• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAWANAN SUPPA TERHADAP EKSPEDISI MILITER BELANDA 1824 SUPPA RESISTANCE TO THE DUTCH MILITARY EXPEDITION IN 1824

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLAWANAN SUPPA TERHADAP EKSPEDISI MILITER BELANDA 1824 SUPPA RESISTANCE TO THE DUTCH MILITARY EXPEDITION IN 1824"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Kajian tentang perjuangan dalam menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di berbagai daerah telah banyak dilakukan, terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, masih banyak peristiwa yang mengandung nilai patriotisme dan persatuan yang belum terungkap secara utuh hingga saat ini. Salah satu di antaranya adalah perlawanan Kerajaan Suppa terhadap ekspedisi militer Belanda pada 1824. Padahal peristiwa itu, merupakan suatu fakta dari mata rantai perlawanan terhadap serangan militer yang dilancarkan pemerintah

MILITER BELANDA 1824

SUPPA RESISTANCE TO THE DUTCH MILITARY EXPEDITION IN 1824 Muhammad Amir

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166

Pos-el: muhammad_amir66@rocketmail.com

Diterima: 6 Februari 2014; Direvisi: 19 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT

This study reveals and explains the Kingdom of Suppa resistance to the Dutch military expedition in 1824. The method used is the historical method, which describes a problem based on the historical perspective. The procedures are heuristics, source criticism, interpretation, and historiography in the form of a story. The study result shows that the Dutch military expedition to Suppa, not only backed by the royal attitude whose rejects and opposes the return of the Dutch colonial government in South Sulawesi, but also the rejected of Suppa to attend an invitation of meeting with the Dutch colonial government in Makassar and the rejected of Suppa for the renewal of Bungaya contract imposed by the Dutch. Therefore, the Dutch decided to launch a military RIIHQVLYHWR6XSSD%XWWKHDWWDFNIDLOHGEHFDXVHJRWD¿HUFHUHVLVWDQFHIURP6XSSDDORQJZLWKLWVDOOLHV Keywords: resistance, Kingdom of Suppa, and military expeditions

ABSTRAK

Kajian ini mengungkap dan menjelaskan tentang perlawanan Kerajaan Suppa terhadap ekspedisi militer Belanda pada tahun 1824. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya berupa heuristikNULWLNVXPEHULQWHUSUHWDVLGDQKLVWRULRJUD¿GDODPEHQWXN kisah. Hasil kajian menunjukkan bahwa ekspedisi militer Belanda terhadap Suppa, bukan hanya dilatari oleh sikap kerajaan ini yang menolak dan menentang kembalinya pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan, melainkan penolakan Suppa untuk menghadiri undangan pertemuan dengan pemerintah kolonial Belanda yang diselenggarakan di Makassar dan penolakan Suppa terhadap pembaharuan Kontrak Bungaya yang dipaksakan oleh Belanda. Dengan demikian, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap Suppa. Namun, serangan itu gagal karena mendapat perlawanan sengit dari laskar Suppa bersama sekutunya.

Kata kunci: perlawanan, Kerajaan Suppa, ekspedisi militer

kolonial Belanda di Sulawesi Selatan pada abad ke-19. Oleh kerana itu, untuk memahami secara utuh dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam menentang penjajahan di wilayah ini, peristiwa itu tidak dapat diabaikan. Itulah sebabnya Sartono Kartodirdjo, salah seorang sejarawan yang banyak meneliti tentang gerakan sosial, menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan periode yang penting dalam lembaran sejarah Indonesia karena merupakan periode pergerakan sosial yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan (Kartodirdjo, 1984:13). Selain itu, peristiwa itu juga menunjukkan bahwa upaya pemerintah

(2)

kolonial Belanda dalam memperluas hegemoni kekuasaan di wilayah ini, senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Sulawesi Selatan, termasuk di daerah Suppa dan sekitarnya. Kenyataan itulah yang mendasari pemerintah kolonial memberikan julukan kepada daerah ini sebagai “de onrust eiland” atau pulau keonaran (PaEni, 2002: 2). Oleh karena itu, penulis memandang bahwa peristiwa tersebut patut diungkap dan dijelaskan serta dipahami dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan uraian singkat itu, maka yang menjadi pokok persoalan kajian ini adalah mengapa pemerintah kolonial Belanda harus melancarkan ekspedisi militer terhadap Kerajaan Suppa. Oleh karena itu, kajian ini bukan hanya bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan latar belakang ekspedisi militer dan dinamika perlawanan Suppa atas serangan itu, tetapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan serangan militer Belanda tersebut. Persoalan-persoalan yang terkandung di dalamnya, mengacu kepada hal-hal yang berkaitan dengan sebab-musabab dan faktor-faktor kondisional yang mendasari terjadi peristiwa itu. Selain itu, kajian ini bukan hanya dimaksudkan dapat meningkatkan pengetahuan dan membuka cakrawala pemikiran dalam memahami berbagai peristiwa masa lampau yang mempunyai makna historis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi juga dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang dinamika kesejarahan perjuangan bangsa dalam menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, serta untuk kajian lebih lanjut dan mendalam, ataupun sebagai bahan informasi di kalangan masyarakat pada umumnya dalam membangun karakter dan jatidiri bangsa. Itulah sebabnya para sejarawan sering menampilkan pernyataan bahwa, studi sejarah tidak hanya suatu dialog antara sejarawan dengan masa lalu, tetapi seharusnya dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia (Carr, 1986, dalam Poelinggomang, 2005:13).

Berdasarkan studi kepustakaan bahwa terdapat sejumlah kajian tentang Ajatappareng, di antaranya Stephen C. Druce (2009), yang mengkaji secara khusus lima kerajaan yang tergabung dalam Konfederasi Ajatappareng. Sumber utama yang digunakan oleh Stephen ialah manuskrip lokal

(lontarak) dan tradisi lisan. Ia menguraikan OHWDN JHRJUD¿V PDVLQJPDVLQJ NHUDMDDQ EDLN menyangkut pemukiman pada aliran sungai maupun gunung dan dataran rendah yang menjadi lahan pertanian padi sawah pada masing-masing kerajaan di Konfederasi Ajatappareng. 3HQGHNDWDQJHRJUD¿VDQJDWPHPEDQWX6WHSKHQ dalam menguaraikan sistem politik dan terutama sistem ekonomi tradisional kerajaan-kerajaan di Konfederasi Ajatappareng. Sementara Abd. Latif, mengkaji tentang Konfederasi Ajatappareng 1812-1906 (2012). Kajian yang memadukan sumber lokal (lontarak) dengan sumber arsip ini sangat membantu dalam memahami kehidupan sosial dan budaya politik orang Bugis, terutama dinamika kesejarahan di wilayah Ajatappareng. Selain itu, terdapat pula beberapa tulisan tentang Suppa dari aparat pemerintah kolonial Belanda, yaitu, Braam Morris yang menulis Nota van Toelichting op het Contract, Gesloten met het Landschap Soeppa (1890) dan H. van de Stuers yang menulis De Ekpeditie Tegen Tanette en Soepa in 1824 (1854). Kedua penulis asing ini tidak menguraikan dinamika internal Kerajaan Suppa dan latar belakang perlawanan Suppa tehadap pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu, juga terhadap sejumlah karya tulis (Mattulada, 1998; Abduh, 1985; dan Poelinggomang, 2005) dan manuskrip lokal (lontarak), di antaranya Lontarak Akkarungeng Suppa, Lontarak Akkarungeng Sawitto, dan Lontarak Akkarungeng Sidenreng. Meskipun manuskrip lokal ini memiliki kelemahan, namun di dalamnya juga terdapat sejumlah informasi yang penting, terutama menyangkut latar belakang kedidupan masyarakat dan dinamika internal Kerajaan Suppa. Semua sumber tersebut menjadi rujukan dalam kajian ini.

METODE

Penggunaan metode dalam suatu kajian ilmiah merupakan suatu keharusan. Di dalam suatu penelitian pada hakekatnya dapat menggunakan berbagai macam cara atau metode.1 Penggunaan 1 Sebenarnya metode mempunyai hubungan

erat dengan metodologi, namun dapat dibedakan antara keduanya. Menurut Sartono Kartodirdjo, bahwa metode dan metodologi adalah dua fase kegiatan yang berbeda untuk tugas yang sama. Metode adalah “bagaimana

(3)

Selain melakukan penelusuran sumber di Jakarta dan Makassar, juga dilakukan penelitian ke kabupaten-kabupaten dalam wilayah Ajatappareng di Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengumpulkan data-data sejarah dan bahan dokumenter lainnya yang tersimpan pada instansi pemerintah kabupaten, lembaga swasta, dan koleksi-koleksi pribadi. Di samping itu, dilakukan pula penelitian terhadap tradisi-tradisi lisan, sebab pada umumnya masyarakat yang menyimpan tradisi lisan, selalu menuangkan kenyataan historis dan landasan kultur kehidupan politik dan sosial mereka dalam bentuk cerita rakyat dan sejenisnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap memarjinalkan kenyataan historis yang tidak tertuang dalam naskah lontarak dan sumber tertulis lainya, seperti dokumen dan manuskrip.

