• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Welcome to Unud Repository - Unud Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Welcome to Unud Repository - Unud Repository"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

PNEMONIA PADA USIA LANJUT

IGP Suka Aryana

Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK UNUD/RSUP Sanglah

PENDAHULUAN

Insiden pneumonia pada usia lanjut sangat tinggi dan kejadiannya akan terus meningkat seiring peningkatan populasi usia lanjut. Angka morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia tinggi juga tinggi. Banyak pasien usia lanjut dating ke ruang Gawat Darurat atau di rawat dirumah sakit akibat menderita pneumonia. Tingginya kejadian ini dihubungkan dengan beberapa faktor yang terjadi pada usia lanjut seperti: penurunan funggsi organ akibat proses penuaan, factor ko-morbiditas yang sering ada, nutrisi, factor social, psikologis dan lingkungan yang saling berinteraksi. Penurunan fungsi organ akibat proses penuaan yang terjadi terutama pada organ respirasi seperti penurunan refleks batuk, penurunan kemampuan silia saluran nafas untuk membersihkan kotoran, kelemahan otot dinding dada serta penurunan system kekebalan tubuh baik yang alami maupun didapat. Disfagia, serta malnutrisi juga merupakan problem lain yang sering terjadi menjadi risiko terjadinya pneumonia. Pada usia lanjut sering terjadi akumulasi penyakit khronis degenerative seperti diabetes, PPOK, gagal jantung, kanker,

(6)

gangguan ginjal, stroke mengakibatkan risiko dan prognosis pneumonia menjadi semakin buruk.

Pnemonia pada usia dalam penatalaksanaannya menjadi lebih kompleks tidak hanya permasalahan pada keterlambatan dalam diagnosis dan terapi, cederung membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lengkap dan banyak, risiko kejadian efek samping pengobatan, lama rawat yang semakin panjang.

Penanganan pnemonia membutuhkan tim interdisiplin dari berbagai dimensi ilmu secara bersama-sama. Penatalaksanaan yang baik dengan kerjasama tim secara interdisiplin diharapkan dapat memperbaiki outcome, memperpendek lama rawat, menurunkan biaya, dan mencegah kekambuhan pneumonia pada usia lanjut.

KLASIFIKASI

Usia lanjut ditentukan berdasarkan umur lebih atau sama dengan 60 tahun.

Hal ini didasarkan pada penurunan fungsi pada aspek sosiologi, tetapi yang yang lebih berarti didasarkan pada konsep kerapuhan (frailty). Konsep ini lebih mudah dipahami karena pada kondisi kerapuhan ini lebih mudah terjadi komplikasi yang berat akibat adanya faktor pencetus seperti pneumonia. Proses penuaan berdampak pada penurunan cadangan fisiologis organ, adanya akumulasi penyakit jangka panjang sehingga menurunkan kemampuan berespon atau peradaptasi terhadap adanya stress. Kondisi frailty sangat penting untuk diidentifikasi sejak awal pada pasien pneumonia sebagai predictor.sehingga klasifikasi pneumonia dibagi

(7)

menjadi 2 yaitu:

1. Pnemonia tanpa klinis frailty: pasien mandiri dengan tidak adanya masalah social, mental atau komorbitas lain yang bermakna. Pada kondisi ini penatalaksanaannya sama dengan usia dewasa.

2. Pnemonia dengan klinis frailty: pasien pneumonia pneumonia dengan penurunan status fungsional dengan tingkat ketergantungan bermakna atau terjadi penurunan status kognitif baik kronis maupun akut. Risiko outcome yang dihasilkan sangat tergantung dari derajat akumulasi gangguan, komorbiditas, polifarmasi, penurunan sensoris, serta nutrisi. Gangguan fungsional seperti mobilitas, riwayat jatuh, aktifitas sehari-hari, inkotenensia, gangguan neuropsikiatri seperti penurunan kognitif, mood, serta sarana social yang mendukung juga sangat berperan menentukan prognosis pasien. Kita dapat menbagi menjadi 2 fenotif besar sesuai dengan derajat dari frailty.

a) Frailty ringan: pasien ini melakukan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari secara mandiri atau “hampir” mandiri namun terkait pneumonia dapat disertai ganguan fungsional dan/atau kognitif akut dan meningkatkan derajat komorbiditas dan ketergantungan pada instrumen kehidupan sehari- hari dan biasanya tidak diidentifikasi sebagai pasien yang lemah. Pasien biasanya datang dengan keluhan berupa langkah yang melambat atau gangguan fungsi fisik dan/atau kognitif. Terkait penanganannya, identifikasi

(8)

dini wajib dilakukan oleh karena dibutuhkan intervensi spesifik dalam mempertahankan fungsi dan kualitas hidup.

b) Pasien tua dengan kriteria klinis Frailty sedang hingga berat atau yang termasuk kelompok pasien geriatri dimana pasien ini membutuhkan bantuan atau ketergantungan untuk aktivitas sehari-hari dan probabilitas yang lebih besar terkait bertanya komorbiditas, polifarmasi, demensia, malnutrisi dan situasi risiko sosial. Sehubungan dengan pengambilan keputusan, aspek tertentu dianggap penting seperti halnya derajat ketergantungan karena hal ini berkaitan dengan etiologi, diagnostik invasif dan prosedur terapeutik dan penempatan akhir pasien.

Kategorisasi pasien tua dengan pneumonia ini bertujuan untuk mengubah model perawatan klasik yang secara umum bekerja satu dimensi dan berpusat pda episode akut, tanpa melihat efek akibat penuaan dan mengabaikan kondisi fungsional, kognitif, dan sosial sebagaimana yang terjadi pada sindrom geriatri. Evaluasi terhadap aspek-aspek tersebut membantu identifikasi derajat kelemahan pada pasien lansia dengan pneumonia dan mengelompokkan dengan lebih baik risiko dan rencana perawatan yang lebih spesifik terkait kebutuhan setiap pasien.

