• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA PASIEN TRAUMA THORAKS DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA PASIEN TRAUMA THORAKS DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM

MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA

PASIEN TRAUMA THORAKS DI RUMAH SAKIT

SANGLAH DENPASAR

ANAK AGUNG BAGUS TANANJAYA WIYASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM

MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE RESPIRATORY

DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA PASIEN TRAUMA

THORAKS DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

ANAK AGUNG BAGUS TANANJAYA WIYASA NIM 1014028209

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM

MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA

PASIEN TRAUMA THORAKS DI RUMAH SAKIT

SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG BAGUS TANANJAYA WIYASA NIM 1014028209

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 29 APRIL 2016

Mengetahui Pembimbing I,

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpBTKV NIP 19601115 198702 1 002

Pembimbing II,

Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D NIP 19430215 196902 1 001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP 19590215 198510 2 001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

(5)

iv

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal 29 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 1894/UN14.4/HK/2016, Tanggal 25 April 2016

Penguji :

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Validitas Chest Trauma Score (CTS) dalam Memprediksi Terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Pasien Trauma Thoraks Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya penulis haturkan kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pasca sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

(7)

vii

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV, selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K), selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

(8)

viii

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan penulis yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua penulis, A. A. Ngurah Sutama, B.A., Ni Nyoman Sudarni, Istri penulis A. A. Ayu Redi Pudyanti, S.Pd, M.Pd, dan putri penulis A. A. Ayu Nandya Hiranata, serta adik penulis A. A. Made Adi Putra Wandana atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan spesialis ini.

dr. I Ketut Subhawa, dr. Komang Yose, dr. Robby Cahyadi, dr. Hendry Irawan dan dr. Heru Sutanto serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, 29 April 2016

(9)

ix

ABSTRAK

VALIDITAS CHEST TRAUMA SCORE (CTS) DALAM MEMPREDIKSI TERJADINYA ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) PADA PASIEN TRAUMA THORAKS DI RUMAH SAKIT SANGLAH

DENPASAR

Penyebab kematian trauma thoraks tersering adalah karena adanya gangguan ventilasi, perfusi dan oksigenasi akibat kontusio paru. Kontusio paru terjadi sekitar 20% pada pasien trauma thoraks, dimana 50-60% pasien dengan kontusio paru yang berat akan menjadi ARDS. ARDS memberikan kontribusi yang besar pada kematian pasien trauma thoraks yaitu 20-43%, sehingga kita perlu mengenal ARDS secara dini. Penilaian awal dan prediksi ARDS pada pasien trauma thoraks dapat dilakukan dengan sistem skoring CTS yang mudah dikerjakan, murah dan sederhana. Penelitian tentang validitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks belum pernah dilakukan. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mencari sensitifitas dan spesifisitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks.

Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk mencari validitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada 48 pasien trauma thoraks yang datang ke rumah sakit Sanglah mulai Januari 2014-februari 2016. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan AUC, cut off point, sensitifitas, spesifisitas, NPP, NPN, RKP dan RKN.

Pada penelitian ini didapatkan cut off point CTS 6 dengan AUC 0,8626 (>0,7). Sensitifitas dan spesifisitas CTS cukup baik dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks yaitu sebesar 86,7% dan 84,8% (CI 95%). Hasil NPP 72,2% dan NPN 93,3% mendukung bahwa nilai diagnostik CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks cukup baik.

Validitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks memiliki nilai sensitifitas lebih dari 85% dan spesifisitas lebih dari 80% baik digunakan untuk tujuan skrining dan diagnostik.

(10)

x

ABSTRACT

VALIDITY OF CHEST TRAUMA SCORE (CTS) IN PREDICTING ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) OF THORACIC TRAUMA PATIENTS IN SANGLAH HOSPITAL

DENPASAR

The most common cause of thoracic trauma are disruption on the ventilation, perfusion and oxygenation because of lungs contusion. Lungs contusion happens for about 20% on thoracic trauma patiens, whereas 50-60% patiens who are suffer from terrible lungs contusion will turn into ARDS. ARDS has a big contribution on the death of thoracic trauma patiens which is about 20-43%, so that we need to diagnose ARDS in advance. The first assessment and prediction on ARDS, can be done by scoring CTS, which is easy to be applied, affordable and simple. Research on the validity of CTS in predicting ARDS of thoracic trauma patients has never conducted. Therefore, this research in find sensitivity and specificity of CTS in predicting ARDS of thoracic trauma patients is necesary to be conducted.

