• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Terapi Oksigen - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Terapi Oksigen - Unud"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

TERAPI OKSIGEN

dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH Surya Adisthanaya

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR DESEMBER 2016

(2)

iii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Definisi ... 2

2.2 Indikasi ... 2

2.3 Tujuan ... 3

2.4 Tehnik dan alat ... 4

2.5 Pedoman ... 8

2.6 Efek samping ... 9

2.7 Risikojangka panjang ... 10

BAB III SIMPULAN ... 11 DAFTAR PUSTAKA

(3)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Priestley. Pada tahun 1794, Thomas Beddoes pertama kalinya menggunakan O2 sebagai obat. Dalam penggunaan O2 sebagai obat, beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu indikasi, pengaturan dosis, cara pemberian, dan efek sampingnya. Sejak ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi, efek hipoksia menjadi lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien.¹·⁵

Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O2 di udara atmosfer dengan tekanan-parsial 150 mmHg. Tekanan parsial I50 mmHg ini sesampainya di alveoli akan berubah menjadi 103 mmHg. Ini diakibatkan pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Pada alveoli, O2 akan berdifusi ke dalam aliran darah paru. O2 akan terikat dengan hemoglobin di dalam darah dan kemudian akan di edarkan ke seluruh tubuh untuk keperluan metabolisme.¹

Pemberian O2 scbagai obat atau terapi oksigen meliputi upaya-upaya meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan. Pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot. ¹·⁵

(4)

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.¹

Dalam pemberiannya sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mudah terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum O2 dalam tabung digunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan asesoris berupa regulator, sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat pemberinya. ¹

2.2 lndikasi

Secara fisiologis, tubuh mengonsumsi oksigen sebanyak 115-165 ml/menit/meter persegi dari luas permukaan tubuh, sedangkan penyediaan oksigen sebanyak 550-650 ml/menit/meter persegi permukaan rubuh. Sehingga masih tersedianya cadangan oksigen sebanyak 435-485 ml di dalam darah, namun akan segera habis di gunakan untuk metabolisme dalam waktu 3-4 menit apa bila pasien tidak bernapas atau tidak diberikan oksigen.

Penyediaan dan konsumsi oksigen di upayakan oleh tubuh agar tetap seimbang melalui sistem respirasi dan sistem sirkulasi. Jika terjadi gangguan keseimbangan seperti penurunan penyediaan oksigen atau peningkatan konsumsi oksigen akan terjadi “hutang” oksigen.

Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen adalah jika terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat: ¹·³·⁴

a. Gagal napas akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas, penyakit saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru seperti misalnya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

(5)

3 b. Kegagalan transportusi oksegen akibat syok (kardiogenik, hipovolemik dan septik), infark otot jantung, anemia atau keracunan karbon monoksida (CO).

c. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan sianida.

d. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka bakar, trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam, dan sebagainya.

e. Pasca anestesia terutama anestesia umum dengan gas gelak atau N2O.

2.3 Tujuan

Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian oksigen/terapi oksigen ini. Dimana tujuannya adalah: ¹·⁴

1. Mengoreksi hipoksemia

Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan dari pemberian oksigen disini adalah upaya penyelamatan nyawa. Pada kasus lain, terapi oksigen bertujuan untuk membayar “hulang" oksigen jaringan.

2. Mencegah hipoksemia

Pemberian oksigen juga bisa bertujuan untuk pencegahan, dimana untuk menyediakan oksigen dalam darah, seperti contohnya pada tindakan bronkoskopi, atau pada kondisi yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (infeksi berat, kejang, dll).

3. Mengobati keracunan karbon monooksid (CO)

Terapi oksigen dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2) dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.

(6)

4 4. Fasilitas Absorpsi dan rongga-rongga dalam tubuh.

Saat menggunakan obat anesthesia inhalasi pasca anesthesia, terapi oksigen dapal digunakan untuk mempercepat proses eliminasi obat tersebut.

