• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN Tesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN Tesi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39.

DOMINASI KEKUASAAN DALAM PENDIDIKAN:

Tesis Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan

Nanang Martono

(Jurusan sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; email: nanang_martono@yahoo.co.id)

Abstract

This article describes on Bourdieu and Foucault’s ideas about power in education. Bourdieu argued that there is a symbolic power that influenced educational practices. Bourdieu has been seen that the dominant class become the subject of symbolic power because they have a lot of "capital" than lower class. Meanwhile, Foucault argued that power is not only owned by a few people. Power is spread. There are many forms of power in education practice, that is disciplinary mechanism through observations (panopticon), normalization, and examination systems.

Keywords: Bourdieu, Foucault, power, education, school

Abstrak

Tulisan ini menggambarkan pemikiran Bourdieu dan Foucault mengenai kekuasaan dalam pendidikan. Menurut Bourdieu, ada kekuasaan simbolik yang bekerja memengaruhi praktik-praktik pendidikan. Bourdieu melihat bahwa kelas dominan merupakan subjek kekuasaan simbolik ini karena mereka memiliki kelebihan “modal” yang tidak dimiliki kelas bawah. Sementara, Foucault melihat bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki segelintir orang saja. Kekuasaan bersifat menyebar. Ada banyak wujud kekuasaan dalam praktik pendidikan, yaitu melalui mekanisme pendisiplinan yang melibatkan pengamatan (melalui panopticon), standarisasi, serta sistem pemeriksaan.

Kata Kunci: Bourdieu, Foucault, kekuasaan, pendidikan, sekolah

Pendahuluan

(2)

2 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Dalam praktiknya, setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam mendidik anak-anak mereka. Selain mewariskan keterampilan tertentu, pendidikan juga digunakan untuk menanamkan nilai-nilai sosial kepada anak-anak, terutama nilai-nilai agama. Ketika keluarga tidak mampu lagi menjalankan peran untuk mengajarkan nilai-nilai agama, pendidikan sedikit demi sedikit diserahkan kepada lembaga informal di luar keluarga dengan bantuan seseorang yang memahami ajaran agama tertentu. Pendidikan masih bersifat lokal, belum dikelola negara secara ketat dan terpusat (Rappleye, 2012). Pada abad pertengahan yang dimulai pada abad IV, kehidupan sosial mulai dibayang-bayangi kekuasaan gereja yang menjadi penguasa tertinggi pada masa. Meskipun secara formal negara memiliki peran sebagai penguasa, akan tetapi dalam praktiknya negara masih berada di bawah kekuasaan gereja (Canning, 1996). Pendidikan pun kemudian berubah menjadi sebuah prosesi formal yang diatur dan dilegitimasi pihak tunggal, yaitu gereja (Rappleye, 2012).

Kondisi ini masih berlangsung hingga abad XIV, ketika masyarakat memasuki era industri (Rury, 2005) seiring terjadinya revolusi industri di Eropa. Perkembangan teknologi merupakan pemicu utama perubahan sosial ini. Cowen (1996) menjelaskan bahwa praktik pendidikan di era ini lebih mengutamakan tujuan politis daripada tujuan ekonomi, selain bertujuan melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan gereja. Maksudnya adalah pendidikan digunakan sebagai tempat menghasilkan intelektual muda yang akan mengisi posisi penting pemerintahan untuk menjaga kestabilan politik. Peran gereja yang semakin dominan dalam pengawasan pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan telah masuk dalam jaringan kekuasaan (gereja). Gereja sebagai institusi sakral kemudian menjadi lembaga penentu kebijakan pendidikan, bahkan gereja menjadi institusi yang cukup otoriter di masa itu. Ia mampu memaksakan berbagai doktrin agama kepada masyarakat dan mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Industrialisasi mengarahkan lembaga pendidikan terintegrasi dengan sistem ekonomi, yaitu sebagai unit ekonomi yang berperan menyiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sektor industri. Durkheim (1965) menjelaskan bahwa ada saling keterkaitan antara pendidikan (sekolah) dengan dunia industri ketika mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Untuk itu, sekolah memiliki peran baru yaitu menyiapkan tenaga kerja terampil dengan mengajarkan setiap individu berbagai keterampilan yang diperlukan dunia kerja.

