• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file MASKULINITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN CITRA SOSIAL PEREMPUAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER | Tri Handoko | Nirmana DKV05070107

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file MASKULINITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN CITRA SOSIAL PEREMPUAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER | Tri Handoko | Nirmana DKV05070107"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MASKULINITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN CITRA SOSIAL PEREMPUAN

DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER

Cons. Tri Handoko

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Di Indonesia, penampilan model perempuan dalam iklan tidak jauh dari konstruksi bias gender yang mirip dialami mereka pula di kehidupan bermasyarakat. Mereka ditampilkan sebagai the other, disubordinasikan, dan masih di wilayah domestik. Namun sejak akhir 90-an sampai saat ini, beberapa iklan mulai berani menampilkan model perempuan di luar konstruksi umum tersebut. Mereka ditampilkan tidak lagi sesuai dengan konstruksi umum tentang arti feminin: lemah lembut, lemah fisik, halus, pasif, rendahan hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya; namun maskulin: rasional, kuat, cerdas, dan tegas. Globalisasi informasi dan komunikasi memberi pengaruh pada pola pikir manusia yang berpengaruh juga pada tema-tema iklan. Contohnya seperti iklan yang bertema kesetaraan gender sedikit banyak membantu pembelajaran masyarakat akan nilai-nilai maskulinitas yang tidak hanya boleh ‘dimiliki’ laki-laki saja.

Kata kunci: maskulin, perempuan, iklan, gender.

ABSTRACT

In Indonesia, women models appear in advertisements not far away from their ray construction which resemble with their experiences in society. They are appeared as the other, subordinate, and live in the domestic region. However, in the late of 90’s till now, some advertisements have been appearing women models outside of general construction about femininity concepts: weak, delicate, passive, modest, submissive, charming, etc.; but masculine: rational, strong, intelligent, and explicit. The globalization of information and communication which also have impact to people’s thinking pattern which influence to advertisemenst themes as well. Such as feminism concepts become themes of advertisements, at least educate community that masculinity is not just belong to men.

Keywords:masculine, woman, advertisement, gender.

PENDAHULUAN

Pada umumnya dalam iklan perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh

dari peran domestik seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, belanja untuk kebutuhan

keluarga, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki,

misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan

laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat; banyak peraturan

(2)

dikembangkan karena stereotipe ini. Di India ada sebuah ungkapan membesarkan anak

perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain.1 Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang

mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak

sempurna. Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Budiman, sulit dipercaya bahwa

perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer dalam Budiman,

mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup berpikir dan

berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan

anak-anak. Perempuan hanya tercipta untuk beranak. Pendapat Spock seperti dikutip oleh

Budiman menyebutkan bahwa perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu

yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya

secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide

bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia.

Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk

laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan

syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah

agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat

yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang

melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2

Kalau diamati lebih jauh hampir di sebagian besar iklan yang ditayangkan di media massa

selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau disubordinasikan

pada peran laki-laki, perempuan terkadang hanya dipakai sekedar sebagai pemanis saja karena

perannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesan pokok iklan. Mereka ditampilkan

dengan pakaian seksi, menggoyang-goyangkan pantat, membuka sedikit dadanya atau

menunjukkan betisnya yang indah, dan lain sebagainya untuk menimbulkan perhatian saja.

Dalam perkembangan selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah dan selalu

menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan

dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan lebih ‘berkuasa’ dan ‘perkasa’ dari laki-laki.

Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan

1

Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 67. 2

(3)

lincah. Salah satu contoh kasusnya adalah sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan produk

sabun mandi yang membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan beladirinya yang

lihai. Atau Zhang Zi Yi dalam iklan produk kartu kredit yang juga membuat pria bertekuk lutut

karena keahlian beladirinya.

Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti sejauh mana citra sosial perempuan dalam iklan

sebagai sosok yang ‘maskulin’ ditinjau dari perspektif gender dan sejauh mana kemungkinan

penggunaan model perempuan maskulin tersebut berimplikasi pada wacana tentang gender

dalam konteks budaya patriarki.