2.4. Tehnik dan Alat

Tehnik dan alat yang dapat digunakan dalam terapi oksigen sangat beragam, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Tehnik dan alat yang akan digunakan hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2) 2. Tidak menyebabkan akumulasi CO2

3. Tahanan terhadap pemafasan minimal 4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen 5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat yang digunakan digolongkan menjadi:¹·²

I. Sistem fixed performance

Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien.

Berdasarkan aliran gasnya dibagi menjadi:

a. Aliran tinggi (misalnya: sungkup venturi) b. Aliran rendah (misalnya: mesin anesthesia) II. Sistem variable performance

Fraksi oksigen pada alat ini tergantung pada aliran oksigen, faktor alat, dan kondisi pasien. Terdapat 3 jenis yaitu:

a. sistem no capacity (misalnya: nasal kanul, nasal kateter)

b. sistem small capacity (misalnya: nasal kanul atau nasal kateter aliran tinggi, sungkup “semi~rigid”)

c. sistem large capacity (misalnya: pneumask, polymask)

(7)

5 Berdasarkan ada atau tidaknya hirupan kembali udara ekspirasi pasien selama terapi oksigen, sistem pemberian gas dalam terapi oksigen dapat diklasifikasikan menjadi:⁶·⁷·⁸

1. Sistem nonrebreathing

Pada sistem nonrebreathing, kontak antara udara inspirasi dan ekspirasi sangat minimal. Udara ekspirasi langsung keluar ke atmosfer melalui katup searah yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas dengan mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas yang cukup agar volume semenit dan laju aliran puncak yang dibutuhkan terpenuhi atau memasang kantong penampung udara inspirasi yang memungkinkan penambahan sejumlah gas bila diperlukan. Katup searah yang dipasang tersebut memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam alat ini sehingga menambah julmah aliran gas untuk memenuhi kebutuhan gas, terutama pada sistem aliran gas tinggi.

2. Sistem rcbreathing

Pada sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong penampung yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2 nya diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur inspirasi.

Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian oksigen dibagi menjadi:⁶·⁷·⁸ 1. Sistem aliran oksigen tinggi

Pada sistem ini, alat yang digunakan yaitu sungkup venti atau venturi yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan FiO2 yang tetap.

Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang diberikan stabil dan mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi, sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.

(8)

6 2. Sistem aliran oksigen rendah

Sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan FiO2 21%-90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat yang umum gunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, dan sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung. Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml (dewasa) dan pola nafasnya teratur.

Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah:¹·²·⁴

1. Nasal Kanul

Termasuk dalam sistem “non rebreathing”, “no capacity”, dan aliran rendah. Merupakan alat sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tergantung dari aliran oksigen/menit, mampu memberikan FiO2 sebagai berikut:

Kecepatanaliran FiO2nya

1 liter/menit 24%

2 liter/menit 28%

3 liter/menit 32%

4 liter/menit 36%

5 liter/menit 40%

6 liter/menit 44%

2. Kateter nasal

Alat ini mirip nasal kanul, sed\erhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai usia dan jenis kelarnin pasien. Untuk anak-anak digunakan nomor 8-10 F, untuk laki- laki nomor 12-l4 F, dan untuk perempuan digunakan nomor 10-12 F.

Fraksi oksigen yang dihasilkan sama seperti nasal kanul.

(9)

7 3. Sungkup muku tanpa kantong penampung

Alat ini sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia. Sering kali ditolak pasien oleh karena menimbulkan perasaan tidak enak. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:

Kecepatan aliran FiO2nya

5-6 liter/menit 40%

6-7 liter/menit 50%

7-8 liter/menit 60%

4. Sungkup muka dengan kantong penampung

Termasuk kelompok aliran rendah, “large capacity" dan “non rebreathing". Alat ini sama dengan alat di atas, hanya ditambah kantong penampung oksigen pada muaranya untuk mcningkatkan konsentrasi oksigen udara inspirasi atau FiO2. Alat ini digunakan apabila memerlukan FiO2 antara 60-90%. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:

Kecepatan aliran FiO2nya

6 liter/menit 60%

7 liter/menit 70%

8 liter/menit 80%

9 liter/menit 90%

10 liter/menit 99%

5. Sungkup muka venturi

Alat ini relatif mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang telah disebutkan diatas. Kelebihan alat ini adalah mampu mernberikan FiO2 sesuai dengan yang di kehendaki, tidak tergantung dari aliran gas oksigen yang diberikan. Tersedia dalam ukuran FiO2 24%, 35%‘ dan 40%.

