8 A. Deskripsi Kasus
1. Low Back Pain
a. Definisi
Nyeri punggung bawah atau LBP adalah nyeri yang
terbatas pada regio lumbal, tetapi gejalanya lebih merata dan tidak
hanya terbatas pada satu radiks saraf, namun secara luas berasal
dari diskus intervertebralis lumbal (Dachlan, 2009).
Nyeri punggung bawah (low back pain) adalah nyeri di
daerah punggung bawah, yang mungkin disebabkan oleh masalah
saraf, iritasi otot atau lesi tulang. Nyeri punggung bawah dapat
mengikuti cedera atau trauma punggung, tapi rasa sakit juga dapat
disebabkan oleh kondisi degeneratif seperti penyakit artritis,
osteoporosis atau penyakit tulang lainnya, infeksi virus, iritasi pada
sendi dan cakram sendi, atau kelainan bawaan pada tulang
belakang. Obesitas, merokok, berat badan saat hamil, stres, kondisi
fisik yang buruk, postur yang tidak sesuai untuk kegiatan yang
dilakukan, dan posisi tidur yang buruk juga dapat menyebabkan
nyeri punggung bawah (Anonim, 2014).
b. Tanda dan gejala
Keluhan LBP sangat beragam, tergantung dari
intervertebralis. Bahkan pola patofisiologi yang serupa pun dapat
menyebabkan sindroma yang berbeda dari pasien. Pada umumnya
sindroma lumbal adalah nyeri. Sindroma nyeri muskulo skeletal
yang menyebabkan LBP termasuk sindrom nyeri miofasial dan
fibromialgia. Nyeri miofasial khas ditandai nyeri dan nyeri tekan
seluruh daerah yang bersangkutan (trigger points), kehilangan
ruang gerak kelompo otot yang tersangkut (loss of range of motion)
dan nyeri radikuler yang terbatas pada saraf tepi. Keluhan nyeri
sering hilang bila kelompok otot tersebut diregangkan.
Fibromialgia mengakibatkan nyeri dan nyeri tekan daerah
punggung bawah, kekakuan, rasa lelah, dan nyeri otot (Dachlan,
2009).
Gejala penyakit punggung yang sering dirasakan adalah
nyeri, kaku, deformitas, dan nyeri serta paraestesia atau rasa lemah
pada tungkai. Gejala serangan pertama sangat penting. Dari awal
kejadian serangan perlu diperhatikan, yaitu apakah serangannya
dimulai dengan tiba – tiba, mungkin setelah menggeliat, atau
secara berangsur – angsur tanpa kejadian apapun. Dan yang
diperhatikan pula gejala yang ditimbulkan menetap atau kadang –
kadang berkurang. Selain itu juga perlu memperhatikan sikap
tubuh, dan gejala yang penting pula yaitu apakah adanya sekret
uretra, retensi urine, dan inkontinensia (Apley, 2013).
Etiologi nyeri punggung bermacam – macam, yang paling
banyak adalah penyebab sistem neuromuskuloskeletal. Disamping
itu LBP dapat merupakan nyeri rujukan dari gangguan sistem
gastrointestinal, sistem genitorinaria atau sistem kardiovaskuler.
Proses infeksi, neoplasma dan inflasi daerah panggul dapat juga
menimbulkan LBP. Penyebab sistem neuromuskuloskeletal dapat
diakibatkan beberapa faktor, ialah (a) otot, (b) discus
intervertebralis, (c) sendi apofiseal, anterior, sakroiliaka, (d)
kompresi saraf / radiks, (e) metabolik, (f) psikogenik, (g) umur
(Dachlan, 2009).
Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan
yang terjadi pada tulang belakang, otot, discus intervertebralis,
sendi, maupun struktur lain yang menyokong tulang belakang.
Kelainan tersebut antara lain: (1) kelainan kongenital / kelainan
perkembangan, seperti spondylosis dan spondilolistesis,
kiposcoliosis, spina bifida, ganggguan korda spinalis, (2) trauma
minor, seperti regangan, cedera whiplash, (3) fraktur, seperti
traumatik misalnya jatuh, atraumatik misalnya osteoporosis,
infiltrasi neoplastik, steroid eksogen, (4) hernia discus
intervertebralis, (5) degeneratif kompleks diskus misalnya osteofit,
gangguan discus internal, stenosis spinalis dengan klaudikasio
neurogenik, gangguan sendi vertebra, gangguan sendi atlantoaksial
artropati facet atau sacroiliaka, autoimun misalnya ankylosing
spondilitis, sindrom reiter, (7) neoplasma, seperti metastasisi,
hematologic, tumor tulang primer, (8) infeksi / inflamasi, seperti
osteomyelitis vertebral, abses epidural, sepsis discus, meningitis,
arachnoiditis lumbal. (9) metabolik osteoporosis – hiperparatiroid,
(10) vaskuler aneurisma aorta abdominalis, diseksi arteri vertebral,
(11) lainnya, seperti nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh,
psikiatrik, sindrom nyeri kronik.