(9)

PRESENTASI KLINIS Konsep umum

Usia dewasa muda dengan pneumonia biasanya mengalami gejala berupa demam, leukositosis, dan infiltrat pada rontgen dada. Pada pasien lansia akan sering hanya ditemukan infiltrat, yang tidak selalu disertai dengan demam atau leukositosis. Terkait alasan ini, diagnosis pneumonia pada usia tua, sangat bergantung pada interpretasi rontgen dada. Banyak telah tertulis tentang gambaran radiologi pneumonia, mulai dari karsinoma bronkogenik, reaksi obat, hingga gagal jantung. Sementara penyakit sistemik dengan manifestasi paru selalu mendapat diagnosis banding kecurigaan pneumonia, kondisi sistemik yang sering menyebabkan keraguan pada pasien dengan kemungkinan pnemonia. Kebanyakan pasien ditransfer ke rumah sakit dari rumah perawatan, dengan infiltrat paru, dengan atau tanpa leukositosis, memiliki gagal jantung. Gagal jantung (CHF) mungkin merupakan eksaserbasi gagal jantung yang ada sebelumnya atau mewakili infark miokard dan berhubungan dengan CHF. Penyakit paru interstisial, penyakit yang diinduksi obat, penyakit vaskuler kolagen, dan lain-lain, semua perlu diperhitungkan selain CHF, sebagai diagnosis banding pneumonia pada lansia.

Mayoritas pasien lansia dengan pneumonia mengalami batuk berdahak.

Namun, pasien lansia yang dehidrasi atau mengalami gangguan kemampuan

(10)

batuk mungkin memproduksi sedikit sputum atau tidak ada sama sekali.

Sedikit sputum mengarah pada pneumonia akibat virus atau atipikal jika semua faktor seimbang. Sputum yang produktif tidak dapat membedakan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut akibat pneumonia; sputum mengandung darah dapat terjadi pada berbagai penyakit non-infeksius, seperti emboli paru/ infark, stenosis mitral, dan keganasan, namun juga terjadi pada pneumonia akibat penumokokus atau Klebsiella. Sputum pada penyakit legionnela dapat bersifat purulen atau mukoid [2,5].

Riwayat penyakit terdahulu

Riwayat, pada pasien dengan pneumonia, memberikan informasi yang mengarah pada diagnosis pneumonia atau alternatif diagnosis lain terkait keluhan pasien.

Bertanya pada pasien mengenai riwayat kontak dengan individu lain dengan gejala serupa cukup berguna dalam wabah influenza atau NHAP akibat C.

pneumoniae. Jika pasien baru saja keluar dari perawatan di rumah sakit, kemudian dirawat kembali dengan pneumonia dapat dipikirkan apakah itu merupakan resolusi tidak komplit dari proses awal atau pasien mendapat pneumonia selama perawatan sebelumnya yang sekarang bermanifestasi sebagai pneumonia nosokomial. Riwayat kontak dengan individu yang lebih muda dengan gejala pernapasan dapat dicurigai sebagai pneumonia mycoplasma pada lansia. Seringkali, pneumoniae mycoplasma tidak

(11)

dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, semata karena usia pasien.

Pasien lansia sering dikunjungi dan mengunjungi orang yang lebih muda.

Para pelajar yang pulang dari sekolah, atau mungkin kontak dengan tetangga atau teman dengan anak kecil, dan jika hal ini tidak dieksplor pada pasien lansia dengan gejala mirip pneumonia akibat mycoplasma atau C.

pneumonia tidak cukup dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Sama halnya, kontak dengan burung psittacine dapat dicurigai sebagai psittacosis.

Pasien lansia sering memiliki hewan peliharaan, dimana kebanyakan hewan pelilharaan, mampu menularkan penyakit infeksius, biasanya tidak menyebarkan patogen yang berkatian dengan pneumonia. Riwayat stroke dapat menjadi pemicu episode pneumonia aspirasi berulang. Gangguan refleks gag dan variasi penyakit esofagus yang luas juga berpengaruh pada pasien terkait episode pneumonia aspirasi berulang, baik yang didapat di komunitas, rumah perawatan, atau rumah sakit. Pasien dengan penyakit paru yang sudah diderita sebelumnya, khususnya penderita bronkitis kronis, rentan mengalami eksaserbasi bronkitis kronis serta pneumonia. Pasien dengan riwayat perokok berat sebelumnya membuat mereka lebih mudah terkena pneumonia, gagal jantung, dan karsinoma bronkogenik. Riwayat pneumonia berulang mungkin secara kebetulan ditemukan, atau jika ada alasan fisio-anatomi untuk aspirasi berulang, misalnya penyakit sistem saraf pusat atau esofagus, kemudian berlanjut pada pneumonia mungkin saja terjadi. Pasien dengan lupus eritematus sistemik (SLE), myeloma, dan mereka dengan chronic lymphatic leukemia (CLL), HIV awal dan alkoholik,

(12)

semua merupakan pemicu pneumonia yang disebabkan organisme enkapsulasi seperti Streptococcus pneumoniae and H. influenzae.

Kabanyakan pasien lansia memiliki masalah penurunan imunitas yang membuat mereka rentan mengidap pneumonia. Pasien dengan kistik fibrosis jarang bertahan hingga usia tua. Sebaliknya, mereka yang mengalami bronkiektasis sering mencapai usia yang lebih panjang. Pasien dengan pneumonia berulang dari lokasi anatomi yang sama dapat mengalami obstruksi endobronkial berulang. Pneumonia berulang dengan lokasi anatomi yang sama harus dicurigai adanya karsinoma bronkogenik dengan episode pneumonia post-obstruktif berulang yang tidak jelas.