(3)

3 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. memiliki bentuk yang sangat beragam, dan ada banyak pihak yang turut memengaruhi praktik pendidikan ini.

Analisis kekuasaan dalam pendidikan adalah isu yang cukup menarik dan menjadi isu sentral dalam studi ilmu sosial; ia menjadi konsep pokok untuk memahami masyarakat (Haugaard & Clegg, 2009; Turner, 2005), ia juga menjadi isu pokok ketika mempelajari sifat-sifat keteraturan sosial (Wolin, 2004). Kekuasaan merupakan dinamisator atau penggerak sistem sosial yang mengatur bekerjanya setiap unsur dalam sistem sosial.

Pendidikan sebagai salah satu sistem sosial juga tidak lepas dari pengaruh kekuasaan ini. Bourdieu dan Foucault adalah dua teoritikus sosiologi pendidikan yang berupaya menganalisis keterlibatan kekuasaan dalam praktik pendidikan. Pemikiran keduanya dalam menganalisis praktik pendidikan memiliki banyak kesamaan. Terutama dalam mengkaji keterkaitan kekuasaan dan pendidikan. Tulisan ini menggambarkan pemikiran Bourdieu dan Foucault mengenai kekuasaan dalam pendidikan. Ini juga mengidentifikasi aktor-aktor yang memengaruhi praktik pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta cara kerja atau wujud campur tangan aktor tersebut menurut Bourdieu dan Foucault.

Bourdieu: Kekuasaan Simbolik

Istilah kekuasaan dalam sosiologi dapat dengan mudah dijumpai dalam pembahasan mengenai perspektif konflik. Perspektif ini dimotori pemikiran Karl Marx (Haralambos & Holborn, 2004; Meighan; 1981; Meighan & Blatchford, 1998). Keberadaan kekuasaan bermula ketika sebagian kelompok memiliki kepentingan untuk menguasai sumber daya sosial tertentu, dan sumber daya tersebut bersifat terbatas dan pokok. Pada dasarnya, sumber daya tersebut juga diperebutkan kelompok yang lain, namun hanya ada sebagian kelompok yang berhasil mendapatkan sumber daya tersebut karena mereka memiliki “modal”. Dalam pandangan Marx, modal ekonomi atau kepemilikan materi adalah sumber kekuasaan sekaligus penyebab ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat (Marx, 1976). Ketidaksetaraan ini berimbas pada terjadinya konflik sosial karena pada dasarnya sumber daya sosial selalu bersifat terbatas, sementara semua individu menginginkan sumber daya tersebut. Kekuasaan dapat dimiliki individu maupun kelompok sosial.

(4)

4 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Bourdieu (1991) menggunakan konsep kekuasaan simbolik sebagai “kekuatan membangun realitas", yaitu sebuah kekuatan yang tidak terlihat ketika orang lain tidak mengetahui tahu bahwa mereka sebenarnya sedang dipengaruhi dan tunduk pada kekuasaan tertentu. Kekuasaan simbolik menurut Bourdieu dilakukan secara tidak sadar dan alamiah. Sama halnya dengan Marx, Bourdieu juga meyakini bahwa modal (atau capital) merupakan sumber kekuasaan. Namun, makna modal dalam tesis Bourdieu lebih luas, bukan hanya modal ekonomi (materi). Modal ini meliputi: modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik (Bourdieu, 1986). Modal ekonomi terkait dengan kondisi ekonomi individu. Modal ini meliputi segala hal yang dimiliki individu yang dapat dinilai dengan uang. Modal budaya meliputi penguasaan individi atas sumber-sumber informasi dan pengetahuan, termasuk budaya. Ini juga berhubungan dengan latar belakang pendidikan, tingkat intelektual, dan apresiasi terhadap budaya. Modal sosial diperoleh melalui hubungan sosial dan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial tertentu, termasuk hubungan sosial individu dengan orang yang berkuasa. Modal simbolik adalah kepemilikan individu yang telah mendapat pengakuan dari orang-orang di sekitarnya, seperti status sosial, kekuasaan, dan otoritas.