1) Spondylosis
a) Definisi
Spondylosis adalah penyakit degeneratif tulang
belakang. Spondylosis ini disebabkan oleh proses
degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis, yang
mengakibatkan makin menyempitnya jarak antar vertebra
sehingga mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan
kanalis spinalis dan foramen intervertebralis dan iritasi
persendian posterior. Rasa nyeri pada spondylosis ini
disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks
oleh kantong durameter yang mengakibatkan iskemik dan
radang (Harsono dan Soeharso, 2005).
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif
pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam
waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada
faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami
oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas
juga berperan dalam menyebabkan perkembangan
spondylosis lumbar.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari
osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena
adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi
umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1.
Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami
spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint,
corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum)
(Regan, 2010).
b) Tanda dan gejala
Spondylosis lumbal merupakan suatu kelainan
dengan ketidakstabilan lumbal, sering mempunyai riwayat
robekan dari diskusnya dan serangan nyeri yang berulang –
ulang dalam beberapa tahun. Nyeri pada kasus spondylosis
berhubungan erat dengan aktivitas yang dijalani oleh
penderita, dimana aktivitas yang dijalani terlalu lama
Pasien biasanya berusia di atas 40 tahun dan
memiliki tubuh yang sehat. Nyeri sering timbul di daerah
punggung dan pantat. Hal ini akan menimbulkan
keterbatasan gerak pada regio lumbal dan dapat
menimbulkan nyeri pada area ini. Pemeriksaan neurologis
dapat memperlihatkan tanda – tanda sisa dari prolaps diskus
yang lama (misalnya tiadanya reflek fisiologis). Pada tahap
sangat lanjut, gejala dan tanda – tanda stenosis spinal atau
stenosis saluran akar unilateral dapat timbul (Appley,
2013).
c) Patologi
Bila usia bertambah maka akan terjadi perubahan
degeneratif pada tulang belakang, yang terdiri dari
dehidrasi dan kolaps nukleus pulposus serta penonjolan ke
semua arah dari anulus fibrosus. Anulus mengalami
klasifikasi dan perubahan hipertrofik terjadi pada pinggir
tulang korpus vertebra, membentuk osteofit atau spur atau
taji. Dengan penyempitan rongga intervertebra, sendi
intervertebra dapat mengalami subluksasi dan
menyempitkan foramina intervertebra, yang dapat juga
ditimbulkan oleh osteofit (Mansjoer dkk, 2005).
Perubahan patologi yang terjadi pada diskus
kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan muncul
retak pada berbagai sisi, (b) nucleus pulposus kehilangan
cairan, (c) tinggi diskus berkurang, (d) perubahan ini terjadi
sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan
dapat hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan
gejala (Yulianza, 2013).
Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan
patologis berupa adanya lipping yang disebabkan oleh
adanya perubahan mekanisme diskus yang menghasilkan
penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat
terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor
predisposisi terjadinya brush fracture. Pada ligamentum
intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal
terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan.
Pada selaput meningeal, durameter dari spinal cord
membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan
ini menimbulkan inflamasi karena jarak diskus membatasi
canalis intervertebralis. Terjadi perubahan patologis pada
sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada
osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan
articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular,
dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan
d) Problematik
Spondylosis lumbal menggambarkan adanya osteofit
yang timbul dari vertebra lumbalis. Osteofit biasanya
terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi lateral vertebra.
Pembentukan osteofit timbul karena terdapat tekanan pada
ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi
kompresi pada saraf tersebut, dan dari hal itu dapat
menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun menjalar,
parastesia atau mati rasa, dan kelemahan otot (Woolfson,
2008).
e) Prognosis
Spondylosis merupakan penyakit degeneratif tulang
belakang, dimana hal ini sulit untuk diketahui
perkembangannya. Dalam kasus ini, tidak menimbulkan
kecacatan yang nyata, namun perlu diperhatikan juga
penyebab dan faktor yang mempengaruhinya, seperti
adanya kompresi dan penyempitan saraf yang nantinya
dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan gangguan
perkemihan. Pada pasien yang sudah mengalami
degeneratif pada lumbalnya, namun sudah tidak merasakan
adanya nyeri pada daerah punggung bawah dalam waktu
satu minggu, maka kondisi pasien akan membaik dalam
2) Scoliosis
a) Definisi
Scoliosis adalah adanya pembengkokan atau kurve
ke lateral dari vertebra, karena kecatatan satu atau lebih
dari corpus vertebra, kelunakan atau kontraktur otot atau
ligamen.
Scoliosis adalah kelainan tulang belakang, yang
dimana terjadi penyimpangan susunan tulang belakang, jika
dilihat dari sisi belakang terdapat adanya kurva tulang
belakang ke arah lateral (samping) diikuti dengan rotasi.
Scoliosis merupakan kelainan postur dimana sekilas mata
penderita tidak mengeluh sakit atau yang lain, tetapi suatu
saat dalam posisi yang dibutuhkan suatu kesiapan tubuh
membawa beban tubuh misalnya berdiri, duduk dalam
waktu yang lama, maka kerja otot tidak akan pernah
seimbang. Hal ini yang akan mengakibatkan suatu
mekanisme proteksi dari otot otot tulang belakang untuk
menjaga keseimbangan, manifestasi yang terjadi justru
overuse pada salah satu sisi otot yang dalam waktu terus
menerus dan hal yang sama terjadi adalah
ketidakseimbangan postur tubuh ke salah satu sisi tubuh.