This research is a diagnostic testing to find out the validity of CTS in predicting ARDS of 48 thoracic trauma patiens of Sanglang hospital started January 2014-February 2016. The data analysis is used are ROC curve and diagnostic texting table 2x2, so that AUC, cutt of point, sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR and NLR were discovered

From this research it is found that the cut off point CTS 6 with AUC 0,8626 (>0,7). Sensivity and Specificity of CTS is quite good in predicting the ARDS on thoracic trauma patiens, which is 86,7% and 84,8% (CI 95%). The result of PPV 72,2% and NPV 93,3% support that the diagnostic value of CTS in predicting the ARDS on thoracic trauma patiens is quite good.

Validity of CTS in predicting the ARDS of thoracic trauma patients had a value of more than 85% sensitivity and more than 80% specificity, both for screening and diagnostic purposes.

(11)

xi

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

2.2 Sistem Skoring Trauma Thoraks ... 10

(12)

xii

2.2.2 Abbreviated Injury Scale (AIS) ... 13

2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ... 15

2.3.1 Sejarah dan Definisi ARDS ... 15

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 27

3.1 Kerangka Berpikir ... 27

4.4 Definisi Operasional Variabel ... 32

4.5 Prosedur Penelitian ... 33

4.6 Analisis Data ... 35

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Hasil ... 37

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 37

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 39

5.1.3 Uji Diagnostik ... 40

(13)

xiii

5.2.1 Sensitifitas ... 43

5.2.2 Spesifisitas ... 44

5.2.3 Nilai Prediksi positif dan Nilai Prediksi Negatif ... 45

5.2.4 Rasio Kemungkinan Positif dan Rasio Kemungkinan Negatif . 46 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1 Simpulan ... 47

6.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Sistem Chest Trauma Score ... 12

2.2 Derajat Penilaian Abbreviated Injury Scale (AIS) ... 13

2.3 Abbreviated Injury Scale (AIS) Thoraks... 14

2.4 Definisi ARDS ... 16

2.5 Definisi ARDS Berlin ... 18

2.6 Kelainan Klinis Yang Berkaitan Dengan ARDS ... 20

4.1 Besar Sampel Berdasarkan ROC ... 31

4.2 Tabel 2x2 Hasil Penelitian Diagnostik ... 36

5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 37

5.2 Gambaran Variabel Penelitian ... 38

5.3 Detail Kurva ROC Kemampuan CTS dalam Memprediksi Terjadinya ARDS pada Pasien Trauma Thoraks ... 40

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Faktor Predisposisi ARDS ... 21

2.2 Sel alveolus normal dan sel alveolus pada ARDS ... 22

2.3 Fase resolusi pada ARDS ... 24

3.1 Skema konsep penelitian ... 28

4.1 Skema alur penelitian ... 34

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

SINGKATAN

AECC : American-European Consensus Conference Committee AGD : Analisa Gas Darah

AIS : Abbreviated Injury Scale ALI : Acute Lung Injury

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome AUC : Area Under Curve

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia H2O : air

KGF : Keratinocyte Growth Factor

N : Nadi

Na : Natrium

NLR : Negative Likelihood Ratio NPN : Nilai Prediksi Negatif NPP : Nilai Prediksi Positif NPV : Negative Predictive Value

PaO2 : Partial Pressure of Oxygen In Arterial PLR : Positive Likelihood Ratio

PPV : Positive Predictive Value RKN : Rasio Kemungkinan Negatif RKP : Rasio Kemungkinan Positif

ROC : Receiver Operating Characteristic RR : Respiration Rate

(17)

xvii

RSUPNCM : Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Cipto Mangunkusumo SatO2 : Saturation oxygen

SD : Standar Deviasi Sen : sensitifitas Spe : spesifisitas TD : Tekanan darah TN : True Negatif TP : True Positif % : Persentase < : lebih kecil > : lebih besar

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 52

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 53

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data Sampel ... 54

Lampiran 4. Data Sampel Penelitian ... 55

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma thoraks sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, benturan karena jatuh, ledakan gas dan mekanisme trauma tumpul yang lainnya. Pada trauma thoraks sering menyebabkan gangguan ventilasi perfusi akibat kerusakan dari parenkim paru. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan oksigenasi jaringan, yang menjadi salah satu faktor penyebab kematian pada trauma thoraks.