CITRA SOSIAL PEREMPUAN DALAM IKLAN

Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggambarkan serangkaian citra dan

stereotipe perempuan yang baku. Citra-citra yang diobjektifkan ini memiliki ciri yang mendasar,

yakni mendefinisikan perempuan sejauh dia melayani, atau berkaitan dengan kepentingan

laki-laki. Pada umumnya, secara konkret perempuan digambarkan dengan peran-peran yang bersifat

marginal. Misalnya, peran-peran yang bersifat domestik: seperti sebagai ibu rumah tangga yang

mengurus dan mengasuh anak, mencuci, memasak di dapur, menghidangkan masakan untuk

suami dan anak-anak, mempercantik diri untuk menyenangkan suami atau laki-laki. Sulit

menemukan iklan-iklan yang menampilkan pria dalam peran-peran seperti tersebut di atas.

Tetapi mereka hampir selalu digambarkan dalam peran-peran yang bersifat publik dan sebagai

pihak yang dilayani wanita. Menurut Tamagola seperti dikutip oleh Liestianingsih menyebutkan

bahwa wanita dalam iklan terkadang ditempatkan dalam citra peraduan yakni sebagai objek seks,

pemuas laki-laki. Dia juga mengungkapkan bahwa ideologi perempuan dalam iklan adalah

ideologi yang bias gender. Perempuan dikonstruksi sebagai pemuas laki-laki belaka, dan disebut

sebagai citra pigura, yakni perempuan kelas menengah dan atas perlu tampil memikat untuk

mempertegas keperempuannya secara biologis seperti kulit halus, rambut panjang, badan

ramping, kaki indah, wajah menarik dan seterusnya. Salah satu contohnya adalah iklan shampo

ternama dimana digambarkan seorang remaja puteri menumpahkan sebotol air mineral agar

pacarnya tidak melihat rambutnya yang kusam. Setelah memakai shampo itu rambutnya nampak

indah, barulah ia menemui pacarnya.3

3

(4)

Gambaran yang lain, iklan cenderung menggambarkan perempuan dalam posisi yang

subordinatif. Hal ini karena adanya suatu anggapan di masyarakat pada umumnya bahwa wanita

itu pasif, kurang cerdas, emosional sehingga menyebabkan ia terkadang bertindak irasional, maka

ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.

Misalnya dalam iklan perempuan digambarkan sebagai orang kedua, yang keberadaannya dalam

struktur sosial kemasyarakatan di bawah laki-laki. Meski terkadang ia digambarkan dalam

peran-peran yang bersifat publik seperti perkantoran dan bisnis namun jarang sekali yang diposisikan

sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin). Pada umumnya

ia digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering

ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau

bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia

menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran

sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya

hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping

suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja,

maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Ada sebuah iklan yang menggambarkan konstruksi

sosial perempuan sebagaimana seharusnya isteri bertindak pada suami yaitu ‘nrimo ing

pandhum’ (menerima semuanya dengan sabar dan tawakal). Dalam iklan tersebut sang isteri

dengan begitu sabarnya menerima polah tingkah sang suami yang seenaknya menaruh cangkir

kotor ataupun piring bekas makan di sembarang tempat bahkan di tumpukan baju. Dengan

sabarnya sang isteri ini tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat polah tingkah

suaminya tersebut. Sebuah gambaran kepasrahan yang tulus perlambang kesetiaan dan

penerimaan yang suci sang isteri akan karakter ‘negatif’ sang suami? Jelas disini ada

domestifikasi peran perempuan yang kemudian secara vulgar masyarakat menginternalisasi

bahwa begitulah seharusnya isteri.

Dalam konteks sebagai unsur visual, kehadiran perempuan terkesan hanyalah sebagai

daya tarik dan terkadang tidak ada hubungannya dengan pesan iklan yang ingin disampaikan.

