• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA (1)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI TINJAU DARI POLA MAKAN, TINGKAT PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PENYAKIT INFEKSI

KARYA TULIS ILMIAH / SKRIPSI Oleh:

... NIM. ...

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES ...

JURUSAN ...

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2006).

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi

(3)

sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).

Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007). Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang

adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2005).

(4)

menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP.

Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5

juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini

mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk

ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008). Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian

(5)

dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).

Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah

ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007). Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan

menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).

Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi

Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program

perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19

(6)

Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Depkes RI, 2008). Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan

dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula

terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005). Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang

menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).

Di provinsi ... angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75%

dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan ... tahun 2008. Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi

(7)

dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.

Data mengenai status gizi balita di Puskesmas ... Kecamatan ... tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas ... Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%.

Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil

penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan

keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk 2005).

Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan

(8)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut:

1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009? 2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009?

3. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009?

4. Berapa besar faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ...

tahun 2009?

5. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan dengan kejadian gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(9)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009.

b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009.

c. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009.

d. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009.

e. Untuk mengetahui faktor risiko pendapatan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang.

2. Manfaat Institusi

(10)

Puskesmas ... serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita.

3. Manfaat Praktis

Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

1. Pengertian status gizi

(11)

2. Penilaian status gizi

Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan

penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. a. Penilaian secara langsung

1) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk., 2006).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri.

Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).

2) Klinis

(12)

untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, dkk.,2006).

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan

fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, gusi,bibir, lidah, mata (Arisman dalam Yuliaty, 2008). 3) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, dkk., 2006).

4) Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi

(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, dkk., 2006).

(13)

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status

gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara lain :

a) Metode recall 24 jam

b) Metode esthimated food record

c) Metode penimbangan makanan (food weighting) d) Metode dietary history

e) Metode frekuensi makanan (food frequency). 2) Statistik vital

Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa, dkk., 2006).

3) Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil

interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, dkk., 2006).

(14)

sebelumnya yaitu beberapa variabel bebas (independen) yang merupakan faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang pada balita. a. Tentang Pola Makan

Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji, 2006).

Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok

masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubah-ubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian padi , masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Suwiji, 2006).

Pengertian pola makan adalah berbagai informasi yang

(15)

suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2005).

Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur- unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat

dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam

sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna

(16)

Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok

individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan- makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial

dan budaya di mana ia/mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh :

1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan.

2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan sifat-sifatnya.

3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya.

4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya.

5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi- kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian

(perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain- lain), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah.

6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya.

Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada,

(17)

terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2007).

b. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu”, dan ini terjadi

setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2006).

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

1. Tahu (Know)

Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). 4. Analisis (Analysis)

(18)

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis)

Menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2006).

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

a) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

(19)

dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

c) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang

kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan

persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau

kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2005).

c. Penyakit Infeksi

Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya

(20)

tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada

permukaan tubuh atau benda (Himawan, 2006).

Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui

gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan

berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi, 2005).

Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan

mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu :

1. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.

2. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus.

(21)

Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat

menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang

lebih berat. Ini dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di negara-negara berkembang,

menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut (Supariasa, 2006).

Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi

(22)

d. Pekerjaan Orang Tua

Dinegara seperti Indonesia yang jumlah pendapatan

penduduk sebagian besar adalah golongan rendah dan menengah akan berdampak kepada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi. Hal ini berkaitan erat dengan jenis pekerjaan dari orang tua. Sebagian besar masyarakat memiliki pekerjaan hanya sebagai petani dan nelayan tradisional, sehingga tingkat penghasilan rendah. Keterbatasan ekonomi yang berarti ketidakmampuan daya beli keluarga yang berarti tidak mampu membeli bahan makanan yang berkualitas baik, maka pemenuhan gizi pada balitanya juga akan terganggu.

Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu

makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan. Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk

(23)

Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat (Soekirman, 2001).

e. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam Rasifa 2006).

Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat

berdampak rendahnya daya beli keluarga tersebut. Pada masyarakat nelayan, rendahnya tingkat pendapatan keluarga , sangat berdampak terhadap rendahnya rata-rata tingkat pendidikan, yang pada

gilirannya akan berimplikasi terhadap rendahnya tingkat

pengetahuan dan perilaku (khususnya pengetahuan dan perilaku gizi). Rendahnya pengetahuan gizi dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga , yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Rendahnya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Suhardjo, 2007).

Tingkat pendapatan keluarga akan mempengaruhi mutu

(24)

Selain itu, penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008). 4. Faktor-faktor penyebab gizi kurang

Gizi kurang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah faktor pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu, ada tiga hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit (Mardiansyah, 2008).

(25)

maupunkebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.

(26)

pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.

Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat

menyebabkan anak menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih,

memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup. b. Sering sakit (frequent infection)

(27)

karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh.

5. Patofisiologi gizi kurang

Patofisiologi gizi kurang pada balita yaitu anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik sperti suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini meurpakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bida membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin. Tugor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air

(28)

protein, maka terjadi

penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan VLDL dan LDL. Karena penurunan VLDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.

Yang khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel. Untuk kembalinya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008). 6. Gejala klinis gizi kurang

Gejala klinis gizi kurang secara garis besar dapat dibedakan

(29)

a. Kwashiorkor

1) Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki. 2) Wajah membulat

3) Pandangan mata sayu

4) Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit atau rontok

5) Perubahan status mental, apatis, dan rewel 6) Pembesaran hati

7) Otot mengecil ( hipotrofi ), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk.

8) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas. 9) Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare. b. Marasmus

a) Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit b) Wajah seperti orangtua

c) Cengeng, rewel

d) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.

e) Sering disertai : penyakit infeksi ( umumnya kronis berulang ) f) Diare kronis atau konstipasi / susah buang air

c. Marasmik-Kwashiorkor

(30)

klinik kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO- NCHS disertai edema yang tidak mencolok.

7. Dampak gizi kurang

Gizi kurang bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi kurang ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi kurang akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi kurang bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi kurang terhadap pertumbuhan sangat merugikan

(31)

pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi vital karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi kurang terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami

gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk

pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi kurang pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi kurang pada anak:

1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

(32)

protein 12% dan sisanya karbohidrat.

3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.

4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.

5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula.

Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari. B. Kerangka Konsep

Anak balita juga merupakan kelompok umur yang rawan gizi.

(33)

pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan.

Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang pada balita adalah rendahnya tingkat pengetahuan gizi keluarga, yang disertai dengan rendahnya perilaku gizi keluarga. Ada beberapa faktor domain yang saling berhubungan dalam mempengaruhi konsumsi pangan dan gizi keluarga adalah

pengetahuan gizi keluarga (khususnya ibu) dan penyakit infeksi. Untuk mencapai status gizi baik, harus ditunjang oleh tingkat

pengetahuan gizi yang baik serta pendapatan yang memadai. Pada penelitian ini, yang menjadi variabel bebas yang diteliti adalah pola makan,

pengetahuan gizi ibu, penyakit infeksi, pekerjaan orang tua dan pendapatan. Sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah kejadian gizi kurang pada balita. Adapun kerangka konsep secara lengkap dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Variabel Independen : Variabel Dependen Pola Makan

Kejadian Gizi Kurang Pola Makan

Pengetahuan Gizi Ibu Penyakit Infeksi Pekerjaan Orang Tua

(34)

Pengetahuan gizi ibu Pendapatan

Kejadian Gizi Kurang

Penyakit Infeksi Pekerjaam Orang Tua

C. Hipotesis

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Pola makan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita. b.Tingkat pengetahuan gizi ibu merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

c. Penyakit infeksi merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

d. Tingkat pekerjaan orang tua merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

e. Tingkat pendapatan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurag pada balita

2. Hipotesis Nol (Ho)

a. Pola makan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

(35)

c. Penyakit infeksi bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

d. Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

e. Pendapatan bukan merupakan faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian 1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-juni tahun 2010. 2. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan Di Puskesmas ... Kecamatan ... Kabupaten ...