Kerusakan paru akan diikuti dengan gangguan perfusi parenkim paru, dan jika oksigenasi tidak diperbaiki hal ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia sistemik. Selain itu, trauma langsung pada thoraks dapat menyebabkan terjadinya kontusio pulmonum. Hal ini merupakan komplikasi trauma thoraks yang akan berkembang menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (Bakowitz, et al., 2012; Milisavljevic, et al., 2012).

(20)

2

Oleh karena adanya komplikasi tersebut maka dibentuk suatu sistem skoring trauma thoraks untuk memprediksi komplikasi dan mortalitas trauma thoraks. Pada tahun 2000 Pape dan kawan-kawan menggunakan thoracic trauma severity score (TTSS) untuk memprediksi komplikasi trauma thoraks salah satunya adalah ARDS dan mortalitas pasien trauma thoraks. Sejak dipublikasikan pertama kali pada tahun 2000 skor ini belum pernah dilakukan penelitian dan belum pernah dieksplorasi lebih jauh untuk menguji validitasnya dan hubungan skor ini dengan mortalitas akibat trauma thoraks. TTSS merupakan pengembangan dari chest trauma score (CTS), dimana salah satu parameter yang dinilai adalah PaO2 yang diambil dari pemeriksaan laboratorium analisa gas darah (AGD). Sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapatkan nilai pada TTSS menjadi lebih lama dan memerlukan biaya yang lebih besar (Pape, et al., 2000; Subhani, et al.,2014).

Evaluasi yang cepat dan sistematis pada pasien dalam mengidentifikasi dan penanganan cedera sangat penting untuk penyelamatan jiwa secara langsung dan penanganan definitif lebih lanjut. Penggolongan trauma thoraks yang jelas dibutuhkan untuk manajemen ventilasi, perawatan intensif dan pemilihan prosedur pembedahan. Pada sistem skoring trauma thoraks diperlukan beberapa kriteria anatomi, radiografi yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus trauma thoraks. Ini sangat penting karena derajat trauma thoraks memiliki pengaruh yang sangat bermakna pada kebutuhan resusitasi dan perawatan intensif (Pirente, et al., 2007; Liman, et al., 2003).

Chest Trauma Score (CTS) sangat tepat menilai kerusakan parenkim paru

(21)

3

perfusi dan oksigenasi paru yang akan berkembang menjadi ARDS. Walaupun sampai saat ini hubungan CTS dan ARDS belum pernah dilaporkan, namun penelitian tentang hubungan CTS terhadap mortalitas pada pasien trauma thoraks pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kejadian mortalitas sebesar 20-43% pada pasien trauma thoraks yang berkaitan dengan kejadian ARDS sebagai komplikasi, merupakan faktor resiko mortalitas tertinggi. Penilaian awal dan prediksi komplikasi pada trauma thoraks dapat dilakukan dengan skor ini, sehingga sangat efektif dalam membantu menentukan rencana penanganan lebih lanjut. Sistem penilaian CTS ini sangat mudah dikerjakan, murah dan sederhana (Aukema, et al., 2011 ; Chen, et al., 2014). Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui validitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks di rumah sakit Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah sensitifitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks sebesar ≥ 85%?

2. Apakah spesifisitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks sebesar ≥ 80%?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(22)

4

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui sensitifitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks ≥ 85%.

2. Mengetahui spesifisitas CTS dalam memprediksi terjadinya ARDS pada pasien trauma thoraks ≥ 80%.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Jika sensitifitas penelitian ini tinggi dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk skrining ARDS pada pasien trauma thoraks.

2. Jika spesifisitas penelitian ini tinggi dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menyingkirkan diagnosis dan pedoman untuk penatalaksanaan ARDS pada pasien trauma thoraks.

(23)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Thoraks 2.1.1 Definisi

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005).