Jika hal ini berlangsung terus menerus pada sistem
macam keluhan antara lain, nyeri otot, keterbatasan gerak
(range of motion) dari tulang belakang atau back pain,
kontaktur otot, dan menumpuknya problematik akan
berakibat pada terganggunya aktivitas kehidupan
sehari-hari bagi penderita, seperti halnya gangguan pada sistem
pernapasan, sistem pencernaan dan sistem kardiovaskuler.
Skoliosis menurut National Institute of Arthritis and
Musculoskeletal and Skin Disease (NIAMS) USA
merupakan kelainan muskuloskeletal yang digambarkan
dengan bengkoknya tulang belakang. NIAMS membagi
scoliosis menjadi dua type yaitu scoliosis type stuctural dan
scoliosis non stuctural (scoliosis fungsional), pada scoliosis
fungsional masih tampak adanya kondisi struktur yang
normal pada tulang belakang, type ini sifatnya hanya
sementara yang disebabkan oleh kondidi berikut ini seperti
panjang tungkai yang tidak sama, spasme otot, atau kondisi
inflamasi seperti pada appendixitis. Type struktural bisa
disebabkan dari penyakit neuromuscular, cerebral palsy,
poliomyelitis, atau muscular dystrophy, pertumbuhan tidak
normal, traumatics, infeksi, tumor, penyakit metabolik,
penyakit pada jaringan ikat (connective tissue), rheumatic
dan beberapa faktor yang belum diketahui (Mujianto,
Berdasarkan dari type nya, scoliosis juga
mempunyai sifat masing – masing, yaitu reversibel dan
irreversibel. Scoliosis nonstruktural merupakan skoliosis
dengan sifat reversibel, atau dapat dikembalikan kebentuk
semula dan tanpa perputaran (rotasi) dari tulang punggung.
Sedangkan scoliosis struktural merupakan scoliosis yang
bersifat irreversibel dan dengan rotasi dari tulang punggung
(Adulgopar, 2009).
Berdasarkan bentuk kurva, scoliosis dapat
dibedakan menjadi 3, yaitu : (1) kurva pada tulang belakang
bengkok ke samping kiri membentuk huruf C dikenal
dengan Levoscoliosis, (2) kurva pada tulang belakang
bengkok ke samping kanan membentuk huruf C terbalik
dikenal dengan sebutan Dextroscoliosis, (3) kurva tulang
belakang membentuk huruf S (Mujianto, 2013).
b) Tanda dan gejala
Apley (2013) menjelaskan bahwa gejala yang
terlihat dari scoliosis adalah deformitas dari punggung.
Punggung terlihat miring atau terdapat benjolan rusuk pada
kurva thoraks dan penonjolan asimetris salah satu pinggul
pada kurva torakolumbal. Keadaan kurva yang seimbang
terkadang membuat penderita scoliosis tidak diketahui
punggung. Dalam pemeriksaan scoliosis badan harus
terlihat seluruhnya dan pasien diperiksa dari depan,
belakang dan samping. Pada kasus ini, rotasi pada thorak
dapat menyebabkan sudut rusuk menonjol keluar, karena
itu menimbulkan bongkol rrusuk yang asimetrispada sisi
cembung kurva. Tanda diagnostik scoliosis tepat adalah
bahwa membungkuk ke depan membuat kurva lebih nyata.
Dari banyak kasus scoliosis tidak menimbulkan
tanda fisisk pada awalnya, namun apabila derajat skoliosis
sudah mulai masuk ke sedang bahkan berat, maka akan
menimbulkan beberapa kelainan kosmetika seperti, (1)
bahu yang asimetris, (2) badan tampak miring ke salah satu
sisi, (3) skapula tampak lebih menonjol.
Menurut Mujianto (2013) bahwa selain tanda secara
fisik, penderita scoliosis merasakan beberapa gejala, seperti
(1) nyeri pada pinggang, (2) perasaan lelah jika duduk atau
berdiri terlalu lama, (3) tidak seimbangnya antara shoulder
atau salah satu shoulder terasa lebih tinggi.
c) Patologi
Pada dasarnya penyebab dari timbulnya
pembengkokan kurve vertebra ke lateral dapat dibedakan
(1) Adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kerja otot
atau ligamen, anatar samping satu dengan yang lain,
sedangkan hal – hal yang dapat menyebabakan adanya
bermacam – macam, misalnya: (a) adanya spasme otot
karena suatu trauma atau penyakit pada satu samping,
(b) adanya kelemahan otot pada satu samping karena
satu gangguan neurologis pada satu samping, (c) adanya
kebiasaan sikap atau kerja yang salah yang
menyebabkan otot pada satu samping menjadi lebih
kuat dari samping yang lain.