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah analitik observasional dengan rancangan case control study yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko ditelusuri dengan menggunakan

pendekatan retrospektif yaitu efek (gizi kurang pada balita) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi dengan membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Rancangan bergerak dari

(36)

Matching

Gambar 2. Desain Penelitian Case Control Pola Makan +

Pengetahuan Gizi Ibu + Penyakit Infeksi + Pekerjaan Orang Tua + Pendapatan +

Pola Makan -

Pengetahuan Gizi Ibu - Penyakit Infeksi - Pekerjaan Orang Tua - Pendapatan -

Pola Makan +

Pengetahuan Gizi Ibu + Penyakit Infeksi + Pekerjaan Orang Tua + Pendapatan +

Pola Makan -

(37)

Kasus : Gizi kurang kurangKur Kontrol : Gizi baik umur Sampel

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua balita yang ada di

wilayah kerja Puskesmas ... Kabupaten ... tahun 2010 berjumlah 802 jiwa balita

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi, pada penelitian ini sampel terdiri dari :

Kasus : Gizi Kurang yang ada di kecamatan ... tahun 2009 Kontrol : Gizi Baik yang ada di kecamatan paguyaman ... tahun 2009

Tehnik pengambilan sampel dilakukan secara non random

sampling dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan sebagai berikut :

(38)

di puskesmas yang ada di Kecamatan ... tahun 2009

2. sampel kontrol dipilih dalam bentuk berpasangan (matching) dengan sampel kasus.

3. Macthing yang digunakan adalah macthing umur.

4. Penentuan besar sampel mengacu pada jumlah kasus yang tercatat di Puskesmas yang ada di Kecamatan ... yaitu 136 kasus.

5. Besar sampel yang di ambil menggunakan rumus Sopiyudin dahlan yaitu sesuai kriteria variabel penelitian yang digunakan dan memperbanyak

jumlah pembanding (kontrol) dengan perbandingan kasus dan kontrol yaitu 1:2 dengan rumus sebagai berikut :

N (C+1) n = 2C

Sumber : Sopiyudin dahlan, 2005 Keterangan

n = besar sampel

N = jumlah kasus yang tercatat di rekam medik C = jumlah perbandingan

sehingga besar sampel adalah : 136(2+1)

(39)

136x3 n = 4 n = 102

Jadi besar sampel kasus Berjumlah 102, sampel kontrol berjumlah 204. D. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (independent variable) yaitu pola makan, pengetahuan gizi ibu penyakit infeksi, pekerjaan orang tua dan pendapatan.

b. Variabel terikat (dependent variable) yaitu kejadian gizi kurang pada balita.

2. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif a. Status Gizi

Status gizi adalah suatu keadaan keseimbangan antara jumlah zat gizi yang masuk kedalam tubuh dengan jumlah zat gizi yang butuhkan oleh tubuh itu sendiri.

Kriteria Objektif

Gizi baik : Apabila berat badan balita/anak menurut umurnya lebih dari 89 % standard WHO.

Gizi kurang : Apabila berat badan bayi/anak menurut umur berada di antara 60 % - 69,9 % standard WHO

(40)

Pola makan adalah kombinasi gizi seimbang yang dikonsumsi oleh ibu baik makanan sehari-hari yang bergizi dan sesuai dengan standar kesehatan dimana dilihat berdasarkan kuisioner.

Kriteria Objektif

Risiko Tinggi : Apabila kurang mengkonsumsi makanan gizi seimbang yang mengandung 3 fungsi pokok zat

gizi.

Risiko Rendah : Apabila sehari-hari mengkonsumsi makanan gizi seimbang yang mengandung 3 fungsi pokok zat

gizi yaitu sumber energi, zat pembangun dan zat pengatur (pelindung) proses tubuh.

c. Pengetahuan Ibu

Yang dimaksud dengan pengetahuan ibu dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang gizi, di peroleh dengan jumlah jawaban yang benar dari semua pertanyaan yang ada yang di beri nilai dengan skor kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen.

