubumi Kerajaan Bone To-marilalang La Mappangara Arung Sinrie, dan didukung oleh sejumlah pembesar Kerajaan Bone lainnya. Mereka menerima usaha yang bersifat kompromistis, menerima perdamaian dan persekutuan dengan Belanda, dengan harapan Kerajaan Bone terhindar dari kehancuran karena dilanda peperangan. Pada umumnya raja Bone selalu mengambil sikap anti terhadap orang asing, khususnya Belanda.

(10)

secara tradisional sangat dekat dan erat tidak hanya oleh sejarahnya yang panjang, tetapi juga karena keduanya ingin menjalin kerjasama untuk membentuk satu kekuatan. Kerjasama itu biasanya dibangun lewat perkawinan, seperti halnya pada diri To-marilalang La Mappangara Arung Sinrie yang memiliki hubungan darah dengan raja Bone.

Sikap yang ditunjukkan oleh To-marilalang La Mappangara setelah agresi Belanda pada tahun 1824–1825, yang kurang menyetujui kebijakan yang ditempuh dalam kaitannya dengan kehadiran %HODQGDPHQLPEXONDQNRQÀLNGHQJDQUDMD%RQH To-marilalang La Mappangara tidak cukup tenaga untuk mengubah pandangan raja. Akhirnya To-marilalang La Mappangara memutuskan meninggalkan Bone dan bermukim di Makassar.

Kepergian To-marilalang La Mappangara dari Kerajaan Bone membuat pengaruh dari pihak yang berhaluan keras terhadap kehadiran Belanda semakin kuat di Bone. Aliran ini makin menonjol tidak hanya karena raja Bone termasuk salah satu yang sangat anti terhadap Belanda, tetapi juga karena panglima angkatan perang Kerajaan Bone juga sangat bersikeras menolak kehadiran Belanda. Namun, seperti yang telah disebutkan terdahulu, pengaruh itu merosot dengan kematian raja Bone dan panglima angkatan perang Bone pada waktu itu. Seiring dengan kemerosotan tersebut, pengaruh dari To-marilalang La Mappangara Arung Sinrie mulai tampak kembali.

PENUTUP

Sikap politik yang diambil oleh penguasa Kerajaan Bone sehubungan kehadiran Inggris dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya hak-hak istimewa yang selama ini yang dipunyai oleh Bone. Selain itu hak-hak istimewa yang dikhawatirkan hilang, penguasa Bone merasa tersaingi dengan kehadiran Inggris yang dalam menjalankan kekuasaannya melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan apa yang selama ini berlaku di daerah ini. Penerapan perdagangan bebas dan penghapusan perbudakan merupakan dua hal yang dijalankan oleh Inggris namun kurang disetujui oleh penguasa Belanda. Akhirnya hubungan antara kedua penguasa ini bagaikan api dalam sekam yang akhirnya penguasa Bone harus meninggalkan Bontoala

pada tahun 1814.

Konflik yang terjadi antara penguasa Kerajaan Bone dengan Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya disebabkan karena faktor kehadiran Inggris sebelumnya, tetapi Pemerintah Hindia Belanda menolak untuk memberikan hak-hak istimewa kepada penguasa Bone seperti yang diberikan pada masa VOC. Tuntutan penguasa Kerajaan Bone bagi Pemerintah Hindia Belanda dianggap tidak pada tempatnya, karena antara VOC dan pemerintahan Hindia Belanda tidaklah sama. VOC adalah syarikat dagang yang diberikan hak-hak sebagai satu negara. VOC lebih mementingkan kepentingan ekonomi tempat mereka melakukan perdagangan, sehingga kebijakan yang diterapkan dapat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan harus berlaku umum dan tidak dapat memberikan hak-hak istimewa di satu pihak tanpa memberikan hal yang sama dengan penguasa lainnya. Dua pandangan yang berbeda ini menyebabkan konflik yang muncul sehubungan penolakan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya pada tahun 1824 harus dibayar mahal. Kerajaan Bone di serang dan rajanya, I Manning Arung Data harus meninggalkan pusat kekuasaannya di Watampone karena dibumihanguskan. Selain itu, dampak lain yang muncul adalah terpecahnya bangsawan Bone ke dalam pro dan kontra terhadap kehadiran Belanda kembali di Sulawesi Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrazak, Daeng Patunru. 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Algemeen overzigt, Bundel Makassar, koleksi ANRI: No. 6/5Algemene Overzigt van Buitenbezittingen. No. 1, register 1852. Bakkers, J.A.“Leenvorstendom Boni”, dalam TNI,