(2) Adanya bentuk yang tidak simetris dari corpus
vertebra antara sampinf kiri dan kanan yang dapat
disebabkan oleh: (a) pertumbuhan epiphisis yang tidak
seimbang antara samping satu dengan samping yang
lainnya karena tekanan otot yang berbeda, (b) adanya
suatu penyakit tulang yang menyerang satu samping
yang menyebabkan corpus vertebra pada samping
tersebut menjadi lebih keropos dan lebih tipis.
(3) Adanya kelainan yang bersifat idiopathic dan
congenital.
(4) Adanya sciatica yang disebut juga sciatic scoliosis
nyeri maka penderita akan berusaha membuat posisi
flexi knee dan extensi hip (Luklukaningsih, 2013).
d) Problematik
Keadaan pada penderita scoliosis dapat
menimbulkan gangguan – gangguan pada organ – organ di
dalam dada atau perut karena adanya tekanan dan
menumbuhkan gejala sakit. Tapi dapat pula penderita tidak
merasakan adanya kelainan pada tulang punggungnya. Baru
pada pembengkokan yang lebih berat akan menimbulkan
gangguan yang lebih nyata.
Pembengkokan tersebut bila tidak mendaptakan
penangana yang baik maka kurve pembengkokan tersebut
akan terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan vertebra,
dimana rata – rata pada anak peremnpuan akan berhenti
pada umur 15 tahun dan laki – laki pada umur 17 tahun.
Luklukaningsish (2013) menjelaskan bahwa,
permasalahan atau problematik yang ada pada penderita
scoliosis dapat berupa: (a) ketidakseimbangan kekuatan
otot antara samping kiri dan samping kanan, (b)
pemendekan otot, ligamen, pada satu samping dan
penguluran otot atau ligamen pada samping lainnya, (c)
bentuk dari corpus vertebra yang tidak simetris antara
kedua samping, baik samping kana maupun samping kiri,
(e) menimbulkan kebiasaan sikap yang salah.
e) Prognosis
Mujianto (2013), menjelaskan bahwa, secara umum
berat ringannya scoliosis tergantung dari besarnya derajat
kurva skoliotik yang bisa mengganggu organ vital terutama
jantung dan paru.
(1) Scoliosis ringan (kurang dari 20o). Scoliosis ringan
tidak serius dan tidak memerlukan penanganan, hanya
perlu monitoring secara periodik.
(2) Skoliosis sedang (antara 20o – 70o). Masih belum,
apabila tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan
gangguan pada jantung.
(3) Scoliosis berat (lebih dari 70o). Jika kurva lebih dari
70o, terjadi perputaran atau rotasi dari vertebra yang
terjadi pada struktural scoliosis yang dapat
menyebabkan tulang iga menekan paru, meghambat
proses pernafasan, dan menukar kadar oksigen yang
diperlukan, hal ini juga dapat mambahayakan oragan
jantung.
(4) Scoliosis sangat berat (lebih dari 100o). Jika kurva
scoliosis melebihi 100o, hal ini dapat melukai paru dan
menimbulkan inveksi pada paru atau pneumonia. Kurva
skoliosis yang melebihi 100o meningkatkan risiko
angka kematian, tetapi sangat jarang terjadi.
2. Anatomi Fungsional
a. Struktur Columa Vertebralis
Columna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah
struktur lentur sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang. Diantara tiap dua ruas tulang pada tulang
belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang
belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 cm.
Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah
tulang – tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk
2 tulang (Pearch, 2009).
Komposisi columna vetebralis dibentuk oleh 33 buah os
vertebra yang terdiri atas 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra
thorakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (yang bersatu
membentuk os sacrum), dan empat vertebra coccygeus. Struktur
columna vertebralis ini sangat fleksibel, karena columna ini
bersegmen-segmen dan tersusun atas vertebra, sendi-sendi, dan
bahan bantalan fibrocartilago yang disebut discus intervertebralis.
Discus intervertebralis membentuk kira-kira seperempat panjang
Secara anatomi, vertebra terdiri atas dua komponen utama,
yaitu masa tulang spongia di ventral yang merupakan korpus dari
vertebra dengan bentuk menyerupai silinder dan struktur posterior
yang tersusun oleh tulang pipih arkus vertebra posterior.