Merupakan hal yang penting untuk memperoleh riwayat penyakit jantung dan paru yang tepat yang menyerupai pneumonia untuk memastikan faktor pemicu pneumonia pada lansia. Sangat penting pada lansia yaitu riwayat penyakit paru interstisiil, apapun etiologinya. Membandingkan hasil rontgen sebelumnya dengan yang terbaru biasanya akan mengklarifikasi penyebab infiltrat pada paru. Riwayat penyakit kolagen vaskular, seperti remathoid arthritis atau SLE, dapat menjelaskan infiltrate dan/atau efusi pleura yang nampak pada rontgen dada. Riwayat radiasi pada mediastinum sebelumnya mengarah pada kecurigaan pnemonitis akibat radiasi sebagai penyebab rontgen dada yang abnormal. Riwayat pengobatan yang detail juga berguna, dimana dapat diketahui obat yang mungkin menyebabkan fibrosis paru, efusi pelura, infiltrat paru, penyakit paru interstisiil, dan edema non kardio-

(13)

pulmo. Riwayat adanya penyakit jantung sama pentingnya dengan riwayat penyakit paru, Karena frekuensi CHF pada pasien lansia sangat tinggi. Pasien mungkin mengalami eksaserbasi dari penyakit jantung yang telah diderita sebelumnya, atau dapat mengalami gagal jantung akibat kejadian koroner akut. Perburukan dari CHF yang pernah diderita sebelumnya dapat terjadi dengan penyakit jantung koroner atau valvular. Sebagai tambahan pada riwayat, rontgen dada menunjukkan kardiomegali, dengan atau tanpa efusi pleura, dan terdapat tanda CHF pada pemeriksaan fisik. CHF merupakan diagnosis yang paling menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari riwayatanya harus ditelusuri faktor pemicu emboli paru atau infark, yang juga menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari riwayat yang digali secara teliti dapat diketahui adanya riwayat stasis sekunder yang berkepanjangan hingga atau persalinan atau perjalanan yang terlalu lama.

Keganasan diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang juga memicu pasien mengalami emboli paru. Penyakit sistemik lainnya juga dapat berpengaruh pada paru baik secara langsung maupun tidak. Skleroderma dapat menurunkan motilitas esofagus yang memicu terjadinya pneumonia aspirasi, dan menyebabkan penyakit paru interstisiil yang menyerupai pneumonia. Dalam menggali riwayat, harus diajukan pertanyaan yang relevan terhadap gangguan yang memicu pneumonia.

Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik dada ditemukan adanya suara tambahan pada area

(14)

pneumonia. Suara napas yang keras dan tubular menandakan adanya sekresi pada bronkus utama, dan bukan merupakan penanda diagnostik pneumonia, namun dapat terjadi pada pneumonia. Suara redup pada basal dapat menjadi penanda adanya karsinoma, CHF, efusi pleura akibat keganasan atau proses intraabdomen, atau pneumonia bacterial. Efusi pleura bilateral jarang terjadi, namun jika ada, etiologi adalah infeksi. Efusi pleura bilateral dapat mengarah pada CHF sebagai diagnosis yang paling memungkinkan. Penyakit legionnaires’ juga dapat disertai dengan efusi pleura unilateral. Pada pneumonia akibat H. influenza dapat ditemukan efusi pleura rinan hingga sedang. Pneumonia pneumokokus dan pneumonia klebsiella lebih sering menunjukkan empyema dibandingkan efusi pleura, namun gejala klinis dalam hal auskultasi dada, akan sama. Redup juga menandakan konsolidasi pada area lobus paru yang terkena.

Sedikit temuan fisik yang berhubungan dengan influenza. Karena influenza merupakan proses intertisial, auskultasi dada senyap pada pneumonia influenza primer. Jika terdengar rales, khususnya jika terlokalisir pada satu segmen atau lobus pada seorang pasien dengan pneumonia viral, dan disertai pula dengan pneumonia bakterial. Pada pneumonia mycoplasma, terdapat perbedaan temuan klinis, misalnya temuan auskultasi, gambaran rontgen dada, yang dapat menjadi petunjuk diagnosis. Pneumonia C.

pneumoniae tidak memiliki temua khas dari pemeriksaan fisik, dan hampir menyerupai pneumonia mycoplasma dalam presentasi klinis, kecuali untuk

(15)

respiratori, namun virus- virus ini biasanya tidak menyebakan pneumonia viral pada lansia. Hubungan antara pneumonia dan laringitis mengarah pada pneumonia C. pneumniae sampai tidak terbukti, karena suara serak merupakan kekhasan dari pneumonia C. pneumniae namun tidak untuk penumonia M. pneumoniae.

Pemeriksaan penunjang

Seperti yang disebutkan sebelumnya, rontgen dada penting untuk mengesampingkan kondisi yang menyerupai pneumonia dan mengonfirmasi adanya pneumonia. Temuan lain pada rontgen dada dapat meiliki signifikansi diagnostik yang penting seperti distribusi lesi secara anatomis, penampakan lesi, apakah proses terjadi di alveolus atau intertisial, apakah proses terbatas pada perihilar atatukah perifer, atau apakah infiltrat terbatas pada segmen atau lobus atau mengabaikan segmen anatomis paru. Pada semua pasien lansia dengan pneumonia harus dilakukan kultur darah dan pemeriksaan darah lengkap selain rontgen dada.

Pemeriksaan lain yang harus dilakukan tergantung pada riwayat pasien, pemeriksaan fisik atau rontgen dada.