Kriteria Obyektif

Kurang : Jika presentase jawaban responden <75%

cukup : Jika presentase jawaban responden ≥75%

(41)

Penyakit infeksi adalah Riwayat penyakit yang pernah diderita oleh anak yang menyebabkan terganggunya status gizi Balita, seperti Diare, ISPA, dll selama 1 bulan terakhir sampai dilakukan penelitian. Criteria objektif

Risiko tinggi : Jika anak balita pernah menderita penyakit infeksi seperti Diare, ISPA,

Dll.

Risiko rendah : Jika anak balita tidak pernah menderita penyakit infeksi tersebut.

e. Pekerjaan orang tua : segala usaha yang dilakukan oleh orangtua yang menjadi sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya.

f. Pendapatan adalah upah / penghasilan keluarga dalam satu bulan. Risiko tinggi : Jika pendapatan keluarga responden

< Rp.500.000

Risiko rendah : Jika pendapatan keluarga responden ≥ Rp.500.000

E. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer

(42)

2. Data Sekunder

Diperoleh dari Puskesmas, penelusuran internet, dan dari instansi terkait lainnya.

F. Tehnik Analisis Data 1. Pengolahan Data

Pangolahan data dilakukan secara manual dan elektronik dengan menggunkan kalkulator dan komputer dengan program SPSS 2. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi disertai dengan penjelasan dan tabel untuk melihat pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.

3. Analisis data

Tekhnik analisis data yang digunakan adalah dengan uji kemaknaan α = 95% uji statistik yang digunakan adalah Odds Ratio, untuk menentukan basar faktor risiko variabel independen dengan rumus : Tabel 4.1

Tabel Kontingensi 2 x 2

Faktor Risiko Kelompok Studi Jumlah Kasus Kontrol

Positif (+) a b a + b Negatif(-) c d c + d

(43)

OR= adbc

Keterangan :

a = Jumlah kasus dengan risiko positif (+) b = Jumlah kontrol dengan risiko positif (-) c = Jumlah kasus dengan risiko negatif (+) d = Jumlah kontrol dengan risiko negatif (-) Interpestasi :

1. Jika OR > 1, variabel independen merupakan faktor risiko kejadian kurang gizi

2. Jika OR = 1, variabel independen bukan merupakan faktor risiko kejadian kurang gizi

3. Jika OR < 1, variabel independen merupakan faktor protektif kejadian kurang gizi

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y dan Tri Hastuti, 2002. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. UI-Press. Jakarta.

Almatsier, S, 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ariani, M, 2007. Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian

Departemen Pertanian.Bogor.

Astawan, M, 2007. Gizi dan Kesehatan Manula. Medyatama Sarana Pustaka. Jakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Chandra, 2006. Pengantar Prinsip dan Metodologi Epidemiologi. Penerbit EGC. Jakarta.

(45)

Khomsan, dkk, 2006. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta. Komsiah, S, 2008. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana. Jakarta.

Malik, A, 2008. Gizi Buruk Tewaskan 3,5 Juta Balita Per tahun. www.lifestyle.okezone.com.

Mangkunegara, A.P, 2005. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Refika Aditama. Bandung.

Mardiansyah, L, 2008. Gizi Buruk di Indonesia. SMP 167. Jakarta. Nency, Y., 2005, Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang, http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=113, 5 November 2005

Noor, N, 1997. Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka Cipta. Jakarta. Notoadmodjo, S, 2006. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Pudjiadi, S, 2005. Ilmu Gizi Khusus Pada Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Rasifa, 2006. Hubungan Sosial Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Tinggi Badan Menurut Umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Betoambari, Kec. Betoambari Kota Bau Bau Tahun 2006. Skripsi yang tidak diterbitkan Universitas Haluoleo. Kendari.

Sadewa, A.L., 2008, Makalah KEP,http://ayahaja.wordress.com, 28 November 2008.

Santoso, S dan Anne Lies Ranti, 2004. Kesehatan dan Gizi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

(46)

, 2006. Perencanaan Pangan dan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Supariasa, dkk, 2005. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta.

Yuliati, 2008. Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Kecamatan Mandonga Kota Kendari Tahun 2008. Skripsi yang tidak diterbitkan

Universitas Haluoleo. Kendari.

KUESIONER

FAKTOR RISIKO KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI PUSKESMAS ... KOTA ... TAHUN 2010

A. IDENTITAS RESPONDEN 1. IBU

a. Nama : b. Umur : c. Pekerjaan :

d. Pendidikan terakhir : e. Agama :

f. Alamat : 2. Balita a. Nama : b. Umur : c. Anak Ke : B. Pola makan

(47)

a. Nasi + Lauk pauk

b. Nasi + Lauk pauk + Sayuran c. Nasi + Lauk pauk + buah-buahan

d. Nasi + Lauk Pauk + Sayuran + buah-buahan e. Nasi + Lauk Pauk + Sayuran + buah-buahan + susu 2. Berapa kali makan dalam sehari ?

a. 1 kali b. 2 Kali c. ≥ 3 Kali

C. Tingkat Pengetahuan Gizi

1. Menurut Ibu, susunan hidangan makanan sehari-hari yang memenuhi syarat gizi terdiri dari :

a. Nasi / makanan pokok saja

b. Nasi / makanan pokok + lauk pauk

c. Nasi / makanan pokok + lauk pauk + sayur d. Nasi / makanan pokok + lauk pauk + buah

e. Nasi / makanan pokok + lauk pauk + Sayur + buah f. Lain-lain (Sebutkan ...)

2. Menurut Ibu, jumlah makanan yang kita makan sebaiknya : a. Lebih banyak dari biasanya (sebelum hamil)

(48)

d. Tidak tahu

e. Lain-lain (Sebutkan ...)

3. Menurut Ibu, pola makan yang baik itu, yaitu dalam sehari frekuensi makan kita sebaiknya :

a. 3 kali makan utama + ≥ 2 kali makanan selingan b. 3 kali makanan utama tanpa makanan selingan c. 2 kali makanan utama + ≥ 2 kali makanan selingan d. 2 kali makanan utama tanpa makanan selingan e. Lain-lain (Sebutkan ...)

4. Menurut Ibu, apa yang dimaksud makanan 4 sehat 5 sempurna? a. Ibu + Janin

b. Ibu + Janin + Plasenta

c. Lain-lain (Sebutkan ...)

5. Menurut Ibu, makanan pokok yang kita konsumsi sehari-hari berfungsi sebagai :

Gambar

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian tokoh masyarakat terhadap peran polisi beragam mengenai peranannya sebagai pelindung antara lain dengan menghalau warga yang bertikai, melakukan penjagaan

Hukum Aqiqah Menurut Pandangan Imam Nawawi Imam Nawawi mengatakan hukum beraqiqah itu sunnah, yaitu menyembelih hewan sebab kelahiran bayi.106 sebagaimana riwayat dari Buraydah nabi

Walaupun promosi sering dihubungkan dengan penjualan tetapi kenyataannya promosi mempunyai arti yang lebih luas dari penjualan karena penjualan hanya berhubungan

Kegiatan penyelidikan dalam discovery learning meliputi kegiatan yang mengakomodasi siswa untuk mengajukan pertanyaan mengakibatkan jumlah siswa yang mengajukan

Pada kondisi Kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin. Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat meningkatkan

$ebelum dilaksanaka kegiatan fogging masyarakat dinformasikan untuk secara gotong royong melaksanakan kerja bakti untuk  membersihkan rumah dan

organisasi yang valid, efektif dan praktis. Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau lebih dikenal dengan Research and

Karena itu, sejak awal dekade 1980an, telah muncul berbagai upaya sistematis untuk mengembangkan institusi pendidikan tinggi dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam, yang