Korpus vertebra dihubungkan dengan arkus posterior oleh
sepasang struktur pilar kokoh yang disebut pedikel. Masing –
masing pedikel di sisi kanan dan kiri vertebra berhubungan dengan
sepasang struktur pipih yang melengkung dan menyatu di garis
tengah yang disebut lamina. Pertemuan antara lamina di sisi kirir
dan kanan terdapat suatu penonjolan tulang ke arah dorsum yang
disebut prosesus spinosus. Pada pertemuan antara pedikel dengan
lamina di mssing – masing sisi terdapt penonjolan tulang ke arah
lateral membentuk sepasang procesus transversus. Selanjutnya
antar prosesus transversus dengan lamina terdapat prosesus
artikularis yang membentuk sendi facet antara satu vertebra dengan
vertebra di proksimalnya. Kesinambungan antara pedikel dan
lamina di satu sisi dengan sisi lawannya membentuk suatu struktur
tulang berbentuk cincin. Cincin dari masing – masing vertebra
tersebut membentuk suatu kanal yang berjalan dari servical hingga
ke sakral, dan menjadi tempat berjalannya medula spinalis dalam
b
b. Vertebra
V
vertebra
badan. K
transvers
korpus v
vertebra l 1) Eleme Merup memp (t lumbalis Vertebra lum lainya sesua Korpusnya
a lebih bes
vertebra 25%
lumbal dapa
en anterior t
pakan komp
[image:18.612.189.504.105.398.2]pertahankan
Gambar 2.1 tampak vent (Pa
mbal lebih b
ai dengan p
yang berbe
sar daripada
% dari total
at dibagi atas
erdiri dari ko
ponen utama
diri dari b
Columna ve tral, dorsal, d aulsen, 2013)
berat dan l
peran utama
entuk seper
a anteropos
panjang tu
s 3 set eleme
orpus verteb
a dari kolumn
beban komp ertebralis dan lateral) ) lebih besar nya menya
rti ginjal b
sterior. Panj ulang belaka en fungsiona bra na vertebra. mpresi yang dibanding angga berat berdiameter
jang ke 5
ang. Setiap
al, yaitu:
Bagian ini
kolumna vertebra, bukan saja dari berat badan tetapi juga dari
kontrraksi otot – otot punggung.
2) Elemen posterior terdiri dari lamina, prosesus artikularis,
prosesus spinosus, prosesus mamilaris dan prosesus aksesorius.
Mengatur kekuatan pasif dan aktif yang mengenai kolumna
vertebra dan juga mengontrol gerakannya.
a) Proses artikularis memberikan mekanisme locking yang
menahan tergelincirnya ke depan dan terpilinnya korpus
vertebra.
b) Prosesus spinosus, mamilaris dan aksesorius menjadi
tempat melekatnya otot sekaligus menyusun pengungkit
untuk memperbesar kerja otot – otot tersebut.
c) Lamina merambatkan kekuatan dari prosesus spinosus dan
artikularis superior ke pedikal, sehingga bagian ini rentan
( 3) Disku korpu perge Kont belak kuran sentr Gambar 2 (Tampak kra (C us interverteb Fungsi ut us vertebra erakan dan
tribusinya s
kang lumbal
ng lebih sepe
Setiap dis
ralis pulposu
2.2 vertebra l anial, lateral Canta, 2007) bralis tama diskus a sedemikia cukup kuat sekitar sepe
l, sedang di
erlimanya.
skus terdiri d
us gelatinous
lumbalis dan dorsal) )
s ini adalah
an rupa se
untuk men
ertiga dari
i bagian tul
dari 3 kompo
s, yang berpe
memisahka
ehingga dap
nahan beban
panjang to
lang belakan
onen yaitu, (
eran dalam m
an antara 2
anulu dalam terdir setiap fibro verte berle ligam fibro longi sepas perm meru 4) Foram us fibrosus
m, (2) anulus
ri dari lamin
p lamina s
sus mengel
ebral endpl
ekatan deng mentum dari sus bergab itudinal ante sang verte mukaan perm upakan verteb Ga
mina dan Res
dari dalam
s fibrosus ya
na – lamina
serabutnya p
lilingi nukle
late, sedan
an tepi kor
i anulus fib
bung semp
erio dan ligam
ebra endpla
mukaan datar
bral endplat
ambar 2.3 Di
(Ann
sesus lateral
m dan menc
ang mengelil konsentrik paralel, ser eus pulposu ngkan sera rpus vertebr brosus, sera purna mem mentum lon ates yang
r teratas dan
tes. iscus Interve nor, 2011) is cegahnya te lingi nukleu serabut kol abut terdala
us dan terl
abut bagian
ra dan men
abut – serab
mbentuk li
ngitudinal po
mengapit
n terbawah d
Berubahnya konfigurasi foramina vertebra lumbal
sangat penting dalam klinik maupun pembedahan. Pada
dasarnya foramina lumbal ukurannya kecil dan berbentuk
segitiga, dan di vertebra L4, L5 menyempit di sudut lateralnya.
Di resesus lateralis ini terletak saraf yang belum keluar dari
foramen intervertebra. Akar saraf L5 – S1 cenderung
mengalami kompresi oleh diskusi intervertebra yang berprotusi
dibanding akar saraf lumbal yang lebih tinggi yang terletak
dalam foramen yang bulat. Resus lateralis kadang – kadang
dapt ditemukan di l2 – L3.
5) Artikulasio
Permukaan atas dan bawah korpus dilapisi oleh
kartilago hialin dan dipisahkan oleh discus intervertebralis dan
fibroblastilaginosa. Tiap discus memiliki anulus fibrosus di
perifer dan nukleus pulposus yang lebih lunak di tengah yang
terletak lebih dekat ke bagian belakang daripada bagian depan
discus. Nukleus pulpsus kaya akan glikosaminoglikan
sehinnga memeiliki kandungan air yang tinggi, namun
kandungan air ini berkurang dengan bertambahnya usia.