Jika dicurigai pneumonia atipikal, maka harus dilakukan pemeriksaan serum glutamic- oxaloacetic transaminase, serum glutamate pyruvate transaminase, alkaline phosphatase dan serum phosphorus. Pada pssien dengan batuk berdahak harus dilakukan pengecatan Gram dan kultur dahak

(16)

yang dikeluarkan. PAsien dengan bronkitis kronis tidak membutuhkan kultur atau perwarnaan Gram untuk sputum, karena hasilnya dapat ditemukan flora normal atau flora campuran, yang tidak berguna dalam menentukan etiologi diagnosis spesifik. Untuk patogen spesifik, harus dilakukan perhitungan titer pada fase akut dan konvalesen, bergantung pda pola distribusi organ dan ada tidaknya bradikardi relatif. Pemeriksaan serologi spesifik dapat dilakukan untuk pemeriksaan Legionella, Mycoplasma pneumoniae, atau C. pneumoniae. Pemisahan titer IgM dan IgG harus dilakukan. Jika dicurigai Mycoplasma, makan titer agglutinin dingin dapat dilakukan, dan paling sering meningkat pada awal dimulainya penyakit. Titer agglutinin dingin sebanyak �64 paling mungkin disebabkan mycoplasma daripada virus atau penyakit sistemik lainnya. Harus dilakukan perhitungan titer spesifik IgM dan IgG C. pneumonia. Jika titer chlamydia dilakukan, laboratorium dapat merespon dengan kombinasi hasil IgM/IgG, yang tidak berguna, atau dengan titer C. trachomatis.S

Jika terdapat kontak dengan burung psittacine, maka dapat diambil titer akut dan konvalesen untuk C. psittaci. Titer konvalesen sebaiknya diambil 6- 8 minggu setelah titer akut.Klinisi harus mengingat bahwa tidak semua pasien menunjukkan peningkatan respon antibodi, dan terapi antimikrobial dapat memudarkan atau menunda titer konvalesen. Peningkatan serum transaminase mungkin menandakan penyakit legionnaires’ atau sebagai alternatif CHF akibat kongesti pasif pada hati, atau infiltrate penyakit hati,

(17)

pria dapat mengarah pada benign prostatic hypertrophy (BPH), namun jika tidak terjadi pada pasien pneumonia, dapat mengarah pada penyakit legionnaires’. Diagnosis penyakit legionnaires’ dapat ditegakan dengan pewarnaan direct fluorescent antibody (DFA) pada sputum, dengan hasil yang rendah namun memberikan konfirmasi langsung pada diagnosis jika hasilnya positif. DFA positif untuk Legionella pada sputum menurun dengan cepat setelah dimulainya pemberian terapi antimikrobial. Oleh karena itu, DFA harus diambil dari pasien yang dicurigai memiliki penyakit legionella dengan sputum yang purulen, segera setelah dirawat inap, dan sebiaknya sebelum dimulai terapi anti-mikrobial. Pada pasien yang dicurigai Legionella, uji antigen legionella urin dapat dilakukan. Legionella antigenuria memakan waktu satu hingga dua minggu untuk menjadi positif, namun menetap selam berbulan-bulan setelah penyembuhan pneumonia legionella. Legionella antigenuria merupakan uji konfirmasi retrospektif yang paling membantu, namun terbatas manfaatnya pada awal dimulainya penyakit. Keterbatan lainnya dari uji antigen legionella adalah hsilnya positif khasnya untuk pneumophila serogrup 1 dan tidak positif untuk serogrup L. pneumophila atau banyak spesies non-L. pneumophila yang menyebabkan penyakit legionella. Klinisi harus melakukan tes lain yang akan membantu menyingkirkan penyakiti non-infkesi yang menyerupai pneumonia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Rontgen dada serial juga penting dalam mengevaluasi efikasi dari terapi pasien atau kurangnya respon, yang mungkin mengindikasikan terapi

(18)

antimicrobial yang tidak sesuai atau adanya penyakit non-infeksius menyerupai pneumonia. Setelah rontgen dada awal, pengulangan rontgen dada 3-5 hari setelah inisiasi terapi antimicrobial yang sesuai sangat bermanfaat. Jika pasien mulai membaik, rontgen ulangan biasanya tidak diperlukan kecuali jika pasien gagal untuk sembuh secara komplit, atau jika pneumonia memburuk atau kumat. Abnormalitas pada rontgen dada mungkin tetap tampak, khususnya pada pneumococcal pneumonia, selama berbulan-bulan setelah perbaikan klinis. Rontgen dada berulang tidak diperlukan selama pasien membaik secara klinis dan rontgen kedua telah menujukkan perkembangan yang berarti.

Jika dicurigai adanya influenza, dapat dilakukan kultur virus dari sekresi hidung atau orofaring, atau didiagnosis dari pemeriksaan serologi.

Wabahpneumonia akibat C. pneumonia di rumah perawatan paling baik didiagnosis secara serologi menggunakan titer IgM dan IgG spesifik C.

pneumoniae titers yang dilakukan pada fase akut dan selama masa konvalesen.

TERAPI ANTIMIKROBIAL

Pemilihan terapi antimrobial empiris untuk pneumonia yang didapat di komunitas, rumah perawatan atau rumah sakit bergantung pada perlindungan yang cukup terhadap patogen yang dicurigai. Namun, sebelum dipilih terapi antimikrobial, pertimbangan lain harus dipikirkan. Pasien harus

(19)

ditanya terkait adanya alergi obat, khususnya reaksi terhadap penicillin dan sulfonamides. Pasien dengan riwayat alergi penicillin harus ditanyakan reaksi alerginya, untuk menetukan apakah itu merupakan reaski anafilaktoid atau non-anafilaktoid. Pasien dengan riwayat alergi penicillin yang tidak cukup jelas, atau yang reaksi alerginya berupa dema, lesi makulopapula kemerahan, dapat diberikan antibiotik B-lactam. Pasien dengan riwayat rekasi anafilaktoid tidak boleh diberikan antibiotik b-lactam namun diberikan terapi dengan doxycycline, fluoroquinolone, monobactam, atau carbapenem. Kecuali untuk trimethoprim–sulfamethoxazole, tidak ada satupun antibiotik yang umum dipakai untuk pneumonia yang mengandung gugus sulphonamide.

Pasien lansia dengan berbagai derajat hati dan fungsi hati, yang penting dalam pemilihan antibiotik dan dosis. Pasien dengan penyakit hati berat membutuhkan antibiotik yang sedikit dieliminasi dan diinaktivasi di hati dalam dosis hariannya. Sebagia alternatif, pneumonia dapat diterapi dengan antibiotik yang dieliminasi atau diinaktifasi terutama di ginjal. Karena tidak terdapat tes yang bagus untuk mengecek fungsi hati, sebagiamana untuk fungsi ginjal, klinisi harus melakukan penilaian klinis dalam mengurangi dosis antimikrobial yang dieliminasi di hati. Insufisiensi hati ringan hingga sedang dapat diterapi dengan aman menggunakan obat-obatan yang secara primer dieliminasi atau diaktivasi di hati.

