TINJAUAN PUSTAKA
3. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh individu yang resilien. Ketujuh aspek tersebut diantaranya:
a. Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Individu yang memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya sering menyusahkan orang lain dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan bersama-sama (Reivich & Shatee, 2002).
Regulasi emosi berfokus kepada bagaimana individu dalam mengatur pengalaman emosionalnya untuk tujuan pribadi dan sosial. Secara lebih spesifik, regulasi emosi terdiri dari proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional (khususnya intensitas dan ketepatan waktunya) untuk mencapai suatu tujuan (Thompson, Mayer & Jochem, 2009).
Hal penting yang tidak terlepas dari regulasi emosi adalah ketenangan (calming) dan fokus (focus), sehingga individu yang mampu mengelola kedua hal tersebut dapat memanfaatkan kemampuannya untuk meredakan emosi yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Seorang individu yang mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat merupakan ciri dari individu yang resilien menurut Reivich & Shatee (2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Widuri (2012) menyebutkan individu yang memiliki regulasi emosi yang rendah sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan pertemanan. Individu yang mampu meregulasi emosinya dengan baik merupakan individu yang memiliki resilien yang tinggi. Nisfianoor & Kartika (2004) yang juga melakukan penelitian terkait regulasi emosi pada remaja menyebutkan remaja yang memiliki regulasi emosi yang baik akan memiliki penerimaan kelompok teman sebaya yang baik. Sebaliknya,
17
semakin buruk regulasi emosi yang dimiliki remaja maka akan semakin buruk pula penerimaan kelompok teman sebayanya.
b. Impulse Control
Impulse control merupakan kemampuan individu untuk menahan atau mengendalikan keinginan, ego, dorongan yang bersumber dari dalam dirinya. Impulse control memiliki hubungan yang erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kemampuan impulse control yang rendah cenderung cepat dalam mengalami perubahan emosi sehingga individu sangat mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan terkadang berperilaku agresif terhadap hal-hal yang kecil. Perilaku ini menyebabkan orang-orang disekitarnya merasa tidak nyaman dan memicu timbulnya permasalahan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).
c. Optimism
Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatunya akan menjadi baik. Mereka memiliki harapan dimasa mendatang dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol tujuan hidupnya. Jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, jarang mengalami depresi, prestasi yang baik disekolah dan lebih produktif (Reivich & Shatte, 2002).
Hefferon & Boniwell (2011) menyebutkan dua komponen penting terkait dengan optimism, kedua elemen tersebut adalah dispositional optimism dan explanatory system. Dispotional optimism didefinisikan sebagai ciri-ciri kepribadian yang dikaitkan dengan hasil yang diharapkan. Sifat optimis ini ditandai dengan ekspektasi yang tinggi mengenai hasil yang positif sedangkan sifat pesimis ditandai dengan mengantisipasi masa depan dengan hasil yang negatif. Komponen yang kedua adalah explanatory style. Komponen ini menunjuk pada bagaimana penyebab dari suatu peristiwa, baik itu peristiwa positif maupun negatif dan dampaknya dalam melihat harapan dimasa yang akan datang.
18
Optimisme memiliki arti yang terkait dengan kemampuan individu melihat masa depannya dengan cerah. Optimisme berarti individu memiliki kemampuan menangani kemalangan yang pasti akan datang. Rasa optimis juga berkaitan dengan efikasi diri yang dimiliki individu. Optimisme merupakan suatu keuntungan jika dikaitkan dengan efikasi diri karena optimisme memotivasi individu untuk mencari solusi dan terus bekerja keras dalam meningkatkan kehidupan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Analisis kausal
Analisis kausal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari masalahnya. Jika individu tidak mampu menjelaskan penyebab permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut cenderung akan melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).
Abramson & Seligman (1978) menjelaskan tiga cara berfikir yang berkaitan erat dengan analisis kausal yang dinamakan explanatory style, yaitu cara individu dalam menjelaskan sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada dirinya. Explanatory style ini dapat dikodekan dalam tiga dimensi, yaitu personal (me-not me), permanent (always-not always), pervasive (everything-not everything).
Individu dengan pola pikir “me, always, everything” secara langsung berfikir bahwa dialah yang menjadi penyebab dari masalah yang terjadi (me), hal tersebut bersifat abadi dan tidak dapat diubah (always), dan hal tersebut merusak semua aspek kehidupannya (everything). Ketika masalah muncul Individu yang “not me, not always, not everything”, percaya bahwa orang lain atau lingkungan juga bisa menyebabkan munculnya sebuah masalah (not me), masalah itu bersifat sementara dan bisa berubah (not always), dan masalah tersebut tidak berdampak besar pada aspek kehidupannya (not everything).