Iklan yang demikian banyak sekali muncul terutama pada produk-produk yang berhubungan erat

dengan dunia ‘laki-laki’. Misalnya pada iklan produk cat mobil yang menampilkan wanita yang

terbuka bajunya sehingga nampak BH-nya (dan tentu saja buah dadanya menyembul terlihat

(5)

nampak pada iklan-iklan produk minuman berenergi yang selalu menempatkan perempuan

sebagai ‘pemuas hasrat laki’ atau pun perempuan seolah-olah menjadi inspirator bagi

laki-laki agar dapat memuaskan mereka. Bentuk iklan semacam ini jelas-jelas menempatkan

perempuan hanya sebagai objek pria.

Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari perspektif Gender

Dalam teori sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman mengungkapkan

bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas secara budaya atau ‘maskulinitas

hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang dimaksud dengan hegemonik

disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan

kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana

kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita/kekuasaan

bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas hegemonik adalah bentuk maskulinitas ‘ideal’ karena

tidak harus berhubungan erat dengan kepribadian aktual laki-laki. Namun Wajcman menilai

bahwa ada inti maskulinitas dominan yang tercermin dalam varian-varian yang berbeda.

Contohnya dalam masyarakat barat kontemporer, maskulinitas hegemonik ini sangat erat dengan

paradigma agresivitas dan kekerasan seperti yang dipahami kaum feminis kontemporer sejauh

ini.4 Tolok ukur bentuk maskulinitas semacam ini adalah debu, kebisingan, dan bahaya. Namun bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat kontemporer, bentuk maskulinitas

berhubungan erat dengan ‘kekuatan’ mereka akan penguasaan teknologi yang merupakan

realisasi laki-laki yang secara sosial gagal mengkompensasikan kurangnya kekuatan ‘fisik’

mereka. Contoh kasus disini adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis

namun secara teknik mereka adalah potret ‘perkasa’dalam hubungannya dengan laki-laki lain

dan perempuan yang kurang memiliki keahlian seperti mereka.5

Berbicara tentang kultur dan kehidupan sosial dewasa ini tidak dapat lepas dari teknologi.

Kemajuan teknologi dewasa ini merupakan aspek dominan yang berpengaruh terhadap

konstruksi sosial. Dalam wacana ini polaritas antara ilmu pengetahuan dan sensualitas, kekerasan

dan kelembutan, barang dan manusia menggambarkan sistem simbol dan metafora dimana

4

Judi Wajcman, Feminisme Versus Teknologi, terj. Ima Susilowati, Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-I, 2001, hal.160-161.

5

(6)

perempuan dipandang dekat dengan alam, laki-laki dengan kultur. Stereotipe laki-laki lebih dekat

dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya

kurang dan tentu saja lebih lemah dari laki-laki. Sehingga Wajcman dapat menyimpulkan bahwa

dalam dunia yang dipenuhi dengan teknologi dan industri dimana ilmu pengetahuan dan

rasionalitas sangat dihargai menyebabkan perempuan semakin terperosok dalam konstruksi

bahwa mereka adalah inferior sedangkan laki-laki adalah superior.6

Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan di

atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang

dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi

harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai

melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku

laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang

melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai

laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan

orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut

identitas jenis kelamin dimana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan

perempuan yang tepat. Tak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak

seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh

laki-laki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki-laki-laki dan perempuan menerima dan

menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam

rumah tangga.7 Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan sebagai

laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin

adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang

‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi

kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan

topeng teater, dimana kita berperan sebagai feminin dan maskulin.8

Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di

atas bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat

situasional dan bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan

6

Ibid., hal. 163. 7

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan, Jakarta: Kencana, 2003, hal. 413-414.

