• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Perempuan Pesisir Dalam Mengatasi Kemiskinan Pada Keluarga Nelayan Miskin Studi Kasus : Masyarakat Pesisir di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Perempuan Pesisir Dalam Mengatasi Kemiskinan Pada Keluarga Nelayan Miskin Studi Kasus : Masyarakat Pesisir di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan Nelayan

Masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai

permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada umumnya mereka

menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang

membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari

mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil

dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil

hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil

tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar

dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak

sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu,

pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta

usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan

masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat

kemiskinan dan belitan utang pedagang atau pemilik kapal (Febrianto & Rahardjo,

2005).

Menurut UU No. 6 Tahun 1964, pengertian nelayan dibedakan menjadi

dua, yaitu nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Nelayan pemilik ialah orang

atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau

(2)

adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tangannya turut

serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.

Lebih lanjut Retnowati (2011) mengemukakan bahwa nelayan dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Nelayan pemilik adalah orang atau perseorangan yang melakukan usaha

penangkapan ikan, dengan hak atau berkuasa atas kapal/perahu dan/atau

alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

2. Nelayan penggarap adalah seseorang yang menyediakan tenaganya atau

bekerja untuk melakukan penangkapan ikan yang pada umumnya

membentuk satu kesatuan dengan yang lainnya dengan mendapatkan upah

berdasarkan bagi hasil penjualan ikan hasil tangkapan.

3. Nelayan tradisional adalah orang perorangan yang pekerjaannya

melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan alat

tangkap yang sederhana.

4. Nelayan kecil pada dasarnya berasal dari nelayan tradisional hanya saja

dengan adanya modernisasi/motorisasi perahu dan alat tangkap mereka

tidak lagi semata-mata mengandalkan perahu tradisional melainkan

menggunakan diesel atau motor.

5. Nelayan gendong adalah nelayan yang dalam keadaan senyatanya dia tidak

melakukan penangkapan ikan karena kapal tidak dilengkapi dengan alat

tangkap melainkan berangkat dengan membawa modal dari juragan yang

akan digunakan untuk membeli ikan di tengah laut kemudian akan dijual

(3)

Secara garis besar nelayan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,

yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil dicirikan dengan masih

rendahnya teknologi pada alat tangkap dan armada yang digunakan. Secara

kultural, masyarakat nelayan kecil masih berorientasi subsisten. Kondisi ini sangat

berbeda jauh dengan nelayan besar yang telah menggunakan teknologi modern

pada alat tangkap maupun armadanya. Nelayan besar sudah tidak lagi berada pada

kondisi subsisten namun telah berada pada tingkat komersialis lanjut.

Karakteristik lain yang bisa dilihat pada penggunaan tenaga kerja. Nelayan kecil

lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga, sedangkan nelayan

besar telah mempekerjakan tenaga buruh upahan dengan jumlah yang besar

(Mubyarto, dkk., 1984; Satria, 2001).

Menurut Retnowati (2011), kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi

ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,

pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Namun, menurut ILO

(1977) dalam penelitian Agunggunanto (2011), kebutuhan dasar dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, kebutuhan dasar yang diperlukan

sekali untuk mempertahankan hidupnya, yaitu tercukupinya makanan, perumahan

dan pakaian, seperti peralatan dan perlengkapan rumah tangga. Kedua, kebutuhan

lainnya termasuk penyediaan pelayanan utama yang diberikan untuk masyarakat

seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum dan kesehatan, fasilitas

pendidikan dan budaya. Menurut Kornita dan Yusuf (2009), karakteristik keluarga

miskin biasanya diwarnai pendidikan yang relatif rendah, karena terjadi semacam

(4)

pekerjaan yang rendah dan tentunya memperoleh pendapatan yang rendah pula,

kemampuan membiayai pendidikan rendah dan seterusnya.

Permasalahan utama yang dominan dihadapi oleh keluarga nelayan adalah

masalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan

keterampilan dalam mengelola sumberdaya keuangan keluarga, manajeman

alokasi waktu dan pekerjaan yang kurang efisien, keterampilan pengolahan hasil

perikanan yang masih terbatas, dan rendahnya posisi tawar menawar (bargaining

power position) bagi nelayan kecil yang dikarenakan lemahnya sistem

kelembagaan dan keterampilan berorganisasi (Puspitawati 2013). Prasetyo (2004)

dalam Puspitawati (2013) membuktikan bahwa keluarga nelayan masih

mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengelola keuangan keluarga yang

dibuktikan dengan rendahnya perencanaan keuangan dan rendahnya pelaksanaan

strategi penghematan pengeluaran terutama pada saat musim melaut dan sedikit

melakukan strategi penambahan pendapatan keluarga.