Dokumen dan keterangan yang dikumpulkan tersebut, sebelum diinterpretasi dan digunakan dalam penyusunan naskah, dikritik terlebih dahulu untuk memastikan otentitas dan validitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan keterangan dan ulasan yang bermanfaat dan objektif, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Langkah selanjutnya, adalah melakukan penafsiran terhadap sumber yang telah dikritik atau lulus seleksi sebagai suatu fakta. Penafsiran ini dilakukan dengan jalan merangkaikan berbagai fakta dan memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta itu secara maksimal dan objektif. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan arti dan makna fakta itu dalam rangka penyusunan naskah hasil penelitian.

Tahapan terakhir dari seluruh rangkaian penelitian ini adalah penulisan naskah hasil penelitian (historiografi) dalam bentuk kisah sejarah yang bersifat deskripsi analitis, tanpa mengabaikan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Sehubungan dengan itu, maka persoalan-persoalan yang berkaitan dengan latar belakang ekspedisi militer Belanda dan dinamika perlawanan Kerajaan Suppa serta implikasi sosial yang menyertainya harus dijelaskan faktor-faktor penyebabnya. Berbeda halnya dengan penulisan yang bersifat deskripsi narasi, yang hanya menampilkan gambaran kisah sejarah dalam urutan waktu (kronologis). Biasanya penulisan sejarah yang hanya bersifat deskripsi narasi, metode tersebut, tergantung dari jenis, persoalan,

dan tujuan kajian (Sumadi, 1992:15). Sejarah sebagai bahagian dari ilmu-ilmu sosial yang mengkaji peristiwa yang terjadi pada masa lampau, memiliki metode tersendiri yang disebut metode sejarah (historical method) yang meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah.

Sehubungan dengan uraian itu, maka kajian ini termasuk penelitian sejarah. Secara tematik dapat dikategorikan sebagai sejarah lokal (Abdullah, 1985:310), dengan fokus perhatian pada perlawanan Kerajaan Suppa terhadap ekspedisi militer Belanda pada 1824. Oleh karena itu, metode yang dipergunakan adalah metode penelitian sejarah (Garraghan, 1957:33; Gottschalk, 1986:18). Pada intinya metode penelitian sejarah ini meliputi heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber), kritik (analisa sumber), interpretasi (penafsiran), GDQKLVWRULRJUD¿ SHQXOLVDQVHMDUDK 3URVHGXU kerjanya dilakukan secara sistematis. Maksudnya, kritik dilakukan setelah data terkumpul, begitu pula interpretasi dilakukan setelah melalui tahap penilaian atau kritik sumber (Notosusanto, 1978:18).

Prosedur penelitian mengikuti tahapan-tahapan kegiatan penelitian sejarah dan menyajikan dengan berpedoman pada prinsip penulisan sejarah, yaitu secara kronologis. Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan sumber, baik berupa dokumen dan sumber-sumber sejarah lainnya yang tersimpan pada lembaga kearsipan, maupun berupa naskah lontarak, surat kabar, majalah, hasil penelitian, dan sumber tertulis lainnya pada lembaga perpustakaan dan sejumlah instansi pemerintah yang bergiat dalam pendataan sejarah dan kebudayaan daerah. Sumber-sumber itu diperoleh di Arsip Nasional Republik Indonesia, Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala Makassar.

memperoleh pengetahuan” (how to know), sedangkan metodologi adalah “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, metode sejarah adalah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkan metodologi adalah “mengetahui bagaimana mengetahui sejarah (Kartodirdjo, 1992:ix; Sjamsuddin, 2007:14).

(4)

tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dan konteks situasional yang mengendap di balik fakta-fakta sejarah.

PEMBAHASAN Sekilas Tentang Suppa

Suppa yang menjadi fokus dalam kajian ini merupakan salah satu dari lima kerajaan di wilayah Ajatappareng. Kelima kerajaan yang terletak di sebelah barat tiga danau (Danau Tempe, Danau Sidenreng, dan Danau Buaya) pada bagian utara jazirah selatan Sulawesi adalah Kerajaan Suppa, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Rappang, dan Kerajaan Alitta. Pada musim kemarau ketiga danau itu tampak terlihat dengan jelas, tetapi pada musim hujan ketiganya menyatu menjadi satu. Dalam perkembangannya, kelima kerajaan itu membentuk persatuan atau perjanjian kerjasama yang kemudian dikenal dengan persekutuan Lima Ajatappareng. Dalam istilah bahasa Bugis, Lima Ajatappareng terdiri atas sejumlah suku kata, yaitu lima (lima), aja (barat), dan tappareng (danau). Jadi pengertian dari Lima Ajatappareng adalah persekutuan lima kerajaan yang terletak di sebelah barat danau.

Kerajaan Suppa yang terletak di pesisir pantai Selat Makassar dalam wilayah Ajataparang, berbatasan dengan Kerajaan Sawitto di sebelah utara; Kerajaan Alitta dan Kerajaan Sidenreng di sebelah timur; Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Soppeng Riaja di sebelah selatan; dan Selat Makasar di sebelah barat. Luas wilayah kerajaan ini belum diperoleh informasi atau data secara pasti. Namun menurut penafsiran, luasnya mencakup sekitar 100 paal persegi (1 paal = 1.506 m). Kerajaan ini terdiri atas sejumlah kampung (wanua), yaitu Watang Suppa (ibukota kerajaan), Ta-e, Majanna-e, Barangkasanda, Cekeala, La Tamapa, Ladea, Lompo-e, Garassi, Bela-belawa, Sabbamparu, Mangarabombang, Lompomenralang, Polewali, dan Ujung Lero. Selain wanua-wanua itu, wilayah Suppa juga meliputi pulau-pulau yang terletak di Teluk Parepare, yang terdiri atas Pulau Kamarang, Dapo, dan Laowakoang, namun hanya Pulau Kamarang yang berpenghuni (Morris, 1890:202).

Wilayah kekuasaan Kerajaan Suppa sebelum tahun 1824, bahkan meliputi sejumlah

negeri-negeri di pesisir pantai barat-bagian utara jazirah selatan Sulawesi, seperti Bacukiki, Soreang, Bojo, Nepo, dan Palanro juga berada di bawah kekuasaan Kerajaan Suppa (Druce, 2009:257).2 Namun dalam perkembangannya negeri-negeri itu berubah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sidenreng. Perubahan itu antara lain karena negeri-negeri palili atau bawahan (vassal) itu berhasil direbut atau diduduki Sidenreng yang bekerjasama dengan Inggris dalam perang melawan Suppa pada tahun 1812. Kemudian pada masa pemerintah Hindia Belanda, Sidenreng juga membela Belanda dalam perang melawan Suppa pada 1824-1825. Itulah sebabnya negeri-negeri itu kemudian ditempatkan di bawah kekuasaan Sidenreng sebagai liliq passiajingeng (Morris, 1890:203).3

Berdasarkan laporan Belanda pada akhir abad ke-19, kondisi lahan pertanian di Suppa terdiri atas sawah dan ladang, sehingga banyak ditanami padi dan jagung. Pada umumnya padi yang ditanam di sekitar aliran sungai menghasilkan panen yang menguntungkan, bukan hanya memadai untuk konsumsi tetapi setiap tahun juga dapat mengekspor beras dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain padi, penduduk juga banyak menanam jagung di dataran, terutama di daerah pegunungan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan utama mereka. Di samping itu, penduduk juga menanam ubi dan kacang dalam berbagai jenis. Pohon kelapa, pinang, kemiri, dan aren di semua wanua atau kampung dijumpai.

2 Dalam lontarak antara lain disebutkan bahwa

liliq Nepo \ liliq Palanro \ liliq Bacukiki \ liliq Bojo sibawa liliq Soreang \ iyanaritu liliq paduwisena Suppa (Lontarak Akkarungeng Sidenreng, hlm. 2. Sementara Stephen C. Druce yang mengutip dari Lontarak Attoriolong Suppa antara lain menyebutkan bahwa Suppaq \ paliliqna \ Nepo \ Palanro \ Manuba \ napanoqe rakkalana \ Bojo \ Bacukiki \ Perangki \ Belabelawa \ Soreang.