Individu yang memiliki modal-modal tersebut akan memiliki kekuatan untuk mendominasi sistem sosial meskipun dari sisi jumlah, individu yang memiliki modal ini jumlahnya sedikit, sehingga dalam praktiknya justru kelompok minoritaslah yang memiliki kekuasaan ini. Cara yang ditempuh kelompok minoritas tersebut adalah melalui –apa yang dinamakan— sosialisasi habitus, yaitu serangkaian nilai, norma, gaya hidup, atau kecenderungan yang menuntun perilaku seseorang melalui sosialisasi (Wacquant, 2013). Habitus dimiliki dan mencerminkan posisi atau kelas sosial tertentu bagi pemiliknya (Haralambos & Holborn, 2004). Habitus dapat ditularkan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain melalui sosialisasi yang berlangsung secara implisit, sehingga kelompok yang “meniru” habitus sosial tersebut melakukan imitasi tanpa menyadarinya (Bourdieu, 1984). Sosialisasi habitus dilakukan menggunakan instrumen bahasa untuk memengaruhi pengetahuan individu (Bourdieu & Passeron, 1977). Untuk itu, bagi Bourdieu (1991) bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga menjadi instrumen kekuasaan simbolik ini.

Kekuasaan simbolik yang diwujudkan dalam kepemilikan berbagai modal simbolik merupakan instrumen untuk melakukan dominasi terhadap kelompok sosial lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan mekanisme kekerasan simbolik. Kekerasan ini merupakan proses memaksakan habitus kelompok tertentu kepada kelompok yang lain yang dilakukan secara halus, sehingga kelompok yang menjadi objek kekerasan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi objek kekerasan tersebut.

(5)

5 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. akibatnya mereka akan selalu membatasi akses kelas bawah untuk menikmati fasilitas pendidikan yang lebih tinggi. Ketika kelas bawah berhasil memasuki sekolah dengan berbagai cara (mendapatkan beasiswa, atau mendapat fasilitas sekolah gratis dari negara misalnya), kelas atas akan membuat suasana di sekolah menjadi tidak nyaman bagi individu kelas bawah. Mereka menggunakan kekuasaan simbolik. Kelas atas memosisikan dirinya sebagai kelas dominan, sementara kelas bawah diposisikan sebagai objek dominasi.

Selanjutnya, sekolah secara perlahan telah melakukan apa yang disebut kekerasan simbolik (Bourdieu & Passeron, 1977). Ini dilakukan dengan cara menyosialisasikan habitus-habitus atau budaya kelas atas secara terus menerus di sekolah dengan berbagai cara. Sementara, siswa dari kelas bawah tanpa sadar telah dipaksa mengikuti habitus tersebut. Budaya memakai seragam, dasi, sepatu adalah budaya kelas atas yang dipaksakan kepada siswa kelas bawah. Siswa kelas bawah dipaksa memakai berbagai atribut “milik kelas atas” tersebut.

Kekerasan simbolik juga dilakukan melalui materi pelajaran di sekolah. Buku-buku pelajaran di sekolah ternyata lebih banyak menggambarkan budaya kelas atas melalui tulisan maupun gambar. Kebiasaan-kebiasaan siswa kelas atas setiap hari diajarkan di sekolah: bertamasya, merayakan ulang tahun, mencuci mobil, berangkat ke kantor, dan sebagainya. Sementara, budaya siswa kelas bawah sedikit digambarkan dalam buku-buku pelajaran. Selain itu, deskripsi mengenai kebiasaan kelas bawah lebih banyak menggunakan sudut pandang orang ketiga, seperti dia atau mereka. Ini menunjukkan bahwa posisi kelas bawah seolah-olah ditempatkan di luar sana, sedangkan siswa yang membaca buku-buku pelajaran diposisikan sebagai kelas atas dengan menggunakan kata aku atau saya (Martono, 2012). Siswa dari kelas bawah dipaksa menerima materi tersebut meskipun mereka sebenarnya berada dalam posisi marginal.

(6)

6 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. bawah yang mampu meraih prestasi melampaui kelas atas, namun itu jumlahnya hanya sedikit. Secara umum, siswa kelas atas lebih berpotensi meraih prestasi tinggi daripada siswa dari kelas bawah.