8

(7)

berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja perempuan

memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, dia tidak lagi feminin seperti anggapan

umumnya seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, submisif, bersikap manis, dan

sejenisnya,9 namun maskulin: rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik/tegas, dan perkasa! Salah kaprahnya, kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap

tomboy. Dan hal ini selalu didengung-dengungkan dalam konsepsi patriarki. Sehingga konstruksi

sosial gender yang salah kaprah tersebut tanpa sadar dipraktekkan dan merasuk dalam benak

masyarakat. Misalnya dalam dunia pendidikan, kultur sekolah terlibat dalam konstruksi gender

dan seksualitas yang menurut Wajcman sebagai ‘kurikulum tersembunyi’. Guru mengajar murid

secara implisit mengenai arti dan perilaku femininitas dan maskulinitas. Murid laki-laki dan

perempuan diberlakukan berbeda sehingga respon terhadap identitas gender yang salah kaprah

tersebut menjadi hal yang penting dalam persepsi anak-anak mengenai diri mereka sendiri. Murid

yang perempuan akhirnya menampilkan pola bertindak dan berpikir feminin, yaitu bahwa

laki-laki memperoleh sesuatu yang tidak mereka peroleh; perbedaan ini hidup sebagai rasa inferior.10 Sehingga hasil studi di sekolah dasar menurut Clarricoates seperti dikutip oleh Wajcman,

menunjukkan bahwa laki-laki secara natural ditakdirkan dengan sifat maskulin, seperti dapat

menyetir mobil, traktor, atau helikopter. Setali tiga uang, demikian juga dengan pendidikan

dalam keluarga, banyak permainan anak-anak yang mendukung anak laki-laki menjadi aseptif

dan tidak bergantung, untuk memecahkan masalah, dan bereksperimen dengan konstruksi.

Permainan ini akan membuat anak-anak belajar dasar-dasar matematik, ilmu pengetahuan, dan

teknologi. Berbeda dengan anak-anak perempuan dengan permainan bonekanya yang asosiatif

dengan pemeliharaan dan interaksi sosial. Dan jelas yang diuntungkan adalah anak laki-laki.11 Permainan ini yang nantinya akan membentuk pola pembagian kerja secara seksual antara anak

laki-laki dan perempuan, bukan secara gender.

Pada iklan dominasi superior terhadap inferior juga terjadi. Misalnya peran perempuan

terkadang hanya menjadi pemanis saja dan/atau disubordinasikan. Dalam hal ini, dengan

mengambil istilah Mulyana seperti dikutip oleh Wibowo, iklan diciptakan hanya untuk laki-laki.

Mengapa? Karena iklan merupakan reproduksi peran tradisional kaum perempuan. Laki-laki dan

perempuan digambarkan sebagai dua makhluk yang berbeda. Peran perempuan hanya di

seputaran wilayah domestik (dapur, sumur, mengurus anak, menyiapkan makan dan meladeni

9

Dalam kamus Bahasa Inggris Webster’s dalam salah satu poinnya dijelaskan pengertian feminin sebagai: Having qualities regarded as characteristic of women and girls as gentleness, weakness, delicacy; modesty, etc.; womanly. 10

Wajcman, Op. Cit., hal. 170. 11

(8)

suami) dan kecantikan atau perawatan diri. Khusus untuk kasus iklan kecantikan terkadang ada

juga yang merendahkan martabat perempuan dimana setelah produk dipakai maka seolah-olah ia

akan menjadi ‘santapan’ laki-laki.12 Iklan-iklan semacam ini menjadikan perempuan sebagai objek fantasi laki-laki. Kecantikan, sensualitas, dan tubuh ideal didefinisikan, dibentuk,

diciptakan oleh hegemoni maskulin tidak melalui kekerasan fisik namun melalui reproduksi

kreatif. Tidak hanya itu pula terkadang perempuan ditampilkan sebagai pihak yang

boros/konsumtif. Sedangkan peran laki-laki dalam iklan cenderung pada sisi yang aktif, cerdas,

rasional, kuat. Hal ini ditunjukkan dalam iklan-iklan rokok, bisnis, otomotif, minuman kesehatan,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi

yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik,

dan budaya, berimbas secara signifikan pula pada pola berpikir dan stereotipe yang dibentuk oleh

pola pemikiran modern tentang maskulinitas. Saat ini mengemuka pertanyaan tentang kebenaran

bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Wibowo meneropong peran ayah (suami) dan ibu

(isteri) dalam keluarga. Ayah memang berperan sentral sebagai kepala keluarga. Namun dalam

kehidupan sehari-hari perannya terbatas pada mencari nafkah saja serta sektor pekerjaan ‘berat’

seperti membetulkan genteng bocor, memotong rumput, mengupas kelapa dan berbagai aktivitas

fisik lainnya. Sedangkan secara tradisi terlihat jelas posisi strategis ibu. Dia tidak hanya

mengurusi dapur saja namun juga harus mencurahkan waktunya untuk perhatian, kasih sayang

serta pendidikan anak-anak.13 Bahkan peran ibu dalam masyarakat urban dewasa ini jauh lebih kompleks lagi selain mengurusi hal tersebut dia juga harus mencari nafkah untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarga dengan bekerja di sektor publik. Dengan kalimat lain, ibu berperan

lebih daripada ayah. Dalam mengurus rumah tangga pun ibulah yang mengatur dan

memanajemen keuangan dan kebutuhan apa saja yang harus dibeli untuk kepentingan keluarga.

Maka, jelas tergambarkan disini kontruksi masyarakat bahwa perempuan itu lebih ‘lembek’

daripada laki-laki jelas salah. Dibutuhkan intelegensi emosi dan ketahanan fisik yang kuat untuk

menjadi seperti itu. Semakin nampak pula bahwa konsepsi maskulin berwawasan gender ada

disini. Maskulin bukan berarti jenis kelamin/seks namun kemampuan, kekuatan, dan daya tahan

fisik dan mental yang kuat serta logika yang mantap. Dalam hal ini tidak hanya berlaku bagi

laki-laki, perempuan pun memiliki hal tersebut.

12

Wahyu Wibowo, Sihir Iklan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.161. 13

(9)

Ideologi maskulin berwawasan gender semacam itu, dewasa ini juga muncul di

iklan-iklan. Namun wacana gender tersebut terkadang cenderung vulgar, dimana maskulinitas tersebut

masih dalam wilayah ‘fisik’. Namun hal ini lumrah saja karena memang konsepsi tentang

maskulinitas seperti yang orang banyak rasakan adalah tentang kekuatan fisik saja dan/atau sosok

yang tegas. Karena hal ini, ratu Elisabeth I sering mendapatkan julukan sebagai raja putri yang

memiliki ciri-ciri maskulinitas yang menonjol karena ketegasannya tidak hanya dikenal di Inggris

tapi juga dalam perang-perang dengan negara tetangga.14

Dalam iklan-iklan dewasa ini terkadang perempuan digambarkan dengan sifat-sifat

maskulin di atas. Mereka gesit, kuat, dan terkadang mampu melumpuhkan laki-laki. Jenis iklan

ini mulai muncul di dasawarsa 90-an. Dalam sebuah iklan shampo Clear, nampak seorang gadis

cantik mampu mengalahkan dua laki-laki berotot. Pemeranan semacam ini berjalan terus sampai

dewasa ini. Seperti ditunjukkan iklan pada gambar 1 yang masih menggarap wacana iklan

berpendekatan gender dari sudut kekuatan fisik dan dominasi perempuan terhadap laki-laki.

Sumber: www.cakram.co.id

Gambar 1. Iklan televisi produk shampo Clear yang menggambarkan dominasi perem-puan terhadap laki-laki dalam urusan kekuatan fisik.

Dalam iklan pada gambar 1 tergambarkan dengan jelas keberanian seorang gadis dalam

menghadapi dominasi laki-laki dalam urusan fisik. Pada umumnya iklan shampo menonjolkan

kelebihan produk, misalnya membuat rambut menjadi sehat sehingga nampak lebih lembut,

halus, berkilau, atau bahkan lurus. Tema iklan shampo ini nampak berbeda benar dengan tema

14

(10)

iklan-iklan yang erat hubungannya dengan dunia laki-laki seperti pada iklan otomotif, minuman

suplemen, kondom, dan lain sebagainya yang secara vulgar selalu menonjolkan sensualitas

perempuan. Sehingga yang nampak dominan adalah modelnya, bukan produknya. Ditinjau dari

wacana gender, iklan yang menggambarkan kekuatan dan ketegasan perempuan semacam itu

dalam proses pembelajaran publik dapat membongkar stereotipe bahwa perempuan itu ‘lembek’

secara fisik maupun mental.

