BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan Nelayan
Masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai
permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada umumnya mereka
menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang
membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari
mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil
dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil
hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil
tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar
dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak
sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu,
pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta
usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan
masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat
kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto & Rahardjo,
2005).
Menurut UU No. 6 Tahun 1964, pengertian nelayan dibedakan menjadi
dua, yaitu nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Nelayan pemilik ialah orang
atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau
adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tangannya turut
serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.
Lebih lanjut Retnowati (2011) mengemukakan bahwa nelayan dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Nelayan pemilik adalah orang atau perseorangan yang melakukan usaha
penangkapan ikan, dengan hak atau berkuasa atas kapal/perahu dan/atau
alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
2. Nelayan penggarap adalah seseorang yang menyediakan tenaganya atau
bekerja untuk melakukan penangkapan ikan yang pada umumnya
membentuk satu kesatuan dengan yang lainnya dengan mendapatkan upah
berdasarkan bagi hasil penjualan ikan hasil tangkapan.
3. Nelayan tradisional adalah orang perorangan yang pekerjaannya
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan alat
tangkap yang sederhana.
4. Nelayan kecil pada dasarnya berasal dari nelayan tradisional hanya saja
dengan adanya modernisasi/motorisasi perahu dan alat tangkap mereka
tidak lagi semata-mata mengandalkan perahu tradisional melainkan
menggunakan diesel atau motor.
5. Nelayan gendong adalah nelayan yang dalam keadaan senyatanya dia tidak
melakukan penangkapan ikan karena kapal tidak dilengkapi dengan alat
tangkap melainkan berangkat dengan membawa modal dari juragan yang
akan digunakan untuk membeli ikan di tengah laut kemudian akan dijual
Secara garis besar nelayan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,
yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil dicirikan dengan masih
rendahnya teknologi pada alat tangkap dan armada yang digunakan. Secara
kultural, masyarakat nelayan kecil masih berorientasi subsisten. Kondisi ini sangat
berbeda jauh dengan nelayan besar yang telah menggunakan teknologi modern
pada alat tangkap maupun armadanya. Nelayan besar sudah tidak lagi berada pada
kondisi subsisten namun telah berada pada tingkat komersialis lanjut.
Karakteristik lain yang bisa dilihat pada penggunaan tenaga kerja. Nelayan kecil
lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga, sedangkan nelayan
besar telah mempekerjakan tenaga buruh upahan dengan jumlah yang besar
(Mubyarto, dkk., 1984; Satria, 2001).
Menurut Retnowati (2011), kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Namun, menurut ILO
(1977) dalam penelitian Agunggunanto (2011), kebutuhan dasar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, kebutuhan dasar yang diperlukan
sekali untuk mempertahankan hidupnya, yaitu tercukupinya makanan, perumahan
dan pakaian, seperti peralatan dan perlengkapan rumah tangga. Kedua, kebutuhan
lainnya termasuk penyediaan pelayanan utama yang diberikan untuk masyarakat
seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum dan kesehatan, fasilitas
pendidikan dan budaya. Menurut Kornita dan Yusuf (2009), karakteristik keluarga
miskin biasanya diwarnai pendidikan yang relatif rendah, karena terjadi semacam
pekerjaan yang rendah dan tentunya memperoleh pendapatan yang rendah pula,
kemampuan membiayai pendidikan rendah dan seterusnya.
Permasalahan utama yang dominan dihadapi oleh keluarga nelayan adalah
masalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
keterampilan dalam mengelola sumberdaya keuangan keluarga, manajeman
alokasi waktu dan pekerjaan yang kurang efisien, keterampilan pengolahan hasil
perikanan yang masih terbatas, dan rendahnya posisi tawar menawar (bargaining
power position) bagi nelayan kecil yang dikarenakan lemahnya sistem
kelembagaan dan keterampilan berorganisasi (Puspitawati 2013). Prasetyo (2004)
dalam Puspitawati (2013) membuktikan bahwa keluarga nelayan masih
mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengelola keuangan keluarga yang
dibuktikan dengan rendahnya perencanaan keuangan dan rendahnya pelaksanaan
strategi penghematan pengeluaran terutama pada saat musim melaut dan sedikit
melakukan strategi penambahan pendapatan keluarga.
Menurut Widodo (2011), umumnya mereka menggantungkan hidupnya
dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar
dan sangat bergantung pada musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai
nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena
memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu
memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang
cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar.
Menurut Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (2006) dalam
Retnowati (2011), sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada
a. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program
pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di
antara para pemangku kepentingan pembangunan.
b. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga
keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan
terganggu.
c. Masalah isolasi geografis desa nelayan sehingga menyulitkan
keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu
mobilitas sosial ekonomi.
d. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga
menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.
e. Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik
perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan
dalam kehidupan masyarakat nelayan.
f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga
berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan
perbaikan kualitas mereka.
Berdasarkan pemaparan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh
Retnowati (2011), kemiskinan nelayan sesuai dengan kemiskinan yang
dikemukakan oleh Sajogyo yaitu kemiskinan akibat adanya eksploitasi dari
2.2 Faktor- faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan
Pada artikel ilmiah Hamdani (2013) menyimpulkan bahwa faktor-faktor
kemiskinan nelayan tradisional adalah sebagai berikut :
1. Kualitas Sumber Daya Manusia, yang ditandai dengan tingkat
pendidikan yang rendah sebagai salah satu indikator dari rendahnya
kualitas Sumber Daya Manusia, indikator ini sangat menentukan
seseorang atau sekelompok orang berstatus golongan masyarakat
miskin atau bukan miskin. Dimana mereka yang berpendidikan
rendah, produktifitasnya rendah. Rendahnya produktifitas akan
berpengaruh pada rendahnya pendapatan. Sedangkan tingkat
pendapatan merupakan salah satu ciri dari penduduk miskin.
2. Pekerjaan alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional, ketika laut
tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada
kenyataannya pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang
bergantung pada kemurahan alam (laut) dalam menyediakan sumber
dayanya. Apalagi penghasilan nelayan tradisional dari kegiatan melaut
tidak bisa diandalkan, bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
sehari-hari tidak jarang harus meminjam kepada saudara.
3. Kebiasaan nelayan, hal tersebut ditandai dengan kebiasaan atau sosial
budaya yang kurang memperhatikan, dimana mereka mempunyai pola
hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depannya,
artinya setiap kali mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih
menghabiskannya. Misalnya mereka membeli perhiasan, pakaian, dan
sebagainya secara berlebihan.
4. Kepemilikan modal, merupakan salah satu faktor utama dalam
pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memiliki modal
usaha maka mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi
baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tidak dapat melakukan
peningkatan hasil produksi mengakibatkan rendahnya produktifitas
nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan
yang diterima.
5. Teknologi yang digunakan, hal tersebut ditandai dengan masih
tradisionalnya peralatan yang digunakan yakni badan perahu berbahan
kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga ada yang
menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8
meter, lebar 0,5-1 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah
terbatas.
6. Peranan lembaga ekonomi, hal tersebut disinyalir karena belum adanya
lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas
menaungi keperluan, menyalurkan hasil tangkapan, serta memfasilitasi
kebutuhan-kebutuhan nelayan tradisional.
Selanjutnya Kusnadi (2002: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan tradisonal dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan
1. Faktor internal
a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia
b. Keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan
c. Hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang
menguntungkan buruh
d. Kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan
e. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut
f. Gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa
depan
2. Faktor eksternal
a. Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada
produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial
b. Sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan padagang
perantara
c. Kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari
wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan
terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir
d. Penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan
e. Terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen
f. Terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa
nelayan
g. Kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan
h. Isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa,
modal, dan manusia.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan yang
melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya disebabkan oleh
faktor-faktor yang kompleks (Satria, 2001; Suyanto, 2003). Faktor-faktor-faktor tersebut tidak
hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,
modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan
sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi
perikanan atau revolusi biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya
laut secara berlebihan. Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang
dan dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin
menurunnya tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil
tangkapan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan
nelayan telah menunjukan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi
atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan
tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi, 2002).
2.3 Strategi Perempuan Pesisir
Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi adaptasi yang
ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk ikut mencari nafkah.
Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan bagi para nelayan.
pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan
Susilowati, 1992 dalam Kusnadi 2000).
Masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam sebagai
matapencarian seringkali menanggulangi ketidakpastian penghasilan dengan
diversifikasi matapencarian. Hal ini bertujuan untuk memperkecil resiko dan
kelemahan nelayan (Chambers et al., 1989; Davies 1996; Ellis 2000; Allison &
Ellis 2001). Oleh karena itu, dalam masyarakat-masyarakat nelayan, kegiatan
menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang ekslusif. Kegiatan ini selalu
dikombinasikan oleh nelayan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut
Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan
pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong
nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu
sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan
tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan
nelayan. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih
lanjut Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah
ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan. Penganekaragaman sumber
pendapatan tidak hanya di bidang perikanan saja, seperti usaha budidaya ikan
(tambak), budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional, akan tetapi
mencakup juga kegiatan-kegiatan di bidang non-perikanan. Kegiatan di bidang
non-perikanan yang dilakukan nelayan dalam kaitannya untuk menambah
pendapatan adalah menjadi buruh bangunan, buruh perusahaan, dan kuli-kuli
panggul di pasar. Menurut Allison dan Ellis (2001) mengemukakan bahwa
rasional ditengah tingginya resiko nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim
ikan dan cuaca yang tidak menentu. Penelitian Coulthard (2008), menemukan
bahwa pada saat memasuki musim nontangkap maka beberapa matapencarian
tambahan nelayan akan bermunculan seperti penjahit, pekerja pabrik, pekerja
perkebunan dan pekerja pemerintah.
Namun Kristianti et al (2014) berpendapat bahwa penggolongan strategi
bertahan hidup dalam dua sektor, yaitu: strategi ekonomi serta sosial. Pada
masyarakat nelayan strategi ekonomi dilakukan dengan cara:
1. Memberdayakan seluruh anggota keluarga untuk menjaga kelangsungan
perekonomian rumah tangga,
2. Diversifikasi pekerjaan dengan tidak hanya memiliki satu tumpuan mata
pencaharian,
3. Menekan pengeluaran makan, dan non makan dengan cara mengurangi porsi
makan atau mengurangi frekuensi makan,
4. Hutang piutang, dengan meminjam uang tetangga atau saudara ketika kesulitan
karena tidak ada bunga.
Sedangkan strategi sosial ditempuh dengan beberapa cara seperti:
1. Hubungan patron-klien antara pemasok ikan dan nelayan,
2. Arisan untuk menghimpun dana tak terduga untuk menjadi simpanan dan
Wisdaningtyas (2011), mengemukakan ada dua indikator untuk mengukur
strategi sosial, yaitu intensitas meminjam kepada patron dan intensitas meminjam
kepada tetangga. Menurut Zid (2011), strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh
perempuan dapat dibedakan menurut umur, tingkat pendidikan, dan status
perkawinan.
Strategi sosial lainnya adalah memanfaatkan ikatan sosial seperti
kekerabatan, pertetanggaan maupun pertemanan. Menurut Harper dan Gillespie
(1997) dalam jurnal Widodo (2011), hubungan timbal balik antar anggota
masyarakat merupakan elemen yang mendasar dalam strategi nafkah rumah
tangga miskin. Hubungan timbal balik pada masa lampau seringkali berupa tukar
menukar tenaga kerja dalam kegiatan produksi maupun sosial kemasyarakatan.
Ketika ekonomi berkembang, bentuk hubungan timbal balik ini mengalami
perkembangan. Model tukar menukar tenaga kerja berkembang menjadi model
kerja sama baik berdasarkan bagi hasil maupun pengupahan.
Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan
pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat,
hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan merupakan salah satu
upaya untuk mempertahankan keberadaanya. Hubungan tersebut bukan hanya
melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu. Hubungan antar
individu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan
terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik
yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat
orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak)
yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan,
memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan
pokok) (Wahyono et al., 2001).
Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan
mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et
al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan
dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang
lebih familiar dan bersifat personal membuat hubungan-hubungan sosial antar
rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial
tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi upaya-upaya kolektif guna
mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rumah tangga nelayan.