Secara anatomis rongga thoraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma dan batas atas dengan leher dapat diraba insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra thorakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf, dan sistem limfatik (Kukuh, 2002).

(24)

6

2.1.2 Epidemiologi

Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25% kematian politrauma disebabkan oleh trauma thoraks (Veysi, et al., 2009).

Data yang akurat mengenai trauma thoraks di Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma thoraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks 38%, hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Eggiimann, 2001; Jean, 2005).

Trauma thoraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%, pneumothoraks 5%, hematothoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma thoraks yang sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011).

2.1.3 Etiologi

(25)

7

bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).

Trauma thoraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera (Gallagher, 2014).

2.1.4 Patofisiologi

(26)

8

Akibat kerusakan anatomi dinding thoraks dan organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma thoraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Kukuh, 2002; David, 2005).

Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang cenderung sedikit (Milisavljevic, et al., 2012).

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35-40% pada trauma thoraks. Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Milisavljevic, et al., 2012).

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta-kosta yang berdekatan

(27)

9

yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik, foto thoraks, dan CT scan thoraks (Milisavljevic, et al., 2012).

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan

fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012).

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul thoraks yang paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto thoraks, dan CT scan thoraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012).

(28)

10

yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan pneumothoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012).

Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau mediastinum. Insiden dari hematothoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus berhubungan dengan pneumothoraks (hemopneumothoraks) bahkan dapat terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012).

2.2 Sistem Skoring Trauma Thoraks 2.2.1 Chest Trauma Score (CTS)

Beberapa protokol penanganan trauma dada hanya dapat dievaluasi kualitasnya secara ilmiah apabila penilaian keparahan trauma distandardisasi. Beberapa sistem penilaian telah dibuat untuk mengevaluasi prognosis pasien setelah trauma tumpul dada seperti Thoracic Trauma Score (TTS), Pulmonary Contusion Score (PCS) atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari

(29)

11

Beberapa faktor telah diidentifikasi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pasien trauma tumpul thoraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari kontusio pulmonum. Faktor-faktor tersebut diatas berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis, dan emboli pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5 berhubungan dengan outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok pasien tersebut mempunyai

risiko empat kali lipat kematian dibandingkan dengan kelompok pasien dengan CTS kurang dari 5 (Chen, et al., 2014).

Trauma thoraks yang terlokalisir terjadi bersamaan dengan trauma tumpul yang lokal pada thoraks. Kebanyakan kasus tersebut berhubungan dengan trauma ringan seperti fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma thoraks berat dengan AIS > 3 terjadi pada 80-90% pasien dengan multiple trauma (Pinilla, 1982).

Sistem CTS dapat memprediksi kemungkinan pasien membutuhkan ventilasi mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi peningkatan risiko mortalitas dan perlunya intubasi (Pressley, et al., 2012).

(30)

12

characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory failure sebesar 0,72. CTS adalah suatu metode yang mudah dan cepat untuk menilai keparahan relatif dari pasien trauma thoraks. Meskipun tidak ada satupun sistem penilaian yang dapat meramalkan secara sempurna dari outcome, CTS menyediakan suatu metode yang mengelompokkan trauma dinding thoraks sehingga ada potensi untuk mengintervensi lebih awal pasien di dalam rumah sakit (Chen, et al., 2014).

CTS dibuat dari beberapa faktor yang diidentifikasikan sebelumnya berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, termasuk umur, jumlah fraktur iga, kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau tidak (Pressley, et al., 2012).

Tabel 2.1.

(31)

13

Bergeron, et al. (2003) menemukan bahwa pasien lebih tua dari 65 tahun dengan 3 atau lebih fraktur kosta mempunyai kemungkinan lebih besar kematian dan komplikasi termasuk pneumonia bahkan kematian dibandingkan dengan pasien yang lebih muda dengan jumlah fraktur kosta yang sama (Bergeron, et al., 2003).

2.2.2 Abbreviated Injury Scale (AIS)

Abbreviated Injury Scale (AIS) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971.

AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan. AIS-71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak sistem skoring trauma. Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Copes, et al., 1990; Chawda, et al., 2004)

Tabel 2.2.

Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (AIS) (Chawda, et al., 2004)

(32)

14

skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS (Chawda, et al., 2004).