Menurut Widodo (2011), umumnya mereka menggantungkan hidupnya

dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar

dan sangat bergantung pada musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai

nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena

memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu

memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang

cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar.

Menurut Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (2006) dalam

Retnowati (2011), sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada

(5)

a. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program

pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di

antara para pemangku kepentingan pembangunan.

b. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga

keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan

terganggu.

c. Masalah isolasi geografis desa nelayan sehingga menyulitkan

keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu

mobilitas sosial ekonomi.

d. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga

menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.

e. Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik

perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan

dalam kehidupan masyarakat nelayan.

f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga

berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan

perbaikan kualitas mereka.

Berdasarkan pemaparan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh

Retnowati (2011), kemiskinan nelayan sesuai dengan kemiskinan yang

dikemukakan oleh Sajogyo yaitu kemiskinan akibat adanya eksploitasi dari

(6)

2.2 Faktor- faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan

Pada artikel ilmiah Hamdani (2013) menyimpulkan bahwa faktor-faktor

kemiskinan nelayan tradisional adalah sebagai berikut :

1. Kualitas Sumber Daya Manusia, yang ditandai dengan tingkat

pendidikan yang rendah sebagai salah satu indikator dari rendahnya

kualitas Sumber Daya Manusia, indikator ini sangat menentukan

seseorang atau sekelompok orang berstatus golongan masyarakat

miskin atau bukan miskin. Dimana mereka yang berpendidikan

rendah, produktifitasnya rendah. Rendahnya produktifitas akan

berpengaruh pada rendahnya pendapatan. Sedangkan tingkat

pendapatan merupakan salah satu ciri dari penduduk miskin.

2. Pekerjaan alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional, ketika laut

tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada

kenyataannya pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang

bergantung pada kemurahan alam (laut) dalam menyediakan sumber

dayanya. Apalagi penghasilan nelayan tradisional dari kegiatan melaut

tidak bisa diandalkan, bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan

sehari-hari tidak jarang harus meminjam kepada saudara.

3. Kebiasaan nelayan, hal tersebut ditandai dengan kebiasaan atau sosial

budaya yang kurang memperhatikan, dimana mereka mempunyai pola

hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depannya,

artinya setiap kali mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih

(7)

menghabiskannya. Misalnya mereka membeli perhiasan, pakaian, dan

sebagainya secara berlebihan.

4. Kepemilikan modal, merupakan salah satu faktor utama dalam

pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memiliki modal

usaha maka mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi

baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tidak dapat melakukan

peningkatan hasil produksi mengakibatkan rendahnya produktifitas

nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan

yang diterima.

5. Teknologi yang digunakan, hal tersebut ditandai dengan masih

tradisionalnya peralatan yang digunakan yakni badan perahu berbahan

kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga ada yang

menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8

meter, lebar 0,5-1 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah

terbatas.

6. Peranan lembaga ekonomi, hal tersebut disinyalir karena belum adanya

lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas

menaungi keperluan, menyalurkan hasil tangkapan, serta memfasilitasi

kebutuhan-kebutuhan nelayan tradisional.

Selanjutnya Kusnadi (2002: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan

kesejahteraan nelayan tradisonal dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan

(8)

1. Faktor internal

a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia

b. Keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan

c. Hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang

menguntungkan buruh

d. Kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan

e. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut

f. Gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa

depan

2. Faktor eksternal

a. Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada

produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial

b. Sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan padagang

perantara

c. Kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari

wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan

terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir

d. Penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan

e. Terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen

f. Terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa

nelayan

g. Kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan

(9)

h. Isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa,

modal, dan manusia.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan yang

melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya disebabkan oleh

faktor-faktor yang kompleks (Satria, 2001; Suyanto, 2003). Faktor-faktor-faktor tersebut tidak

hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,

modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan

sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi

perikanan atau revolusi biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya

laut secara berlebihan. Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang

dan dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin

menurunnya tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil

tangkapan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan

nelayan telah menunjukan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi

atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan

tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi, 2002).

2.3 Strategi Perempuan Pesisir

Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi adaptasi yang

ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan

ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk ikut mencari nafkah.

Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan bagi para nelayan.

(10)

pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan

Susilowati, 1992 dalam Kusnadi 2000).

Masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam sebagai

matapencarian seringkali menanggulangi ketidakpastian penghasilan dengan

diversifikasi matapencarian. Hal ini bertujuan untuk memperkecil resiko dan

kelemahan nelayan (Chambers et al., 1989; Davies 1996; Ellis 2000; Allison &

Ellis 2001). Oleh karena itu, dalam masyarakat-masyarakat nelayan, kegiatan

menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang ekslusif. Kegiatan ini selalu

dikombinasikan oleh nelayan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut

Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan

pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong

nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu

sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan

tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan

nelayan. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih

lanjut Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah

ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan. Penganekaragaman sumber

pendapatan tidak hanya di bidang perikanan saja, seperti usaha budidaya ikan

(tambak), budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional, akan tetapi

mencakup juga kegiatan-kegiatan di bidang non-perikanan. Kegiatan di bidang

non-perikanan yang dilakukan nelayan dalam kaitannya untuk menambah

pendapatan adalah menjadi buruh bangunan, buruh perusahaan, dan kuli-kuli

panggul di pasar. Menurut Allison dan Ellis (2001) mengemukakan bahwa

(11)

rasional ditengah tingginya resiko nelayan dalam menghadapi fluktuasi musim

ikan dan cuaca yang tidak menentu. Penelitian Coulthard (2008), menemukan

bahwa pada saat memasuki musim nontangkap maka beberapa matapencarian

tambahan nelayan akan bermunculan seperti penjahit, pekerja pabrik, pekerja

perkebunan dan pekerja pemerintah.

Namun Kristianti et al (2014) berpendapat bahwa penggolongan strategi

bertahan hidup dalam dua sektor, yaitu: strategi ekonomi serta sosial. Pada

masyarakat nelayan strategi ekonomi dilakukan dengan cara:

1. Memberdayakan seluruh anggota keluarga untuk menjaga kelangsungan

perekonomian rumah tangga,

2. Diversifikasi pekerjaan dengan tidak hanya memiliki satu tumpuan mata

pencaharian,

3. Menekan pengeluaran makan, dan non makan dengan cara mengurangi porsi

makan atau mengurangi frekuensi makan,

4. Hutang piutang, dengan meminjam uang tetangga atau saudara ketika kesulitan

karena tidak ada bunga.

Sedangkan strategi sosial ditempuh dengan beberapa cara seperti:

1. Hubungan patron-klien antara pemasok ikan dan nelayan,

2. Arisan untuk menghimpun dana tak terduga untuk menjadi simpanan dan

(12)

Wisdaningtyas (2011), mengemukakan ada dua indikator untuk mengukur

strategi sosial, yaitu intensitas meminjam kepada patron dan intensitas meminjam

kepada tetangga. Menurut Zid (2011), strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh

perempuan dapat dibedakan menurut umur, tingkat pendidikan, dan status

perkawinan.

Strategi sosial lainnya adalah memanfaatkan ikatan sosial seperti

kekerabatan, pertetanggaan maupun pertemanan. Menurut Harper dan Gillespie

(1997) dalam jurnal Widodo (2011), hubungan timbal balik antar anggota

masyarakat merupakan elemen yang mendasar dalam strategi nafkah rumah

tangga miskin. Hubungan timbal balik pada masa lampau seringkali berupa tukar

menukar tenaga kerja dalam kegiatan produksi maupun sosial kemasyarakatan.

Ketika ekonomi berkembang, bentuk hubungan timbal balik ini mengalami

perkembangan. Model tukar menukar tenaga kerja berkembang menjadi model

kerja sama baik berdasarkan bagi hasil maupun pengupahan.

Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan

pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat,

hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan merupakan salah satu

upaya untuk mempertahankan keberadaanya. Hubungan tersebut bukan hanya

melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu. Hubungan antar

individu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan

terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik

yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat

(13)

orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak)

yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan,

memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan

pokok) (Wahyono et al., 2001).

Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan

mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et

al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan

dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang

lebih familiar dan bersifat personal membuat hubungan-hubungan sosial antar

rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial

tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi upaya-upaya kolektif guna

mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

rumah tangga nelayan.

Berdasarkan status sosial-ekonomi rumah tangga nelayan yang terlibat

dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial

yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000). Hubungan sosial yang

bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat didalamnya memiliki status

sosial-ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang

bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat didalamnya tidak memiliki status

sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang

dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal sebagiannya terwujud

(14)

Patron diperankan oleh para pengepul hasil-hasil tangkapan nelayan,

sedangkan klien diperankan oleh nelayan itu sendiri. Hasil penelitian menemukan

bahwa hubungan patron-klien dibentuk oleh adanya jaringan kepentingan, yakni

hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Tujuan

keduabelah pihak menjalani hubungan patron-klien adalah untuk mendapatkan

keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat

diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah diberikannya. Patron

memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga

murah dan memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan

klien atau nelayan-nelayan berkepentingan untuk mendapatkan jaminan sosial

ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit, bantuan barangbarang atau

keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan yang terbukti tidak menjual hasil

tangkapan ke patron tersebut maka suatu saat ketika nelayan (klien) membutuhkan

bantuan tidak akan dilayani lagi.