Ada juga versi yang hampir sama dengan apa yang ditampilkan iklan tersebut di atas.

Misalnya pada iklan produk sabun mandi kecantikan yang menampilkan tokoh Dian Sastro yang

mampu menjungkirbalikkan laki-laki penggoda. Pesan dari iklan tersebut secara tersirat ditinjau

dari perspektif gender hendak mengatakan bahwa kecantikan bukan berarti untuk dilecehkan.

Disana ada nilai-nilai kehormatan yang harus dijaga dan kalau perlu dipertahankan dengan keras.

Sekali lagi ini pembelajaran secara tersirat bagi semua pihak untuk tidak melihat kecantikan dan

perempuan sebagai objek laki-laki namun mereka perlu untuk dihormati dan dihargai sama

seperti lainnya meskipun secara tampilan visual sisi kecantikan perempuan dalam iklan ini yang

lebih terekspos. Ada juga iklan produk shampo yang menggambarkan kekuatan fisik perempuan

tanpa mengekspos bahwa kesetaraan gender haruslah selalu digambarkan dengan dominasi

perempuan atas laki-laki. Dalam iklan tersebut seorang gadis digambarkan kuat dan luwes dalam

memainkan jurus-jurus pedang dalam wushu; sebuah aliran dalam seni beladiri bangsa China.

Atau iklan harian nasional Kompas dalam kampanye iklan bertema “Buka Mata dengan

Kompas” yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan muda bernama Butet

Manurung, 31 tahun, pemegang dua gelar kesarjanaan, menerobos pekatnya rimba Taman

Nasional Bukit Tiga Puluh di Jambi. Di hutan ini dengan begitu gigih (dan tentu saja harus kuat,

baik secara fisik maupun mental) dia mengajari baca tulis dan berhitung kepada anak-anak rimba.

Sebuah gambaran perempuan dalam menaklukkan wacana stereotipe bahwa perempuan itu

lemah fisik dan mentalnya.

Meski tidak banyak, ada juga iklan yang menggambarkan isteri yang mendominasi pria.

Contoh ada iklan yang menggambarkan sang suami yang sedang mencuci dibentak-bentak

isterinya. Sang suami nampak benar-benar takut pada isterinya. Gambaran ini menjerumuskan

perempuan dalam peran yang tidak seharusnya. Meski mungkin maksudnya melucu namun hal

ini merugikan perempuan. Mereka mengharapkan kesetaraan dalam peran hubungan suami-isteri

(11)

Sehingga akan merusak citra perempuan dan bisa jadi gambaran tersebut mempertegas

konstruksi umum bahwa kalau laki-laki mendengarkan isteri suatu ketika akan diinjak-injak

harkat martabatnya sebagai laki-laki.

Dalam hubungannya dengan daya tarik, pada umumnya iklan yang menggunakan

pendekatan kebaruan (novelty) atau di luar adaptasi umum sering mendapatkan perhatian,15 sehingga kemungkinan untuk diingat khalayak menjadi lebih tinggi. Demikian juga iklan dengan

jalan cerita yang berbeda dari kebiasaan umum juga akan menarik perhatian. Kalau pada

umumnya perempuan ditampilkan sebagai sebuah objek kepentingan, hanya sejauh mereka

melayani laki-laki, dan cenderung digambarkan dalam posisi yang subordinatif, sekarang mereka

tampil berbeda. Ini sedikit banyak akan menarik perhatian khalayak. Demikian juga, semakin

sering iklan-iklan dengan pendekatan gender ditayangkan akan membuat pesan iklan bertema

gender semakin menancap dalam benak khalayak dan sedikit demi sedikit akan membuka

saluran wacana (channel of discourse) masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut.

Liliweri berpendapat, sebenarnya dalam setiap ulasan efek komunikasi (termasuk di

dalamnya iklan) fungsi pendidikan selalu muncul. Hal ini sangat penting karena semua orang

ingin menghindari terbentuknya suatu sikap yang negatif dan dengan demikian fungsi pendidikan

dalam iklan sangat penting karena orang umumnya belajar sesuatu dari iklan yang ditonton,

didengar, maupun dibaca.16 Namun hal ini bila dihubungkan dengan pendekatan tema perempuan maskulin dalam iklan, kemungkinan akan berefek ganda. Yang pertama, akan

membawa pengaruh positif pada proses pembelajaran masyarakat tentang arti kesetaraan bahwa

perempuan tidak boleh dilecehkan dan direndahkan. Mereka selain mempunyai harga diri juga

kuat/tegas, mandiri, dan rasional. Kedua, akan berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia

dicap ’nyleneh’, tomboy, serta juga kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda

kalau sampai berperan ’maskulin’. Contoh peristiwa yang mirip dengan hal ini adalah penjelasan

Liliweri tentang teori cutting edge. Dalam teori ini dikatakan bahwa iklan secara tidak disadari

dapat mengubah bentuk perilaku yang menyimpang dari suatu budaya umum dan membentuk

sub budaya kelompok tertentu. Dalam pengertian lain efek yang semula direncanakan untuk

sasaran khalayak tertentu tidak tercapai namun malah mencapai sasaran yang tidak direncanakan.

Contoh kasus adalah iklan tentang rokok pada tahun 1920 yang menggambarkan seorang

perempuan sedang merokok di samping teman laki-lakinya. Beberapa tahun kemudian banyak

perempuan mulai merokok. Akibatnya masyarakat menilai iklan tersebut telah mempengaruhi

15

Engel, J.F., R.D. Blackwell, dan P.W. Miniard, Perilaku Konsumen, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995, hal. 16. 16

(12)

perubahan tata nilai masyarakat tentang feminisme yang dianut masa itu. Perempuan penghisap

rokok dikatakan telah berubah menjadi laki-laki.17

Ilustrasi tentang perempuan perokok di atas merupakan contoh kalau perempuan berpikir

dan bertindak sedikit saja di luar kebiasaan masyarakat akan langsung dicap tidak normal.

Sehingga tidak jarang ketika perempuan menuntut pendidikan yang ’lebih’ muncul pendapat

bahwa hal itu tidak perlu karena pada akhirnya nanti perempuan akan ke dapur juga. Pendapat ini

masih terdengar pada abad digital ini. Dengan demikian kalau perempuan ingin lebih mandiri,

tantangan dan tentangan pun telah menjadi bagian yang tidak terelakkan. Dengan demikian,

perjuangan perempuan untuk setara dengan pria masih panjang. Namun perkembangan

komunikasi, hubungan interpersonal dan antar budaya yang semakin mengglobal, pendidikan

yang semakin merata, serta semakin banyaknya informasi tentang kesetaraan gender yang

menerpa khalayak, lambat laun merubah pandangan masyarakat akan nilai-nilai gender. Dan

iklan dengan tema kesetaraan gender telah bisa dikatakan menjadi salah satu pemicu tumbuhnya

kesadaran akan gender tersebut.

SIMPULAN

Pada umumnya gambaran perempuan dalam iklan cenderung mencerminkan nilai-nilai

yang berakar dari apa yang disebut oleh kaum feminis sebagai konsep perbedaan gender antara

laki-laki dan perempuan karena di dalamnya terkandung suatu gagasan yang cenderung

memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mendiskriminasikan hak dan peran kaum perempuan

dengan pandangan yang bersifat stereotipe. Hal ini bersumber pada pandangan gender yang

keliru sehingga merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Ini adalah gambaran umum

konstruksi sosial yang menurut Mill seperti dikutip oleh Budiman merupakan hasil dari suatu

sistem pendidikan. Dia percaya hal ini adalah sebuah skenario politik yang direncanakan oleh

golongan yang lebih kuat yaitu laki-laki. Sejak dini, perempuan pada umumnya dijejali dan

dibesarkan dengan kepercayaan bahwa sifat-sifat yang luhur bagi mereka adalah sifat yang

bertentangan dengan laki-laki. Mereka tidak boleh memiliki keinginan sendiri. Dengan kalimat

lain perempuan harus manut dan nurut ketika dikendalikan laki-laki. Menyangkal diri sendiri dan

tidak boleh memiliki hidup sendiri. Mereka hanya boleh memiliki perasaan saja tanpa bisa

mengekspresikannya. Ini adalah kodrat perempuan. Sebuah istilah yang dibuat dan

dipertahankan secara terus menerus yang merupakan kombinasi tekanan dan paksaan di satu

17

(13)

pihak dan rangsangan yang tidak wajar dan menyesatkan di pihak lain.18 Sehingga secara sosial ia merupakan objek dari kekuasaan atau superioritas laki-laki. Dalam iklan pun perlakuan

demikian dialamatkan pada perempuan.

Namun wacana gender yang terus mengemuka dewasa ini rupanya menjadi titik tolak dari

pola pemikiran akan adanya kesenjangan peran laki-laki dan perempuan. Hal ini berpengaruh

juga dalam iklan sehingga tidak jarang saat ini iklan yang menggunakan sosok perempuan

sebagai faktor yang dominan mulai bermunculan. Dalam iklan ini perempuan digambarkan

cerdas, tegas, kuat secara fisik dan/atau mentalnya. Dengan kata lain, kekuatan fisik yang

menjadi dasar dalam logika maskulinitas laki-laki menjadi tidak terbukti. Perempuan pun bisa

maskulin dalam konteks gender. Dimana peran laki-laki atau perempuan itu bisa dipertukarkan

dan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Misalnya perempuan nampak tegas

dan rasional, sebaliknya laki-laki bisa emosional, ramah dan lemah lembut. Perempuan bisa

menjadi bos di kantor, pria pun tidak masalah bila harus mengasuh bayi, memandikan, dan

mengganti popok. Memasak, mengepel lantai, dan aktivitas domestik lainnya.

KEPUSTAKAAN

Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.

Engel, J.F., R.D. Blackwell, dan P.W. Miniard, Perilaku Konsumen, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995.

Liestianingsih, Ideologi Gender dalam Iklan Kosmetik di Televisi, Surabaya: Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 2002.

Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

Mc Kechnie, Jean L., “Feminine,” Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English Language Unabridged, second ed., New York: Simon and Schuster, 1983.

Mosse, Cleves, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan . Jakarta: Kencana, 2003.

Soedarsono, R.M., Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

18

(14)

Wajcman, Judi, Feminisme Versus Teknologi, terj. Ima Susilowati, Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-I, 2001.

Gambar

Gambar 1.  Iklan televisi produk shampo Clear yang menggambarkan dominasi perem-puan terhadap laki-laki dalam urusan kekuatan fisik

Referensi

Dokumen terkait

Dari pra penelitian tersebut dapat terlihat bahwa rernaja yang tidak rnerniliki. pasangan cenderung rnengalarni

Melalui apa yang diucapkannya, “al-lisan mizan al-insan” (lisan adalah ukuran seorang manusia), begitu ungkapan Ali bin Abi Thalib. Tubb dan sylvia Moss, Humman communication,

Koloni bakteri yang didap bakteri seperti pada Gambar 1 dite bentuk serupa akar (12%), tidak ber limbah cair industri penyamakan ku Tepi dari 18 koloni bakteri yang dit

Hasil Simulasi memperlihatkan bahwa dengan menggunakan teknik kendali satu siklus dan sistem umpan balik, tegangan keluaran penyearah dapat dipertahankan konstan

Analysis of sensitivity on the fattening beef cattle with coffee bran is required to see the extent of fattening cattle sensitivity to changes (deductions

Dalam pembudidayaan lebah madu yang perlu dipersiapkan yaitu: Lokasi budidaya, kandang lebah modern (stup), pakaian kerja dan peralatan Syarat yang utama yang harus yang dipenuhi

Peserta didik manusia ciptaan Allah SWT yang memiliki potensi untuk..

This paper reports a screening results of the secondary metabolites composed in Spathodea campanulata Beauv stem bark, evaluate inhibiting activity of malondialdehyde