Tabel 2.3.

Abbreviated Injury Scale (AIS) Thoraks (Chawda, et al., 2004)

AIS Score Thorax

1 Minor

Rib fracture, Thoracic spine strain, Rib cage contusion, Sternal contusion

2 moderate

2-3 rib fracture, Sternum fracture, Dislocation or fracture spinous or transverse proces T-spine, Minor compression fracture (≤20%) T-spine

3 severe not live

threatening

Lung contusion ≤ 1 lobe unilateral hemato or

pneumothorax, Diagphragm rupture, ≥ 4 rib fracture, Intial tear/minor laceration/thrombosis inhalation burn, Minor dislocation or fracture of lamina body, Pedicle or facet of T-spine, Compression fracture >1 vertebra or more than 20% height cord contusion with transient, neurological signs

4 severe live threatening

Multilobar lung contusion or laceration,

Hemopneumomediastinum bilateral Hemopneumothorax flail chest, Myocardial contusion, Tension pneumothorax > 1000cc, Tracheal fracture, Intimal aortic, tear major laceration, Subclavian or innominate, Incomplete cord syndrome

5

critical survival uncertain

Major aortic laceration, Cardiac laceration, Rupture bronchus/trachea

(33)

15

2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) 2.3.1 Sejarah dan Definisi ARDS

ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967, ketika Asbaugh dan rekannya mendeskripsikan 12 pasien dengan acute respiratory distress, refractori sianosis terhadap terapi oksigen, penurunan komplians paru, infiltrat menyeluruh pada rongent thoraks. Awalnya gejala ini disebut adult respiratory distress syndrome, saat ini istilah tersebut diganti dengan acute respiratory distress syndrome

(ARDS). Pada tahun 1988 definisinya diperluas dengan mempertimbangkan kerusakan fisiologi respirasi menggunakan sistem scoring kerusakan paru. Sistem scoring ini berdasarkan tekanan positif akhir ekspirasi, rasio dari PaO2/FiO2,

komplians paru dan derajat infiltrat pada radiografi. Pada tahun 1994 definisi baru direkomendasikan berdasarkan American-European Consensus Conference Committee (AECC). Konsensus ini memiliki dua keuntungan. Pertama, dapat mengetahui variasi keparahan cedera paru secara klinis, pasien dengan hipoksia ringan (PaO2/FiO2 <300) merupakan acute lung injury (ALI) dan hipoksia berat (PaO2/FiO2 <200) merupakan ARDS. Kedua, mudah digunakan pada situasi klinis (Ware, et al., 2000).

ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru (Aru, 2010).

(34)

16

oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal (Muttaqin, 2008).

Tabel 2.4.

Definisi ARDS (Ware, et al., 2000)

(35)

17

disingkirkan baik oleh kriteria klinis atau dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) lebih rendah dari 18 mmHg (Milisavljevic, et al., 2012).

The European Society of Intensive Care Medicine dengan dorongan dari the

American Thoracic Society serta the Society of Critical care Medicine berkumpul pada sebuah acara panel ahli internasional untuk merevisi definisi ARDS. Panel ini bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan dicetuskan sebuah definisi baru yaitu definisi Berlin. Tujuan dari definisi Berlin adalah untuk mencoba dan meningkatkan fisibilitas, realibilitas, penampakan dan validitas prediktif. Yang menarik, definisi ini secara empiris mengevaluasi validitas prediktif untuk mortalitas dibandingkan dengan definisi AECC, dengan menggunakan data yang berasal dari uji klinis multi-pusat dan multi-pusat tunggal. Terdapat beberapa modifikasi kunci (oksigenasi, waktu onset akut, x-ray thoraks, dan kriteria pulmonary wedge pressure) pada definisi Berlin jika dibandingkan dengan definisi AECC (Fanelli, et al., 2013).

Pada definisi Berlin, tidak terdapat penggunaan dari terminologi Acute Lung Injury (ALI). Komite ini menilai bahwa terminologi ini digunakan secara tidak

sesuai pada berbagai konteks dan tidak membantu. Pada definisi Berlin, ARDS diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan nilai rasio PaO2/FiO2. Yang penting adalah nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan penggunaan CPAP atau nilai PEEP ≥ 5 cmH2O (Fanelli, et al., 2013).