2.4 Penelitian Terdahulu

Pada skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Hidup Perempuan di Daerah

Pesisir (Dusun Muara, Desa Muara, Kabupaten Tangerang, Banten)” oleh Nanda

Karlita (2015), Institut Pertanian Bogor, menyimpulkan bahwa :

1. Kemiskinan perempuan di Dusun Muara dapat digambarkan terbatasnya

pemberdayaan perempuan di Dusun Muara dengan tidak adanya program

untuk belajar ketrampilan bagi para perempuan. Terbatasnya kesempatan

perempuan juga tergambarkan pada perempuan di Dusun Muara seperti

(15)

dimiliki. Selain waktu yang dimiliki kurang, kepemilikian modal usaha yang

kurang juga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi perempuan. Pada

dimensi terbatasnya kapasitas bagi perempuan di Dusun Muara terlihat

bahwa perempuan tidak memiliki lapangan pekerjaan karena

ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis. Pada dimensi

terbatasnya keamanan, perempuan di Dusun Muara hanya sebagain sedikit

yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Mereka yang memiliki jaminan

kesehatan adalah mereka yang mau untuk mengurusi semua berkas untuk

melengkapi persyaratan untuk memiliki jamkesmas.

2. Strategi bertahan hidup perempuan di Dusun Muara dapat dibagia menjadi

dua, yaitu strategi bertahan hidup ekonomi dan sosial. Strategi bertahan

hidup ekonomi dibedakan menjadi enam, yaitu mengikuti simpan pinjam,

mengikuti paket hari raya, berinvestasi, melakukan berbagai pekerjaan,

berbagi bahan makanan, dan berbagi aliran listrik. Sementara pada strategi

bertahan hidup sosial terdapat arisan dan juga meminjam. Strategi bertahan

hidup yang dilakukan oleh perempuan kaya dan miskin juga berbeda. Pada

perempuan kaya, mereka tidak menjadi buruh pengering rumput laut

melaiankan sebagai pemilik rumput laut yang mereka cari sendiri ke tepi

pantai.

3. Hubungan karakteristik individu dengan strategi bertahan hidup ada lima

variabel yang memilliki hubungan yaitu besar tanggungan, jenis

ketrampilan, umur, pengalaman kerja, dan status perkawinan. Namun ada

variabel tingkat pendidikan yang tidak memiliki hubungan dengan strategi

(16)

Lalu pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Slamet Widodo

(2011) dalam jurnal Makara, Sosial Humaniora, Universitas Trunojoyo yang

berjudul “Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah

Pesisir” menyimpulkan bahwa Faktor penyebab kemiskinan di Kwanyar Barat

adalah rendahnya akses terhadap modal terutama modal finansial. Akses yang

terbatas terhadap modal finansial menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses

modal fisik berupa teknologi penangkapan yang lebih modern. Kondisi ini

semakin diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan

nelayan dari daerah lain. Sehingga tidak bisa pergi melaut dengan aman. Konflik

seringkali harus berakhir dengan hilangnya harta benda bahkan nyawa. Walaupun

pada saat ini konflik sudah dapat diatasi, potensi timbulnya konflik ulangan masih

sangat tinggi.

Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri

atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara

melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan

migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan

kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai

peran yang penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Apabila dilihat dari basis nafkah yang dilakukan, rumah tangga miskin

melakukan upaya diversifikasi nafkah pada semua sektor baik on farm, off farm

maupun non farm. Keterlibatan perempuan di Kwanyar Barat masih terbatas pada

Referensi

Dokumen terkait

Video pembelajaran yang digunakan sangat mengarah kepada peserta didik karena tersampainya materi, selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan shalat bagi peserta didik,

KETIGA : Dengan berlakunya Keputusan Bupati ini maka Keputusan Bupati Bantul Nomor 70 Tahun 2008 tentang Pemberian Honorarium Tim Penyelenggaraan Pelayanan Kartu Keluarga dan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Pendampingan Kegiatan State

[r]

Berdasarkan hasil analisis anova tunggal (tabel ada dilampiran) pada lulur tradisional ditinjau dari warna yang dihasilkan oleh Kulit Jeruk Nipis dan Daun Kelor

Dengan perhitungan Fuzzy RPN, mode kegagalan paling kritis pada koridor III adalah jalur yang belum steril dari pengguna kendaraan pribadi (0,742), sedangkan pada

Berdasarkan hasil analisis mengenai hubungan peran orang tua dengan perilaku perawatan diri saat menstruasi pada siswi kelas VII SMPN 3 Bantul Yogyakarta maka

1 4 Maret 2009 Diklat BKD Pemkab Badung Jl.Balai Diklat Sempidi Badung -Bali 35 21 April 2009 2 4 Maret 2009 PSIK Jl.Letjen Suprapto Komp.. Jenderal Gatot