The Role of Specific Enteral Nutrition in Neurological Cases dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
Berbagai penyakit neurologis menunjukkan dampak yang besar pada efek nutrisi dan status nutrisi pada pasien dengan penyakit neurologis. Disfagia orofaringeal memberikan dampak yang paling besar pada asupan gizi selain dari paralisis, immobilisasi, fungsi motorik yang abnormal dan berbagai gangguan neuropsikologis.1
Gerakan menelan orofaringeal meliputi gerakan yang cepat, koordinasi tinggi dari gerakan neuromuscular yang diawali dengan penutupan bibir dan diakhiri dengan pembukaan spinkter esophagus atas. Koordinasi sentral dari tugas sensorimotor semiautomatic ini melibatkan jaringan struktur kortikal, subkortikal dan batang otak. Banyak penyakit dan kelainan yang mengenai jaringan menelan sentral dan saraf perifer menyebabkan gangguan menelan seperti disfagia orofaringeal.1
Gangguan menelan dijumpai pada kurang lebih 50% dari pasien dengan stroke iskemik dan hemoragik. Pada pasien ini terdapat tiga kali peningkatan resiko terhadap aspirasi pneumonia, dan mortalitas meningkat secara signifikan dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami disfagia.2
Malnutrisi merupakan suatu masalah yang umum dijmpai pada pasien dengan gangguan neurologis seperti stroke, penyakit motor neuron, penyakit parkinson, penyakit alzheimer dan demensia lainnya. Penyebab malnutrisi pada pasien ini bersifat multifaktorial seperti asupan diet yang suboptimal (dikarenakan disfagia, kurangnya nafsu makan, mobilitias yang berkurang, ketergantungan dengan keluarga dan gangguan fisik dalam mempersiapkan dan mengkonsumsi makanan), peningkatan metabolisme dan komorbiditas lainnya. Konsekuensi dari malnutrisi dapat menjadi buruk dikarenakan gangguan ini meliputi berbagai macam jenis fungsi tubuh dan menyebabkan eksaserbasi penyakit utama.1,3
Oleh karena itu, penanganan status nutrisi merupakan aspek mayor dalam penanganan multidisplin pada gangguan ini. Terdapat beberapa pendekatan terhadap masalah nutrisi. Strategi yang paling sering digunakan adalah untuk mempertahankan asupan makanan pada pasien yang dapat menelan dengan lancar adalah skrining status nutrisi secara rutin, fortifikasi makanan, memperkenalkan jenis makanan yang lain dan modifikasi tekstur serta menggunakan peralatan makan yang dimodifikasi dan bantuan nutrisi oral.
Namun, ketika penyakit yang diderita menganggu asupan oral, maka pasien
membutuhkan bantuan nutrisi buatan dalam bentuk makanan melalui selang enteral atau parentral.3
Enteral Tube Feeding
Pemberian makanan enteral melalui selang dapat memberikan bantuan nutrisi pada pasien yang tidak dapat memenuhi kalori yang adekuat atau dimana asupan gizi oral tidak aman dan dikontraindikasi, misalnya dikarenakan ketidak mampuan menelan. Terdapat beberapa pilihan pada pemberian makanan enteral seperti menggunakan selang nasogaster dan selang gastrostomy. Akses enteral post pilorik ke duodenum dan jejenum juga mungkin, namun sulit secara teknis dan jarang dilakukan.4
Selang Nasogastrik (NGT)
Pemasangan selang NGT melalui rongga hidung menuju lambung merupakan prosedur yang mudah dan cepat untuk pemberian makanan enteral.
Cara ini seringkali digunakan di ruang rawat inap dan merupakan metode pilihan sebagai jalur makan untuk periode yang singkat(4-6 minggu). Namun klinisi harus memeriksa pemasangan selang untuk menghindari selang masuk ke paru.
Pengunaan selang NGT tidak cocok untuk pasien yang memerlukan enteral feeding dalam jangka panjang dikarenakan selang NGT menyebabkan ketidaknyamanan, refluks gastroesofagus yang sering, penyumbatan, kurang estetik dan dapat tercabut secara tidak sengaja dan menyebabkan aspirasi.1,4
Metode gastrostomi
Percutaneous endoscopic gastronomy
Percutaneous endoscopic gastronomy
(PEG) merupakan baku emas untuk pemasangan selang gastrostomy, dimana selang tersebut dimasukkan melewati esophagus, lambung dan dinding abdomen. Prosedur tersebut biasanya relative muda dan cepat, menggunakan paduan ensodkopi dengan sedasi ringan.Cara ini meminimalkan risiko selang berubah posisi atau tersumbat. Ventilasi non invasif dimungkinkan ketika pasien membutuhkan bantuan respiratori.4
Radiologically inserted gastrostomy
Radiologically inserted gastrostomy (RIG), juga dikenal sebagai gastrostomy radiologi perkutaneus. Metode ini dilakukan dengan bantuan panduan fluroskopi, menggunakan anastesi local dan memasukkan selang gastrostomy ke dalam lambung dari dinding abdomen. Metode ini memerlukan gastropeksi dan selang yang digunakan cenderung lebih sempit sehingga rentan terjadi sumbatan dan pergeseran.4
Per-oral image-guided gastrostomy
Per-oral image-guided gastrostomy (PIG) merupakan teknik modifikasi dari insersi PEG dengan bantuan fluroskopi. Metode ini merupakan gabungan dari PEG dan RIG dan metode ini memerlukan sedasi minimal atau anastesi local.
Ventilasi non invasif masih dapat diberikan jika diperlukan dan memungkinkan insersi serta diameter selang yang sama seperti PEG. Namun, metode ini memerlukan keahlian yang lebih kompleks.4
Gastrostomi bedah
Insersi gastrostomy melalui pembedahan jarang dilakukan terutama pada pasien neurologi dan merupakan metode terakhir yang dipilih apabila tidak ada metode gastrostomi lainnya yang cocok atau telah gagal.4
Gambar 1.1. Ilustrasi perbandingan metode gastrostomi4
Pemberian makanan enteral pada stroke
Pemberian makanan enteral biasanya mengandung 1 kkal energi dan 0,04 gr protein per milliliter (dengan atau tanpa serat), namun terdapat berbagai formula untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien dan disesuaikan dengan jenis penyakit serta kebutuhan nutrisi. Formula polimerik juga seringkali digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan selang makan dan mudah ditoleransi. Formula ini terdiri dari protein kompleks, karbohidrat kompleks, lemak rantai panjang dan trigliserida rantai sedang. Penambahan produk tambahan seperti protein bubuk, polimer glukosa atau minyak trigliserida rantai sedang dapat digunakan untuk menambah densitas energi atau kadar protein formula tersebut. Penambahan serat juga menguntungkan bagi mikrobiota.1,4
Selain itu juga terdapat teknik pemberian makanan yang berbeda.
Pemberian makan secara bolus yaitu memberikan formula makanan 100-400 ml
melalui spuit dalam jangka waktu yang sempit (10-30 menit) dan interval yang singkat (3-6 jam). Teknik lainnya adalah secara kontinu (24 jam), siklus (16-18 jam dengan 2-4 jam istirahat), intermiten (4-6 jam dengan 2-4 jam istirahat).4
Pemberian makan secara bolus merupakan cara yang mudah, cepat dan murah, namun berkaitan dengan peningkatan angka kejadian dari kembung, diare, aspirasi dan frekuensi waktu makan yang bertambah sehingga mengurangi kualitas hidup pasien. Pemberian makan sepanjang malam yaitu dengan cara pemberian formula makanan sebanyak 1,5-2 liter selama 8-12 jam dengan kecepatan yang dikontrol. Hal ini mengurangi efek samping dan juga mengurangi frekuensi pemberian makan di siang hari, namun membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal sehingga tidak praktis bagi semua pasien serta mempunyai risiko tinggi terjadi aspirasi.4
Pasien disfagi dengan kemampuan menelan yang membaik merupakan kandidat makanan oral. Sebanyak 60% dari pasien penderita stroke akan mengalami perbaikan kemampuan menelan dalam 3 bulan onset stroke. Oleh karena itu, pemakaian selang makan hanya bersifat sementara. Evaluasi yang rutin dengan terapi wicara dapat mengidentifikasi perbaikan dalam fungsi menelan sehingga transisi perlahan dari selang makan ke makanan oral dapat dilakukan.5
Transisi dari selang makan menuju ke oral dilakukan secara bertahap.
Pasien harus diberikan 5 sampai 6 makanan oral sehari dengan konsistensi yang sesuai. Pilihan makanan untuk inisasi makan secara oral kompleks dan didasarkan pada klinis dan pemeriksaan. Jika pasien mampu mengkonsumsi 75% atau lebih dari nutrisi yang dibutuhkan selama 3 hari berturut-turut maka selang makan dicabut. Pengawasan ketat diperlukan terhadap kemampuan menelan, hidrasi, keseimbangan elektrolit, berat badan dan gangguan pernapasan.5
Studi oleh Rabadi dkk pada pasien dengan nutrisi yang kurang yang menerima suplementasi nutrisi oral terkonsentrasi dengan kalori tinggi ketika rehabilitasi paska stroke menunjukkan peningkatan fungsi motorik yang lebih baik dan tingkat kelangsungan hdup yang lebih tinggi dibandingkan nutrisi standar.6 Transisi dari selang makan ke makanan oral merupakan suatu hal yang menantang dan menguras fisik dan mental. Beberapa pasien dapat menjadi terlalu agresif dalam masa transisi ini dan mengalami kegagalan yang akan membuat patah semangat untuk mencoba lagi. Proses transisi ini harus didiskusikan secara rinci kepada pasien dan keluarga.1
Daftar Pustaka:
1. Burgos R. dkk. ESPEN guideline clinical nutrition in neurology. Clinical nutrition. 1-43
2. Martino R, dkk. Dysphagia after stroke : incidence, diagnosis, and pulmonary complications. Stroke. 2005;36:2756-2763
3. Bouziana SD, Tziomalos K. 2011. Malnutriton in patients with acute stroke. Journal of nutrition and metabolism. 1-7
4. Stravroulakis T, McDermott CJ. 2016. Enteral feeding in neurological disorders. Pract Neurol; 16:352-361
5. Aquilani R, dkk. 2011. Nutrition for brain recovery after ischemic stroke : an added value to rehabilitation. Nutrition in clinical practice;
26(3):339-345
6. Rabadi MH, dkk. Intensive nutritional supplements can improve outcomes in stroke rehabilitation. Neurology. 1852