Foucault: Wacana dalam Kekuasaan

Foucault tidak menjelaskan makna kekuasaan secara eksplisit. Namun ia menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya terjadi ketika satu kelompok terdominasi oleh kelompok lainnya. Ia tidak sependapat dengan Marx yang memaknai kekuasaan sebagai hubungan yang tidak seimbang yang menimbulkan konflik antarkelas (Martono, 2014). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat divergen atau menyebar, ia tidak berada di satu tempat. Kekuasaan juga tidak dimiliki orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, kekuasaan berada di mana-mana, dalam wujud yang nyata maupun yang tersembunyi. Bahkan, kekuasaan juga dapat bersumber dari mana saja, dan dimiliki siapa saja. Ketika ada interaksi atau hubungan (relasi) sosial –meski hanya melibatkan dua orang saja—, di dalamnya akan muncul praktik-praktik kekuasaan. Selain itu, kekuasaan tidak selalu bermakna negatif, berhubungan dengan pemerintahan, pemaksaan, pelarangan, penekanan (plesure), penyaringan (censor), dan dominasi yang seragam, akan tetapi ia bersifat produktif dan kreatif (Cronin, 1996; Simola, et. al., 1998).

Foucault menyatakan bahwa penggunaan kekuasaan tidak selalu hanya terkait dalam hal penggulingan institusi, organisasi, birokrasi, atau negara. Penggunaan kekuasaan juga meliputi proses redistribusi pengaruh serta kemampuan mengubah cara berpikir seseorang untuk kemudian memberikan waktu dan keadaan yang tepat, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan kelembagaan (Oliver, 2010).

Foucault (1966) menjelaskan lima proposisi mengenai kekuasaan:

“... Pertama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki atau tidak dapat dimiliki, melainkan ia selalu dilakukan dari setiap titik dalam setiap hubungan apapun. Kedua, kekuasaan tidak hanya diterapkan dan muncul secara eksternal dalam hubungan ekonomi, pengetahuan, atau seks. Sebaliknya, ia berada di dalam hubungan ini dan menentukan struktur internal mereka. Ketiga, kekuasaan tidak hanya datang dari atas, dan tidak semua hubungan kekuasaan dibentuk sesuai keinginan penguasa atau pemerintah. Keempat, meskipun ada kemungkinan untuk mengidentifikasi desain dan strategi hubungan kekuasaan, namun tidak ada subjek individu yang menjalankan kekuasaan ini. Kelima, resistensi (penolakan) merupakan bagian hubungan kekuasaan, dan tidak berada di luarnya ....”.

(7)

7 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Kekuasaan bekerja melalui pengetahuan dan wacana. Untuk menjelaskan ini, Foucault (1966) menggunakan konsep sejarah pengetahuan atau episteme. Episteme adalah cara sebuah objek menjadi berada yang muncul dalam bidang tersebut, memberikan persepsi manusia setiap hari dengan menggunakan kekuatan teoretis, dan mendefinisikan kondisi tempat ia dapat mempertahankan wacana mengenai hal-hal yang diakui untuk menjadi kenyataan. Menurut Foucault (1966) episteme mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga hal: ketabuan, kegilaan, dan ketidakbenaran. Pengetahuan manusia dikonstruksi untuk membedakan “mana yang tabu dan mana yang pantas”; “mana yang gila dan mana yang normal (waras)”; dan “mana yang benar dan mana yang salah”.

Menurut Foucault (1966) ada hubungan antara bahasa dan realitas. Bahasa digunakan untuk melegitimasi kebenaran. Bahasa adalah alat untuk mengatur pengetahuan manusia, sehingga ia selalu bekerja secara aktif. Bahasa adalah bagian wacana (Garrity, 2010) yang merefleksikan perbedaan bentuk budaya, kebiasaan, adat, dan pengetahuan. Selanjutnya, wacana diguanakan untuk melegitimasi kekuasaan tertentu. Wacana menyediakan kondisi materiil ketika individu diproduksi – baik sebagai subjek atau sebagai objek. Ini merupakan bentuk kekuasaan yang dilaksanakan melalui wacana hukum, kedokteran, psikologi dan pendidikan (Codd, 1988).

