• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA AKHIR"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA ASUH

ORANGTUA DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA AKHIR

Marshallina

Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa/i di BINUS University yang berjumlah 34 orang. Alat pengambilan data dilakukan melalui kuesioner dengan skala pola asuh orangtua dan identitas diri. Hasil analisis menggunakan chi-square diperoleh nilai Chi-square = 20.767; p < 0.05, hasil ini berarti ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir. Tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh authoritative adalah achievement. Tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh authoritarian adalah achievement. Tipe identitas yang dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh indulgent hanya tipe identitas diffusion. Dan tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh neglected adalah diffusion. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengn identitas diri pada remaja akhir. Remaja yang diasuh dengan pola asuh tipe authoritarian dan authoritative akan mencapai identitas dirinya.

Kata Kunci: Pola asuh Orangtua, Identitas Diri, Remaja Akhir

(2)

1. Pendahuluan

Masa remaja (adolescence) merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.

Dikatakan sebagai masa transisi karena sudah tidak pantas disebut sebagai anak-anak namun belum pantas untuk disebut dewasa.

Pada masa ini, remaja memiliki banyak pilihan dimana mereka dituntut untuk menentukan pilihan apa yang akan mereka pilih. Remaja bingung untuk menentukkan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Masa remaja juga disebut sebagai masa mencoba-coba. Remaja cenderung mencoba hal-hal baru yang belum pernah mereka alami serta cenderung memiliki resiko yang besar. Kecenderungan ini membuat remaja kurang waspada dalam bertingkah laku, sehingga mereka sering bertindak ceroboh dan tidak mempertimbangkan dengan baik akibat perilakunya.

Oleh karena itu, remaja menjadi rentan terhadap dampak perilaku mereka sendiri (Geldard & Geldard, 2000).

Pembentukan identitas terjadi berdasarkan proses eksplorasi (krisis) dan komitmen yang diterapkan nilai-nilai, keyakinan dan tujuan dalam berbagai domain kehidupan. Remaja akan mengeksplorasi banyak peran-peran dan kepribadian yang berbeda-beda. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki remaja selama mengeksplorasi banyak peran menjadikan remaja berpikir untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam memilih keyakinan untuk dapat menjelaskan siapa dirinya. Di tahap ini remaja berada pada tahap krisis identitas. Krisis artinya remaja aktif melibatkan diri dalam memilih hampir semua alternatif pilihan yang ada.

(3)

Remaja lahir dalam pemeliharaan orangtua dan dibesarkan dalam keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan berinteraksi dengan orang lain diluar keluarganya. Dalam keluarga seharusnya terbentuk interaksi yang intim antara anak dan orangtua. Interaksi dengan orang tua sudah terbentuk di pikiran dan tingkah laku sejak masih anak-anak. Hubungan dan interaksi yang baik antara orang tua dan remaja diwujudkan dalam proses pengasuhan, cara-cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Orangtua berperan sebagai pengasuh, pembimbing dan pendidik. Sehingga keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, etika, agama, moral, sosial dan pendidikan anak yang dapat menjadi bekal yang kuat untuk menjadi individu yang berhasil.

Pada dasarnya masa remaja dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak, dan kedekatan dengan orang tua di masa kanak-kanak merupakan faktor yang sangat berguna bagi remaja untuk dapat bertahan dalam kehidupannya di tengah masyarakat (Bowlby, 1969).

2. Tinjauan Teori

2.1. Identitas Diri

Menurut Erikson (dikutip oleh Corsini, 2002), identitas adalah suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubuh, body image, tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, suatu perasaan yang berhubungan dengan rasa keunikan dan kemandirian.

Erikson (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa tugas terpenting bagi

(4)

remaja adalah mencapai identitas diri yang lebih mantap melalui pencarian dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan sosial. Usia remaja berada pada situasi stadium identity diffusion atau role-confusion. Stadium identity diffusion yaitu keadaan dimana seseorang tidak mampu menemukan identitas sesungguhnya, menemukan peran (George, 2006).

Identity versus identity confusion merupakan tahap perkembangan Erikson

yang ke-lima yang terjadi pada saat individu berada pada masa remaja. Pada tahap ini, remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Erikson yakin bahwa remaja menghadapi sejumlah pilihan dan pada titik tertentu di masa muda akan memasuki suatu masa psychological moratorium (Santrock, 2003)..

Psychological moratorium adalah istilah Erikson untuk kesenjangan antara

rasa aman di masa kanak-kanak dengan otonomi individu dewasa yang dialami remaja sebagai bagian dari eksplorasi identitas mereka.

Santrock (2003) mendefinisikan krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas selama dimana remaja masih memilih diantara pilihan-pilihan yang bermakna. Beberapa peneliti biasa menyebutnya dengan eksplorasi dan bukan krisis.

Komitmen adalah sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan mereka lakukan. Keempat status identitas tersebut adalah:

i. Identity diffusion merupakan istilah yang digunakan remaja yang belum pernah mengalami krisis (sehingga mereka belum pernah mengeksplorasi adanya alternatif- alternatif yang berarti) atau membuat suatu komitmen. Selain tidak mampu

(5)

membuat keputusan mengenai pekerjaan dan ideologi, remaja pada status ini juga tidak menunjukkan adanya minat pada kedua hal tersebut.

ii. Identity foreclosure adalah istilah yang dipakai Marcia untuk remaja yang telah membuat suatu komitmen namun belum pernah mengalami krisis. Status ini sering terjadi ketika orang tua menyerahkan komitmen kepada remaja yang biasanya dengan cara otoritarian. Remaja menjadi tidak memiliki kesempatan yang adekuat untuk mengeksplorasi pendekatan-pendekatan, ideologi, dan pekerjaan yang berbeda-beda dengan cara mereka sendiri.

iii. Identity moratorium adalah istilah yang digunakan Marcia untuk remaja yang berada dalam krisis, namun tidak memiliki komitmen sama sekali ataupun memiliki komitmen yang tidak terlalu jelas.

iv. Identity achievement adalah istilah Marcia untuk remaja yang telah melewati krisis dan telah membuat komitmen.

2.2. Pola Asuh Orangtua

Pola asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya.

Sedangkan pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua

Identitas Komitmen

Tinggi Rendah

Krisis/Eksplorasi

Tinggi Identity Achievement

Identity Moratorium Rendah Identity

Foreclosure Identity Diffusion

(6)

mendidik, membimbing, dan melindungi anak (Gunarsa, 2002).

Diana Baumrind (Santrock, 2007), seorang pakar parenting berpendapat ada cara yang terbaik untuk mengasuh anak. Baumrind percaya bahwa orang tua tidak boleh terlalu menghukum (punitive) atau terlalu tidak peduli (aloof) Sebaiknya, orangtua menyusun aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif dan membimbing dan mengasuh (nurturant). Baumrind mengatakan bahwa ada empat bentuk gaya pengasuhan atau parenting:

1. Pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Menurut Widyarini (2009), orangtua otoriter pada dasarnya bertindak berdasarkan asumsi bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak adalah yang terbaik. Pengasuhan otoriter ini seringkali membuat anak remaja memberontak terlebih lagi bila orang tuanya keras, tidak adil dan tidak menunjukkan afeksi. Remaja akan bersikap bermusuhan (hostile) kepada orang tua serta sering kali menyimpan perasaan tidak puas terhadap kontrol dan didominasi dari orang tua mereka. Menurut Widyarini (2009), dampak negatif dari pola asuh otoriter terhadap anak antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga, standar moral yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena kesadaran), terlalu menahan diri, agresif, kejam, sedih, menarik diri dari pergaulan, kurang dalam hal spontanitas, kemandirian, afeksi, dan rasa ingin tahu.

2. Authoritative parenting (pola asuh otoritarif) mendorong anaknya untuk menjadi independen tetapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anaknya.

(7)

Perbincangan tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung (Santrock, 2007). Orang tua dengan pengasuhan otoritatif selalu melibatkan anak remaja mereka dalan segala hal yang berkenaan dengan remaja itu sendiri dan dengan keluarga. Mereka mempunyai pertimbangan dan penilaian dari remaja serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan anak remaja mereka. Remaja pun belajar untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri dan yang belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua mereka. Orang tua yang otoritatif menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang mereka lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang afektif (Gunarsa, 2006).

Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan otoritatif akan merasakan suasana rumah penuh rasa saling menghormati, penuh apresiasi, kehangatan, penerimaan dengan adanya konsistensi pengasuhan dari orang tua mereka.

Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka (Gunarsa, 2006).

3. Neglectful parenting adalah gaya asuh dimana orang tua tidak terlihat aktif dalam kehidupan anaknya (dalam Santrock, 2007). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferent parenting) adalah suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Remaja yang orangtuanya permisif-tidak peduli biasanya tidak cakap secara sosial: mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik (dalam Santrock, 2003).

(8)

4. Indulgent parenting adalah gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberi batasan atau kekangan pada perilaku mereka (dalam Santrock, 2007). Menurut Widyarini (2009), orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan. Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang sangat permissive (laissez-faire) cenderung mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mengandung aturan serta kendali yang telah disepakati bersama oleh kelompok (Epstein et al, 1980).

Baumrind (dalam Horner, 1992) mengusulkan klasifikasi pemeliharaan anak didasarkan pada hasil interaksi antara dua dimensi, yaitu:

a. Responsiveness (mengacu pada pengasuhan yang hangat atau pemberian support) adalah lingkup dimana orangtua secara intensional memupuk kepribadian, pengaturan diri dan penyataan diri dengan menjadi terbiasa, suportif, pengertian pada kepentingan spesial dan tuntutan orangtua.

b. Demandingness (mengacu pada pengontrolan tingkah laku) adalah tuntutan orangtua terhadap anak agar mau berintegrasi dengan seluruh keluarga, tuntutan

(9)

kedewasaan mereka, pengawasan orangtua, usaha mendisiplinkan diri dan kemauan orangtua untuk menghukum anak yang tidak patuh.

Jacobsen (Horner, 1992) describes the typology of the four types of parenting on the dimensions of parenting:

a. Pola asuh authoritarian memiliki tingkat demandingness yang tinggi sedangkan tingkat responsiveness-nya rendah.

b. Pola asuh authoritative memiliki tingkat demandingness yang tinggi dan tingkat responsiveness yang tinggi juga.

c. Pola asuh indulgent memiliki tingkat demandingness yang rendah sedangkan tingkat responsiveness-nya tinggi.

d. Pola asuh neglected memiliki tingkat demandingness yang rendah dan tingkat responsiveness yang rendah juga.

3. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh angka p=0.002, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir. Dengan demikian Hipotesis Alternatif (Ha) diterima, sedangkan

Tipologi Pola Asuh Demandingness

Tinggi Rendah Responsiveness Tinggi Authoritative Indulgent

Rendah Authoritarian Neglected

(10)

hipotesa Null (H0) ditolak. Tipe identitas yang dimiliki oleh remaja akhir bergantung pada pola asuh yang diterapkan orangtua di rumah.

2. Jika dilihat dari sudut pandang pola asuh dalam penelitian ini, tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh authoritative adalah achievement. Tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh authoritarian adalah achievement. Tipe identitas yang dimiliki individu yang diasuh oleh tipe pola asuh indulgent hanya tipe identitas diffusion. Dan tipe identitas yang paling banyak dimiliki individu yang diasuh

oleh tipe pola asuh neglected adalah diffusion.

3. Jika dilihat dari sudut pandang identitas dalam penelitian ini, tipe pola asuh yang paling banyak dimiliki individu yang memiliki tipe identitas achievement adalah authoritative. Tipe pola asuh yang paling banyak dimiliki individu yang memiliki

tipe identitas diffusion adalah neglected. Tipe pola asuh yang paling banyak dimiliki individu yang memiliki tipe identitas moratorium adalah authoritative dan neglected. Dan tidak ada individu yang memiliki tipe identitas foreclosure.

References

Alwisol (2008). Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang: UMM Press

Azwar, Saifuddin.(2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Belajar Bowlby, J. (1969). Attactment. New York: Basic Books.

Corsini, R. J. (2002). The dictionary of psychology. New York: Brunner Routledge.

Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent development. Chicago: Brown &

Benchmark.

(11)

Dariyo, Agoes, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor Selatan : Galia Indonesia

Desmita El-Idhami, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005.

Dirgagunarsa, S. & Dirgagunarsa, Y. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Enright. (1980). Authoritative, Authoritarian, and Permissif in Adult Identity.

Madison: TIMES Mirror Higher Education Group, Inc.

Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. NewYork: Norton.

Gay, L. R. & Diehl, P. L. (1992), Research Methods for Business and Management, MacMilan Publishing Company, New York.

George,P,T. (2006). Smart Parenting. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Geldard, K., & Geldard, D. (2000). Counselling Adolescent. London: Sage.

Gunarsa, Dr Singgih D.2002 , Psikologi Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta

Gunarsa, S. D & Gunarsa, Y. S. D. (2003). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja.

Seri Psikologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gunarsa, S. D, & Gunarsa, Y. S. D. (2006). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Gunarsa, S. D, & Gunarsa, Y. S. D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja: Seri Psikologi: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan dari Anak

sampai Usia Lanjut., Jakarta: PT Gunung Mulia. 2008

Hadi, S. (2000). Methodology Research (Jilid 1-4). Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hauser, S.T., & Bowlds, M.K. (1990). Stress, coping and adaptation. In S.S.

Feldman, G.R. Elliots (Eds.). At the Thershold: The Developing Adolescent (pp. 388-413). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Harter, S. (1990). Causes, correlates, and the functional role of global self-worth: A life span perspective. In R. J. Sternberg & J.J. Kooligian (Eds.), Competence considered (pp.67-97). New Haven, CT: Yale UniversityPress.

(12)

Harter, S. (1999). The construction of the self: A developmental perspective. New York: Guilford Press.

Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga..

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, M. (2003). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional.

Mar’at, S. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Monks, P.J. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Nurgiyantoro, B., Gunawan, dan Marzuki, (2002). Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Gajah Mada University Press, Yokyakarta.

Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1998). Human Development (7th ed) USA: McGraw Hill.

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8thed.).

Boston: McGraw-Hill

Papalia, D. F., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (9thed.).

New York, NY: Allyn & Bacon.

Papalia. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Edisi Sembilan.

Jakarta: Kencana.

Rice, P.F. (1999). The adolescent: development, relationships, and culture. Edisi ke- 9. Boston: McGraw-Hill.

Rumini, S & Sundari. (2004). Perkembangan anak dan remaja. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Santoso, 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatf dan Kualitatif, jakarta: Prestasi Pustaka.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

(13)

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak jilid 2. (edisi kesebelas). Jakarta:

Erlangga

Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan. (edisi kedua). Jakarta: Kencana Sarwono. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Gravido Persada.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT.

Indeks Kelompok Gramedia.

Sukandarrumidi,. 2006. Metodologi Penelitian : Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula. Gajahmada University Press. Yogyakarta

Surbakti, E.B (2009). Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo

Sutrisno. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Wallace, W. A. (1993). Theories of Personality. Needham Heights, MA: Allyn &

Bacon.

Widyarini, N. Seri Psikologi Populer: Relasi Orangtua dan Anak. Elex Media Komputindo. Jakarta: 2009.

Yatim. (1991). Kepribadian Keluarga Narkotika, Jakarta : Arcan.

Yunita, F. (2002). Gambaran Identitas Diri Remaja yang Melakukan Aktivitas Clubbing. Skripsi. (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan 17 (tujuh belas) data kasus yang digunakan untuk pengujian, sistem menghasilkan 5 (lima) data kasus yang memiliki urutan nilai akhir terbesar

[r]

[r]

Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang penuh dengan Kasih, atas berkat dan karuniaNya yang sungguh luar biasa sehingga penulis dapat

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pembelajaran praktikum berbasis lingk ungan untuk mereduksi miskonsepsi siswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Persentase ketuntasan secara individual meningkat pada siklus I terdapat 21 siswa yang tuntas, pada siklus II terdapat 26 tuntas,