(10)

8 6. OEM Mix-O Mask

Alat ini hampir sama dengun sungkup venturi. Perbedaannya pada alat ini ditambah dengan pipa korugated sepanjang 20-30 cm dan bisa ditambah adaptor humidifikasi.

7. Sungkup muka tekanan positif

Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan 0-4 cm HO, tali pengikat kepala, katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen dalam sistem perpipaan atau regulator untuk oksigen dalam silinder. Alat ini

digunakan untuk memberikan nafas buatan pada pasien depresi nafas.

8. Kollar trakeostomi

Alat ini digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi. Alat ini mampu memberikan humidifikasi tinggi dan FiO2 nya dikendalikan dengan mengatur aliran oksigen permenitnya.

2.5 Pedoman

1. Tentukan status oksigen pasien dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan analisis gas darah

2. Pilih sistem yang akan digunakan (aliran tinggi/rendah)

3. Tentukan konsentrasi oksigen yang dikehendaki: tinggi (> 60%), sedang (35-60%), atau rendah (<35 %)

4. Pantau keberhasilan terapi oksigen dengan pemeriksaan fisik pada sistem respirasi dan kardiovaskular

5. Pemeriksa analisis gas darah secara periodik (selang waktu minimal 30 menit)

6. Apabila dianggap perlu, ubah cara pemberiannya

(11)

9 2.6 Efek Samping

Pemberian terapi oksigen ini dapat menimbulkan efek samping di sistem pernafasan, susunan saraf pusat, dan juga mata (terutama pada bayi prematur).¹

Pada sistem respirasi:

a. Depresi nafas

Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOM dengan hipoksia dan hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOM kendali pusat nafas bukan oleh kondisi hiperkarbi seperti pada keadaan normal, tetapi oleh kondisi hipoksia, sehingga apabila kadar oksigen dalam darah meningkat malah akan menimbulkan depresi nafas. Pada pasien PPOM, terapi oksigen di anjurkan dilakukan dengan sistem aliran rendah dan pemberiannya secara intermiten.

b. Keracunan oksigen

Keracunan oksigen ini terjadi apabila pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi (>6O%) dalam jangka waktu lama. Akan timbul perubahan pada paru dalam bentuk: kongesti paru, penebalan membrane alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasi. Pada keadaan hipoksia berat, pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100% dalam waktu 6-12 jam untuk life saving seperti misalnya pada saat resusitasi masih di anjurkan. Namun setelah keadaan kritis teratasi, FiO2 harus segera di turunkan.

c. Nyeri substemal

Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada trakea yang menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan keluhannya akan lebih hebat lagi apabila oksigen yang diberikan itu kering (tanpa humidifikasi).

Pada susunan saraf pusat :

Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan keluhan parestesia dan nyeri pada sendi.

Pada mata :

Pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur, hiperoksia

(12)

10 menyebabkan kerusakan pada retina akibat proliferasi pumbuluh darah disertai perdarahan dan fibrosis (retrolental firbroplasia).