Berdasarkan status sosial-ekonomi rumah tangga nelayan yang terlibat
dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial
yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000). Hubungan sosial yang
bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat didalamnya memiliki status
sosial-ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang
bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat didalamnya tidak memiliki status
sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang
dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal sebagiannya terwujud
Patron diperankan oleh para pengepul hasil-hasil tangkapan nelayan,
sedangkan klien diperankan oleh nelayan itu sendiri. Hasil penelitian menemukan
bahwa hubungan patron-klien dibentuk oleh adanya jaringan kepentingan, yakni
hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Tujuan
keduabelah pihak menjalani hubungan patron-klien adalah untuk mendapatkan
keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat
diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah diberikannya. Patron
memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga
murah dan memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan
klien atau nelayan-nelayan berkepentingan untuk mendapatkan jaminan sosial
ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit, bantuan barangbarang atau
keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan yang terbukti tidak menjual hasil
tangkapan ke patron tersebut maka suatu saat ketika nelayan (klien) membutuhkan
bantuan tidak akan dilayani lagi.
2.4 Penelitian Terdahulu
Pada skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Hidup Perempuan di Daerah
Pesisir (Dusun Muara, Desa Muara, Kabupaten Tangerang, Banten)” oleh Nanda
Karlita (2015), Institut Pertanian Bogor, menyimpulkan bahwa :
1. Kemiskinan perempuan di Dusun Muara dapat digambarkan terbatasnya
pemberdayaan perempuan di Dusun Muara dengan tidak adanya program
untuk belajar ketrampilan bagi para perempuan. Terbatasnya kesempatan
perempuan juga tergambarkan pada perempuan di Dusun Muara seperti
dimiliki. Selain waktu yang dimiliki kurang, kepemilikian modal usaha yang
kurang juga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi perempuan. Pada
dimensi terbatasnya kapasitas bagi perempuan di Dusun Muara terlihat
bahwa perempuan tidak memiliki lapangan pekerjaan karena
ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis. Pada dimensi
terbatasnya keamanan, perempuan di Dusun Muara hanya sebagain sedikit
yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Mereka yang memiliki jaminan
kesehatan adalah mereka yang mau untuk mengurusi semua berkas untuk
melengkapi persyaratan untuk memiliki jamkesmas.
2. Strategi bertahan hidup perempuan di Dusun Muara dapat dibagia menjadi
dua, yaitu strategi bertahan hidup ekonomi dan sosial. Strategi bertahan
hidup ekonomi dibedakan menjadi enam, yaitu mengikuti simpan pinjam,
mengikuti paket hari raya, berinvestasi, melakukan berbagai pekerjaan,
berbagi bahan makanan, dan berbagi aliran listrik. Sementara pada strategi
bertahan hidup sosial terdapat arisan dan juga meminjam. Strategi bertahan
hidup yang dilakukan oleh perempuan kaya dan miskin juga berbeda. Pada
perempuan kaya, mereka tidak menjadi buruh pengering rumput laut
melaiankan sebagai pemilik rumput laut yang mereka cari sendiri ke tepi
pantai.
3. Hubungan karakteristik individu dengan strategi bertahan hidup ada lima
variabel yang memilliki hubungan yaitu besar tanggungan, jenis
ketrampilan, umur, pengalaman kerja, dan status perkawinan. Namun ada
variabel tingkat pendidikan yang tidak memiliki hubungan dengan strategi
Lalu pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Slamet Widodo
(2011) dalam jurnal Makara, Sosial Humaniora, Universitas Trunojoyo yang
berjudul “Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah
Pesisir” menyimpulkan bahwa Faktor penyebab kemiskinan di Kwanyar Barat
adalah rendahnya akses terhadap modal terutama modal finansial. Akses yang
terbatas terhadap modal finansial menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses
modal fisik berupa teknologi penangkapan yang lebih modern. Kondisi ini
semakin diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan
nelayan dari daerah lain. Sehingga tidak bisa pergi melaut dengan aman. Konflik
seringkali harus berakhir dengan hilangnya harta benda bahkan nyawa. Walaupun
pada saat ini konflik sudah dapat diatasi, potensi timbulnya konflik ulangan masih
sangat tinggi.
Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri
atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara
melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan
migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan
kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai
peran yang penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Apabila dilihat dari basis nafkah yang dilakukan, rumah tangga miskin
melakukan upaya diversifikasi nafkah pada semua sektor baik on farm, off farm
maupun non farm. Keterlibatan perempuan di Kwanyar Barat masih terbatas pada