(1866, Thn. XV).

Beknopt Overzigt der Stukken en Aangelegenheden rakende de Regten welk Bone Zide heelt aangematigd over de Landen gelegen in de Tomini baai, bundel Makassar, koleksi ANRI, No. 35/7.

(11)

Ijzereef, Willem. 1994. De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950. Disertasi. Groningen: Rijksuniversiteit.

Hall. D.G.E. 1976. Sejarah Asia Tenggara (terjemahan). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kern, R.A. 1947. Proeve van Boegineesche Geschieschrijving, dalam Bijdragen Tot De Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsche-Indie, (‘s-Gravenhage – 0DUWLQXVQLMKRIIGHHOHHUVWHDÀHYHULQJ Mappangara, Suriadi. 2004. Sejarah Politik

Kerajaan Bone Abad XIX. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Propinsi Sulawesi Selatan.

Meinsma, J.J.1873. Geshiedenis van der Nederlandsche Oost-Indische Bezittingen. (‘sHage,-Joh. Ijhema).

Perelaer, M.T.H., 1972. De Bonische Expedition, Krijsgebeurtenissen Celebes in 1850 en 1860. Leiden: Gualth Kolff.

Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan, Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak. Pompe, A. 1863. Geschiedenis Der Nederlandsche

Overzeesche Bezittingen. Kampen: B.L. Van Dam.

Sagimun, M.D. 1964. Perang Di Sulawesi Selatan. Djakarta: Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional.

Sartono Kartodirdjo. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda tahun 1839 – 1848. Jakarta: ANRI: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 5.

Stapel, F.W. 1922. Het Bongaais Verdrag. Leiden: University of Leiden.

Referensi

Dokumen terkait

Konflik yang terjadi disebabkan oleh pemberian informasi yang kurang tepat pada saat kegiatan penataan batas kawasan hutan yang pada akhir nya melahirkan ketidakpercayaan

Di perairan Teluk Bone bagian utara teridentifikasi 97 spesies foraminifera bentik dan beberapa genera mendominasi titik-titik lokasi tertentu seperti Amphistegina,

Khusus di Watampone pengajian tersebut dilaksanakan di Masjid Kerajaan Bone, yakni Masjid Al-Mujahidin yang menjadi pusat pendidikan Islam dibina oleh para Kadi

Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa tujuan pemisahan agama dan politik dalam Islam di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak hanya bertujuan

Infeksi SCSMV, SCMV, dan SCYLV ditemukan sudah menyebar di Lampung, Bone, Gowa, dan Takalar yang disebabkan oleh penggunaan bibit tebu yang tidak bebas

Pihak Pemerintah Desa Bila Kecamatan Amali kabupaten Bone mengharapkan agar kegiatan pelatihan tari dan musik tradisional ini akan tetap berkesinambungan, mengingat

Begitu pula dengan penelitian ini, di wilayah Thailand Selatan terjadi konflik pemerintah dan rakyat, yang peneliti gambarkan dalam penelitiannya, pemerintah di gambarkan

Sebaliknya, Raja Bone, Raja Tanete, dan Raja Suppa tidak menyetujui Kontrak Bungaya yang Diperbaharui, karena kontrak itu berakibat pada berkurangnya pengaruh politik Bone