Jika antibiotik pilihan untuk mengobati pasien lansia dengan pneumonia

(20)

dielilminasi terutama melalu jalur ginjal, makan dosis hariannya harus dikurangi seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Karena creatinine pada pasein lansis tidak mewakili fungsi ginjal, penyesuaian dosis elminasi antibiotik melalui ginjal harsu didasarkan pada perhitungan atau estimasi creatinine clearance. Jika creatinine clearance pasien setengah dari individu normal, makan dosis harian harus diturunkan setengahnya. Penyesuaian dosis dapat tercapai baik dengan mengurani dosis atau mempertahankan interval dosis, atau mempertahankan dosis dan meningkatkan interval dosis, atau dengan mengurangi dosis dan meningkatkan interval dosis dimana dosis harian dikurangi sesuai dengan nilai creatinine clearance Pada pasein dengan anuria akibat insufisiensi ginjal berat, penyesuaian dosis dapat dialkukan berdasarkan creatinine clearance, atau sebagia alternatif, dapat digunakan antibiotik dengan spektrum yang sesuai yang dieliminasi serta diinaktivasi di hati. Dalam mengobati pasien dialysis, penting utnuk mencatat apakah pasien menggunakan chronic ambulatory peritoneal dialysis atau hemodialysis, karena antibiotik tidak dikeluarkan secara seimbang pada setiap proses dialysis, dimana eliminasinya membutuhkan perhitungan yang lebih kompleks. Klinisi harus mangacu pada standar referensi dalam menentukan dosis antimicrobial dalam dialisis, atau memiliki penyakit infeksius dan konsultasi ginjal sebagai paduan untuk obat- obatan dosis spesifik pada pasien dengan dialysis peritoneal atau hemodialisis.

(21)

intravena, khususnya di rumah perawatan pasien menjadi sulit. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan CAP atau mendapat pneumonia di rumah sakit, dapat diterapi secara intravena, karena akses vena biasanya diperoleh dari vena sentral atau vena seksi, jika diperlukan. Dahulu, rute pemberian obat intramuscular diandalkan, khususnya pada fasilitas perawatan kronis, yang memiliki kekurangan dalam tim intravena dan Kesulitan dalam pemasangan jalur intravena pad a lansia. Kecuali untuk aminoglycosides dan ceftriaxone, kebanyakan antibiotik yang digunakan untuk pneumonia tidak diberikan secara intramuscular. Karena pasien lansia sering mengalami penurunan masa otot, sulit dan tidak nyaman bagi pasien utnuk mendapatkan terapi antimicrobial melalui jalur ini.

Karena kesulitan pemberian antimikroba secara intravena dan intramuskular, telah terjadi peningkatan kecenderungan terapi menggunakan antibiotik oral baik secara total maupun parsial. Pasien dengan pneumonia nosokomial kebanyakan diterapi dengan antibiotik intravena. Sebaliknya, pasien CAP yang dirawat inap biasanya dimulai dengan terapi empiris antimikroba menggunakan antibiotik intravena, dan pasien yang membaik setelah 48 jam diubah menjadi terapi antibiotik per oral.

Terjadi peningkatan yang besar terkait program pergantian intravena menjadi per oral pada rumah sakit yang merawat pneumonia serta penyakit infeksi lainnya. Program perubahan terapi intravena menjadi per oral

(22)

memberikan manfaat farmakoekonomik yang penting pada sistem pelayanan kesehatan., dan bermanfaat bagi pasien di rumah sakit. Terapi antimikrobial oral menghapus kebutuhan akses vena dan pasien lebih cepat dipulangkan dari rumah sakit. Melalui pengurangan atau penghapusan antibiotik intravena, frekuensi phlebitis terkait terapi intravena berkurang.

Keuntungan farmakokinetik pada pasien sembuh dari pneumonia yang dipulangkan lebih awal dengan terapi antimikrobial oral tidak boleh disepelekan. Terapi anti microbial oral tidak hanya penting dalam perawatan pasien rawat inap dengan CAP namun secara khusus utnuk pasein dengan pneumonia pda fasilitas perawatan kronis. Pasien NHAP merupakan kelompok yang paling merasakan manfaat dari terapi anti mikrobial oral.

Tenaga kerja di rumah perawatan tidak siap sedia seperti di rumah sakit.

Populasi utama pasien adalah lansia dan memiliki masa otot yang terbatas dan akses vena yang buruk. Pengobatan NHAP diselesaikan melalui rute oral memberikan beberapa manfaat bagi pasien. Pengobatan NHAP awal dengan antibiotik oral memberikan kesempatan pada pasien untuk tetap berada di rumah perawatan dan menyelesaikan rangkaian terapi di sana. Pengobatan awal NHAP dapat mencegah pasien ditransfer ke fasilitas perawatan tingkat tiga untuk tujuan rawat inap, yang mungkin tidak diperlukan jika terapi antimicrobial oral dimulai pada fasilitas perawatn kronis (Tabel 1).

(23)

Pemilihan terapi antibiotik empiris

Terapi empiris antimikroba harus didasarkan sesuai pathogen yang dicurigai, yang berbeda menurut lokasi pneumonia diperoleh. Dokter harus mengenal patogen yang paling mungkin diperoleh pasien dengan CAP, NHAP, atau NP, untuk menentukan antimikroba sesuai dengan spektrumnya. Terapi antimicrobial yang optimal yaitu yang tidak melewatkan patogen yang penting dan juga tidak memberikan perlindungan berlebih terhadap patogen yang diketahui maupun yang ternyata tidak ada.

Patogen yang bertanggung jawab untuk CAP yaitu Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, and Moraxella catarrhalis. K. pneumonia

(24)

merupakan pertimbangan tambahan pada pasien dengan sirosis alkoholik..

Enterobacter, Serratia, Acinetobacter and Pseudomonas aeruginosa dapat tidak diikutkan dalam perlindungan empiris pada pasien lansia dengan CAP.

Pneumonia aspirasi yang didapat dari komunitas diakibatkan oleh flora anaerobik yang teraspirasi. Bakteri anaerobik dari atas pinggang, termasuk flora orofaringeal, tidak membutuhkan perlindungan anti-Bacillus fragilis, dan biasanya sensitif terhadap hamper semua antibiotik pilihan untuk mengobati pneumonia.

Karena pneunonia aspirasi merupakan entitas klinis yang penting, dengan mortalitas dan morbiditas yang menyertainya, sehingga bukan menjadi pertibangan terapeutik yang penting. Sekitar 85% dari CAP diakibatkan oleh bakteri patogen yang disebutkan di atas, menurut wilayah geografisnya, dan 15% sisanya disebabkan oleh patogen atipikal, seperti Legionella, Mycoplasma, atau C. pneumoniae. Legionella dan C. pneumonia merupakan penyebab pneumonia tipikal pada lansis yang paling sering, dan Mycoplasma pneumonia relative sedikit pada kelompok usia ini [6].

Kebanyakan klinisi lebih suka memberikan terapi yang mencakup baik patogen tipikal maupun atipikal dengan antibiotik empiris. Karena umunya pasien lansia mengonsumsi banyak obat-obatan, polifarmasi menjadi potensi masalah dalam interaksi antar obat.

Karena kombinasi terapi tidaklah lebih baik daripada monoterapi, monoterapi lebih disukai atas dasar harganya yang murah dan

(25)

kemudahannya Kombinasi terapi yang telah digunakan dalam terapi CAP meliputi cephalosporin generasi ketiga, biasanya ceftriaxone, plus doxycycline atau macrolide. Pada rejimen parenteral, erythromycin atau azithromycin telah banyak digunakan dan paling sering dikombinasikan dengan ceftriaxone. Ceftriaxone, doxycycline atau quinolone untuk penyakit respirasi merupakan rejimen monoterapi yang cukup popular. Ceftriaxone saja (monoterapi) efektif melawan semua tipe patogen, namun tidak untuk patogen atipikal. Ceftriaxone tidak memiliki batasan ekuivalen per oral untuk pengaplikasiannya dalam program mengganti rejimen dari intravena menjadi per oral. Makrolid sebiaknya tidak dipergunakan sebagai monoterapi dalam mengobati CAP, karena sekitar 20% dari strain Streptococcus pneumoniae resisten terhadap semua makrolid. Doxycycline tersedia dalam bentuk intravena dan per oral, dan efektif melawan baik patogen tipikal maupun atipikal. Keduanya ceftriaxone and doxycycline efektif melawan hamper semua strains Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Quinolones respiratoryyang sangsat aktif melawan baik patogen tipikal maupuan atipikal yang menyebabkan CAP.

Karena ciprofloxacin relative inaktif melawan Streptococcus pneumoniae, bahkan jika ia aktif melawan patogen atipikal, tidak disebut sebagai

‘quinolone respiratori’. Levofloxacin merupakan quinolone respiratori pertama dan satu-satunya yang telah digunakan hamper secara luas. Saat ini, quinolone respiratori lainnya, seperti gatifloxacin, ekuivalen dengan levofloxacin dalam aktivitasnya melawan baik patogen tipikal maupun

(26)

atipikal sebagaimana hampir semua strains pneumokokus yang resisten terhadap penicillin. Quinolone respiratori ideal dalam program pergantian dari intravena menjadi per oral. Karean bioavailabilitasnya yang sangat tinggi, sebesar 99–100% untuk levofloxacin, antibiotik ini ideal tidak hanya untuk program pergantian dari intravena menjadi per oral, namun juga dalam pengobatan CAP dan NHAP ketika digunakan per oral saja.

Karena distribusi patogen NHAP hamper bersamaan dengan CAP, NHAP harus diterapi dengan cara yang sama dengan CAP. Perlindungan empiris pada NHAP haus ditujukan melawan Streptococcus pneumoniae, H.

influenzae, atau Moraxella catarrhalis. Seperti halnya CAP, pneumonia aspirasi, penyebab NHAP yang umum, dapat diterapi dengan monoterapi atau kombinasi terapi seperti yang disebutkan di atas. Karena monoterapi oral bermanfaat pada HP, doxycucline atau quinolone respiratori merupakan agen ideal untuk pengobatan NHAP. Ketidakmampuan untuk memasang akses intravena, atau tertundanya pemasangan, sering terjadi saat transfer pasien NHAP ke rumah sakit untuk pengobtan pneumonianya. Pemberian anibiotik oral yang sesuai sedini mungkin pada pasien NHAP memberikan manfaat pengobatan, dan menghilangkan kebutuhan transfer pasien ke fasilitas perawatan tersier.

Pneumonia nosocomial disebabkan oleh bakteri basil aerob Gram-negatif yang ditemukan di lingkungan rumah sakit. Perlindungan biasanya idlakukan melawan P. aeruginosa karena merupakan organisme paling invasif yang

(27)

menyebabkan pneumonia di rumah sakit.

Pneumonia nekrosis akibat P. aeruginosa tidak umum diasosiasikan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Antibiotik efektif melawan P.

aeruginosa biasanya efektif melawan bakteri basil aerob Gram-negatif yang lain yang mungkin menyebabkan HP seperti Escherichia coli, K. pneumoniae, atau Serratia marcescens. Terapi empiris yang sesuai dilakukan dengan beberapa cara, tergantung pada ada tidaknya P. aeruginosa sebagai patogen yang dicurigai. Jika pasien dating dengan pneumonia nekrosis yang dikarakteristikan dengan kavitasi yang cepat pada gambaran rontgen dada dan gejala klinis yang berat, maka kebanyakan klinisi lebih suka memberikan perlindungan antipseudomonal ganda. Rejimen lain meliputi obat ganda antipseudomonal empiris untuk rangkaian terapi selama 14 hari, apapun etiologi dari NP. Sebagai alternatif, beberapa pusat perawatan lebih suka memulai terapi dengan obat antipseudomonal ganda dan menghentikan salah satu antibiotik setelah 72 jam, jika Pseudomonas tidak tampak secara klinis atau terisolasi dari darah. Pendekatan lain untuk memulai terapi dengan antibiotik tunggal antipseudomonal, dan tambahan antipseudomonal kedua jika Pseudomonas tampak secara klinis atau tumbuh dari aliran darah setelah 72 jam. Empat belas hari merupakan durasi terapi biasa, tanpa melihat pilihan rejimen.

Pneumonia aspirasi nosokomial akibat sekresi orofaring yang teraspirasi dan yang telah terkolonisasi oleh bakteri basil aerob Gram-negatif selama

(28)

minggu pertama rawat inap. Bahan orofaring yang teraspirasi ini mengandung organisme anaerob, seperti pada kasus pneumonia aspirasi yang didapat dari komunitas, namun selain itu, juga mengandung bakteri basil aerob Gram-negatif dari lingkungan rumah sakit. Karena organisme anaerobik bukan merupakan pertimbangan penting pada pneumonia aspirasi, terapi pneumonia nososkomial, baik aspirasi maupun tidak, harus langsung ditujukan melawan bakteri basil Gram-negative bacilli dan bukan organisme anaerob, sepertin halnya pada pneumonia aspirasi CAP atau NHAP.

PENCEGAHAN MELALUI VAKSINASI

Streptococcus pneumoniae bertanggungjawab terhadap sejumlah kasus pneumonia, dan vaksin telah dikembangkan sebagai usaha untuk mencegah penyakit dan kematian. Vaksin penumokokus merupakan pilihan yang menarik seiring dengan meningkatnya resistensi antibiotik terhadap strain pneumokokus. Empat belas serotipe pertama vaksin polisakarida pneumokokus telah ada sejak tahun 1981, dan sejak 1983, 23 serotipe vaksin telah digunakan, mengandung secara kasar 90% serotype Streptococcus pneumoniae. Namun, efektivitas vaksni pneumokokus masih kontroversial dan telah menjadi subyek dari beberapa uji coba acak terkontrol dan meta-analisis.

Cornu et al20 melakukan 14 uji coba pada tahuan 2001 dengan total 48.837

(29)

pasien (bukti tingkat I). Mereka menemukan bahwa vaksin pneumokokus memiliki efikasi yang tinggi dalam mencegah pneumonia pnumokokus (bacteremia) sebesar 71%, dugaan pneumonia pneumokokus sebesar 40%, dan mortalitas akibat pneumonia sebesar 32%, namun tidak semua menyebabkan pneumonia atau kematian, yang sama dengan meta-analisis sebelumnya. Analisis ini tidak mampu menunjukkan efikasi preventif melawan semua penyebab pneumonia dan diperkirakan karena adanya heterogenitas antar penelitian dan menurunnya kekuatan statistic. Analisis subkelompok pasien lansia juga tidak menunjukkan adanya hasil positif untuk beberapa poin akhir, terutama akibat rendahnya kekuatan statistik.

Studi lain melihat efektivitas vaksin pneumokokus pada pasien usia lebih dari 65 tahun (bukti tingkat III). Studi ini merupakan kohort retrospektif dari 47.365 subyek dan menunjukkan bahwa vaksin efektif dalam menurunkan bakteremia, namun tidak mengubah risiko pasien rawat jalan atau bebrapa kasus community-acquired pneumonia atau pneumonia nonbacteremic pneumococcal baik yang membutuhkan rawat inap atau tidak. Hal ini disepakati dengan meta analisis oleh Cornu.

Pada pasien lansia yang tirah baringm vaksinasi penumokokus memperpendek total keseluruhan hari demam dan mengurangi tingkat rawat inap namun, tidak mengubah mortalitas pneumonia atau penyakit invasif penumokokus (bukti tingkat IV). Dalam suatu studi kasus kontrol, diperkirakan efikasi vaksin menurun setelah usia 75 tahun (bukti tingkat

(30)

IV).24 Vaksin diberikan setiap 5 tahun, meskipun efikasinya lebih rendah, vaksin ini menjadi pilihan yang menarik seiring meningkatnya risiko pneumonia pada populaasi lansia.

Ulasan penelitian oleh The Cochrane Collaboration dari tahun 1966 hingga Juni 2007 diketahui bahwa kombinasi hasil studi-studi ini sekali lagi gagal untuk menunjukkan efektivitas vaksin pneumokokus polisakarida dalam mencegah baik pneumonia (odds ratio 0.71, confidence interval 0.52– 0.97) atau kematian (odds ratio 0.87, confidence interval 0.69 –1.10) (bukti tingkat I).25 Meskipun uji coba sebelumnya mempunyai hasil postif yang lebih banyak, namun kumpulan uji coba setelah tahun 1977 menunjukkan tidak adana efek. Hal ini dapat disebabkan oleh perkembangan metodologi penelitian atau perbedaan pengaturan studi terhadap penurunan efikasi seiring waktu. Juga diketahui bahwa penelitian terdahulu sering dilakukan pada populasi sehat yang berisiko tinggi dimana manfaat vaksin yang diharapkan menjadi lebih besar. Serta, kesulitan dalam diagnosis mungkin menjadi alasan mengapa hasil kumpulan uji terkontrol acak terhadap vaksin pneumokokus tidak menunjukkan manfaat yang signifikan.26 Beberapa studi dialkukan denagn kultur darah yang diisolasi, smeentara yang lainnya menggunakan kultur sputum dan serologi.

Selain itu, studi kasus kontrol (bukti tigkat IV) menunjukkan keberhasilan dalam mencegah penyakit pneumokokus invasif (OR 0.48, confidence interval 0.37- 0.61) yang sesuai dengan efikasi sebesar 53%. Dengan

(31)

demikian, bukti dari studi tidak acak menunjukkan bahwa vaksin efektif dalam mengurangi penyakit pneumokokus invasif pada orang dewasa. Para penulis memperkirakan insiden infeksi pneumokokus menjadi 0,01%. Efikasi sebesar 50% sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati oleh 20.000 vaksinasi per infeksi yang dihindari, dan mungkin 50.000 per kematian yang dihindari. Secara keseluruhan, tampaknya vaksin merupakan pilihan yang efektif dari segi harga dan dapat mencegah penyakit pneumokokus invasif dengan sedikit efek samping. Vaksinasi dianjurkan untuk semua pasien yang imunokompeten >65 tahun, dan semua orang yang lebih muda dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit paru kronis, diabetes mellitus, alkoholisme, penyakit hati kronis, kebocoran cairan serebrospinalis, dan asplenia fungsional atau anatomis.

Sedikit kontroversi yang muncul terkait vaksin influenza karena merupakan pilihan preventif yang menarik dan efektif dari segi harga. Vaksin yang kini digunakan bersifat trivalent dan mengandung dua virus tipe A dan satu virus tipe B. Suatu meta-analisis dari 20 studi yang dilakukan terhadap psien usia lebih dari 65 tahun penderita community-acquired pneumonia menunjukkan bahwa vaksin mengurangi kejadian pneumonia hingga 53%, rawat inap sebesar 50%, dan tingkat mortalitas sebesar 68% (bukti tingkat I). Meskipun infeksi paru bukan merupakan gejala utama dari influenza, namun berasosiasi kuat dengan mortalitas, baik karena pneumonia akibat virus atau superinfkesi bakteri. Terdapat konsensus pada pustaka bahwa vaksin influenza harus diberikan setiap tahun bagi semua pasien usia tua dan

(32)

merupakan faktor penting perawatan pasien-pasien ini di rumah. Termasuk para individu lain yang berisiko tinggi atau berisiko tertular influenza, seperti tenaga kesehatan, juga harus divaksinasi. Menariknya, ulasan terbaru oleh Simonsen et al mempertanyakan efikasi setelah usia 70 tahun dan pada lansia yang lemah. Penulis menilhat kurangnya bukti pada populasi ini dan kohort studi yang memiliki bias dengan memvaksin lansia yang

“sehat”. Diperkirakan bahwan efektivitas vaksin menurun setelah usia 70 tahun dan karena kurangnya uji coba acak terkontrol pada populasi ini.

Meskipun demikian, penulis menyimpulkan bahwa vaksin harus masih diberikan pada pasien lansia hingga terdapat lebih banyak bukti yang ternyata bertentangan.

Selain vaksin, cara lain untuk mencegah pneumonia tidak boleh diabaikan.

Hal ini meliputi cuci tangan yang benar (khususnya di rumah sakit untuk mencegah penyebaran bakteri dan mikrobiologi lain), memastikan kebersihan mulut (Khusunya pada pasien yang tidak dapat merawat diri mereka sendiri) dan menghindari aspirasi pneumonia dengan memastikan kepala tempat tidur dinaikkan dan pasien dalam keadaan sadar saat sedang makan.

(33)

DAFTAR RUJUKAN

1. Falsey AR and Walsh EE, Viral Pneumonia In Older Adults, Clinical Infectious Diseases 2006;42:518–24

2. Castillo JG, Sánchez FJM, Llinares P, Menéndez R, Mujal A, Navas E, Et Al, Guidelines For The Management Of Community- Acquired Pneumonia In The Elderly Patient, Rev Esp Quimioter 2014;27(1):

69-86

3. Tipping B, Villiers LD, Pneumonia In The Elderly—Diagnosis And Treatment In General Practice, SA Fam Pract 2006;48(5): 24-28) 4. Chong CP and Street PR Pneumonia In The Elderly: A Review Of

Severity Assessment, Prognosis, Mortality, Prevention, And Treatment
 Southern Medical Journal 2008:101(11): 1134-40 5. Singh YD. Pathophysiology Of Community Acquired Pneumonia JAPI

2012;60: 7-9

6. O’Connor S, Aspiration Pneumonia And Pneumonitis, Aust Prescr 2003;26:14–7

7. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M,et al, Community-Acquired Pneumonia In The Elderly, Am J Respir Crit Care Med 1997;156:1908–1914.

Referensi

Dokumen terkait

Egg samples from Jumpai Beach, had the highest number of categories for undeveloped eggs 93 eggs at nest depths of 35cm and 49 days of incubation, eggs with embryos that were not fully

Pada penelitian ini juga ditunjukkan bahwa, pola-pola spektral merupakan respon reflektansi spektral vegetasi cengkeh yang khas dari spektrum tampak biru, hijau dan merah dan infra

Waktu yang diperlukan dalam proses otentikasi dengan sosial media memiliki hasil yang berbeda dari setiap input yang digunakan, dalam hal ini input yang digunakan adalah data sosial

Penananganan penderita dengan keluhan nyeri pinggang, menurut A Joint Clinical Practice Guidline from the American College of Phyysicians and the American Pain Society, memberikan

Indicator of self image congruity and value obtained by consumers in accordance with the price paid becomes an important indicator in increasing repurchase intention of The Premiere

Untuk tujuan aplikasi, metode voltametri pelucutan anodik dengan elektroda pasta karbon yang termodifikasi zeolit digunakan untuk analisis logam CuII dalam sampel limbah pembuatan gong

Beberapa studi menunjukkan prevalensi gangguan memori pasca stroke berkisar antara 23-55% pada 3 bulan pasca stroke, dan mengalami penurunan sekitar 11-31% pada 1 tahun pasca stroke.6

Pengawasan ketat diperlukan terhadap kemampuan menelan, hidrasi, keseimbangan elektrolit, berat badan dan gangguan pernapasan.5 Studi oleh Rabadi dkk pada pasien dengan nutrisi yang