2.7 Risiko Jangka Panjang

Terdapat tiga klasifikasi risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen yaitu: fisik, fungsional, dan sitotoksik.³

a. Risiko fisik

Penggunaan jangka panjang dari terapi oksigen secara fisik dapat mengakibatkan luka lecet pada hidung dan wajah yang timbul dari pemakaian nasal kateter dan sungkup. Kulit kering dan pengelupasan kulit dapat muncul dengan penggunaan gas yang kering tanpa proses humidifikasi.

b. Risiko fungsional

Terapi oksigen dapat menyebabkan hipoventilasi pada pasien dengan COPD. Dalarn prakteknya, terapi oksigen aliran rendah, memiliki risiko yang kecil untuk menyebabkan hipoventilasi tersebut.

c. Risiko kerusakan sitotoksik

Pemberian oksigen dapat menyebabkan kerusakan struktural pada paru- paru. Perubahan proliferasi dan perubahan fibrosis akibat toksisitas oksigen terbukti setelah dilakukannya otopsi pada pasien COPD yang diterapi dengan oksigen jangka panjangv Namun perubahan ini tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pexjalanan klinis atau kelangsungan hidup pasien yang diterapi dengan oksigen. Sebagian besar kerusakan yang texjadi diakibatkan oleh hasil hyperoksia dari pemberian FiO2 tinggi pada kondisi akut.

(13)

11 BAB III

SIMPULAN

Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.

Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen adalah jika terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat gagal napas akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas, penyakit saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS, kegagalan transportasi oksigen akibat syok (kardiogenik, hipovolemik dan septik), infark otot jantung, anemia atau keracunan karbon monoksida (CO), kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat kcracunan sianida, peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka bakar, trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam, dan sebagainya. Secara umum, terapi oksigen bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia, mencegah hipoksemia, mengobati keracunan karbon monooksid (CO), dan memfasilitasi absorpsi gas dari jaringan dan rongga- rongga dalarn tubuh. Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah nasal kanul, kateter nasal, sungkup muka tanpa kantong penampung, sungkup muka dengan kantong penampung, sungkup muka venture, oem mix-o mask, sungkup muka tekanan positif, kollar trakeostomi. Adapun risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen yaitu risiko fisik, fungsional, dan sitotoksik.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G., Senapathi T.G.A. Tunjangan Homeostasis Perioperatif.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: lndeks; 2010.

Indonesia. Hal: 233-243.

2. Marino P.L. Oxygen Inhalation Therapy. Dalam: The ICU Book. Edisi ke 3.New York: Ovid; 2007. Amerika. Hal: 428-441.

3. Jindal S.K. Oxygen Therapy: Important Considerations. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008. Hal: 97-107.

4. College of Respiratory Therapists of Ontario. Oxygen Therapy Clinical Best Practice Guideline. Toronto, Ontario. 2013. Hal: 5-44.

5. Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., et. al.

Buku Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam.Edisike-4.Ji1idlI1. 2006. Hal: 161- 165.

6. O‘Driscoll B.R., Howard L.S., Davison A.G. Guideline for Emergency Oxygen Use in Adult Patients. BMJ1. Vol. 63. 2008. Hal: 49-55.

7. Browne B., Crocker C. Guideline for Administration of Oxygen in Adults 2012. Nottingham University Hospitals. 2013. Hal: 15-20.

8. Martin D.S., Grocott M.P.W. Oxygen Therapy in Critical Illness. Dalam:

wwwmedscape.com/viewarticle/778505. Diakses tanggalz 4 Desember 2016.

Referensi

Dokumen terkait

kusta ini adalah depresi akibat adanya stigma yang mengakibatkan pengucilan secara sosial dan juga akibat perilaku sakit yang terjadi karena infeksi maupun akibat timbulnya

manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih berat dan irreversibel

Pada tahun 2016, Roca dkk 15 mengembangkan sebuah prediktor dini yang dapat mengidentifikasi kebutuhan ventilasi mekanik pada pasien pneumonia dewasa dengan gagal napas akut

Stroke atau serangan otak merupakan suatu istilah klinis dari gangguan fungsi otak yang mendadak, terjadi bila pasokan darah ke otak terhenti atau gagal, atau dapat pula sebagai

Interaksi yang terjadi diantara ketiga obat utama gagal jantung kongestif berdasarkan level signifikansinya adalah digoksin- furosemid (level signifikansi 1) sebanyak