Wacana dipengaruhi pengetahuan dan kekuasaan secara bersama-sama. Kekuasaan menentukan pengetahuan apa saja yang dianggap sebagai sebuah kebenaran, kenormalan, sehingga ia dapat menjadi wacana umum. Wacana membantu menjelaskan mekanisme distribusi kekuasaan, sehingga dapat menjadi alat menyebarkan dan mewujudkan kekuasaan. Wacana disebarkan melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui sosialisasi kepada individu. Wacana juga ada yang disebarkan menggunakan paksaan atau kekerasan dengan melibatkan unsur kekuasaan (Martono, 2014).

(8)

8 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Foucault menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakkan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi, yang kemudian berdampak pada masa depan siswa (Martono, 2014). Sebelumnya sekolah juga telah menerapkan sistem seleksi untuk memilih dan memilah individu mana yang layak menikmati pendidikan di tempat mereka. Mekanisme seleksi masuk sekolah menjadi mekanisme bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan. Agar individu dapat menikmati fasilitas pendidikan di sekolah tertentu, mereka harus memenuhi serangkaian kriteria yang telah ditentukan sekolah.

Dalam buku “Surveiller et punir: naissance de la prison” Foucault (1975) menguraikan beberapa aspek sosial dalam proses pendisiplinan dan penghukuman melalui sistem penjara yang dalam perkembangannya proses ini berimplikasi dalam praktik pendidikan modern. Tujuan utama Foucault dalam buku ini adalah menjelaskan perubahan disiplin tradisional menuju disiplin masyarakat modern (Ball, 2013). Disiplin tradisional didominasi penggunaan hukuman secara fisik yang dilakukan di depan publik. Mekanisme ini kemudian mengalami perubahan ketika masyarakat memandang bahwa hukuman fisik dinilai sebagai hukuman yang tidak manusiawi. Perubahan ini juga terjadi dalam mekanisme hukuman di sekolah. Menurut Pongratz (2007), dalam masyarakat modern “tidak ada alasan yang membenarkan hukuman secara fisik di sekolah”. Hukuman fisik dinilai bukan merupakan hukuman yang mendidik, dan cenderung menyebabkan si anak yang dihukum memiliki niat untuk melakukan balas dendam atau meluapkan kekecewaanya dengan kekerasan pula. Pendidikan modern lebih mengedepankan hukuman “yang mendidik”, yaitu bentuk hukuman yang membuat siswa menjadi belajar dan menyadari kesalahannya.

Menurut Foucault (1975), telah terjadi perubahan hukuman metode penghukuman yang semula menggunakan hukuman fisik kemudian berganti dengan hukuman melalui mekanisme pendisiplinan. Pendisiplinan menjadi karakter masyarakat modern, yaitu sebuah proses mengubah diri individu agar mau bertindak sesuai norma dan nilai masyarakat. Pendisiplinan bekerja melalui proses dan jaringan hubungan untuk mengontrol aktivitas masyarakat (Joas, 2008; Walshaw, 2007). Disiplin berfungsi untuk mengendalikan, mengoreksi, mengatur, dan mengawasi tubuh menggunakan norma sebagai standar (Foucault, 1975).

(9)

9 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. biasanya dipasang pagar pembatas agar siswa tidak sembarangan keluar masuk lingkungan sekolah. Pintu gerbang akan ditutup selama jam belajar di sekolah berlangsung, dan siswa tidak dengan mudah membuka pintu gerbang ini. Mereka selalu diawasi. Pagar sekolah menjadi panopticon yang menjaga lingkungan sekolah dan mencegah siswa membolos pada jam sekolah (Martono, 2014). Dalam proses pembelajaran, siswa mendapatkan pengawasan dari guru, sehingga siswa adalah objek yang selalu diawasi di sekolah (Walshaw, 2007). Pengawasan ini dilakukan melalui supervisi, pengamatan, pemantauan, bahkan dalam kasus tertentu dapat dilakukan dengan ancaman (Gore, 1998).

Mekanisme kedua adalah normalisasi atau standarisasi, yaitu sebuah metode yang digunakan untuk mengukur, mengelompokkan, dan mengategorikan individu sesuai standar atau norma tertentu (Allan, 2013; Jardine, 2005). Melalui normalisasi, seorang individu tidak hanya dinilai dari kebaikan dan kesalahan yang dilakukannya, akan tetapi ia dinilai dengan membandingkannya dengan individu lain menggunakan standar tertentu (Foucault, 1975; Gutting, 2005). Standar norma di sekolah diwujudkan dalam “standar prestasi”. Kemampuan, kecerdasan, atau prestasi siswa akan distandardisasi, kemudian standardisasi ini menjadi bahan perbandingan prestasi antarsiswa (Martono, 2014). Tata tertib sekolah juga merupakan wujud standarisasi perilaku siswa. Melalui tata tertib ini, sekolah dapat dengan mudah mengklasifikasikan “mana siswa yang disiplin dan mana yang tidak disiplin”, “mana siswa yang patuh, mana yang membangkang”, “mana siswa yang layak mendapat pujian, dan mana siswa yang layak mendapat hukuman”. Ini semua ditentukan berdasarkan tata aturan yang berlaku di sekolah.

Sekolah juga tidak luput dari standarisasi ini. Negara menyusun instrumen standarisasi melalui proses akreditasi. Akreditasi adalah wujud standarisasi pendidikan, sekaligua wujud campur tangan negara sebagai pemangku kekuasaan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Ketiga, ujian, yaitu lokus utama kekuasaan atau pengetahuan modern yang menggabungkan kekuatan (kemampuan, kecerdasan) dan kebenaran dalam satu kesatuan yang utuh (Gutting, 2005; Jardine, 2005). Hasil ujian digunakan untuk memberikan ganjaran atau hukuman kepada individu melalui mekanisme sebelumnya, yaitu pengamatan bertingkat dan normalisasi penilaian. Sistem ujian mengelompokkan siswa ke dalam kategori-kategori tertentu sesuai standar penilaian yang telah ditetapkan sekolah. Standar ini memisahkan kemampuan siswa secara sederhana, ia menganalisis kompetensi secara individual, dan mengurutkan kemampuan individu, serta memberikan latihan kepada individu untuk memperbaiki hasilnya (Devine-Eller, 2004).

(10)

10 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. yang salah, antara apa yang normal dengan apa yang tidak normal, antara yang tabu dan tidak (Martono, 2014).

Wacana seksualitas dimasukkan dalam kurikulum melalui pendidikan seks. Sebelumnya wacana ini tidak mendapatkan tempat di sekolah karena tekanan kekuasaan yang menabukan seksualitas di muka umum (Oliver, 2010). Seksualitas kemudian menjadi bahan diskusi penting dari aspek pendidikan dan kesehatan. Ini kemudian memicu wacana seksualitas masuk dalam ranah pendidikan karena berkaitan dengan masalah sosialisasi kesehatan (reproduksi), perkembangan psikologis, moralitas anak, etika, dan norma sosial. “Seksualitas bukan sekedar fakta individu, namun merupakan sebuah konsep budaya. Setiap individu tidak dilahirkan sebagai makhluk seksual, namun ia belajar bagaimana menjadi diri mereka dengan bertindak sesuai peran budaya” (Drazenovich, 2011).

Wacana seksualitas dapat dengan mudah ditemukan dengan melihat pemisahan berbagai ruang antara laki-laki dan perempuan. Sekolah tertentu memisahkan ruang kelas untuk laki-laki dan perempuan. Fasilitas sekolah di setiap sekolah (misalnya kamar mandi) juga memisahkan tempat untuk laki-laki dan perempuan.

Kesimpulan

Kekuasaan merupakan unsur dalam pendidikan yang eksistensinya dapat bersifat nyata maupun tidak nyata, dapat disadari maupun tidak disadari. Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara.

Bourdieu menyebut kekuasaan bergerak melalui simbol-simbol sosial yang kemudian ia menyebutnya sebagai kekuasaan simbolik. Kekuasaan ini menggerakkan dan menjiwai proses pendidikan secara halus. Sulit bagi individu mengenali mekanisme kerja kekuasaan yang sebenarnya ada di sekitar mereka. Bahkan, melalui kekuasaan simbolik, setiap individu hampir tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi objek kekuasaan. Bagi Bourdieu, sekolah merupakan tempat yang strategis bagi kelas dominan untuk melakukan kekerasan simbolik ini. Mereka melakukannya dengan berbagai cara: melalui gaya hidup yang disosialisasikan di sekolah dan melalui materi pelajaran di sekolah yang lebih banyak menghadirkan habitus kelas dominan daripada habitus kelas bawah. Kelas dominan menggunakan sekolah sebagai tempat melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan posisinya.

(11)

11 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. kategori pintar-bodoh, jenius-idiot dan pengategorian lainnya. Foucault juga menganalisis perubahan perlakuan terhadap manka seksualitas dalam pendidikan. Ketika sebelumnya seksualitas dianggap sebagai bentuk ketabuan, namun akhirnya kekuasaan membuka wacana seksualitas ini di ruang publik, termasuk dalam pendidikan. Wacana seksualitas masuk dalam pendidikan dalam berbagai bentuk: pendidikan seks, kesehatan reproduksi, serta wacana pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan di sekolah dalam fasilitas pendidikan.

Daftar Pustaka

Allan, J. (2013). Foucault and his acolytes: Discourse, power, and ethics, in M. Murphy (ed.). Social theory and education research: Understanding Foucault, Habermas, Bourdieu, and Derrida. London: Routledge.

Allen, A. (2012). Using Foucault in education research. British Educational Research Association. on-line resource: http://www.bera.ac.uk/system/files/Using %20Foucault%20in%20education%20research.pdf, last accessed November 4, 2013.

Ball, S. J. (2013). Foucault, Power, and Education. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgment of taste. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital, in J. Richardson (ed.) Handbook of theory and research for the sociology of education. New York: Greenwood.

Bourdieu, P. (1991). Languange and symbolic power. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, P. (1993). The field of cultural production: Essays on art and literature. Cambridge: Polity Press.

Bourdieu, P., & Passeron, J. C. (1977). Reproduction in education, society, and culture. London: SAGE Publications.

Budiardjo, M. (2000). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia.

Canning, J. (1996). A history of medieval political thought 300-1450. London: Routledge.

Codd, J. (1988). The construction and deconstruction of educational policy documents. Journal of Education Policy. Vol. 3 (3), 235-247.

Cowen, R. (1996). “Last past the post: Comparative education, modernity, and perhaps post modernity”, in Comparative education. Vol. 32 (2), 155-170.

Cronin, C. (1996). Bourdieu and Foucault on Power and Modernity, in Philosophy Social Criticism. Vol. 22 (6), 55-85.

Devine-Eller, A. (2004). Applying Foucault to education. retrieved: October 12, 2013, from http://issuu.com/gfbertini/docs/applying_foucault_to_education.

Drazenovich, G. (2011). Queering sex education. Literacy Information and Computer Education Journal (LICEJ). Vol. 2 (2), 377-81.

Durkheim, E. (1956). Education and sociology. New York: The Free Pres.

(12)

12 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Foucault, M. (1976). Histoire de la sexualité I: La volonté du savoir. Paris: Gallimard.

Garrity, Z. (2010). Discourse analysis, Foucault and social work research identifying some methodological complexities. Journal of Social Work. Vol. 10 (2), 193–210.

Giddens, A. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Cambridge: Polity Press.

Gore, J. M. (1998). “Disciplining bodies: On the continuity of power relations in pedagogy”, in T. S. Popkewitz & M. Brennan (eds.). Foucault’s challenge: Discourse, knowledge, and power in education. New York: Teacher College.

Gramsci, A. (1995). Further Selections from the prison notebooks. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Gutting, G. (2005). Foucault: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Haralambos and Holborn. (2004). Sociology: Themes and perspectives 6th edition. London: Harper

Collins Publisher.

Haugaard, M. & Clegg, S. R. (2009). “Introduction: Why power is the central concept of the social sciences”, in M. Haugaard & S. R. Clegg. The SAGE handbook of power. London SAGE Publications. Jardine, G. M. (2005). Foucault and education. New York: Peter Lang Publishing, inc.

Joas, H. (2008). Punishment and respect the sacralization of the person and its endangerment. Journal of Classical Sociology. Vol. 8 (2), 159–177.

Kenway, J. et. al. (1994) New education in new times. Journal of education policy. Vol. 9 (4), 317–33. Klemp, M. et. al. (2012). Family investment strategies in pre-modern societies: Human capital,

migration, and birth order in seventeenth and eighteenth century England. EHES working papers in economic history. No. 18.

Liasidou, A. (2010). Unequal power relations and inclusive education policy making: A discursive analytic approach. Educational Policy. Vol. 25 (6), 887-907.

Marshall, G. (1998) "Hegemony." A dictionary of sociology. 1998. Retrieved October 31, 2014 from Encyclopedia.com: http://www.encyclopedia.com/doc/1O88-hegemony.html.

Martono, M. (2012). Kekerasan simbolik di sekolah: Sebuah ide sosioogi pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Martono, M. (2014). Sosiologi pendidikan Michel Foucault. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Marx, K. (1976). Capital volume I. Harmondsworth: Penguin Books.

Meighan, R. & Blatchford, S. B. (1998). A sociology of educating 3rd edition. New York: Wellington House.

Meighan, R. (1981). Sociology of educating. New York: Holt Education.

Oliver, P. (2010). Foucault the key ideas. United States: McGraw-Hill Companies, inc.

Pongratz, L. (2007). “Freedom and discipline: Transformations in pedagogic punishment”, in M. A. Peters & T. A. C. Besley (eds.). Why Foucault? New direction in educational research. New York: Peter Lang.

(13)

13 Jurnal Interaksi. 2014. Vol. 8 (1), p. 28-39. Rose, N. (1999). Governing the soul: the shaping of the private self – 2nd edition. London: Free

Association Books.

Rury, J. L. (2005). Education and Social Change: Themes in the History of American Schooling. New Jersey: Mahwah.

Simola, H., et. al. (1998). A catalog of possibilities: Foucaultian history of truth and education resarch, in T. Z. Popkewitz & M. Brennan (eds). Foucault’s challenge: Discourse, knowledge, and power in education. New York: Teacher College Press.

Smart, B. (1985). Michel Foucault. New York: Routledge.

Sullivan, A. (2002). Bourdieu and education: How useful is bourdieu's theory for researchers? The Netherlands journal of social sciences. Vol. 38 (2), 144-166.

Turner, J. C. (2005) Explaining the nature of power: A three-process theory. European journal of social psychology. 35, 1-22.

Wacquant, L. (2013). Symbolic power and group-making: On Pierre Bourdieu’s reframing of class. Journal of classical sociology. Vol. 13 (2), 274-291.

Walshaw, M. (2007). Working with Foucault in education. Rotterdam: Sense Publishers. Weber, M. (1968). On charisma and institution building. Chicago: University of Chicago Press. Weber, M. (1998). From Max Weber: Essays in sociology. London: Routledge.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Objek dari penelitian adalah bangunan kolonial yang berada pada kawasan kota Medan dan dipilih yang dapat mewakili kebijakan politik dan kekuasaan pada waktu itu,

Dengan pendidikan, akses kekuasaan dimulai melalui PNS (pegawai Negeri Sipil), partai politik, dan pemilukada. Pemekaran dalam otonomi daerah dimaknai sebagi diversifikasi sumber

Skripsi ini menguraikan kekuasaan yang dimiliki oleh keuchik selaku kepala eksekutif dalam sebuah pemerintahan gampong yang berada di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda

Skripsi ini menguraikan kekuasaan yang dimiliki oleh keuchik selaku kepala eksekutif dalam sebuah pemerintahan gampong yang berada di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda

Pemberdayaan pun dimaknai berbeda-beda oleh para ahli yang membidangi, seperti ilmu politik secara sederhana pemberdayaan diartikan pemberian kekuasaan dan dalam ilmu

Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang memengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak.

strategi tertentu. Kedua , adalah kelompok minoritas yang selain aktif dalam kegiatan kampanye juga berperan sebagai penggerak. Secara sederhana Budiardjo 38 membagi

tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu (Sunaryo, 2004). Selain itu, persepsi dimaknai sebagai proses yang didahului oleh