3 Dalam sumber lontarak antara lain disebutkan

bahwa Nepo, Palanro, Bacukiki, Bojo, dan Soreang liliq seajingnge asenna \ apa ritulungngi ri Sidenreng na-saui mammusuq Palanro ri taung 1810 M \ rimakkuan-nanaro narisappengina Nepo ri Sidenreng \ paggangkan-na taung 1905 M \ paggangkan-naiya Palanro \ mancaji liliq Palanro \ paliliq bessi aje passosoro asenna \…\ rilalennamani musuq Suppa sibawa Inggeris taung 1812-1816 M \ ri-wettu purana musuq-e nadowerengngi alena Bacukiki \ Bojo sibawa Soreang \ mancaji liliq passeajingeng ri Sidenreng (Lontaraq Akkarungeng Sidenreng, hlm. 1-2)

(5)

Bambu hanya di beberapa tempat ditemukan. Demikian pula pisang, mangga, nangka, dan jeruk juga dibudidayakan. Sementara Penduduk pantai terutama sibuk dengan penangkapan ikan di Teluk Parepare yang banyak memberikan penghasilan bagi mereka. Di teluk ini juga ditemukan banyak tripang dan hasil tangkapannya ditafsirkan mencapai 150 pikul per tahun.4

Selain itu, Teluk Parepare juga banyak dikunjungi oleh perahu dagang dan setiap saat menyediakan tempat berlabuh yang aman, sebab Ujung Lero melindunginya dari terpaan angin kencang dan ombak. Kenyataan inilah yang melapangkan Suppa dapat berkembang menjadi pelabuhan yang utama di kawasan Ajatappareng pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 (Pelras, 2006:123). Bahkan berdasarkan bukti-bukti arkeologi berupa pecahan keramik dari hasil survei yang dilakukan di Suppa menunjukkan bahwa, sejak abad ke-14 orang semakin tertarik ke Suppa sehingga lambat laun muncul sebagai pusat pertanian dan perdagangan. Sejak itu Suppa telah menjadi kuat, kaya dan makmur, serta kerajaan yang paling berpengaruh di wilayah Ajatappareng (Druce, 2009:204-205). Kejayaan Suppa itu kemudian memudar seiring dengan perkembangan Makassar yang selanjutnya digantikan oleh Kompeni Belanda. Itulah sebabnya ketika kekuasaan Kompeni Belanda mulai mengalami kemunduran, Kerajaan Suppa bersama sekutunya terutama Kerajaan Bone berusaha membangun kembali kejayaannya dengan membangun dan 4 Menurut D.F. van Baraam Morris bahwa Suppa

menjalin hubungan perdagangan dengan Makassar dan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar. Impor terutama terdiri atas kain Eropa, kain cita, kain tenun, barang-barang besi, tembaga dan tanah, garam, gambir, candu, dan barang-barang rumah tangga. Sementara ekspor terutama terdiri atas padi, jagung, langnga (wijen), dan tripang. Dari semua komoditi dagang ini, 5% pajak dibayarkan. Garam dan candu merupakan barang-barang monopoli datu Suppa. Di Suppa terdapat sejumlah perahu dagang dan puluhan perahu pajala (untuk menangkap ikan) yang dijumpai. Sebagai mata uang tembaga, penduduk menggunakan keping duit ayam (doi manu atau doi nipi) di mana menurut kursnya ditetapkan 960 atau 1050 per satu real. Dari jenis-jenis mata uang yang digunakan, yang paling disukai adalah real dan gulden. Tempat perdagangan yang dikelola dalam lima hari pasar, adalah Watang Suppa, Bela-Belawa, Polewali dan Barangkasanda (Morris, 1890:204-206).

mengembangkan pelabuhan Parepare. Namun dalam upaya-upaya itu, mereka harus berhadapan GHQJDQ,QJJULVVHKLQJJDWHUMDGLNRQ¿NDQWDUD Suppa dengan Inggris bersama Sidenreng.

Latar Belakang Perlawanan

Perlawanan Sulawesi Selatan terhadap Belanda, termasuk perlawanan Kerajaan Suppa bukanlah hal yang baru tampak setelah pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kedudukan kekuasaan Inggris pada awal abad ke-19. Sebab jauh sebelumnya, yaitu sejak kehadiran dan usaha VOC (Verenigde Oost Indche Compagnie) untuk menguasai perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara abad ke-17, telah terjadi tindak perlawanan menentang monopoli perdagangan VOC. Benih-benih perlawanan yang telah tumbuh sejak lama itu, kembali bergelorah ketika pemerintah kolonial Belanda mulai menata kedudukan kekuasaannya di kawasan ini, terutama setelah menerima penyerahan wilayah atas Makassar dan daerah sekitarnya dari Inggris. Oleh karena mereka diperhadapkan dengan sikap sejumlah kerajaan di jazirah selatan Sulawesi yang menolak dan menentang kehadirannya, seperti Kerajaan Bone, Suppa, Tanete, dan Konfederasi Mandar (Asba, 2010:95; Amir, 2011:215).

Penolakan sejumlah kerajaan itu, mulai tampak ketika Komisaris Belanda, Peter Theoderus Chasse yang didampingi oleh Letkol Bischeff dan Kapten Laut Dieta tiba di Makassar dan mengundang para penguasa kerajaan untuk menghadiri serah terima kekuasaan dari pihak Inggris pada 7 Oktober 1816 (Sumber Arsip, 1854:174; Kemp,1910:127). Sebab, pada upacara serah terima itu, hanya sebagian penguasa kerajaan yang datang menghadiri undangan pemerintah kolonial Belanda, seperti Kerajaan Gowa, Sidenreng, Soppeng, dan Konfederasi Turatea. Kerajaan Gowa misalnya datang dengan sejumlah pembesar kerajaan, termasuk I Manginyarang Karaeng Lembangparang yang telah diangkat menjadi raja Gowa bersama pengikut-pengikutnya untuk menyatakan sambutan selamat datang, dan kesetiaan kepada pemerintah Hindia Belanda (Mattulada, 1998:333; Kadir, 1978:52). Sikap itu tentu erat hubungannya dengan kedudukan Gowa ketika itu yang belum pulih sepenuhnya, dan

(6)

bahkan sedang menghadapi ancaman dari gerakan Karaeng Data.5 Selain itu, juga karena untuk melapangkan jalan bagi suksesi kepemimpinan di Gowa. Itulah sebabnya pengangkatan I Manginyarang Karaeng Lembangparang menjadi raja Gowa tidak mendapat penolakan dari pemerintah Hindia Belanda. Sementara sikap Kerajaan Sidenreng, bukan hanya untuk dapat memperoleh bantuan dari pemerintah Hindia Belanda, apabila Kerajaan Bone merencanakan merebut kembali Parepare yang dikontrak dari Inggris. Tetapi sikap Kerajaan Sidenreng itu juga agar kedudukannya di kota pelabuhan itu tetap berlanjut. Pengalihan kegiatan perdagangan Sidenreng ke Parepare itu telah mengakibatkan Kerajaan Suppa mengalihkan persekutuannya dengan Kerajaan Bone dan Tanete. Hal ini disebabkan karena Sidenreng yang sebelumnya

5 Karaeng Data bernama lengkap Abu Bakar

Karaeng Data dan ketika ia berumur sekitar 8 tahun ayahnya (Batara Gowa I Sangkilan) meninggal. Dalam usianya yang mudah itu, ia tetap berada di antara para pengikut ayahnya, sehingga tergolong dalam daftar buronan (tuniboya) pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa. Seseorang yang tercatat sebagai tuniboya berarti ia dapat dibunuh tanpa sanksi hukum bagi pembunuhnya. Meskipun keadaan hidupnya selalu dalam bahaya, ia berusaha untuk mengimbanginya. Hal inilah yang menyebabkan ia tumbuh dan berkembang sebagai seorang pemberani yang perkasa serta berusaha menantang pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman kerajaan. Namun usaha pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa untuk menangkapnya selalu gagal, dan bahkan pengaruh Karaeng Data semakin meluas sehingga sejumlah bangsawan tinggi Bone dan Gowa menghormati dan mendukungnya. Tahun 1798 Karaeng Data meninggalkan Makassar dan pergi ke Ambon. Ia mendapat perlindungan dan bantuan dari Residen Inggris di Ambon. Ketika Inggris telah menduduki dan menguasai Makassar tahun 1812, ia kembali ke Makassar dan memohon perlindungan dan bantuan Residen Inggris di Makassar, Richard Philips. Atas izin Residen Philips, Karaeng Data menetap di Beba, sebuah kampung yang terletak di daerah Galesong. Kedudukan dan kekuasaannya yang semakin kuat itu berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Inggris. Berkat dukungan dan bantuan dari penduduk pedalaman Makassar, Karaeng Data mengajukan tuntutan kepada Kerajaan Gowa, agar menyatakan dan mengaku tunduk pada pemerintahannya. Tuntutan itu memaksa pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa bersama-sama melancarkan serangan terhadap kedudukan Karaeng Data di Beba pada bulan Agustus 1819 (PaEni, 2002:172-184).

memanfaatkan pelabuhan Suppa sebagai bandar niaganya, namun kemudian meninggalkannya (Poelinggomang, 2005a:109).

Sedangkan Kerajaan Bone, Suppa, Tanete, dan Konfederasi Mandar menolak untuk menghadiri undangan tersebut. Persoalannya mengapa sejumlah kerajaan itu menolak kembalinya kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Penolakan itu sesungguhnya berpangkal pada perkembangan keadaan politik di Sulawesi Selatan setelah Perang Makassar (1667-1669). Perang yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya itu, bukan hanya menjadi awal bagi kejayaan Kerajaan Bone dalam sejarah di Sulawesi Selatan, tetapi juga telah memberikan konstribusi yang sangat besar bagi Bone dalam perkembangannya. Satu di antara sekian banyak keuntungan yang didapat oleh kerajaan ini adalah konsensus yang menempatkan Bone sebagai perantara bagi kerajaan-kerajaan yang ada di daerah ini dalam berhubungan dengan VOC.6 Oleh karena itu, kerajaan ini tumbuh menjadi satu-satunya kerajaan yang terkuat di jazirah selatan Sulawesi. Ketika Arung Palakka menjadi raja Bone (1667-1696), ia berusaha untuk memperluas wilayah dan pengaruh kekuasaannya. Selain melakukan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain yang dianggap sering membangkang, ia juga mengembangkan kekuasaannya melalui perkawinan politik, sehingga jaringan kekeluargaan Bone menjangkau hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan (Andaya, 2004:375-380). Itulah sebabnya ketika %RQH EHUNRQÀLN GHQJDQ SHPHULQWDK NRORQLDO tidak sedikit dari kerajaan yang mempunyai jaringan kekeluargaan memihak dan memberikan bantuan kepada Bone.

Kerajaan Bone semakin memperluas wilayah dan pengaruh kekuasaannya ketika VOC menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya, sehingga menjadi satu kerajaan yang sangat disegani di daerah Sulawesi Selatan. Sejumlah wilayah kekuasaan VOC yang merupakan penghasil utama beras, baik di Noorder Provincie (Propinsi Bagian Utara) maupun di Zuider Provincie (Propinsi Bagian Selatan) berada di 6 Keuntungan lain yang diperoleh oleh Arung

Palakka dan Kerajaan Bone adalah terbebasnya Kerajaan Bone dari cengkraman kekuasaan Kerajaan Gowa.

(7)

bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Bone dan Tanete. Itulah sebabnya Bone dan sekutunya (terutama Kerajaan Tanete dan Suppa) menolak dan menentang kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan. Sebab kehadiran kembali pemerintah kolonial daerah ini, bukan hanya mengancam eksistensi kerajaan-kerajaan itu, tetapi juga mengancam pengaruh dan kekuasaan mereka atas sejumlah wilayah yang diduduki, seperti Maros, Pangkajene, Labbakkang, Segeri, Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Bahkan tidak sedikit kerajaan di daerah ini yang menyandarkan kewibawaan dan kekuatannya pada Bone. Oleh karena itu, penolakan Bone dan sekutu atas kehadiran pemerintah Hindia Belanda, antara lain karena mereka tidak rela pengaruh dan kedudukan kekuasaan atas sejumlah wilayah dan kerajaan di daerah ini beralih kepada pemerintah Hindia Belanda (Mattulada, 1998:333; Kadir, 1978:51). Selain itu, penolakan Kerajaan Bone dan sekutunya atas kehadiran pemerintah Hindia Belanda, juga dilatari oleh kekecewaan terhadap Belanda yang telah menyerahkan kekuasaan tanpa perlawanan kepada Inggris atas wilayah Makassar dan Daerah Takluknya pada tahun 1812. Padahal berdasarkan Perjanjian Bungaya (Pasal 6) bahwa Portugis dan Inggris harus diusir dari Makassar. Oleh karena itu, Bone dan sekutunya menganggap bahwa Belanda telah tidak mematuhi Perjanjian Bungaya yang memperbolehkan Inggris berkuasa di daerah ini pada tahun 1812-1816. Di samping itu, juga karena keengganan pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui hak-hak istimewa Bone yang diperolehnya pada masa VOC.7 Hal inilah yang menyebabkan hubungan antara Bone dan sekutunya dengan pemerintah Hindia Belanda menjadi tegang yang kemudian berujung pada WLPEXOQ\DNRQÀLNDQWDUDNHGXDEHODKSLKDN3DGD awalnya Bone bersikap lunak terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan harapan bahwa mereka dapat mengembalikan hak-hak istimewa Bone, yang selama Inggris berkuasa tidak diakui lagi. Namun harapan itu tidak kunjung datang,

7 Hak-hak istimewa Kerajaan Bone itu antara lain,

Bone merupakan mitra setara dengan Belanda, sebagai ketua persekutuan kerajaan-kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan, dan semua kerajaan yang akan berhubungan dengan Belanda harus melalui perantaraan Bone.

bahkan pemerintah Hindia Belanda melanjutkan kebijakan yang telah diambil Inggris. Penolakan pemerintah Hindia Belanda atas keinginan Bone itu, dibalas pula dengan penolakan Bone atas kehadiran Belanda kembali di Sulawesi Selatan (Mappangara, 1996:98; Amir, Muhammad, 6\DKULU.LODGDQ5RVGLDQD+D¿G .

Sementara itu usaha pemerintah kolonial Belanda untuk memperluas dan memperkuat kembali kedudukan kekuasaannya di Sulawesi Selatan, belum menunjukkan kemajuan sebagaimana yang diharapkan. Berbagai cara yang ditempuh untuk membujuk kerajaan-kerajaan di kawasan ini, agar mereka bersedia menerima Belanda sebagai sahabat dan sekutu, tetapi tetap tidak mengalami kemajuan yang berarti. Sebab Kerajaan Suppa dan sekutu-sekutunya tetap memperlihatkan sikap permusuhan dan tidak percaya lagi terhadap maksud “baik” Belanda. Itulah sebabnya Gubernur Makassar dan daerah sekitarnya, Kolonel Jan David van Schelle (1821-1825), yang merangkap sebagai komandan pasukan Belanda di wilayah ini, meminta bantuan pasukan dan senjata kepada pemerintah kolonial di Batavia pada Oktober 1821, untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan sekutu di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan Belanda. Mayor Jenderal de Kock pada dasarnya dapat menyetujui permintaan itu, tetapi tidak dapat memenuhinya dalam waktu singkat, karena pasukan Belanda harus pula dikerahkan untuk menghadapi perlawanan di daerah lainnya di Indonesia (Sumber Arsip, 1971:34: Abduh, 1985:48; Poelinggomang, 2005:220).

Kenyataan itu mendorong Gubernur Jenderal Van der Capellen membentuk sebuah komisi pada Februari 1824, yang anggota-anggotanya terdiri atas Van Schelle (gubernur Makassar) dan Mr. Johan Hendrik Tobias (utusan pemerintah pusat di Batavia). Tugas komisi itu adalah meneliti dan menyusun laporan mengenai keadaan politik di Sulawesi Selatan yang akan disampaikan kepada gubernur jenderal, dan mempersiapkan kunjungan Van der Capellen ke Makassar untuk bertemu dengan raja-raja di Sulawesi Selatan guna membicarakan kontrak baru sebagai pengganti Cappaya ri Bungaya (Perjanjian Bungaya) 1667 yang dipandang sudah tidak sesuai dengan keadaan yang sudah

(8)

berubah. Untuk itu maka diselenggarakan suatu pertemuan di Sidenreng pada Mei 1824. Hadir dalam pertemuan itu raja dan para pembesar dari Kerajaan Sidenreng, Wajo, dan Luwu. Komisi diwakili oleh Tobias dan ditemani oleh M. Francis sebagai pencatat. Sementara Kerajaan Suppa, Tanete, dan Bone tidak hadir karena masih EHUNRQÀLNGHQJDQSHPHULQWDKNRORQLDO%HODQGD (Sumber Arsip, 1973:263; Poelinggomang, 2002:64).

Berdasarkan hasil pertemuan antara pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan sekutu di Sidenreng, dan laporan hasil penelitian yang dibuat oleh komisi (Daeng Patunru, 1989: 238),8 maka Gubernur Jenderal Van der Capellen berangkat ke Makassar pada bulan Juli 1824.9 Ia mengundang raja-raja di Sulawesi Selatan untuk diajak berunding mengenai penataan pemerintahan Hindia Belanda di kawasan ini. Sehubungan dengan itu, Komisaris Tobias menyampaikan undangan surat kepada raja-raja di Sulawesi Selatan. Selain mengirimkan surat, Tobias juga melakukan langkah-langkah 8 Menurut Mattulada bahwa dari hasil penelitian

dan pertemuan pendahuluan antara Van Schelle dan Tobias dengan raja-raja di Sulawesi Selatan, dilaporkan kepada Gubernur Jenderal dan dijadikan asas untuk perundingan lebih lanjut dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen, yaitu sebagai berikut; Pertama, Gubernemen di Makassar akan meliputi semua negeri di Sulawesi Selatan, dari dan dengan Teluk Palos sampai Tanjung Valsh atau Taliabu, beserta Pulau-pulau Buton, Selayar dan Sumbawa, kerajaan-kerajaan di dalam wilayah itu, akan membentuk suatu persekutuan, di mana Negeri Belanda akan mengepalainya. Sedangkan Bone dan Gowa akan menjadi anggota-anggota persekutuan yang tertua. Kedua, semua pekerjaan untuk rumah tangga raja-raja, seperti rodi, pemberian upeti, atau hadiah-hadiah kepada pejabat kerajaan oleh rakyat, harus dihapuskan. Ketiga, pemusnahan atas pohon-pohon rempah-rempah tidak diperbolehkan lagi dilakukan oleh siapapun (Mattulada, 1998:336).

9Tanggal yang tepat mengenai kedatangan

Gubernur Jenderal Van der Capellen di Makassar ada beberapa sumber yang berbeda,yaitu ada yang menyebutkan pada tanggal 4 Juli 1824 (Sumber Arsip, 1971; Mattulada, 1998:335; Daeng Patunru, 1989:239). Sedang sumber lain menyebutkan pada tanggal 24 Juni 1824 (PaEni, Mukhlis. 1995:113); dan pada tanggal 5 Juli 1824 (Sumber Arsip, 1854:178; Kadir, 1978:52). Selain itu, juga ada yang hanya menyebutkan pada bulan Juli 1824 (Abduh, 1985:49).

diplomasi untuk memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Misalnya ia berangkat ke Parepare dan daerah Ajattapareng lainnya, termasuk ke Sidenreng untuk mengirimkan surat undangan melalui utusan ke Suppa. Oleh karena utusannya tidak diterima, sehingga Tobias melanjutkan perjalanan ke Suppa untuk menyampaikan langsung undangan pemerintah Hindia Belanda. Namun usaha Tobias itu juga mengalami kegagalan, karena ia pun mendapat penolakan dari Kerajaan Suppa (Sumber Arsip, 1854:178; Mappangara, 1996:103).

Meskipun demikian perundingan tetap dilaksanakan. Dalam perundingan tersebut, ternyata hanya sebagian di antara raja-raja yang hadir. Adapun raja-raja yang hadir dalam perundingan itu, antara lain adalah raja Gowa, Sidenreng, Sanrobone, Binamu, Bangkala, Laikang, dan Buton. Sedangkan raja-raja yang tidak hadir adalah raja Bone,10 Tanete, Suppa, Soppeng, Luwu, dan Konfederasi Mandar.11 Dalam perundingan yang dimulai sejak tanggal 4 Juli 1824, belum berhasil merumuskan keputusan-keputusan seperti yang diharapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebab terdapat banyak kendala yang sangat berarti, bukan hanya karena keinginan Belanda memaksakan kehendaknya, tetapi juga karena Bone dan sekutu-sekutunya tidak ikhlas menerima kedatangan kembali kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di kawasan ini. Namun setelah beberapa hari perundingan berlangsung, Van der Capellen mengambil keputusan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang telah bekerjasama dengan Bone menentang pemerintah Hindia Belanda, terutama Kerajaan Tanete dan Suppa. Tindakan tersebut juga dimaksudkan sebagai ancaman langsung kepada Bone, agar segera dapat mengubah sikap politiknya (Mattulada, 1998:336;

10 Raja Bone ketika itu adalah I Benni atau I

Man-neng Arung Data, yang tampil menggantikan Raja Bone To Appatunru yang wafat pada tahun 1823. Kepada Raja Bone yang baru ini, pemerintah Hindia Belanda berharap pertentangan antara pemerintah Kerajaan Bone dengan pi-hak Belanda dapat diselesaikan secara damai (Mattulada, 1998:334; Daeng Patunru, 1989:236).

11 Konfederasi Mandar terdiri atas Kerajaan

Bala-nipa, Sendana, Banggae (Majene), Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan Binuang (Leyds, 1940:39).

(9)

Abduh, 1985:50).12 Dalam laporan komandan ekspedisi militer Belanda, H. van de Stuers, antara lain disebutkan bahwa tujuan ekspedisi atau serangan militer tersebut adalah untuk menduduki kerajaan itu, memaksanya menyerah, dan menangkap rajanya (Stuers, 1854:374).

Pasang Surut Perlawanan

Sikap Kerajaan Suppa yang bukan hanya menolak dan menentang kembalinya Belanda, tetapi juga tidak bersedia memenuhi undangan pertemuan dengan Van der Capellen dan penolakan terhadap pembaharuan Kontrak Bungya tersebut, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk melancarkan serangan militer yang kemudian memicu terjadinya konflik berupa perang antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan rencana penaklukan terhadap kerajaan itu, maka dipersiapkan sutau pasukan ekspedisi militer Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Buys dan dibantu oleh Letnan Kolonel Infanteri Reeder. Kekuatan ekspedisi ini terdiri atas 208 orang pasukan angkatan darat dengan satu mortir dan dua mortir tangan, 20 orang arlileri dengan lima pucuk meriam, dan enam orang perwira. Ekspedisi ini juga diperkuat dengan kapal perang Sirene, kapal layar Dourga dan Nautillus, kapal jelajah nomor 12 dan 13, kapal tongkang Eurydice, dan dua kapal meriam. Selain itu, juga banyak perahu pribumi terutama dari Sidenreng, dan sejumlah kesatuan bantuan pasukan pribumi dari kerajaan sekutu yang turut serta atau bergabung dengan pasukan ekspedisi Belanda dalam penaklukkan terhadap Suppa (Stuers, 1854:380).

Pasukan ekspedisi Belanda tersebut, diperintahkan berlayar ke Suppa pada 2 Agustus

12 Atas keputusan itu, pasukan kolonial Belanda di

bawah pimpinan Kolonel H. van de Stuers yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Gowa dan Sidenreng melancarkan serangan terhadap Kerajaan Tanete pada tanggal 15 Juli 1824. Akibatnya Kerajaan Tanete jatuh ke tangan pasukan Kolonial Belanda, dan Raja Tanete La Patau mengungsi ke pedalaman. Kedudukannya sebagai raja Tanete digantikan oleh adik perempuannya yang bernama Daeng Tanisanga. Raja inilah yang menandatangani perdamaian sementara dengan pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 19 Juli 1824 (Kadir, 1978:53). Sementara Kerajaan Suppa mendapat giliran berikutnya dengan mengerahkan pa-sukan angkatan laut Belanda di bawah pimpinan Letnan kolonel Marinir Buys pada bulan Agustus 1824.

1824. Daerah tujuan ekspedisi itu adalah terletak di pesisir pantai barat jazirah selatan Sulawesi dan berada pada posisi sebelah utara Tanete. Dalam perjalanan yang disertai dengan cuaca yang baik, mereka berhasil tiba di Teluk Parepare pada 3 Agustus malam. Teluk yang indah ini memiliki kedalaman sekitar 5 vadem (1 vadem = 1,88 m) dan perairan yang terletak di sekitar Suppa dengan kedalaman 7 vadem. Pimpinan pasukan ekspedisi Belanda segera mengirimkan utusan untuk menyampaikan tuntutan kepada Datu (Raja) Suppa Sultan Adam, agar merubah pendiriannya dan bersedia menandatangani pembaharuan Kontrak Bungaya serta menerima kehadiran dan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Pada malam itu utusan komandan kembali ke kapal bersama dua orang utusan datu yang meminta penundaan dengan alasan bahwa addatuang (raja) Sawitto juga harus diminta pertimbangan dan nasehatnya, sementara sekutu Alitta dan Rappang harus diajak bicara, yang memerlukan lebih banyak waktu daripada yang diberikan (Stuers, 1854:381; Lontarak Akkarungeng Suppa, tt:41).

Persoalannya mengapa Suppa harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari ketiga kerajaan itu. Hal ini tidak terlepas dari jaringan kekeluargaan dan hubungan persahabatan keempat kerajaan yang terjalin dalam persekutuan Lima Ajatappareng. Pada tanggal 4 Agustus 1824, sebagian bantuan pasukan pribumi mulai melakukan pendaratan di pantai yang berkedalaman 5 vadem. Di pantai itu terdapat bentangan bukit berkarang yang memiliki lebar 1.000 meter dan tertutup dengan hutan belukar yang terpisah dari pantai.13 Untuk menghadapi pasukan Belanda, Kerajaan Suppa mempersiapkan sekitar 2.000 orang laskar infanteri dan 300 orang laskar berkuda. Selain itu, Suppa juga mendapat bantuan laskar dari Kerajaan Sawitto, Alitta, Rappang, Langa, dan Jampu. Mereka menguasai medan dan menempatkan

13 Di belakang bukit itu terletak Suppa yang

ter-lindung, dan dilihat dari ketinggian itu terletak kira-kira 600 meter di lerengnya. Tempat itu berbatasan di sisi sebelah selatan dan timur dengan persawahan, serta di sisi barat dan utara dengan sungai dan rawa. Sementara bentuknya membentang kira-kira 2.000 meter ke utara. Tetapi karena tempat itu tertutup, sehingga bentuk per-tahanannya tidak dapat dikenali. Di sana-sini di antara rerimbunan pohon terdapat atap rumah tinggi dan kubu pertahanan Suppa.

(10)

laskarnya di dalam hutan dan persawahan. Bersamaan dengan jawaban penolakan datu Suppa, pada sejumlah tempat di Suppa muncul sekelompok orang laskar berkuda. Namun setelah mereka mendapatkan tembakan yang dilepaskan dari kapal pasukan Belanda, laskar berkuda itu segera menghilang dan lenyap dari pandangan. Mereka mengendarai kuda dengan sangat lincah dan memegang sebuah tombak (Stuers, 1854:382; Abduh, 1985:67; Hadimuljono,1979:95).

Penolakan Suppa itu mendorong pasukan perintis Belanda mulai melakukan pendaratan pada pagi tanggal 5 Agustus 1824. Tujuannya adalah untuk membangun suatu kubu pertahanan dan segera melakukan pengenalan lokasi serta mengatur tindakan selanjutnya. Letnan Kolonel Reeder mengirimkan Letnan Banef bersama 25 orang serdadu untuk maju melakukan pengamatan. Namun ketika mereka melakukan pemantauan dan penyusupan secara diam-diam, mereka secara tiba-tiba mendapat serangan dan berondongan tembakan dari laskar Suppa. Sejumlah kelompok laskar berkuda menyerang dari sisi perbukitan yang penuh dengan hutan, sementara di sebelah kanan persawahan muncul dan menyerang pasukan Belanda dari samping. Oleh karena itu, pasukan Belanda terpaksa harus ditarik mundur dengan korban lima orang terbunuh dan 26 orang terluka (Stuers, 1854:383; Abduh, 1985:68).

Kegagalan pasukan Belanda itu, mendorong Letnan Kolonel Buys memperkuat kubu pertahanannya di pantai. Enam pucuk meriam dari kapal turut memperkuat kubu pertahanan itu. Sedangkan pasukan bantuan dari kerajaan sekutu menempatkan pertahanannya, kira-kira 1.500 elo (1 elo = 0,688m) di sebelah kanan pasukan Belanda, dan lebih banyak menghadap pantai dan mendekati perahu-perahu mereka. Untuk menutup sisi sebelah kiri, mereka menempatkan kapal meriam pada jalan masuk teluk di sisi barat. Sementara Ajun Komisaris Francis yang mengikuti ekspedisi itu berusaha membujuk datu agar menyerah. Tetapi datu menjawab bahwa “hal itu tidak mungkin karena permusuhan baru dimulai, sehingga sangat merendahkan martabat apabila meminta maaf dan menodai ketenaran orang tua mereka” (Stuers, 1854:382). Itulah sebabnya pasukan Belanda menghujani Suppa dengan tembakan-tembakan

meriam pada malam tanggal 6-8 Agustus, yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hebat dan kepanikan warga. Oleh karena itu, datu Suppa memerintahkan pembuatan kubu-kubu pertahanan untuk melindungi wanita dan anak-anak serta melakukan tembakan balasan dengan meriam terhadap pasukan Belanda (Mattulada, 1998:339; Abduh, 1985:69).

Perlawanan sengit yang dilakukan oleh Suppa, mendorong pimpinan ekspedisi meminta bantuan pasukan pada pemerintah kolonial Belanda. Menanggapi permintaan itu, maka diputuskanlah di Fort Rotterdam untuk mengirimkan bantuan pasukan sebanyak 41 orang marinir dari kapal Eurycide dialihkan ke kapal Courier, 15 orang serdadu artileri, dan ditambahkan lagi sebuah howitzer (meriam kecil), sehingga seluruh kekuatan pasukan Belanda mencapai 307 orang. Setelah keberangkatan bantuan pasukan itu, Gubernur Jenderal memerintahkan Kolonel H. de Stuers untuk mengambil alih pimpinan penyerangan dan secepatnya menyelesaikan perlawanan Suppa. Pada tanggal 13 Agustus 1824, Stuers berangkat bersama rombongan dengan sebuah perahu yang berlayar pesat dan tiba di depan Suppa pada keesokan harinya. Raja Sidenreng bersama 300 orang dengan sejumlah pasukan berkuda turut serta dan mengikuti pasukan Belanda, sehingga semakin banyak bantuan pasukan pribumi yang terlibat dalam penaklukkan terhadap Suppa (Stuers, 1854:383; Latif, 2012:222).

Meskipun demikian tidak menyurutkan semangat perlawanan laskar Suppa. Oleh karena itu, setelah pasukan Belanda mendapatkan bantuan segera melancarkan serangan kembali terhadap Suppa pada tanggal 14 Agustus 1824. Meriam-meriam pasukan Belanda telah ditembakkan sejak dini hari itu. Pada pukul 6 pagi, Letnan Kolonel Reeder mulai bergerak bersama 160 orang serdadu, diikuti oleh seratus orang pasukan cadangan, dan beberapa kelasi dengan artileri memperkuat penyerangan itu. Namun, serangan pasukan Belanda itu mendapat perlawanan dari laskar Suppa yang berlindung pada kubu pertahanan yang terbuat dari tanah dan batang kelapa. Walaupun demikian pasukan Belanda tetap mencoba bergerak maju dengan berani. Sekelompok laskar Suppa, baik yang berjalan

(11)

kaki maupun yang berkuda muncul dari dalam hutan dan mengancam kedudukan dan pergerakan pasukan Belanda. Pasukan cadangan menghadapi kelompok pejalan kaki, sementara laskar berkuda yang berusaha mendekati posisi meriam Belanda dihadapi oleh mitraliur sehingga terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Perlawanan sengit yang dilakukan oleh laskar Suppa itu, memaksa Letnan Kolonel Reeder menarik mundur pasukannya dengan kerugian 11 orang terbunuh termasuk Letnan Marinir van Pelt yang pemberani dan 31 orang terluka (Stuers, 1854:384; Abduh, 1985:68).

Kolonel H. de Stuers tiba di kubu pertahanan pasukan Belanda pada sore hari 14 Agustus 1824. Ia segera menemui dan menyerahkan surat perintah kepada pimpinan pasukan Belanda Letnan Kolonel Buys. Sementara Komisaris Tobias diberi wewenang untuk merundingkan penyelesaian persoalan dengan datu Suppa apabila ada kesempatan. Kolonel Buys yang mengetahui perintah itu, segera menyerahkan komando kepada Stuers dengan janji akan bekerjasama. Kekuatan pasukannnya terdiri atas 270 orang termasuk 164 orang serdadu Eropa dan 115 orang serdadu Jawa. Namun, pada petang harinya di tengah kegelapan malam, kubu pertahanan pasukan Belanda diserang oleh laskar Suppa. Serangan yang tak terduga itu, memaksa para pasukan Belanda yang berjaga menunggu di belakang tembok yang setengah jadi segera memberikan perlawanan, dan baru melepaskan tembakan setelah yakin mengenai sasaran. Pada pertempuran itu, pasukan Belanda menderita kerugian empat orang pasukannya terluka (Stuers, 1854:384; Abduh, 1985:69).

Kenyataan itu mendorong Stuers membenahi pertahanan pasukan Belanda pada 15 Agustus 1824. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kubu pertahanan mereka dengan lingkaran batu karang setinggi 4 kaki, sehingga orang merasa aman di dalamnya. Sementara di luarnya tumbuh tanaman belukar setinggi satu kaki dan sangat sulit didekati pada malam hari. Selain itu, kubu pertahanan ini juga dilengkapi menara pengawas dan diperkuat dengan enam meriam dan dua mortir. Setelah kubu pertahanan ini diselesaikan atas bantuan tenaga pribumi, pasukan Belanda kembali melepaskan tembakan meriam dan melemparkan

beberapa granat terhadap kubu pertahanan laskar Suppa. raja Sidenreng bersama pasukannya diperintahkan menduduki pos pertahanan yang terletak di sebelah timur Suppa pada 19 Agustus. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah orang keluar dari Suppa dan memotong akses penduduk terhadap sumber air yang terdapat di tempat itu. Meskipun pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Banef berhasil berebut tiga pertahanan musuh dan melakukan pembakaran di Suppa, tetapi mereka kembali mengalami kerugian, yaitu 2 orang terbunuh termasuk Letnan Banef dan 17 orang terluka termasuk Letnan Simonis. Pasukan cadangan menderita seorang tewas dan 16 orang terluka termasuk Letnan d’Ablaing. Sementara bantuan pasukan dari raja Sidenreng menderita dua korban tewas dan 14 orang terluka (Sumber Arsip, 1854:178; Stuers, 1854:385; Abduh, 1985:69).

Perlawanan sengit laskar Suppa bersama sekutunya tersebut, mendorong Raja Sidenreng memerintahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan terhadap kedudukan laskar Suppa pada 20 Agustus 1824. Dalam serangan yang dilancarkan pada malam itu, mereka berhasi merebut dan menghancurkan tiga kubu pertahanan laskar Suppa. Namun, mereka juga mengalami kerugian, yaitu empat orang tewas dan 12 orang terluka. Keesokan harinya pada pukul 2 dini hari, kubu pertahanan pasukan Belanda diserang oleh laskar Suppa yang dibantu pasukan berkuda dari Sawitto, Langga, dan Rappang (Lontrak Akkarungeng Sawitto:22). Oleh karena pasukan Belanda telah siap menyambutnya, sehingga mereka tidak menderita kerugian dalam pertempuran itu. Tanggal 23 Agustus pertempuran kembali terjadi antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran itu pasukan raja Sidenreng menderita empat orang terbunuh. Pada hari yang sama kapal perang Eurydice yang membawa bantuan pasukan yang terdiri atas 60 orang serdadu Eropa dan 50 orang tentara infanteri pribumi yang dilengkapi dengan 5 pucuk meriam tiba dan segera melakukan pendaratan. Keesokan harinya mereka kembali melakukan penembakan terhadap kedudukan laskar Suppa. Raja Sidenreng diminta untuk menutup bagian utara, karena pasukan Belanda terlalu sedikit kekuatan dan tidak dapat bergerak jauh dari pantai. Sementara Stuers

(12)

berangkat bersama 70 orang serdadu dan 2 pucuk meriam ke pos pertahanan sebelah timur Suppa karena tempat itu terancam oleh laskar Suppa bersama sekutunya (Stuers, 1854:386; Abduh, 1985:69; Hadimulyono, 1979:94).

Sementara itu raja Sidenreng bersama dua ribu orang prajuritnya menyebar di hutan sebelah utara dan bertempur dengan musuh pada 26 Agustus 1824. Oleh karena itu, Suppa diserang dari tiga sisi dan Stuers berharap mendapatkan hasil yang baik. Namun, perwira yang diperbantukan kepada raja Sidenreng bersama beberapa orang serdadu melihat tidak ada lagi kemajuan yang berarti dalam serangan itu. Antara pasukan Sidenreng dan posisi pasukan Belanda masih ada kubu pertahanan yang diduduki oleh laskar Suppa. Stuers meminta sebagian pasukan raja Sidenreng untuk menyerang kubu pertahanan itu. Arung Ataka yang mengikuti Stuers dengan 350 orang, mengundurkan diri ketika putranya terluka parah. Sebab, menurut kebiasaan setempat bahwa seluruh pasukan dari Sidenreng harus ditarik tanpa terkecuali ketika ada salah seorang pimpinan pasukan terluka atau terbunuh. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekacauan dan pasukan Belanda kembali ke tempat posisi awal untuk beristirahat. Pada peristiwa itu, pasukan Sidenreng menderita 30 orang terbunuh dan ratusan terluka. Sementara pasukan Belanda seorang terbunuh dan dua orang terluka (Abduh, 1985:69; Stuers, 1854:386).

Ketika pasukan Belanda kembali pada posisi semula, laskar Suppa kembali menduduki benteng pertahanannya pada 27 Agustus 1824. Selama tujuh hari sejak kedatangan kapal Eurydice, laskar Suppa terus menerus mengganggu kubu pertahanan pasukan Belanda dengan tembakan siang dan malam, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pasukan Belanda memutuskan melakukan upaya terakhir untuk menyelesaikan penaklukkan terahadap Suppa pada 30 Agustus. Pasukan Belanda dipersiapkan menyerang Suppa dari arah timur dan pada saat yang sama Sidenreng mengancamnya dari belakang (utara) seperti beberapa hari sebelumnya. Beberapa malam sebelum penyerangan itu dilakukan, Stuers memberitahukan kepada raja Sidenreng tentang maksud itu. Namun dengan tegas sang raja

menyampaikan kepada pimpinan pasukan Belanda bahwa hendaknya jangan mengharapkan serangan gencar dari pihaknya, karena rakyatnya tidak seberani dengan pasukan Belanda dan sangat tergantung pada kondisi yang terjadi atau kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, Stuers harus memperhitungkan mereka dan berharap lebih banyak ketika pimpinan pasukan Belanda menyatakan bahwa serangan terhadap Suppa harus tetap dilakukan (Sumber Arsip, 1854:178; Stuers, 1854:386).14

Berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan, bahwa Letnan Laut Fokke diperintahkan melepaskan tembakan terhadap bangunan pengawas yang berada di dalam benteng laskar Suppa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pasukan Belanda yang hendak melakukan pendakian dan penyerangan terhadap pertahanan laskar Suppa. Setelah tembakan meriam selama satu jam terhadap kubu pertahanan Suppa, dan orang-orang Sidenreng tiba di tempat yang ditentukan, maka pasukan Belanda bergerak menuju tembok benteng. Dua pucuk meriam yang ditempatkan di sebelah kanan segera membuka tembakan. Letnan Fokke memulai tugasnya dengan membuka tembakan senapan di kedua sisi. Karena kehancuran yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, sehingga memudahkan dan pekerjaan para kelasi berjalan lancar. Pimpinan pasukan Belanda segera memerintahkan pendakian, namun tidak dapat lebih dari 3 atau 4 orang bergerak bersamaan. Oleh karena itu, setiap upaya pasukan Belanda dengan mudah dapat dipatahkan dan segera dipukul mundur oleh laskar Suppa. Meskipun dapat diganti dengan orang lain yang berkeberanian sama dan ada tembakan gencar dari pasukan Belanda, tetapi karena 14 Untuk melancarkan serangan itu, maka pasukan

Belanda mempersiapkan dan mempersenjatai kekuatan berikut ini; (a) 1 orang perwira dan 16 orang ÀDQNHXU sebagai pengawas, (b) seorang letnan laut (Fokke), 16 kelasi sukarelawan dengan barang-barang yang mudah terbakar, diikuti oleh kesatuan yang bersenjatakan sabit dan pedang, (c) kesatuan infanteri yang terdiri atas tiga kelompok di bawah pimpinan Kapten van Dornum, Pohl, dan Booij, (d) Letnan Laut Pinet dan Johr dengan dua peleton kelasi, (e) Sersan Borstman dengan 1 peleton marinir, dan (f) Letnan Butten dengan dua pucuk meriam. Jumlah seluruh pasukan Belanda adalah 306 orang ser-dadu, yang terdiri atas 12l orang serdadu Eropa dan 96 orang serdadu pribumi serta 89 orang kelasi.

(13)

mereka mendapat perlawanan sengit sehingga tidak berhasil menerobos pertahanan Suppa yang begitu kuat dan dipertahankan dengan semangat yang pantang menyerah (Stuers, 1854:387; Latif, 2012:223).15

Pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan laskar Suppa tersebut, mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Pasukan Belanda mengalami kerugian dengan 22 orang terbunuh termasuk Letnan Sterk, 53 orang pasukan infanteri terluka termasuk Kapten Pohl, 17 orang marinir dan kelasi terluka, dan satu orang artileri terluka. Jumlah seluruhnya 22 orang terbunuh dan 7l terluka dari 306 orang serdadu Belanda (Stuers, 1854:388; Abduh, 1985:69). Dengan demikian, pasukan ekspedisi yang semula berjumah 228 orang, kemudian ditambah menjadi 384 orang (selain kelasi) yang dalam tujuh pertempuran, mengakibatkan 59 orang terbunuh dan 168 orang terluka semuanya dengan senjata api. Juga sebanyak 16 orang terbunuh dan 53 orang terluka dari pasukan marinir dan kelasi. Sementara kerugian dari bantuan pasukan sekutu Belanda terutama Sidenreng tidak diketahui. Demikian pula dari pihak musuh (Suppa) dan sekutunya (Sawitto, Alitta, dan Rappang) tidak terdapat keterangan tentang jumlah korban secara pasti (Stuers, 1854:388; Amir, 2012:192).16

15 Menurut laporan Stuers bahwa kerugian di

pihak pasukan Belanda sangat menyolok pandangan, tetapi harapan untuk berhasil tidak menghentikan pertempuran itu. Saya yakin bahwa orang terakhir bisa bertahan di tempat itu jika saya tidak berpikir bahwa segera perlengkapan kapal diturunkan, yang memutuskan untuk menarik diri. Saya menyuruh kesatuan ini mundur 40 langkah untuk memulihkan posisi, membenahi mereka yang terbunuh dan terluka dan mengumpulkan senjata mereka. Setelah ini kami menarik diri ke pos semula, menyesalkan hasil yang buruk dari pertempuran yang berani.

16 Menurut Komisaris yang menyaksikan

pertempuran itu, bahwa orang-orang Sidenreng memang tiba di posnya, tetapi mereka tidak melakukan apapun. Mereka tidak mengenal disiplin waktu dan tetap diam sambil menunggu hasilnya. Jika mereka melihat kita terpukul, maka mereka pun akan bubar dan menarik mundur. Mereka mengakui hal ini dan berkata, bahwa “Orang-orang Belanda seperti kuda, kami seperti kerbau, jika kuda ditarik di samping kerbau maka kuda yang berani akan maju dan menarik pedati atau beban berat, sementara kerbau hanya mencoba melangkah dengan satu kaki dan gerobak tetap diam”.

Kenyataan itu, memaksa pasukan Belanda memutuskan untuk mengubah taktik dan strategi penyerangan menjadi suatu blokade. Tugas ini dipercayakan kepada Kapten van Doornum bersama seorang perwira dan 100 orang serdadu altileri yang dilengkapi dengan 2 pucuk meriam, serta 2 orang huzaar. Juga sebuah kapal meriam ditempatkan sebagai pelindung dan dua buah kapal layar yang berfungsi untuk menjelajahi pantai di sepanjang antara Suppa dan Maros. Sementara raja Sidenreng bersama pasukannya melakukan pengepungan dari darat (Sumber Arsip, 1854:178; Stuers, 1854:388).17 Pasukan Belanda lainnya dengan kapal perang Eurydice dan kapal angkut Syrena diperintahkan untuk kembali ke Makassar (perintah tanggal 1 September). Pada 5 September 1824 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Stuers itu ditarik ke Makassar, tanpa memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kembali melancarkan serangan militer terhadap Suppa pada 1825. Pasukan yang pimpinan oleh Mayor Jenderal van Geen ini terdiri atas 1000 orang infanteri dan marinir, 700 orang serdadu dari Panembahan Sumenep, 100 altileri, dan 50 orang prajurit perintis, dibantu oleh kapal perang Javaan, korvet Komeet dan Courier, kapal layar Siewa dan Orestes (Sumber Arsip, 1854:183). Kekuatan yang cukup besar ini tiba di Teluk Parepare pada 23 Juni 1825, dan segera melakukan pendaratan dan penyerangan terhadap Suppa. Meskipun mereka mendapat perlawanan sengit dari laskar Suppa yang dibantu oleh Sawitto dan Alitta, tetapi pada penghujung peperangan itu, pasukan Belanda akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Suppa. Oleh karena itu, Suppa dan kerajaan lainnya seperti Sawitto, Alitta, dan Rappang terpaksa tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda dan harus pula menandatangani pembaharuan Kontrak Bungaya pada 11 Agustus 1825. Selain itu, Suppa juga diharuskan untuk membongkar 17 Kapten van Doornum bersama pasukannya

bertahan di Suppa sampai akhir Sepetember 1824. Namun ketika penyakit melanda pasukannya di daerah itu, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan kembali ke Makassar. Sementara pasukan Sidenreng ditarik ke Sedanga, lima desa dibakar dan ternaknya dirampas. Mereka menderita dua orang terbunuh dan 15 orang terluka.

(14)

semua benteng pertahanannya sebagai bukti perdamaian. Sekaligus menandai berakhirnya konflik antara Suppa dan sekutunya dengan pemerintah HindiaBelanda pada 1825 (Morris, 1890:228; Anonim, 1910:80).

PENUTUP

Konflik antara Kerajaan Suppa dengan pemerintah Hindia Belanda, bukan hanya dilatarbelakangi oleh sikap tegas kerajaan itu yang menolak dan menentang kehadiran atau kembalinya pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan pada pertengahan dekade kedua abad ke-19. Tetapi juga karena penolakan Suppa untuk menghadiri pertemuan dan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen. Selain itu, juga karena Kerajaan Suppa dengan tegas menolak pembaharuan Kontrak Bungaya yang dipaksakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Itulah sebabnya Gubernur Jenderal Van der Capellen memutuskan untuk melancarkan serangan militer atau ekspedisi penaklukan terhadap Kerajaan Suppa dan sekutunya. Serangan militer inilah yang memicu terjadinya perlawanan Suppa terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Serangan militer pasukan Belanda tersebut, mendapat perlawanan sengit dari laskar Suppa dan sekutunya, sehingga pasukan Belanda tidak berhasil menerobos pertahanan Suppa. Bahkan laskar Suppa beberapa kali berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang ditandai dengan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit di pihak pasukan Belanda. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan menarik pasukannya kembali ke Makassar pada awal September 1824, tanpa memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Namun setelah mendapat bantuan pasukan dari Jawa dan berhasil menaklukkan sekutu Suppa, seperti Tanete dan Bone, pasukan Hindia Belanda kembali melakukan penyerangan dan akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Suppa pada akhir Juli 1825. Kekalahan itu, bukan hanya memaksa Kerajaan Suppa dan sekutunya harus menerima kenyataan tunduk di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, tetapi mereka juga harus terpaksa menandatangani pembaharuan Kontrak Bungaya yang sangat merugikan pada tanggal 11 Agustus 1825.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud. Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di

Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Amir, Muhammad. 2011. Konflik Balanipa – Belanda di Mandar 1862-1872. Makassar: Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Amir, Muhammad, Syahrir Kila, dan Rosdianah +D¿G.RQ¿NGDQ3HUXEDKDQ6RVLDO Kajian Sejarah Perlawanan Tiga Kerajaan Terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan Abad XIX. Makassar: de la macca.

Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Makassar: Ininnawa

Anonim, 1910. Nota van Toelichting bij de Korte Verklaring Geteekend en Beeedigd door den Adatoewang en de Hadatsleten van het Landschap Sawito op 27 sten Mei 1908, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en VolkTaal-,Land-enkunde (TBG) Jilid LII.

Asba, A. Rasyid. 2010. Gerakan Sosial di Tanah Bugis: Raja Tanete Lapatau Menentang Belanda. Yogyakarta: Ombak.

Daeng Patunru, Abd. Razak. 1989. Sejarah Bone. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Druce, Stephen C. 2009. The Lands West of the Lakes: A History of the Ajatappareng Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV.

Garraghan, Gilbert J. 1975. A Guide to Historical Method. New York: Fordam University Press.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hadimuljono dan Abd. Muttalib. 1979. Sejarah

Kuno Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah.

Kadir, Harun. 1978. Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.

(15)

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kemp, P.H. van der. 1910. De Teruggave der Oost Indische Kolonien 1814-1816: Naar Oorspronkelijke Stukken. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Latif, Abd. 2012. Konfderasi Ajatappareng 1812-1906, Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan. Bangi: Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Leyds, W. J. 1940. Memori van Overgave, Assistant Resident Mandar. Majene. 9 Februari.

Lontarak Akkarungeng Suppa. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Akkarungeng Sawitto. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Akkarungeng Sidenreng. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Mappangara, Suriadi. 1996. Kerajaan Bone

$EDG;,;.RQÀLN.HUDMDDQ%RQH%HODQGD 1816-1860. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Mattulada. 1998. Sejarah, Makassar, dan

Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Morris, D.F. van Braam. 1890. Nota van Toelichting op het Contract Gesloten met het Landschap Soepa (Adjataparang) op den 18 Sten Juli 1890, dalm Tijdschrift voor Indische Taal-,Land-en Volkenkunde (TBG), Tahun 1893, Jilid XXXVI.

Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Idayu. PaEni, Mukhlis, 1995. Sejarah Kebudayaan

Sulawesi. Jakarta: Depdikbud.

PaEni, Mukhlis, Edward L. Poelinggomang, dan Ia Mirawati. 2002. Batara Gowa, Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Perlas, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta – Paris EFEO.

Poelinggomang, Edward L., 2002. Makassar Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Poelinggomang, Edward L. 2005. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Balitbangda Propinsi Sulawesi Selatan. Poelinggomang, Edward L. 2005a. Sejarah Tanete,

Dari Angangnionjo Hingga Kabupaten Barru. Pemerintah Kabupaten Barru. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metode Sejarah.

Yogyakarta: Ombak.

Sumadi, Suryabrata. 1992. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.

Sumber Arsip. 1854. Bijdragen tot de Geschiedenis van Celebes, dalam Tijschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI), Jilid II.

Sumber Arsip. 1971. Staakundig Overzicht van Nederlandsh Indie, 1837 (Laporan Politik Hindia Belanda Tahun 1837). Djakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sedjarah Arsip Nasional Republik Indonesia, No. 4. Sumber Arsip. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik

Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Jakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 5. Sumber penerbitan ini adalah dokumen pemerintah kolonial yang disebut Algemene Verlagen.

Stuers, H. van de. 1854. De Expeditie Tegen Tanette en Soepa in 1824, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (TNI), Volume 59.

Referensi

Dokumen terkait