(36)

18

satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang menjelaskan asal kegagalan pernafasan akut (Fanelli, et al., 2013).

Radiografi thoraks dikarakteristikkan dengan opasitas bilateral yang melibatkan paling tidak 3 kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi pleura, atelektasis dan nodul. Jika tidak terdapat faktor risiko yang diketahui, edema akibat kardiogenik harus diekslusi dengan evaluasi objektif dari fungsi kardiak dengan menggunakan ekokardiografi. Akibatnya, pengukuran pulmonary wedge pressure dapat ditinggalkan karena ARDS dapat terjadi bersamaan dengan edema

hidrostatik yang diakibatkan dari overload cairan atau kegagalan jantung (Fanelli, et al., 2013).

Tabel 2.5.

Definisi ARDS Berlin (Fanelli, et al., 2013)

Definisi Berlin mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome

Waktu Terjadi dalam 1 minggu pada setelah gangguan klinis yang sudah diketahui sebelumnya atau baru atau gejala respirasi yang mengalami perburukan.

Pencitraan thoraks

Opasitas bilateral tidak secara penuh dijelaskan oleh efusi, kolaps paru/lobaris, atau nodul.

Sumber Edema Kegagalan pernafasan tidak secara penuh dijelaskan oleh kegagalan jantung atau kelebihan cairan.

Memerlukan penilaian objektif (contoh Ekokardiografi) untuk mengeksklusi edema hidrostatik jika faktor risiko tidak ada.

Oksigenasi

(37)

19

multi pusat dan pusat tunggal yang melibatkan 3.670 pasien. Laju mortalitas ARDS dinyatakan sebesar 27% untuk ringan, 32% untuk sedang dan 45% untuk berat. Selain itu, jumlah hari bebas ventilator menurun dari ARDS ringan ke berat, dan stadium ARDS yang lebih berat dihubungkan dengan peningkatan progresif paru yang ditemukan pada evaluasi CT scan dan shunt fraction (Fanelli, et al., 2013).

2.3.2 Epidemiologi

Perkiraan angka kejadian yang akurat terhadap ALI dan ARDS sulit ditentukan, hal ini dikarenakan oleh kurangnya definisi yang seragam dan beranekaragam manifestasi klinis. Perkiraan berdasarkan National Institute of Health (NIH), angka kejadian di Amerika 75 per 100.000 populasi. Pada penelitian lain dilaporkan kejadian yang lebih rendah 1,5 – 8,3 per 100.000 populasi (Ware, et al. 2000).

Saat ini ARDS memiliki angka kematian yang cukup tinggi 40-60%. Sebagian besar kematian disebabkan oleh sepsis atau multi organ dysfunction (MOD) daripada penyebab respirasi primer. Walaupun terapi saat ini dengan ventilasi tidal volume rendah, pada beberapa kasus kematian langsung disebabkan oleh kerusakan paru. Pada pasien yang berhasil bertahan hidup dari ARDS fungsi paru kembali normal dalam 6-12 bulan tanpa memperhatikan derajat keparahan paru (Ware, et al., 2000).

2.3.3 Faktor Risiko

(38)

20

lambung, pneumonia, cedera inhalasi dan tenggelam. Pada kelompok kedua terdiri dari syok traumatik berat yang memerlukan resusitasi cairan dan transfusi yang berulang, trauma kepala berat, sepsis abdominal, luka bakar, emboli lemak dan disseminated intravascular coagulation (DIC) (Milisavljevic, et al., 2012).

Tabel 2.6.

Kelainan klinis yang berkaitan dengan ARDS (Fanelli, et al., 2013)

Direk Indirek

Pneumonia Sepsis non-pulmoner

Aspirasi isi gaster Trauma mayor Cedera inhalasi Pankreatitis Kontusio pulmoner Luka bakar berat Vaskulitis pulmoner Syok non kardiogenik

Tenggelam Overdosis obat-obatan

Transfusi multipel atau Transfusion associated acute lung injury (TRALI)

(39)

21

Gambar 2.1.

Faktor predisposisi ARDS (Haro, et al., 2013)

2.3.4 Patofisiologi ARDS

ARDS dikaitkan dengan kerusakan difus alveolar dan cedera paru endotel kapiler. Tahap awal digambarkan sebagai eksudatif, sedangkan fase kemudian adalah fibroproliferative. ARDS awal ditandai dengan peningkatan tahanan permeabilitas

kapiler, menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli. Tahanan alveolar-kapiler dibentuk oleh endotel mikrovaskuler dan lapisan epitel alveoli. Berbagai beban mengakibatkan kerusakan baik pada endotel pembuluh darah atau epitel alveolar dapat mengakibatkan ARDS (Corwin, 2009).

(40)

22

penurunan pengeluaran cairan dari ruang alveolar. Pneumosit tipe II relatif lebih tahan terhadap cedera. Namun, pneumosit tipe II memiliki beberapa fungsi penting, termasuk produksi surfaktan, transportasi ion, dan proliferasi dan diferensiasi menjadi pneumosit tipe l setelah cedera selular. Kerusakan pneumosit tipe II menyebabkan penurunan produksi surfaktan sehingga terjadi kerusakan alveolar. Gangguan pada proses perbaikan normal di paru-paru dapat menyebabkan perkembangan fibrosis paru (Milisavljevic, et al., 2012).

Seperti telah banyak diketahui, secara patologi anatomi kejadian ARDS dibagi dalam 3 tahap yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan. Tahap pertama yaitu tahap eksudatif ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan, protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam alveoli (Milisavljevic, et al., 2012).

Gambar 2.2.

(41)

23

Tahap kedua, tahap fibroproliferatif pada tahap ini akibat dari respon terhadap stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat berkurang sehingga tampilan penderita secara klinis seperti pneumonia (Milisavljevic, et al., 2012).

Tahap ketiga yaitu tahap resolusi dan pemulihan. Pada beberapa penderita yang dapat melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Edema paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport H2O melalui aquaporins pada pneumosit tipe I, sementara protein yang tidak larut dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel makrofag. Akhirnya reepitelialisasi terjadi pada pneumosit tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada dasar membarana basalis. Proses ini distimulasi oleh growth factors seperti keratinocyte growth factor (KGF). Neutrofil dibuang melalui proses

(42)

24

Gambar 2.3.

Fase resolusi pada ARDS (Ware, et al., 2000)

2.3.5 Manifestasi Klinis ARDS

Pada ARDS manifestasi klinis tergantung dari penyebabnya. Pada awal setelah cedera (12-24 jam pertama) terjadi takipnea, takikardi, penggunaan otot pernafasan tambahan dan pada auskultasi didapatkan ronki ekspirasi. Pada analisa gas darah didapatkan hipoksia progresif, hiperkapnea dan asidosis. Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan sebaran infiltrat, pada keadaan klinis ARDS yang memburuk didapatkan infiltrat yang berkelompok (Milisavljevic, et al., 2012).

(43)

25

output rendah, atau uptake oksigen pada tingkat jaringan rendah dengan ada atau

tanpa adanya hipoksemia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari pertukaran udara yang tidak efektif disebut hipoksia (Milisavljevic, et al., 2012).

2.3.6 ARDS pada Trauma Thoraks

Kontusio pulmonum merupakan cedera pada parenkim paru, yang kemudian berkembang menjadi edema dan berkumpulnya darah di dalam alveolus, sehingga menyebabkan berkurangnya struktur dan fungsi paru normal. Cedera tumpul pada paru selama 24 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas dan menurunnya komplians paru. Juga menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi pada komponen darah pada paru, 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum bilateral akan menjadi ARDS (Miller, et al., 2002).

Kontusio pulmonum terjadi sekitar 20% pada pasien dengan injury severity score diatas 15, dan paling sering terjadi pada trauma thoraks anak-anak. Kontusio

pulmonum bilateral yang berat akan menyebabkan terjadinya hipoksia, tetapi lebih sering berkembang menjadi ARDS (Miller, et al., 2002; Bakowitz, et al., 2012).

2.3.7 Terapi Oksigen

(44)

26

mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg, selanjutnya sampai di alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh tekanan uap air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan segera berdifusi ke dalam aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan tekanan (Mangku, et al., 2010).

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
+5

Referensi

Dokumen terkait