19
e. Empati
Empati berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki individu dalam melihat atau membaca isyarat/tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Individu yang tidak mengembangkan kemampuan untuk peka terhadap bahasa nonverbal, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
Empati merupakan suatu emosi yang secara spesifik tumbuh dalam konteks pengalaman emosional yang dimiliki seseorang dan menggambarkan hubungan terhadap pengalaman yang dimiliki orang lain. Empati merupakan respon emosional personal terhadap keadaan emsoional orang lain (Robinson, 2009). Ekspresi dari empati dapat dilihat melalui emosi-emosi dasar seperti kesedihan, empati juga dapat dilihat dari perilaku yang mengekspresikan kepedulian terhadap orang lain dan perilaku sosial lainnya (Robinson, 2009).
f. Efikasi Diri
Efikasi diri merepresentasikan kepercayaan individu dalam memecahkan masalah yang dialami serta memiliki keyakinan akan hidup yang sukses. Efikasi diri cukup memberikan dampak dalam situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Contohnya dalam dunia pekerjaan, individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk dapat memecahkan masalah akan terlihat seperti seorang pemimpin, tetapi mereka yang tidak memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri akan menemukan dirinya mangalami kekalahan dalam kelompok (Reivich & Shatte, 2002).
20
Bandura (dalam Feist & Feist, 2009) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku , sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2009).
Roberts (2007) melakukan penelitian terkait dengan self efficacy, self concept dan kompetensi sosial sebagai sumber dari resiliensi dan psychological well-being pada dewasa muda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya self efficacy yang individu miliki akan berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menghadapi dan beradaptasi dengan tantangan dan tekanan hidup. Hal serupa juga dikemukakan oleh Manara (2008) yang juga membuktikan bahwa tingginya efikasi diri yang dimiliki individu mengindikasikan individu tersebut sebagai individu yang resilien.
g. Reaching Out
Resiliensi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana individu dalam mengatasi masalah yang terjadi dan bangkit dari keterpurukan, resiliensi juga berbicara tentang kemampuan individu dalam menggapai aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua individu mampu untuk melakukan reaching out, hal ini dikarenakan banyak individu yang memang dari kecil sudah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindar dari kegagalan dan situasi yang memalukan. Individu yang seperti ini adalah individu yang memilih untuk memiliki hidup yang standar dibandingkan dengan meraih kesuksesan dengan menghadapi kegagalan dan situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang seperti ini juga
21
memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalisasikan segala kemampuan yang ada dalam dirinya (Reivich & Shatee, 2002).
Bernad (2009) memberi kajian lebih lanjut dengan menggolongkan empat sifat umum yang dimiliki individu yang resilien. Keempat sifat tersebut meliputi :
1. Kompetensi Sosial. Kemampuan yang dimiliki individu untuk memunculkan respon yang positif dari orang lain, dalam artian individu mampu untuk menjalin hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2. Keterampilan Memecahkan Masalah. Perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
3. Otonomi. Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.
Sybil & Wollin (2000) melakukan penelitian terhadap remaja. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai remaja yang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit disaat remaja lainnya menyerah. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian Sybil dan Wollin menggelompokkan tujuh karakteristik individu yang resilien. Ketujuh karakteristik tersebut meliputi:
1. Insight. Individu yang resilien menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, untuk memperoleh kejelasan akan suatu hal dan juga untuk menjawab kebingungan.
2. Independence. Individu mampu memisahkan dirinya secara fisik dan emosional dari kesulitan dengan tujuan keselamatan dan membuka kesempatan yang baru.
22
3. Good relationship. Individu mampu membentuk ikatan emosi yang sehat dalam
berinteraksi dengan orang lain.
4. Initiative. Individu mengambil alih sebuah masalah untuk menciptakan efikasi diri.
5. Creativity. Individu dapat mentransfer rasa tidak menyenangkan atau emosi negatif menjadi kreatifitas yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.
6. Humor. Individu dapat mempertahankan sifat humoris dan mampu untuk tertawa walau dalam keadaan yang sulit.
7. Good moral standard. Individu memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan hati nurani. Seperti yang telah dipaparkan, setiap tokoh mengemukakan karakter yang berbeda mengenai individu yang resilien. Hal ini dikarenakan resiliensi lebih dianggap sebagai suatu kemampuan yang diperoleh dari proses, dibandingkan dengan suatu sifat yang dimiliki individu (Desmita, 2009). Oleh karena itu, resiliensi diartikan sebagai kapasitas yang diperoleh individu melalui proses belajar dan pengalaman dari lingkungan. Pengalaman dari pada lingkungan setiap individu berdampak pada pembentukan karakteristik dari resiliensi pada individu tersebut.
Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat tingkat resiliensi pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) terhadap remaja di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan hasil sebesar 97,42% subjek penelitian memiliki resiliensi yang tinggi dan sisanya memiliki resiliensi dengan kategori rendah. Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewanti & Suprapti (2014) yang meneliti tentang resiliensi pada remaja putri terhadap problematika pasca perceraian orangtua. Hasil penelitian ini menyebutkan remaja putri dengan orangtua yang telah bercerai memiliki resiliensi yang baik dengan memunculkan kemampuan yang tinggi pada aspek impulse control, optimisme, empati dan efikasi diri.
23
Oktaviani (2012) melakukan penelitian terhadap remaja korban tsunami Aceh. Penelitian ini menunjukkan hasil skor resiliensi dari remaja tersebut bervariasi mulai dari skor sedang sampai skor tinggi. Remaja dalam penelitian tersebut menunjukkan skor tinggi pada aspek meaningfulness, equanimity, existential eloneness dan perseverance yang merupakan aspek-aspek resiliensi menurut teori Wagnild & Young (1993).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai aspek-aspek resiliensi, aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) yang terdiri dari regulasi emosi, impulse control, optimism, analisis kausal, empati, efikasi diri dan reaching out.