Kemudian nukleus bisa mengalami hernia melalui anulus
fibrosus, berjalan ke belakang (menekan medula spinalis) atau
vertebra lumbalis dan servikalis paling tebal, karena ini paling
banyak bergerak (Faiz dan Moffat, 2004).
Persendian pada corpus vertebra adalah symphysis
(articulatio cartilaginosa sekunder) yang dirancang untuk
menahan berat tubuh dan memberikan kekuatan. Permukaan
yang berartikulasio pada vertebra yang berdekatan
dihubungkan oleh diskus IV dan ligamen. Discus IV menjadi
perlengketan kuat di antara corpus vertebra, yang
menyatukannya menjadi colummna semirigid kontinu dan
membentuk separuh inferoir batas anterior foramen IV. Pada
agregat, discus merupakan kekuatan (panjang) kolumna
vertebralis. Selain memungkinka gerakan di antara vertebra
yang berdekatan, deformabilitas lenturnya memungkinkan
discus berperan sebagai penyerap benturan (Moore, dkk,
2013).
6) Ligamentum
a) Ligamentum interspinosus
Menghubungkan prosesus spinosus yang
berdekatan. Hanya duapertiga yang benar – benar
ligamentum, sepertiganya bersatu dengan ligamentum
supraspinosus. Ligamentum ini berperan dalam mencegah
terpisahnya 2 vertebra.
Berada di garis tengah di bagian dorsal prosesus
spinosus, di mana ia melekat. Selain membentuk
ligamentum, ia merupakan serabut terdineus dari otot
punggung, dan tidak tambak di bawah level L3.
c) Ligamentum intertransversus
Merupakan suatu membran yang membentang
antara prosesus transversus dan merupakan sistem fascial
yang memisahkan otot – otot di bagian ventral dan
posterior.
d) Ligamentum iliolumbal
Mengikat prosesus transversus L5 ke ilium. Pada
usia – usia awal ia bersifat muskular dan merupakan
komponen L5 dari iliokostalis lumborum, seiring
bertambahnya usia akan mengalami metaplasia fibrosa.
Ligamentum ini menahan terluncurnya ke depan, menekuk
ke lateral dan rotasi aksial vertebra L5 terhadap sakrum.
e) Ligamentum flavum
Ligamentum yang pendek dan tebal, mengikat
lamina terhadap vertebra yang berurutan, bersifat elastis.
Berperan sedikit dalam menahan fleksi lumbal, tetapi tidak
membatasi pergerakan. Peran utamanya memelihara
keutuhan dan permukaan yang mulus sepanjang atap kanalis
7) Otot p a) G ab se b) G er O c) G ili th Gamb penggerak Gerakan fleks
bdominalis d
ecara bilatera
Gerakan ekst
rector spine
tot – otot ini
Gerakan later
iocostalis th
horacis, m.
bar 2.4 Ligam
(Re
si, otot – oto
dan m. psoa
al.
tensi, otot –
, m. multif
i juga bekerj
rofleksi, otot
horacis dan
multifidus,
men Interver
eza, 2011)
ot yang beke
as major. O
– otot yang
fidus, m. se
ja secara bila
t – otot yan
n m. ilioco
m. obliquu rtebralis
erja meliput
Otot – otot i
g bekerja m
emispinalis
ateral.
ng bekerja m
ostalis, m.
us abdomin
ti m. rectus
ini bekerja
meliputi m.
thoracalis.
meliputi m.
longisimus
obliquus internus abdominis, m. quadratus lumborum. Otot
– otot ini bekerja secara unilaeral.
d) Untuk gerakan rotasi, otot – otot yang bekerja meliputi m.
rotatores, m. multifidus, m. obliquus externus abdominis
yang bekerja sama dengan m obliquus internus secara
kontralateral, m. semispinalis thoracis. Otot – otot ini juga
bekerja secara unilateral.
8) Persarafan vertebra
Sistem saraf pusat (SSP) meliputi otak dan medula
spinalis. Keduanya merupakan oragn vital yang perlu
dilindungi dari trauma. Selain kranium dan ruas – ruas tulang
vertebra, otak dan medula spinalis juga juga dilindungi oleh 3
lapis selaput meningen. Bila selaput ini terinfeksi, maka akan
terjadi peradangan yang disebut meningitis. Ketiga lapisan
meningen dari luar ke dalam adalah sebagai berikut: a)
durameter, b) araknoid, c) piameter.
Syaraf sinusvertebralis dianggap merupakan struktur
utama syaraf sensoris yang mempersyarafi struktur tulang
belakang lumbal. Berasal dari syaraf spinal yang terbagi
menjadi devisi utama posterior dan anterior. Syaraf ini akan
bergabung dengan cabang simpatetis ramus comunicans dan
melekuk ke atas sekitar dasar pedikel menuju garis tengah
pada ligamen longitudinal posterior.
Syaraf sinusvertebral mempersyarafi ligamen
longitudinal posterior, lapisan superfisial annulus fibrosus,
pembuluh darah rongga epidural, durameter bagian anterior,
tetapi tidak pada durameter bagian posterior (durameter
posterior tidak mengandung akhiran syaraf), selubung dural
yang melingkupi akar syaraf spinal dan periosteum vertebral
bagian posterior.
Serabut primer anterior pada saraf spinalis, kecuali
yang timbul pada daerah thoracal dan membentuk saraf-saraf
interkostal tersusun dalam pleksus utama. Pada karya tulis ini
yang dibahas hanyalah pleksus lumbalis. Pleksus Lumbalis
berasal dari keempat akar saraf lumbal terletak dalam otot
psoas tepat di atas ligamentum pouparti dan berjalan turun di
bawah ligamentum ini, untuk memasuki trigonum femoralis.
Pada trigonum tersebut, nervus femoralis membagi diri
menjadi cabang-cabang terminalis. Cabang-cabang motorik di
atas ligamentum inguinalis mensarafi m.iliopsoas.
Cabang-cabang motorik di dalam paha memsarafi m.sartorius,
m.pestineus dan m.quadrisep femoris. Cabang-cabang sensorik
mencakup cabang-cabang cutaneus femoralis anterior yang
9) Biomekanik
Diskus intervertebralis berperan untuk menstabilkan
dan mempertahankan satu pola garis lurus vertebra dengan
cara menjangkarkan antara satu diskus dengan diskus yang
lainnya. Selain itu, diskus intervertebra juga berperan dalam
penyerapan energi, pendistribusian beban tubuh, dan menjaga
fleksibilitas vertebra. Struktur diskus terdiri atas cincin luar
(anulus fibrosus) yang mengelilingi substansi gelatin lunak,
yang disebut nukleus pulposus. Prosesus transversus
merupakan titik penting bagi ligamen dan otot untuk memulai
gerakan vertebra. Titik ini berperan untuk menjaga stabilisasi.
Ligamen di sekitar vertebra memandu gerakan
segmental, berkontribusi untuk menjaga stabilitas instrinsik
vertebra dengan cara membatasi gerakan yang berlebihan. Ada
dua sistem utama ligamen di vertebra, yaitu sistem
intrasegmental dan intersegmental. Sistem intrasegmental,
yang terdiri dari ligamentum flavum, kapsul faset, ligamen
interspinosus dan ligamen intertransversus, berfungsi
memegang satu vertebra secara bersama – masa. Sistem
intersegmental tidak hanya memegang satu vertebra, tapi juga
ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta
Gerakan intervetebralis memiliki enam derajat
kebebasan yaitu rotasi dan translasi sepanjang sumbu inferior –
superior, medial – lateral. Dan posterior – anterior. Kondisi
vertebra akan berubah secara dinamis ketika fleksi dan ekstensi
(Rahim, 2012).
B. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi pada kasus nyeri punggung bawah karena
spondilosis dan scoliosis terbagi dalam 3 hal, yaitu impairment, functional
limitation dan disability.
1. Impairment
Problematika fisioterapi yang yang ditimbulkan pada kasus ini
yaitu adanya nyeri tekan pada m. erector sinae, nyeri gerak pada saat
ekstensi lumbal, dan keterbatasan lingkup gerak sendi.
2. Functional Limitation
Pada kasus Low Back Pain akibat spondylosis lumbal dan
scoliosis terdapat berbagai masalah yang timbul yaitu adanya
kesulitan saat dari posisi duduk ke berdiri, dan berjalan.
3. Disability
Problematika fisioterapi yang berkaitan dengan disability
adalah belum dapat berjalan dalam rentang waktu yang lama dan
bangkit dari duduk ke berdiri, sehingga kegiatan sosial pasien
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Pada kondisi nyeri punggung bawah karena spondilosis dan
scoliosis, modalitas fisioterapi yang dipergunakan adalah Micro Wave
Diathermy (MWD), Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
dan Core Stability Exercise.
1. Micro Wave Diathermy (MWD)
Micro Wave Diathermy adalah salah satu terapi heating yang
mengunakan stressor fisis berupa energi elektronik yang dihasilkan
oleh arus bolak balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang
12,25 cm (Periatna dan Gerhaniawati, 2006).
Efek hangat yang dihasilkan oleh energi listrik oleh arus bolak
balik tersebut meningkatkan suhu lokal dan menghasilkan vasodilatasi
pembuluh darah. Dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah maka
akan terjadi beberapa mekanisme dalam tubuh seperti peningkatan
konsentrasi peningkatan aliran darah ke otot. Dengan adanya
peningkatan konsentrasi aliran darah ke otot maka suplai oksigen dan
nutrisi akan semakin banyak dan akan memperbaiki metabolisme
jaringan sekitar yang diberikan terapi menggunakan MWD (Goats,
tanpa tahun).
Menurut Sujanto (2007), dalam penggunaan MWD terdapat
efek fisiologis dan efek terapeutik. Dimana efek fisiologis tersebut
mencakup perubahan pada temperatur, jaringan ikat, jarinagan otot,
kontraktur jaringan dan gangguan konduktivitas. Efek panas yang
dihasilkan oleh MWD selain dapat mengurangi nyeri, MWD juga
dapat memberikan rileksasi pada otot sehingga dapat mengurangi
spasme otot, karena sirkulasi darah serta pasokan O2 pada daerah
nyeri tersebut menjadi lancar. Setelah berkurangnya spasme otot ini
maka akan lebih mudah untuk melakukan gerakan – gerakan pada
terapi latihan yang akan dilakukan.
2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
perangsangan saraf secara elektris melalui kulit. Dua pasang elektroda
yang berperekat dipasang pada punggung, dikedua sisi dari tulang
punggung. Elektroda ini dihubungkan dengan sebuah kotak kecil yang
mempunyai tombol-tombol putar dan tekan. Tombol putar
mengendalikan kekuatan dan frekuensi denyut listrik yang dihasilkan
oleh mesin. Denyut ini menghambat pesan nyeri yang dikirim ke otak
dari rahim dan leher rahim serta merangsang tubuh mengeluarkan
bahan pereda nyeri alaminya, yaitu endorfin. Penelitian menunjukkan
bahwa TENS paling efektif meredakan nyeri (Nolan, 2004).
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
penerapan arus listrik melalui kulit untuk kontrol rasa sakit,
dihubungkan dengan kulit menggunakan dua atau lebih elektroda,
(<10Hz) dengan intensitas yang menghasilkan sensasi getar
(Robinson, 2008).
Tipe TENS terbagi menjadi 3, yaitu TENS konvensional,
Intens TENS, dan Acupuntur Like TENS (Slamet, 2008). Dari tipe
TENS yang beragam, maka terdapat indikasi dan kontra indikasi dari
penggunaan alat tersebut. Indikasi dari penggunaan TENS antara lain:
(a) pada kondisi akut: nyeri pasca operasi, nyeri sewaktu melahirkan,
nyeri haid (dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri akibat
patah tulang, (b) nyeri yang berhubungan dengan penanganan kasus
gigi, (c) pada kondisi kronik: nyeri punggung bawah, arthritis, nyeri
punting dan nyeri phantom, neuralgia pasca herpetic, neuralgia
trigeminal, (d) injuri saraf tepi, (e) angina pectoris, (f) nyeri fascial,
(g) nyeri tulang akibat metastase. Sedangkan untuk kontraindikasi
dari penggunaan TENS antara lain: (a) penyakit vaskuler, (b) adanya
kecenderungan perdarahan, (c) keganasan pada area yang diterapi, (d)
pasien beralat pacu jantung, (e) kehamilan, apabila terapi diberikan
pada area pungggung dan abdomen, (f) luka terbuka yang sangat
lebar, (g) kondisi infeksi, (h) pasien yang mengalami gangguan
hambatan komunikasi, (i) kondisi dermatologi (Amelia, 2014).
Mekanisme kerja TENS adalah dengan pengaturan
neuromodulasi seperti penghambatan pre sinaps pada medula spinalis,
pelepasan endorfin yang merupakan analgesik alami dalam tubuh dan
Mekanisme analgesia TENS adalah stimulasi elektrik akan
mengurangi nyeri dengan menghambat nosiseptif pada pre sinaps.
Stimulasi elektrik akan mengaktifkan serabut saraf bermyelin yang
akan menahan perambatan nosisepsi pada serabut C tak bermyelin ke
sel T yang berada di substansia gelatinosa pada cornu posterior yang
akan diteruskan ke cortex cerebri dan talamus. Pada pemberian TENS
juga akan terjadi peningkatan beta – endorphin dan met – enkephalin
yang memperlihatkan efek antinosiseptif (Susilo, 2010).
TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk
merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. Pada kasus LBP
karena spondilosis dan scoliosis ini menggunakan TENS dengan
mekanisme segmental, karena dengan mekanisme ini akan memblokir
nyeri, yang nanti nya akan menghasilkan efek anagesia dengan jalan
mengaktifkan serabut A beta yang selanjutnya akan menginhibisi
neuron nosiseptif di kornu dorsalis medula spinalis.
Menurut Parjoto (2006) Spesifikasi mekanisme konvensional
yang merangsang serabut syaraf segmental yaitu mengaktivasi syaraf
diameter besar, yang mengaktivassi serabut A beta, dan menimbulkan
paraestesia yang kuat dan menimbulkan sedikit kontraksi. Dengan
menggunakan frekuensi tinggi (10 – 200 pps/hz), intensitass yang
rendah dan berpola kontinyu.
William Flexion Exercise banyak ditujukan pada pasien-pasien
kronik LBP dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada
degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan banyak
ditujukan pd laki-laki dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia
40-an y40-ang mengalami lordosis lumbal y40-ang berlebih40-an, penurun40-an space
diskus antara segmen lumbal & gejala-gejala kronik LBP. William
flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang
bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem
nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa
kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan
berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus
dan diskus (Suma, 2013).
Tujuan dari William Flexion Exercise adalah untuk
mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui
perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus,
dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas atau elastisitas pada
group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk
mengembalikan /atau menyempurnakan keseimbangan kerja antara
group otot postural fleksor & ekstensor. Selain itu juga meningkatkan
kekuatan otot abdominal dan lumbosacral serta mengulur back
ekstensor (Ristoari, 2011).
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis,
pinggang bawah. Kontraindikasi dari William Flexion Exercise adalah
gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau