• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF

DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan Kepada program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

LORENZY OSHEL

1102205028

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN

RESILIENSI PADA REMAJA DI DENPASAR

OLEH:

LORENZY OSHEL

NIM: 1102205028

Telah disetujui untuk diuji oleh:

Denpasar, November 2015 Pembimbing,

(3)

iii

MOTTO

“And whatsoever ye do, do it heartily as to the Lord, and not unto men”

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada:

Papa dan Mama tercinta

Erwin Ginting dan Suasana Br.Tarigan

serta

(5)

v

LEMBAR PENGESAHAN

Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi.

Pada tanggal :

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K).M. Kes

Tim Penilai : Tanda tangan

1. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A, Psi ______________

Pembimbing

2. Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi., M.A ______________

Ketua Penguji

3. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi ______________

Sekretaris Penguji

4. Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi ______________

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya Lorenzy Oshel, dengan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dimanapun. Dan sepanjang sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat karya atau pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.

Denpasar, November 2015 Yang menyatakan,

(7)

vii

Hubungan Pola Asuh Autoritatif dengan Resiliensi Pada Remaja di Denpasar

Lorenzy Oshel

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana oshelorenzy@gmail.com

ABSTRAK

Masa remaja tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan yang timbul pada tahap perkembangannya. Remaja diharapkan memiliki resiliensi agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Pembentukan resiliensi pada diri individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pola asuh orangtua. Pola asuh autoritatif dikatakan sebagai pola asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik dan membentuk karakteristik anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 16-19 tahun yang berjumlah sebanyak 207 orang. Sampel diambil dengan menggunakan teknik two stage cluster random sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan skala pola asuh autoritatif dan skala resiliensi. Hasil analisis product moment menunjukkan angka korelasi sebesar 0.433 dengan taraf signifikansi 0.000 (P<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja.

(8)

viii

The Relationship between Authoritative Parenting Style and Resilience of Adolescents in Denpasar

Lorenzy Oshel

Department of Psychology, Faculty of Medicine, Udayana University oshelorenzy@gmail.com

ABSTRACT

Adolescence is inseparable from various problems that may arise at this stage of development. Adolescents are expected to have resilience to cope with difficult environment. Formation of resilience of an individual is influenced by several factors, one of which is the parenting style used by their parents. Authoritative parenting style is said to be the most effective parenting style used in educating and shaping the characteristics of children. The aim of this study is to see whether there is a relationship between the authoritative parenting style and resilience of adolescents in Denpasar.

The subject of this research is 207 adolescents aged 16-19 years. Samples were taken by using two-stage cluster random sampling technique. This study uses a quantitative approach with the data collection technique using authoritative parenting scale and resilience scale. The result of the product-moment correlation analysis shows a correlation of 0.433 with a significance level of 0.000 (P<0.05). It shows that there is a significant and positive relationship between authoritative parenting style and resilience of adolescents.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat, anugerah, dan kasih setia-Nya penelitian skripsi yang berjudul Hubungan Pola asuh Autoritatif dengan Resiliensi pada Remaja di Denpasar ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya, antara lain kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Ibu Tience Debora Valentina, S.Psi, M.A, Psi selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan setia membimbing peneliti dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Adijanti Marheni, M.Si., Psi. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

4. Ibu Ima, Ibu Pande dan Ibu Putu selaku penguji yang telah mendukung dan memberikan sumbangan pikiran berharga dalam revisi untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

5. Ibu Komang Rahayu Indrawati, S.Psi., M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, mengarahkan dan selalu bersedia mendengarkan keluhan peneliti dari awal kuliah hingga saat ini.

6. Seluruh Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membagikan ilmu dan pengalaman selama menempuh pendidikan 4 tahun terakhir ini kepada peneliti.

7. Kepada keluarga yang tercinta Papa dan Mama yang selalu memberi dukungan baik secara moral dan material.

8. Kepada Tante Vivi, Om Eko, ce Fanny dan juga David yang sudah senantiasa membantu dan memberikan semangat serta dukungan doa. Kepada adik tercinta Yovita dan Phebe yang telah memberikan semangat dan dukungan.

9. Kepala SMA N 5 Denpasar, terimakasih atas kebaikan hatinya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengumpulkan data melalui anak didiknya. 10.Siswa-siswi SMA N 5 Denpasar yang bersedia meluangkan waktu untuk mengisi

(10)

x

11.Seluruh staf TU (Tata Usaha) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam segala urusan administrasi dan birokrasi.

12.Kepada sahabat terkasih Wulan, Elisa, Tri Santiari, Kevin dan Kristofel yang senantiasa dengan sabar memberi dukungan dan bantuannya.

13.Kepada teman satu bimbingan Gek intan yang sama-sama berjuang dan memberikan saran-saran, kepada Gung Raka dan Diah Lopita yang mau diajak berdiskusi sehingga skripsi ini lebih dapat disempurnakan.

14.Kepada teman-teman satu angkatan, Zestrivida yang sama-sama berjuang menempuh pendidikan selama 4 tahun ini.

15.Kepada Kakak tercinta, kak Susanna Erika, teman-teman KTB Novia dan Acha, kepada Rossy, Febbi, yulia dan vivi. Kepada adik-adik KTB Ona, Niken dan nike dan kepada Teman-teman CMF lainnya yang selalu memberikan semangat dan dukungan doa.

16.Kepada Febri, Brian, Essy, Fian, Hans, Ikbal, Jeven dan Rio yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan.

Juga untuk mereka yang senantiasa mendukung serta membantu tetapi tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis mengucapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan member inspirasi kepada pembaca. Demikian yang bisa saya sampaikan. Menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, saran dan kritik membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini.

(11)

xi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

1. Pengertian Pola Asuh Orangtua ... 21

2. Pola Asuh Autoritatif ... 25

3. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja ... 27

C. Remaja ... 31

(12)

xii

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 34

D. Hubungan Antar Variabel ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

1. Variabel Tergantung ... 39

2. Variabel Bebas ... 39

B. Definisi Operasional ... 39

1. Definisi Operasional Pola Asuh Autoritatif ... 40

2. Definisi Operasional Resiliensi ... 40

C. Subjek Penelitian ... 40

D. Metode Pengambilan Sampel ... 41

E. Metode Pengumpulan Data ... 42

F. Validitas dan Reliabilitas ... 47

1. Validitas ... 47

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52

B. Pelaksanaan Penelitian ... 61

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 62

1. Karakteristik Subjek ... 62

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Penelitian ... 64

3. Uji Asumsi Penelitian ... 67

4. Uji Hipotesis ... 69

5. Analisis Tambahan ... 71

(13)

xiii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

1. Saran Praktis ... 81

2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tiper Pola Asuh yang Dikemukakan oleh Cross (2009) ... 32 Gambar 2. Skema Hubungan Antara Pola Asuh Autoritatif dengan

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sebaran Aitem Skala Pola Asuh Autoritatif ... 43

Tabel 2. Sebaran Aitem Skala Resiliensi ... 46

Tabel 3. Indeks Daya Beda Aitem Reliabilitas Skala Pola Asuh Autoritatif ... 54

Tabel 4. Sebaran Skala Pola Asuh Autoritatif Sebelum Diuji Kesahihan Aitemnya ... 55

Tabel 5. Sebaran Skala Pola Asuh Autoritatif Setelah Diuji Kesahihan Aitemnya ... 56

Tabel 6. Spesifikasi Skala Pola Asuh Autoritatif yang Sudah Diuji Keabsahannya ... 56

Tabel 7. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Resiliensi ... 57

Tabel 8. Sebaran Skala Resiliensi Sebelum Diuji Kesahihan Aitemnya ... 59

Tabel 9. Sebaran Skala Resiliensi setelah Diuji Kesahihan Aitemnya ... 60

Tabel 10. Spesifikasi Skala Resiliensi yang Sudah Diuji Keabssahannya ... 61

Tabel 11. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 12. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63

Tabel 13. Karakteristik Subjek Berdasarkan Status Tempat tinggal ... 63

Tabel 14. Karakteristik Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 63

Tabel 15. Karakteristik Subjek Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 64

Tabel 16. Deskriptif Statistik Hasil Pengukuran ... 64

Tabel 17. Kategorisasi Skor pada Pola Asuh Autoritatif dan Resiliensi ... 65

Tabel 18. Kategorisasi Pola Asuh Autoritatif ... 66

Tabel 19. Kategorisasi Resiliensi ... 67

Tabel 20. Hasil Uji Normalitas ... 68

Tabel 21. Hasil Uji Linearitas ... 69

Tabel 22. Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment ... 70

Tabel 23. Perbedaan Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71

(16)

xvi

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran I. Skala Penelitian ... 90

Lampiran II. Data Uji Coba Skala Pola Asuh Autoritatif ... 96

Lampiran III. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Pola Asuh Autoritatif ... 104

Lampiran IV. Data Uji Coba Skala Resiliensi ... 106

Lampiran V. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Resiliensi ... 113

Lampiran VI. Data Penelitian ... 115

Lampiran VII. Uji Normalitas Data Penelitian ... 121

Lampiran VIII. Uji Linearitas Data Penelitian ... 122

Lampiran IX. Deskriptif Data Penelitian Pola Asuh Autoritatif ... 123

Lampiran X. Deskriptif Data Penelitian Resiliensi ... 125

Lampiran XI. Hasil Uji Korelasi Product Moment ... 128

Lampiran XII. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 129

Lampiran XIII. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 130

Lampiran XIV. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Urutan Kelahiran ... 131

Lampiran XV. Hasil Uji Beda Resiliensi Berdasarkan Status Pekerjaan ... 132

Lampiran XVI. Surat Keterangan Penelitian ... 133

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia merupakan makhluk yang mengalami perubahan dalam setiap tahap kehidupannya, baik itu perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode perkembangan manusia memiliki klasifikasi yang cukup panjang yang dimulai dari tahap prenatal sampai pada dewasa akhir.

Perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai dengan peristiwa panjang yang disebut dengan masa remaja (Papalia, 2009). Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual atau fertilitas (Papalia, 2009).

Hall (dalam Santrock, 2007) mengatakan masa remaja yang usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai oleh pergolakan. Strom and stress adalah konsep dari Hall yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Menurut Hall, berbagai pikiran, perasaan dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan.

(19)

2

menyukai seorang kawan namun diminggu berikutnya mereka membenci kawan tersebut. Hal inilah yang biasanya dilakukan oleh remaja untuk menemukan identitasnya.

Pemaparan diatas telah menjelaskan mengenai gambaran tahap perkembangan yang dialami remaja. Terlepas dari itu, pada tahap ini remaja juga dihadapkan pada tugas perkembangannya. Setiap tahapan perkembangan manusia terdapat tugas-tugas tertentu yang berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu yang disebut sebagai tugas perkembangan. Tugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1980).

Sama halnya dengan tugas perkembangan, masalah yang muncul dalam setiap tahap perkembanganpun berbeda-beda. Sejumlah masalah mungkin memiliki kecenderungan lebih besar untuk timbul pada suatu tingkat perkembangan tertentu dibandingkan tingkat perkembangan lainnya. Sebagai contoh rasa takut banyak dialami oleh anak-anak dan masalah penyalahgunaan narkoba lebih banyak dialami di masa remaja (Achenbach & Edelbrock dalam Santrock, 2007).

Salah satu media massa menyebutkan, sebesar 22% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati posisi kedua terbanyak setelah pekerja, yang menggunakan narkoba (Sindonews, 2013). Pengguna narkoba yang berusia 12-21 tahun ditafsir sekitar 14.000 orang dari jumlah seluruh remaja di Indonesia. Jumlah pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif dikalangan remaja, meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Kompas, 2013).

(20)

3

kota Denpasar juga menambahkan bahwa kasus kenakalan remaja di Denpasar yang terjadi selama tahun 2013 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (diperoleh dari denpasarkota.go.id). Penyalahgunaan narkoba dan benda terlarang lainnya telah mencapai 490 kasus selama periode Januari-Agustus 2014 dan kasus tertinggi adalah kasus di daerah Denpasar (Balipost, 2014).

Hal ini tentunya menjadi suatu permasalahan yang serius bagi para orangtua dalam medidik anaknya. Orangtua memiliki peranan yang sangat penting agar anak tidak terjerumus dalam obat-obatan terlarang (BNN, 2013). Remaja seringkali menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian terhadap masalah mereka (Sarwono, 2012).

(21)

4

Tidak hanya berbagai respon diatas, respon lainnya juga ditunjukkan oleh remaja ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, yakni melalui perilaku bunuh diri. Akhir-akhir ini berita tentang kasus bunuh diri banyak terjadi pada kalangan remaja. Bunuh diri diketahui menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian pada remaja (National Centre for Health Statistic, 2015). Di Indonesia, pada bulan Februari tahun 2015 silam, terdapat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa di salah satu universitas di Bali (Balipost, 2015). Tindakan bunuh diri ini erat kaitannya dengan masalah depresi yang dialami remaja. Santrock (2007) menjelaskan kendali yang tinggi dan tekanan untuk berprestasi yang dilakukan oleh orangtua berkaitan dengan depresi pada remaja yang kemudian menjadikan hal tersebut sebagai faktor yang berperan dalam upaya bunuh diri. Selain itu, depresi dapat juga berawal dari penolakan lingkungan dan relasi yang buruk dengan lingkungan sosial.

Menurut Hurlock (1980) masalah yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kkanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru-guru.

(22)

5

sehingga remaja dapat kembali bangkit dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya agar siap dengan tugas perkembangan selanjutnya.

Resiliensi merupakan pola adaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan yang signifikan (Masten & Reed, 2002). Ginsburg & Jablow (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari keadaan sulit, suatu sifat yang memungkinkan individu untuk eksis di dunia ketika individu hendak bergerak maju dengan optimis dan keyakinan bahkan di tengah kesulitan. Kendall (1999) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan menempatkan diri dengan baik terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan atau dalam situasi permasalahan yang berat.

Mastern & Reed (2002) menyebutkan ada dua hal yang menentukan seseorang dapat dikatakan resilien. Pertama, individu melakukan semuanya dengan baik atau lebih dari baik. Kedua, individu tersebut telah berada dalam keadaan yang menimbulkan ancaman namun tetap memiliki hasil yang baik.

Mastern (dalam Santrock, 2007) melakukan penelitian terkait resiliensi dan menyimpulkan bahwa sejumlah faktor individu seperti fungsi intelektual yang baik, faktor keluarga seperti relasi yang karib dengan figur orang tua, pola asuh yang hangat, dan faktor-faktor diluar keluarga seperti ikatan dengan orang dewasa di luar keluarga yang memiliki sifat prososial, dimiliki oleh remaja yang memiliki resiliensi.

(23)

6

Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif bersikap mendorong anak agar terbiasa dengan pendapat orang lain dan berani untuk menyampaikan pendapat personalnya. Orangtua juga berusaha untuk mendengarkan pandangan anak terhadap suatu hal dan melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan (Baumrind, 2005).

Baumrind (2005) menyebutkan dari ketiga tipe pola asuh, pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh orangtua dalam mendidik anak. Steinberg & Silk (2002) menjelasan pola asuh jenis autoritatif dianggap sebagai tipe pola asuh yang paling efektif dengan beberapa alasan. Pertama, orangtua autoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian dan autonomi sehingga memberikan remaja peluang untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak. Kedua, orangtua autoritatif cenderung lebih banyak melibatkan anak dalam dialog verbal dan membiarkan mereka mengekspresikan pandangan-pandanganya. Ketiga, kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orangtua yang autoritatif membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua.

Penelitian Rossman & Rea (2005) menunjukkan hasil bahwa pola asuh autoritatif memiliki korelasi yang positif dengan kemampuan beradaptasi pada anak. Slicker (1998) juga menyatakan hal yang sama dalam penelitian yang dilakukannya. Slicker menyebutkan terdapat perbedaan kemampuan penyesuaian diri pada anak berdasarkan tipe pola asuh yang digunakan oleh orang tuanya. Anak yang merasakan orang tuanya menerapkan pola asuh autoritatif menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

(24)

7

resiliensi. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian pemikiran dalam ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Positif terkait dengan resiliensi pada remaja di Denpasar serta Psikologi Perkembangan mengenai hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua, hasil penelitian ini dapat membantu orangtua dalam memilih pola asuh yang tepat serta mampu untuk menerapkan perilaku dan tindakan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak.

(25)

8

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang serupa telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2013) yang meneliti mengenai hubungan pola asuh demokratis orangtua dan lingkungan sekolah dengan kecerdasan emosional anak siswa SD kelas V Keceme I, Sleman. Penelitian ini mengambil sampel siswa-siswa kelas V SD dengan teknik sampling adalah sampel total. Sampel diambil dengan jumlah 46 orang siswa. Data hasil penelitian diuji dengan menggunakan teknik regresi berganda dan korelasi parsial. Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini, perbedaan tersebut diantaranya terdapat pada jenis dan jumlah variabelnya. Pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel, yaitu variabel pola asuh autoritaif dengan variabel resiliensi. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari karakteristik subjek penelitian. Pada penelitian ini subjek penelitiannya adala remaja siswa-siswi SMA. Perbedaan juga dapat dilihat dari segi teknik pengambilan sampel serta analisis data yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel two stages cluster random sampling dengan teknik analisis data menggunakan uji person product moment.

(26)

9

menggunakan teknik two stages cluster random sampling. Uji analisis yang digunakan adalah pearson product moment.

Sagone & Elvira (2013) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship between Besilience, Self Efficacy and Thinking Styles in Italian Middle

Adolescent”. Penelitian ini memiliki tiga variabel yaitu variabel resiliensi, efikasi diri dan gaya berfikir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang berusia 13 sampai 15 tahun dengan jumlah 130 orang, 70 orang laki-laki dan 60 orang perempuan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling dan uji analisis dengan menggunakan uji pearson linear correlation dan uji t-test. Perbedaan yang dapat dilihat dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah variabel penelitian, yaitu variabel resiliensi dengan pola asuh autoritatif. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yang berbeda, yaitu two stages cluster random sampling. Teknik analisis yang digunakan juga berbeda, pada penelitian ini uji analisis dilakukan dengan menggunakan uji pearson product moment.

(27)

10

sebagai faktor pelindung yang dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi peristiwa kehidupan negatif dan krisis.

Khalid dan Aslam (2012) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship of Perceived Parenting with psychological Distress & Resiliency among

adolescent”. Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15-18 tahun dengan

jumlah 200 orang, 100 orang laki-laki dan 100 orang perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini menunjukan hasil, pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dengan resiliensi dan hubungan yang negatif dengan kesulitan psikologis. Pola asuh authoritarian dan permisif memiliki hubungan yang negatif dengan resiliensi dan hubungan yang positif dengan kesulitan psikologis.

Penelitian serupa lainnya juga dilakukan oleh Ritter (2005) dengan judul “Parenting style: their impact on the development of adolescent resiliency”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola asuh – autoritatif, authoritarian atau permisif – yang memiliki hubungan terhadap resiliensi. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berumur 16-18 tahun yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dengan level resiliensi tinggi memiliki keterkaitan dengan pola asuh autortatif. Sedangkan pola asuh authoritarian dan permisif menghasilkan resiliensi dengan level rendah. Ritter (2005) berfokus untuk melihat tipe pola asuh yang mana yang dapat meningkatkan resiliensi pada remaja dan tipe pola asuh mana yang dapat menghambat.

(28)

11

(29)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang dihadapinya. Masten & Reed (2002) mengatakan resiliensi secara umum mengacu kepada fenomena yang ditandai dengan adanya adaptasi positif yang menunjukkan hasil yang baik meskipun dalam keadaan yang sulit atau beresiko.

Kaplan (1996) menyebutkan resiliensi sebagai keberadaan faktor pelindung, yaitu diri sendiri, lingkungan sosial dan keluarga yang mampu membuat individu melawan kondisi stres. Resiliensi mengacu pada proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang sukses meskipun berada dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Brook & Goldstein (2000) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma; serta untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik.

Masten, Best & Garmezy (1990) menyebutkan tiga fenomena dari resiliensi yaitu: (a) hasil baik bagi anak yang berisiko, (b) mempertahankan kompetensi dalam keadaan yang mengancam, (c) sembuh dari trauma.

(30)

13

pendidikan orangtua yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah, memiliki seorang ibu yang skizofrenia, ketidakstabilan keluarga, perilaku bermasalah, pendapatan yang rendah dan masih banyak hal lainnya.

b. Resiliensi dalam konsep fenomena ini mengimplikasikan coping yang efektif, yang berarti usaha untuk mengembalikan atau mempertahankan keseimbangan internal atau eksternal dengan cara melakukan aktivitas termasuk berfikir dan bertindak.

c. Ketika suatu kesulitan datang dengan porsi yang sangat berat dan waktu yang berkepanjangan, resiliensi mengarah kepada fenomena dari recovery atau pemulihan, bukan kepada daya tahan/kekebalan. Trauma akut secara dramatikal didefinisikan dengan ilustrasi pemulihan dalam resiliensi. Anak-anak yang terkena bencana, anak-anak yang diperlakukan tidak wajar (abuse), anak yang kehilangan kedua orangtuanya menunjukkan kebutuhan akan pemulihan.

Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu dalam merespon keadaan yang sulit secara sehat dan mampu untuk tetap produktif walaupun dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman yang dapat memicu terjadinya stres.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka resiliensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak menyenangkan, mampu untuk melawan dan mengatasi kesulitan serta dapat bangkit kembali dari keterpurukan.

2. Sumber-sumber Resilliensi

(31)

14

menurut Grothberg (1995) merupakan sumber-sumber yang dapat membentuk karakteristik resiliensi dalam diri individu. Sumber-sumber tersebut meliputi I have, I am dan I can (Grothberg, 1995).

a. I Have.

I have bersumber dari bagaimana individu dalam memaknai besarnya dukungan dan sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial diluar dirinya. I have dapat diperoleh melalui hubungan yang baik dengan keluarga dan orang lain diluar keluarga serta lingkungan sekolah yang menyenangkan. I have juga dapat diperoleh melalui hubungan dengan kepercayaan yang penuh, perilaku meniru (modeling), dorongan agar menjadi mandiri dan adanya fasilitas hidup seperti layanan kesehatan (Grothberg, 1995).

Seswita (2013) melakukan penelitian terhadap mahasiswa perantau yang kuliah di pulau Jawa. Hasil penelitian ini menyebutkan mahasiswa perantau yang memiliki dukungan sosial yang tinggi cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan sebaliknya.

b. I Am.

I am merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki oleh individu. Kekuatan pribadi tersebut terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi faktor I am dalam resiliensi, diantaranya perasaan disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati, altruistik (sikap perduli terhadap orang lain), locus of control, kebanggan pada diri sendiri, percaya diri, optimis serta bertanggung jawab (Grothberg, 1995).

(32)

15

skor internal locus of control, maka semakin tinggi juga resiliensi yang dimiliki oleh remaja tersebut.

c. I Can.

I can berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan berbagai hal. I can berhubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan sosial tersebut meliputi cara berkomunikasi, cara individu dalam menyelesaikan masalah, kemampuan individu dalam mengenali perasaannya, emosi diri dan juga emosi orang lain serta bagaimana individu dalam mecari hubungan yang dapat dipercaya (Grothberg, 1995).

Nuryana & Ristinawati (2008) melakukan penelitian terkait pengaruh pelatihan resiliensi terhadap perilaku asertif pada remaja. Penelitian ini menyebutkan individu yang memiliki perilaku asertif dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki efikasi diri, karena individu yang memiliki kepercayaan diri akan selalu berfikir positif pada dirinya dan orang lain. Townend (1991) mengatakan bahwa sikap asertif yang dimiliki remaja akan menjadikan remaja tersebut menjadi seorang yang tegar, jujur, terbuka, kritis dan mampu menghormati orang. Resiliensi juga memiliki keterkaitan dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Hartati & Sawitri (2010) terhadap penghuni panti rehabilitasi, menyebutkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik merupakan individu yang resilien.

(33)

16

3. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh individu yang resilien. Ketujuh aspek tersebut diantaranya:

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Individu yang memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya sering menyusahkan orang lain dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan bersama-sama (Reivich & Shatee, 2002).

Regulasi emosi berfokus kepada bagaimana individu dalam mengatur pengalaman emosionalnya untuk tujuan pribadi dan sosial. Secara lebih spesifik, regulasi emosi terdiri dari proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional (khususnya intensitas dan ketepatan waktunya) untuk mencapai suatu tujuan (Thompson, Mayer & Jochem, 2009).

Hal penting yang tidak terlepas dari regulasi emosi adalah ketenangan (calming) dan fokus (focus), sehingga individu yang mampu mengelola kedua hal tersebut dapat memanfaatkan kemampuannya untuk meredakan emosi yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Seorang individu yang mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat merupakan ciri dari individu yang resilien menurut Reivich & Shatee (2002).

(34)

17

semakin buruk regulasi emosi yang dimiliki remaja maka akan semakin buruk pula penerimaan kelompok teman sebayanya.

b. Impulse Control

Impulse control merupakan kemampuan individu untuk menahan atau mengendalikan keinginan, ego, dorongan yang bersumber dari dalam dirinya. Impulse control memiliki hubungan yang erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kemampuan impulse control yang rendah cenderung cepat dalam mengalami perubahan emosi sehingga individu sangat mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan terkadang berperilaku agresif terhadap hal-hal yang kecil. Perilaku ini menyebabkan orang-orang disekitarnya merasa tidak nyaman dan memicu timbulnya permasalahan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).

c. Optimism

Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatunya akan menjadi baik. Mereka memiliki harapan dimasa mendatang dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol tujuan hidupnya. Jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, jarang mengalami depresi, prestasi yang baik disekolah dan lebih produktif (Reivich & Shatte, 2002).

(35)

18

Optimisme memiliki arti yang terkait dengan kemampuan individu melihat masa depannya dengan cerah. Optimisme berarti individu memiliki kemampuan menangani kemalangan yang pasti akan datang. Rasa optimis juga berkaitan dengan efikasi diri yang dimiliki individu. Optimisme merupakan suatu keuntungan jika dikaitkan dengan efikasi diri karena optimisme memotivasi individu untuk mencari solusi dan terus bekerja keras dalam meningkatkan kehidupan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Analisis kausal

Analisis kausal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari masalahnya. Jika individu tidak mampu menjelaskan penyebab permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut cenderung akan melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).

Abramson & Seligman (1978) menjelaskan tiga cara berfikir yang berkaitan erat dengan analisis kausal yang dinamakan explanatory style, yaitu cara individu dalam menjelaskan sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada dirinya. Explanatory style ini dapat dikodekan dalam tiga dimensi, yaitu personal (me-not me), permanent (always-not always), pervasive (everything-not everything).

(36)

19

e. Empati

Empati berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki individu dalam melihat atau membaca isyarat/tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Individu yang tidak mengembangkan kemampuan untuk peka terhadap bahasa nonverbal, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

Empati merupakan suatu emosi yang secara spesifik tumbuh dalam konteks pengalaman emosional yang dimiliki seseorang dan menggambarkan hubungan terhadap pengalaman yang dimiliki orang lain. Empati merupakan respon emosional personal terhadap keadaan emsoional orang lain (Robinson, 2009). Ekspresi dari empati dapat dilihat melalui emosi-emosi dasar seperti kesedihan, empati juga dapat dilihat dari perilaku yang mengekspresikan kepedulian terhadap orang lain dan perilaku sosial lainnya (Robinson, 2009).

f. Efikasi Diri

(37)

20

Bandura (dalam Feist & Feist, 2009) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku , sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2009).

Roberts (2007) melakukan penelitian terkait dengan self efficacy, self concept dan kompetensi sosial sebagai sumber dari resiliensi dan psychological well-being pada dewasa muda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya self efficacy yang individu miliki akan berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menghadapi dan beradaptasi dengan tantangan dan tekanan hidup. Hal serupa juga dikemukakan oleh Manara (2008) yang juga membuktikan bahwa tingginya efikasi diri yang dimiliki individu mengindikasikan individu tersebut sebagai individu yang resilien.

g. Reaching Out

Resiliensi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana individu dalam mengatasi masalah yang terjadi dan bangkit dari keterpurukan, resiliensi juga berbicara tentang kemampuan individu dalam menggapai aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).

(38)

21

memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalisasikan segala kemampuan yang ada dalam dirinya (Reivich & Shatee, 2002).

Bernad (2009) memberi kajian lebih lanjut dengan menggolongkan empat sifat umum yang dimiliki individu yang resilien. Keempat sifat tersebut meliputi :

1. Kompetensi Sosial. Kemampuan yang dimiliki individu untuk memunculkan respon yang positif dari orang lain, dalam artian individu mampu untuk menjalin hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.

2. Keterampilan Memecahkan Masalah. Perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.

3. Otonomi. Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.

4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.

Sybil & Wollin (2000) melakukan penelitian terhadap remaja. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai remaja yang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit disaat remaja lainnya menyerah. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian Sybil dan Wollin menggelompokkan tujuh karakteristik individu yang resilien. Ketujuh karakteristik tersebut meliputi:

1. Insight. Individu yang resilien menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, untuk memperoleh kejelasan akan suatu hal dan juga untuk menjawab kebingungan.

(39)

22

3. Good relationship. Individu mampu membentuk ikatan emosi yang sehat dalam

berinteraksi dengan orang lain.

4. Initiative. Individu mengambil alih sebuah masalah untuk menciptakan efikasi diri.

5. Creativity. Individu dapat mentransfer rasa tidak menyenangkan atau emosi negatif menjadi kreatifitas yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.

6. Humor. Individu dapat mempertahankan sifat humoris dan mampu untuk tertawa walau dalam keadaan yang sulit.

7. Good moral standard. Individu memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan hati nurani. Seperti yang telah dipaparkan, setiap tokoh mengemukakan karakter yang berbeda mengenai individu yang resilien. Hal ini dikarenakan resiliensi lebih dianggap sebagai suatu kemampuan yang diperoleh dari proses, dibandingkan dengan suatu sifat yang dimiliki individu (Desmita, 2009). Oleh karena itu, resiliensi diartikan sebagai kapasitas yang diperoleh individu melalui proses belajar dan pengalaman dari lingkungan. Pengalaman dari pada lingkungan setiap individu berdampak pada pembentukan karakteristik dari resiliensi pada individu tersebut.

(40)

23

Oktaviani (2012) melakukan penelitian terhadap remaja korban tsunami Aceh. Penelitian ini menunjukkan hasil skor resiliensi dari remaja tersebut bervariasi mulai dari skor sedang sampai skor tinggi. Remaja dalam penelitian tersebut menunjukkan skor tinggi pada aspek meaningfulness, equanimity, existential eloneness dan perseverance yang merupakan aspek-aspek resiliensi menurut teori Wagnild & Young (1993).

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai aspek-aspek resiliensi, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) yang terdiri dari regulasi emosi, impulse control, optimism, analisis kausal, empati, efikasi diri dan reaching out.

B. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh Orangtua

Gunarsa dan Gunarsa (2007) mendefinisikan pola asuh orangtua sebagai suatu sikap dan cara orangtua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan tergantung kepada orangtua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Darling (1999) menambahkan, mengasuh anak adalah kegiatan kompleks yang mencakup banyak perilaku yang dilakukan sendiri ataupun bersama-sama untuk mempengaruhi perilaku anak.

(41)

24

a. Pengasuhan fisik adalah upaya yang dilakukan agar anak dapat tumbuh dengan baik. Tujuan utamanya adalah perkembangan fisik yang sehat. Contoh dari pengasuhan fisik adalah memberi asupan makanan dan minuman, keamanan dan kebersihan.

b. Pengasuhan kognisi adalah upaya yang dilakukan agar kognisi anak berkembang dengan baik. Berkembang dengan baik maksudnya anak mampu menyerap informasi dengan baik, mengelolanya dengan benar, menyimpannya sebagai pengetahuan serta mengekspresikannya dengan tepat. Kita mengajari anak berfikir sebab akibat, mengasosiasikan antara satu hal dengan hal yang lain, menjawab rasa ingin tahu anak dan lain sebagainya.

c. Pengasuhan sosioemosional adalah upaya yang dilakukan agar anak sukses dalam kehidupan bersama orang lain. Emosi anak dapat berkembang dengan baik sebagai diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial. Anak belajar untuk berempati, tenggang rasa, menghargai dan menghormati orang lain.

Pengasuhan erat kaitannya dengan upaya yang dilakukan keluarga atau komunitas untuk memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak-anak dalam masa perkembangannya (Cahyono, 2015). Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orangtua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan perilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya (Supartini, 2002).

(42)

25

2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua

Didalam lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui model para anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orangtua. Ketika anak melihat dengan baik perilaku orangtua, maka dengan cepat akan menirunya, demikian pula sebaliknya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak perkembangan yang baik bagi anak (Tridhonanto, 2002). Hal ini akan membuat orangtua memperhatikan setiap perilaku yang dimunculkan karena berkaitan dengan perilaku meniru yang ditunjukkan anak.

Setiap orangtua memiliki keinginan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang secara sosial, namun sering sekali orangtua merasa kebingungan dalam merespon dan bertindak atas perilaku anak-anaknya (Santrock, 2007). Perlakuan yang ditunjukkan orangtua dalam merespon perilaku anak dikelompokkan menjadi dua (Baumrind, 1991) yaitu :

a. Responsiveness

Responsiveness mengarah kepada sejauh mana orangtua membantu perkembangan

individualitas dan penonjolan diri anak. Orangtua memenuhi tuntutan anak dengan memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Orangtua memberikan dukungan dengan sikap yang hangat, mendukung kemandirian anak dan adanya komunikasi dua arah antara anak dan orangtua (Baumrind, 2005).

b. Demandingness

(43)

26

Salah satu upaya yang dilakukan orangtua untuk membentuk karakter baik dalam diri anak yakni dengan pendampingan orangtua yang berbentuk pola asuh. Tridhonanto (2002) mengasumsikan pola asuh sebagai cara orangtua berinteraksi dengan anak. Setiap orangtua memiliki cara tersendiri dalam memberikan pengasuhan dan mendidik anaknya.

Baumrind (1991) membedakan tipe pola asuh menjadi tiga yang dikelompokkan berdasarkan tingkat responsiveness dan demandinggness orangtua terhadap anak. Tipe pola asuh tersebut meliputi pola asuh autoritarian, pola asuh autoritatif (demokratis), dan pola asuh permisif, sebagaimana penjabarannya sebagai berikut :

a. Pola Asuh Autoritarian

Pola asuh tipe ini tinggi dalam demandingness atau tuntutan dan peraturan, namun rendah dalam responsiveness. Orangtua membentuk anak untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan standar perilaku yang ditentukan oleh orangtua. Standar perilaku yang ditatapkan biasanya bersifat mutlak. Kepatuhan dinilai sebagai suatu sikap yang positif dan terpuji. Orangtua dengan pola asuh ini memiliki keyakinan dengan membatasi autonomi anak, maka anak akan tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan oleh orangtua (Baumrind,1991). Orangtua autoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Contohnya, orangtua authoritarian mungkin akan berkata, “lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali,

tidak ada diskusi” (Santrock, 2007). Apabila terjadi konflik anatara orangtua dan anak, anak memiliki keinginan yang keinginan tersebut tidak sesuai dengan standar orangtua maka orangtua akan mengambil tindakan yang keras (Baumrind, 2005).

b. Pola Asuh Autoritatif

(44)

27

mengajarkan anak untuk terbiasa mendengarkan pendapat orang lain. Orangtua, dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan, terlebih dahulu mendiskusikannya dengan anak, dan apabila anak tidak setuju akan suatu hal maka orangtua berusaha untuk mendengarkan alasan dari ketidaksetujuan anak. Jika terjadi konflik antara anak dan orangtua, maka orangtua akan bersikap tegas namun tetap tidak memaksakan kehendak terhadap anak. Orangtua bertindak sebagai orang dewasa dengan memperhatikan apa yang menjadi minat anak, menerima kemampuan yang dimiliki anak (Baumrind, 1991).

c. Pola Asuh Permisif

Orangtua dengan tipe pola asuh ini tidak memberikan hukuman, menerima dan setuju atas semua keinginan dan tindakan anak. Orangtua terlebih dahulu berkonsultasi dengan anak dalam membuat keputusan atau kebijakan dan hal ini juga berlaku dalam hal pembuatan peraturan dalam keluarga. Orangtua menempatkan dirinya sebagai sosok seorang yang mampu memenuhi segala kebutuhan anak, bukan menampilkan diri sebagai figur yang mengarahkan yang mengubah perilaku anak. Anak diberikan kebebasan beraktivitas dan tidak ada kontrol perilaku atas aktivitas yang dilakukan oleh anak. Orangtua juga tidak menuntut anak untuk patuh pada suatu aturan tertentu (Baumrind, 1991).

(45)

28

3. Pola Asuh Autoritatif atau Demokratis

Sistem pola asuh autoritatif mengajarkan kepada remaja bahwa hak dan kewajiban setiap individu harus dihormati sebagaimana mestinya. Pola asuh tipe ini menghargai dan menghormati perbedaan sehingga setiap orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Pola asuh autoritatif juga mendorong remaja untuk bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kapasitas mereka (Surbakti, 2009).

Pola asuh autoritatif tersusun atas tiga elemen, yaitu warmth, yang menjelaskan sejauh mana remaja diterima dan dicintai. Structure, yang menjelaskan sejauh mana remaja diawasi dan memiliki harapan dan aturan dari perilakunya serta autonomy support yang menjelaskan sejauh mana orangtua menerima dan mendukung individualitas dari remaja(Steinberg, 2002).

Gray & Steinberg (1999) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga elemen tersebut. Element warmth memberikan pengaruh terhadap personal well-being dari anak. Seorang anak yang mendapatkan elemen warmth dari orangtua akan lebih bersifat positif dalam menghadapi masalah yang akan membuat mereka juga sukses dalam sebagian besar aspek kehidupan mereka. Structure atau pengawasan yang diterapkan orangtua terhadap anaknya akan memunculkan kontrol diri serta disiplin yang tinggi, yang ditunjukkan melalui perilaku rajin belajar dan kemampuan mereka untuk menghindari penggunaan narkoba, ketidakhadiran di sekolah dan bentuk-bentuk dari perilaku antisosial.

(46)

29

Steinberg & Silk (2002) mengungkapkan pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling memadai untuk diterapkan dan baik untuk perkembangan remaja. Pendapat tersebut disertai dengan tiga alasan, yaitu :

a. Orangtua autoritatif memberikan keseimbangan yang jelas antara batasan dengan kebebasan, memberikan remaja kesempatan untuk mengembangkan kemandirian dengan memberikan standar, batasan dan pedoman yang dapat membantu perkembangan remaja. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini mendorong perkembangan kompetensi remaja dan meningkatkan kemampuan remaja untuk bertahan atas lingkungan yang negatif.

b. Orangtua dengan pola asuh autoritatif melibatkan anak-anak mereka dalam perilaku mengalah, orangtua mendorong perkembangan intelektual anak dan memberikan landasan penting bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Keluarga berdiskusi sebelum membuat keputusan, peraturan, dan harapan yang kemudian akan dijelaskan/dikomunikasikan untuk membantu remaja dalam memahami sistem dan hubungan sosial. Pemahaman ini merupakan bagian yang penting dalam kemampuan penalaran, pengambilan peran, penilaian moral dan empati. Perilaku saling mengalah akan menumbuhkan kompetensi kognitif dan sosial, sehingga lebih meningkatkan fungsi remaja diluar keluarga.

c. Pengasuhan dan keterlibatan yang disediakan oleh orangtua autoritatif memberikan remaja pandangan yang lebih mengenai pengaruh orangtua dan memungkinkan sosialisasi yang lebih baik dan efisien.

(47)

30

yang rasional, orangtua menunjukkan keyakinannya terhadap remaja bahwa remaja dapat memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan pemaparan mengenai tipe pola asuh yang telah dibahas sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh autoritatif merupakan tipe pola asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik remaja dan juga memiliki elemen yang diasumsikan akan berdampak pada perkembangan karakteristik remaja.

Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pola asuh autoritatif, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif adalah tipe pola asuh yang menyeimbangkan antara respon dengan tuntutan. Orangtua cenderung melibatkan anak dalam setiap urusan keluarga, bersikap terbuka, menjalin komunikasi dengan anak, berperilaku sebagai teman namun tetap memiliki standar perilaku yang jelas terhadap tingkah laku anak.

4. Dimensi Pola Asuh autoritatif

Cross (2009) menyebutkan terdapat 19 dimensi dalam menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak, yaitu :

a. Pl (Pleasure) : orangtua senang menjalankan perannya

b. Dp (Displeasure) : orangtua tidak senang menjalankan perannya c. Cn (Confidance) : orangtua percaya diri dalam menjalankan perannya d. Rt (Respect) : orangtua menghargai otonomi anak

e. Ls (Limit Setting) : harapan orangtua akan perilaku anak f. Ex (Expressiveness) : ekspresi yang di tunjukkan orangtua

g. Md (Maturity Demands) : menyusun standar perilaku yang disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat perkembangan anak

(48)

31

j. Wm (Warmth) : kehangatan interaksi orangtua dengan anak k. Cl (Coldness) : kerenggangan interaksi orangtua dengan anak l. An (Anger) : tingkat kemarahan orangtua

m. Rn (Responssiveness) : bagaimana orangtua memberikan respon terhadap anak n. In (Interactive) : tingkat pembicaraan orangtua kepada anak

o. Cr (Creativity) : tingkat kreatifitas orangtua ketika berinteraksi dengan anak p. At (Activity) : tingkat aktivitas fisik antara orangtua dengan anak

q. Ha (Happiness) : tingkat kebahagiaan yang diekspresikan baik secara verbal ataupun nonverbal

r. Sa (Sadness) : tingkat kesedihan yang diekspresikan baik secara verbal atau nonverbal s. Ax (Anxiety) : tingkat kecemasan yang diperlihatkan oleh orangtua

(49)

32

High Control

Authoritarian Md Ls Autoritatif

St Pr Rn In At Cr

Negative Dp An Ax Wm Rt Pl Positif Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect

Neglectful Permissive

Low control

Gambar 1. Tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Cross (2009)

5. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja

Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan oleh Steinberg & Silk (2002) bahwa pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif untuk diterapkan dalam pendidikan karakter remaja. Chaudry, Bibi, Awan & Tariq (2013) melakukan review terhadap beberapa literatur yang membahas tentang pola asuh orangtua. Hasil dari review yang dilakukan ini menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki pengaruh yang besar bagi domain kehidupan remaja. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai pengaruh dari pola asuh autoritatif orangtua terhadap perkembangan remaja.

a. Kemandirian

(50)

33

keterampilan sosial yang tinggi dan mandiri (Steinberg, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiana & Nugraheni (2008) menunjukkan ada korelasi yang positif antara pola asuh autoritatif dengan kemandirian. Semakin tinggi pola asuh demokratis yang diberikan oleh orangtua dan dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Asiyah (2013) juga menunjukkan hasil yang serupa, dengan subjek adalah remaja yang berstatus mahasiswa baru. Penelitian ini menyebutkan pola asuh autoritatif memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kemandirian pada mahasiswa baru, sehingga mahasiswa baru yang menerima pola asuh autoritatif dari orangtua menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dalam mengemban tanggung jawab dan tugas sebagai mahasiswa.

b. Kemampuan Beradaptasi

Chaandola & Bhanot (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh autoritatif dengan penyesuaian diri pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang diasuh dengan tipe pola asuh autoritatif memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik dibandingkan remaja dengan pola asuh authoritarian ataupun permisif.

(51)

34

c. Prestasi Akademik

Remaja dengan orangtua autoritatif memiliki prestasi yang tinggi di sekolah, tingkat depresi dan kecemasan yang rendah, self esteem yang tinggi, dan cenderung rendah dalam perilaku antisosial yang meliputi pelanggaran dan penggunaan narkoba (Steinberg, 2002).

Hasil penelitian Turner, Chander dan Heffer (2009) yang meneliti mengenai pola asuh autoritatif menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan prestasi belajar remaja. Karakteristik pengasuhan orangtua seperti memberi dukungan dan kehangatan memiliki peran yang penting dalam perkembangan prestasi belajar remaja. Sedangkan pola asuh permisif dan autoritatif tidak memiliki hubungan dengan prestasi akademik dari remaja. Seth & Ghormode (2013) menyebutkan, anak yang memiliki orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menerima pelajaran di sekolah sehingga menghasilkan prestasi belajar yang juga baik. Kordi & Baharudin (2010) juga melakukan penelitian serupa yang menunjukkan hasil orangtua yang terlibat dalam pendidikan remaja dan memonitor aktivitas remaja diluar sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik remaja. Remaja yang memiliki prestasi yang tinggi berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh autoritatif.

d. Perilaku Prososial

(52)

35

asuh autoritarian dan permisif menunjukkan korelasi yang negatif yang berarti kompetensi anak rendah dalam perilaku sosial.

Perilaku sosial yang baik biasanya diperlihatkan melalui perilaku gotong royong, anak bersikap lebih tenang dan memiliki empati dalam hubungan mereka dengan orang lain disekitarnya (Mensah & Kuranchie, 2013). Terkait dengan perilaku empati, penelitian oleh Lustiani (2013) terhadap remaja menunjukkan bahwa remaja yang memiliki empati yang tinggi ditunjukkan oleh remaja yang memiliki orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif.

e. Perilaku Bermasalah

Remaja dengan orangtua autoritatif menunjukkan internalisasi perilaku, seperti depresi dan kecemasan yang rendah serta eksternal perilaku seperti antisosial dan penggunaan narkoba yang juga rendah (Bornstein & Zlotnik, 2009). Perilaku depresi yang rendah ditunjukkan oleh remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif dan tingkat depresi yang sedang pada remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh permisif (Safitri & Hidayati, 2013).

Aunola & Nurmi (2005) dalam penelitiannya menjelaskan menurunnya perilaku bermasalah pada anak terjadi apabila kontrol perilaku yang diberikan orangtua tinggi dan kontrol psikologis rendah. Tetapi apabila kontrol perilaku yang tinggi diikuti dengan kontrol psikologis yang tinggi maka akan menyebabkan perilaku bermasalah juga meningkat. Penelitian Wulandari (2010) menunjukkan korelasi yang negatif antara pola asuh dengan perilaku seksual pada remaja. Semakin demokratis pola asuh yang diterapkan orangtua semakin rendah tingkat perilaku seksual remaja.

(53)

36

autoritatif dalam mendidik remaja. Dengan demikian maka kesimpulan yang didapat oleh peneliti adalah pola asuh autoritatif memiliki peranan penting terhadap perkembangan karakteristik remaja.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia duapuluhan awal, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, 2009).

World Health Organization (dalam Sarwono, 2012) memberikan definisi yang lebih konseptual mengenai remaja. Dalam definisi tersebut, dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi tersebut berbunyi, masa remaja adalah suatu masa dimana :

a. Individu berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih mandiri.

(54)

37

munculnya pubertas yaitu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual (Papalia, 2009). Pubertas merupakan hal yang paling penting dalam perkembangan remaja dan berhubungan dengan depresi, khususnya pada remaja perempuan (Deepalakshmi, 2013). Penelitian membuktikan bahwa terdapat peningkatan symptom depresi yang dimulai pada masa kanak-kanak sampai pada masa remaja dan simptom mulai terlihat pada umur 13 – 15 tahun yang akan mencapai puncak pada umur 17-18 tahun (Marcotte, 2002).

Periode masa remaja merupakan periode berisiko yang mana pada masa ini remaja mengalami berbagai macam masalah. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan dalam mengatasinya (Papalia, 2009).

Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam perkembangannya, yaitu :

a. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai. b. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja

seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.

(55)

38

kesedihan yang kronis. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, Santrock (2007) menggolongkan masalah-masalah remaja kedalam dua bagian, yaitu:

a. Internalisasi masalah, timbul ketika remaja mengarahkan masalah-masalah yang dialami kedalam dirinya, contohnya adalah kecemasan dan depresi. Beberapa penelitian menyebutkan gejala depresi banyak dialami oleh remaja, baik itu remaja laki-laki ataupun remaja perempuan. Safitri & Hidayati (2013) dalam penelitiannya mengenai depresi pada remaja di Semarang menyebutkan sebagian besar remaja dalam penelitian tersebut memiliki tingkat depresi yang bervariasi, mulai dari depresi ringan hingga depresi sedang. Penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2008) yang meneliti perbedaan tingkat depresi pada remaja laki-laki dan perempuan menyebutkan bahwa remaja perempuan cenderung lebih depresif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Kecemasan juga dialami oleh remaja dalam fase perkembangannya. Marifah dan Budiyani (2012) dalam penelitiannya yang meneliti tentang kecemasan sosial pada remaja menyebutkan remaja mengalami kecemasan sosial mulai dari kategori rendah hingga tinggi. Remaja laki-laki memiliki tingkat kecemasan yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja perempuan (Deb, Chatterjee & Walsh, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecemasan yang dialami remaja adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang rendah akan menyebabkan remaja cenderung mengalami kecemasan yang tinggi (Hidayati & Mastuti, 2012).

(56)

39

dengan perempuan. Hasil penelitian ini juga menyebutkan remaja laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja (Bongers & Koot, 2003).

Permasalahan yang dialami remaja memiliki cakupan yang cukup luas. Variasi dari masalah tersebut dapat meliputi variasi dalam hal tingkat keparahannya maupun dalam hal seberapa banyak masalah tersebut dialami oleh kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda-beda (Santrock, 2007).

Masalah-masalah yang dialami remaja yang berasal dari sosial-ekonomi rendah merupakan perilaku eksternalisasi yang tidak terkendali, contohnya mengganggu kebersamaan orang lain dan berkelahi, sedangkan masalah yang biasanya dialami oleh remaja dengan latar belakang sosial-ekonomi menengah lebih cenderung kepada perilaku internalisasi, seperti kecemasan dan depresi. Masalah-masalah perilaku yang sering menyebabkan remaja dirujuk ke klinik untuk menjalani penanganan kesehatan mental adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan perasaan tidak bahagia, sedih atau depresi dan prestasi sekolah yang buruk (Santrock, 2007).

Dengan demikian, kesimpulan yang peneliti ambil adalah bahwa masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan munculnya berbagai macam permasalahan yang sulit dihadapi oleh remaja dan bersumber dari dalam diri maupun lingkungan remaja.

2. Tugas Perkembangan Remaja

(57)

40

Havighurst (dalam Mahalayati, 2010) menyebutkan tugas perkembangan masa remaja adalah sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya.

Pertemanan pada masa remaja berkembang dari yang sebelumnya hanya berteman dengan sesama jenis menjadi berteman dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja juga belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena interaksi dibutuhkan dalam kehidupan berkelompok.

b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif

Remaja diharapkan mampu untuk mengenali perubahan fisik yang terjadi dalam dirinya dengan tujuan kematangan seksual. Remaja belajar untuk merawat tubuhnya dan juga menggunakannya secara efektif seperti untuk olahraga, rekreasi, bekerja dan juga untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

c. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

Remaja mulai meninggalkan sifat kekanak-kanakannya yang bergantung pada orangtua dan mulai berkembang tanpa bergantung pada orang dewasa. Remaja mulai diberi kebebasan untuk mandiri. Remaja yang suka memberontak dan memiliki konflik dengan orangtua atau orang dewasa perlu mengembangkan pengertian yang baik untuk dirinya maupun orang dewasa lainnya serta memahami alasan dibalik konflik yang terjadi.

d. Mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan

Remaja mampu untuk berperilaku sesuai dengan peran sosial yang didasarkan pada jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Remaja juga belajar untuk menerima peran sosial tersebut.

Gambar

Gambar 1. Tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Cross (2009)
Gambar 2. Hubungan antar variabel

Referensi

Dokumen terkait

Septiari (2012) juga menjelaskan pola asuh yang paling tepat diberikan kepada anak adalah pola asuh demokratis. Dengan penerapan pola asuh demokratis orang tua

dilakukan penelitian tentang “Hubungan antara tipe pola asuh orang tua dengan kemandirian perilaku remaja akhir”...

Berdasar pada rumusan masalah tersebut peneliti tertarik untuk memahami lebih lanjut, dengan mengadakan penelitian yang berjudul: Hubungan antara kecenderungan pola asuh

Adanya pola asuh otoriter yang sedang yang diterima oleh remaja SMA N 1 Karangdowo karena lingkungan Karangdowo masih termasuk lingkungan pedesaan, dimana cara-cara

Dimana aspek pola asuh permissive-indulgent yang lebih memberikan sumbangan efektif pada variabel kematangan sosial adalah aspek orangtua meminta sedikit tuntutan dan memberikan

Dari keempat pola asuh tersebut, pola asuh autoritatif lebih berperan dalam meningkatkan kecerdasan sosial seseorang karena orangtua lebih hangat, menunjukkan penerimaan

Hal yang berbeda dinyatakan oleh Niron, Marni, &amp; Limbu (2012) dimana hasil penelitiannya terhadap 89 subjek menyatakan terdapat hubungan antara pola asuh permisif dan pola

Dari data penelitian diketahui responden paling banyak memiliki pola asuh orangtua pada kategori demokratis, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua di