• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM KESATUAN-KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM KESATUAN-KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN DI BALI"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

EKSISTENSI PERADILAN ADAT

DALAM KESATUAN-KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA PAKRAMAN DI BALI

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Ketua/Anggota Tim

Dr. I Ketut Sudantra, SH.MH.( 0003106005)

Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS.( 00300114606) I Gst Ngr Dharma Laksana, SH.,MKn ( 0007047503 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2016

(2)
(3)
(4)

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksitensi peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali, baik menyangkut struktur, hukum yang digunakan sebagai dasar dalam mengadili, kompetensi (kewenangan), maupun mekanisme dan asas kerja dari peradilan adat di dalam kenyataannya. Secara yuridis, peradilan adat diakui eksistensinya dalam konstitusi, melalui Pasal 18B ayat (2) UUDNRI Tahun 1945, tetapi pengakuan tersebut belum diderivasi dalam undang-undang yang mengatur masalah peradilan. Dewasa ini, pengakuan terhadap peradilan adat sudah diakomodasi dalam Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPHMHA) yang saat ini sedang berproses di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Di dalam RUU-PPHMA yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR-RI sejak Tahun 2012 telah dimasukkan satu pasal yang mengakui hak dari kesatuan masyarakat hukum adat untuk melaksanakan sistem peradilan adat. Dalam rangka pembahasan RUU tersebut, masukan dari masyarakat termasuk Perguruan Tinggi berupa kajian ilmiah sangat dibutuhkan oleh pembentuk undang-undang agar pembentuk undang-undang dapat merumuskan konsep peradilan adat secara tepat dan sesuai dengan kondisi riil peradilan adat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali. Penelitian ini dilakukan dalam rangka dapat menjawab sebagian kebutuhan pembentuk undang-undang tersebut.

Sebelum penelitian ini dilakukan, telah ada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh I Ketut Sudantra dan Ni Nyoman Sukerti (2014) dengan obyek penelitian yang sama, tetapi penelitian tersebut dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Fokus penelitian pendahuluan tersebut adalah pada pengaturan peradilan adat dalam awig-awig desa pakraman, yaitu peraturan yang dibuat oleh kesatuan masyarakat desa pakraman dan berlaku secara internal dikalangan kesatuan tersebut.. Hasilnya menunjukkan bahwa peradilan adat sudah

(5)

diatur dalam awig-awig desa pakraman, dalam satu bab khusus yang berjudul Wicara lan Pamidanda (Perkara/Masalah dan Sanksi). Itu artinya bahwa secara normatif, eksistensi desa pakraman diakui dalam awig-awig desa pakraman.

Temuan penelitian terdahulu tersebut selanjutnya dikonfirmasi secara empiris melalui penelitian ini, dengan meneliti eksistensi peradilan adat dalam kenyataannya sebagaimana hidup dan dipraktikkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan fakta. Lokasi penelitian ditentukan secara puropsive, yaitu dengan mengambil sampel desa pakraman yang diharapkan dapat mewakili tiga tipe desa pakraman yang ada di Bali, yaitu desa baliage, desa apanage, dan desa anyar. Data primer diperoleh dengan teknik wawancara mendalam terhadap para kepala adat (prajuru) pada masing-masing desa pakraman lokasi penelitian yang penentuannya dilakukan dengan teknik bola salju.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peradilan adat adalah suatu fakta empiris, yang nyata-nyata ada, hidup dan dipraktikkan dalam kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Kelembagaan yang melaksanakan fungsi peradilan adat adalah Prajuru, yang dilakukan melalui Paruman Prajuru yang dihadiri elemen kelembagaan lain yang ada di desa pakraman, yaitu Paduluan (untuk desa baliage/desa tua) dan pejabat pemerintahan desa dinas (Kepala Dusun/Kepala Desa). Paruman Prajuru dalam pelaksaaan fungsi sebagai peradilan adat disebut Kertha Desa. Hukum yang dijadikan dasar oleh peradilan adat (Kertha Desa) dalam mengadili setiap perkara yang dihadapi adalah hukum adat Bali sebagaimana yang terwujud dalam awig- awig desa pakraman, pararem, dan/atau catur dresta. Perkara-perkara yang menjadi kompetensi peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman meliputi semua perkara yang terjadi di wilayah desa pakraman dan diajukan penyelesaiannya kepada Prajuru selaku Kertha Desa.

Perkara-perkara tersebut dapat berupa sengketa atau pelanggaran hukum yang tergolong sebagai perkara adat murni, campuran maupun non-adat. Terhadap perkara-perkara yang berupa sengketa, biasanya Prajuru bersifat pasif, menunggu

(6)

adanya pasadok (laporan/pengaduan) dari pihak-pihak yang berperkara;

sedangkan untuk perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum, seperti kacorahan (kejahatan) dan tindakan-tindakan lain yang melanggar awig-awig, Peajuru bersifat aktif, yaitu langsung bertindak setelah mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut. Mekanisme peradilan dilakukan melalui Paruman Prajuru bertempat di Balai Banjar atau Balai Desa Pakraman Dalam paruman tersebut, para pihak yang berperkara di dengar keterangannya dihadapan peserta paruman, kemudian dibicarakan mengenai duduk perkaranya, kepentingan-kepentingan yang terkait, dan solusi-solusi penyelesaiannya, kemudian diambil keputusan terbaik secara musyawarah mufakat sehingga diharapkan dapat diteriima semua pihak secara lapang dada.

(7)

PRAKATA

Angayubagia kami panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, kerana berkat anugrah-Nya laporan penelitian ini dapat diselesaikan.

Penelitian berjudul “Eksistensi Peradilan Adat dalam Kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman di Bali”, ini dilaksanakan atas fasilitasi pendanaan dari PNBP Universiats Udayana.Tahun 2016 melalui skim Hibah Ungguan Udayana.

Melalui ruang ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih para pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnya:

(1) Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui pelaksanaan peenlitian ini serta mengijinkan kami melakukan penelitian disela-sela kesibukan kami melaksanakan tugas-tugas akademik;

(2) Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana yang telah menyetujui dan memberikan dana hibah untuk penelitian ini;

(3) Pihak-pihak lain yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

Semoga budi baik beliau mendapat imbalan yang sepadan dari Ida Sanghyang Widi Wasa.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati kami persembahkan laporan hasil penelitian ini kepada pembaca, semoga bermanfaat.

Denpasar, 17 November 2016, Tim Peneliti,

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ii

RINGKASAN iv

PRAKATA vii

DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peradilan Adat sebagai Sistem Peradilan dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ... 4

2.2. Desa Pakraman sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat di Bali ... . 12 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT 3.1. Tujuan ... 21

3.2. Manfaat ... 21

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 23

4.2. Lokasi penelitian dan Penetapan Informan ... 24

4.3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peristilihanan Peradilan Adat dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman ... 26

5.2. Kkelembagaan yang Melaksanakan Fungsi Peradilan Adat ... 30

5.3. Hukum Yang Digunakan Untuk Mengadili dalam Peradilan Adat ... 39

5.4 Kompetensi (Kewenangan) Peradilan Adat ... 41

5.5. Mekanisme dan Asas Kerja dalam Peradilan Adat ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1. Kesimpulan ... 51

6.2. Saran ... 52 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I.

PENDAHULUAN

Secara konstitusional, eksistensi peradilan adat diakui oleh Negara melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut: UUD 1945). Pada pasal tersebut secara ekplisit ditentukan bahwa Negara mengakui dan menghormati keberadaan hak-hak tradisional dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Salah satu hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut adalah hak untuk menyelenggarakan sistem peradilan sendiri, yang secara konseptual disebut dengan istilah peradilan adat. Konstitusi memberi syarat tertentu bagi pengakuan dan penghormatan ini, yaitu: (1) peradilan adat tersebut masih hidup, dalam artian masih eksis dan dipraktekkkan oleh kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sewsuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta (4) diatur dalam undang- undang.

Hingga saat ini pengakuan tersebut belum diderivasi ke dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD, kecuali untuk peradilan adat di Provinsi Papua. Khusus di daerah ini, eksistensi peradilan adat telah diakui melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.

Sebagaimana ditentukan pada Pasal 50 undang-undang ini, di daerah Papua diakui eksistensi peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tertentu, di samping tetap berlaku kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh badan peradilan Negara. Sebagai undang-undang yang khusus berlaku bagi daerah otonomi Papua, sudah tentu undang-undang tersebut tidak berlaku secara nasional sehingga praktik-praktik peradilan-peradilan adat yang secara faktual masih hidup dalam kesatuan-kesatruan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia belum mendapat payung hukum pada tataran undang- undang.

Perjuangan bagi pengakuan peradilan adat secara nasional telah dilakukan banyak pihak, antara lain oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), HuMa dan Epstema Institute. Hasil perjuangan tersebut sudah sampai pada

(10)

tahapan masuknya pasal tentang pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat dalam Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPHMHA) yang disiapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tahun 2012 dan sampai sekarang masih berproses di DPR-RI.. Sebagaimana proses pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya, dalam proses pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur sistem peradilan adat sangat dibutuhkan adanya masukan-masukan dari masyarakat termasuk Perguruan Tinggi berupa hasil penelitian atau kajian ilmiah mengenai kondisi riil bangunan peradilan adat yang masih hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali.

Dengan demikian, sangat penting dan relevan dilakukan penelitian mengenai eksistensi preradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Dari hasil penelitian ini akan dapat diketahui mengenai bangunan sistem peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman dalam kenyataannya, baik mengenai strukturnya, kompetensi (kewenangan), hukum yang digunakannya dalam mengadili, maupun mekanisme kerja yang dipraktekkannya. Hasil penelitian yang berupa artikel ilmiah yang akan dimuat dalam jurnal hukum nasional (terakreditasi) sehingga dapat menjadi sumbangan berharga bagi proses pembahasan RUU-PPHMHA di DPR-RI

Penelitian terhadap eksistensi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman sangat mendesak untuk dilakukan, terutama dikaitkan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPHMHA) yang sampai saat ini masih berproses di DPR-RI. Diharapkan, tidak lama lagi RUU tersebut berhasil disetujui dan ditetapkan menjadi undang-undang sehingga amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengakui dan menghormati hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat – termasuk di dalamnya hak untuk menyelenggarakan peradilan adat – segera dapat diwujudkan.

Sebagaimana proses pembentukan undang-undang lainnya, dalam proses pembentukan undang-undang yang mengakomodasi sistem peradilan adat sangat dibutuhkan adanya masukan-masukan dari masyarakat, termasuk masukan yang

(11)

berupa hasil penelitian atau kajian ilmiah dari kalangan Perguruan Tinggi.

Masukan tersebut dibutuhkan oleh pembentuk undang-undang supaya mereka dapat secara tepat merumuskan dalam undang-undang mengenai bangunan (konstruksi) peradilan adat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengemban peradilan adat itu sendiri, yaitu kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Penelitian ini akan menjawab sebagian kebutuhan pembentuk undang- undang tersebut karena akan mengungkap eksistensi dan praktek peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Hasil penelitian yang berupa artikel ilmiah akan dipublikasikan dalam jurnal hukum nasional (terakreditasi) sehingga dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi proses pembentukan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak- hak masyarakat hukum adat.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peradilan Adat sebagai Sistem Peradilan dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

2.1.1. Prihal Kesatuan masyarakat Hukum Adat

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Ter Haar dalam bukunya yang terkenal,

“Beginselen en Stelsel van Het Adatrescht”, pernah menyatakan bahwa di seluruh wilayah Indonesia terdapat kelompok-kelompok masyarakat hukum dikalangan rakyat yang mempunyai kekuasaan sendiri dan harta kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Kelompok-kelompok masyarakat hukum itu oleh Ter Haar disebut dengan istilah rechtsgeemeenchappen1. Temuan Ter Haar tersebut kemudian banyak dijadikan acuan atau dikutip oleh penulis-penulis hukum adat di Indonesia, seperti R.

Soepomo, Hilman Hadikusuma, Soerjono Soekanto, dan lain-lain; ketika membicarakan tata susunan masyarakat adat di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat hukum ini oleh beberapa penulis Indonesia kemudian disebut atau diterjemahkan dengan istilah-istilah yang beragam, antara lain: “persekutan hukum” (R.Soepomo2; Hilman Hadikusuma3), “masyarakat hukum adat”

(Soerjono Soekanto4 dan Soeleman B Taneko5).

Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat: UUD 1945) kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri ini disebut dengan istilah:

1B. Ter Haar, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan: K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, h .6-7.

2 Lihat: R. Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h.49.

3 Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung. hlm.1. Dalam bukunya yang lain, Hadikusuma menggunakan istilah: “masyarakat hukum adat”. Lihat: Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 105.

4 Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.93.

5 Soleman Biasane Taneko, 1981. Dasar-dasar Hukum Adat & Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, h. 49.

(13)

“kesatuan masyarakat hukum adat”. Tetapi, UUD 1945 sama sekali tidak memberikan pengertian (difinisi) terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.

Untuk memahami konsep kesatuan masyarakat hukum adat, mau tidak mau, harus kembali mengacu kepada bacaan-bacaan lama di mana istilah-istilah tersebut pertama-tama digunakan. Dengan mengutip Ter Haar, R. Soepomo dalam bukunya yang berjudul: “Bab-bab Tentang Hukum Adat” menguraikan konsp kesatuan masyarakat hukum adat tersebut sebagai berikut:

bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniawian dan alam gaib. Golongan- golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum6.

Apabila uraian Soepomo di atas ditarik unsur-unsurnya, maka dapat diketahui bahwa suatu kelompok masyarakat dapat disebut kesatuan masyarakat hukum adat (Soepomo: persekutuan hukum) apabila memenuhi ciri-ciri berikut:

(1) kelompok tersebut bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar;

(2) kelompok tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal;

(3) tidak ada seorangpun anggota kelompok mempunyai pikiran akan pembubaran kelompok tersebut;

(4) kelompok tersebut mempunyai pengurus sendiri;

(5) kelompok tersebut mempunyai harta harta benda, milik keduniawian dan gaib

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap konsep kesatuan masyarakat hukum adat maka sangat penting untuk mencermati putusan-putusan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagai lembaga

6R. Soepomo, op.cit., h. 50.

(14)

yang mempunyai kewenangan menafsirkan Undang-undang Dasar7. Dalam sebuah Putusan tahun 2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat dikatakan secara de fakto masih hidup (actual existence) apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in- group feeling);

2. adanya pranata pemerintahan adat;

3. adanya kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 4. adanya perangkat norma hukum adat; serta

5. adanya wilayah tertentu, khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial8.

Dengan mencermati uraian di atas, maka konsep kesatuan masyarakat hukum adat harus dipahami sebagai kesatuan masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok; mempunyai pranata pemerintahan adat, mempunyai kekayaan dan/atau benda-benda adat, mempunyai perangkat norma hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu9. Walaupun penggunaan istilah kesatuan masyarakat hukum adat sering dirancukan dengan istilah-istilah lain yang mirip, yaitu masyarakat hukum adat dan masyarakat adat, tetapi secara konsepstual istilah kesatuan masyarakat hukum adat haruslah dibedakan dengan istilah masyarakat hukum adat atau masyarakat adat. Masyarakat adat atau masyarakat hukum adat adalah salah satu unsur dari kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat adalah lembaga atau organisasi yang menjadi wadah dari masyarakat hukum adat yang membentuk satu kesatuan10

7Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mendentukan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD. Proses pengujian suatu undang- undang adalah suatu penafsiran hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang adalah tafsir konstitusi yang bersifat final.

8Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945 dibacakan pada 18 Juni 2008

9 I Ketut Sudantra, 2016, Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Swasta Nulis –Bali Shanti-Puslit Hukum Adat (LPPM Unud), h. 60.

10Ibid.

(15)

Mahkamah Konstitusi RI menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat tiga golongan kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu: (a) kesatuan masyarakat hukum adat teritorial; (b) kesatuan masyarakat hukum adat geneologis, dan (c) kesatuan masyaraat hukum adat fungsional. Kesatuan masyarakat hukum adat teritorial adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terbentuk karena masyarakatnya terikat pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun temumurun;

kesatuan masyarakat hukum adat genelologis adalah kesatuan masyarakat yang keanggotaannya ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah;

sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat fungsional adalah kesatuan masyarakat hukum adat dimana anggotanya dipersatukan oleh fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama11.

Penggolongan ini agak berbeda dengan penggolongan kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah dikemukakan oleh penulis-penulis hukum adat seperti Ter Haar dan R. Soepomo. Menurut Ter Haar R. Soepomo, terdapat dua faktor yang berpengaruh bagi timbulnya kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu faktor geneologis (hubungan darah) dan faktor teritorial, sehingga menimbulkan dua golongan kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu: (a) golongan kesatuan masyarakat hukum adat geneologis dan kesatuan masyarakat hukum adat teritorial12. Memang, Ter Haar mengakui adanya golongan kesatuan masyarakat hukum adat lain, seperti Subak di Bali13, yang sesungguhnya adalah kesatuan masyarakat hukum adat fungsional sesuai versi Mahkamah Konstitusi karena anggotanya dipersatukan oleh fungsi-fungsi tertentu, yaitu memelihara pengairan di areal persawahan; tetapi Ter Haar tidak secara spesifik menyebut Subak sebagai golongan kesatuan masyarakat hukum adat tersendiri.

2.1.2. Otonomi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai otonomi, yaitu seperangkat hak berupa kekuasaan atau hak untuk mengurus rumah

11Ibid., h.74.

12Lihat: Ter Haar, op.cit., h. 8; R. Soepomo, op.cit., h. 51.

13Ter Haar, op.cit., h. 37.

(16)

tangganya sendiri. Otonomi kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai landasan yang kuat, di samping karena lahir bersamaan dengan terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat tersebut, juga karena diakui secara konstitusional oleh Negara melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Sebagaimana diketahui, dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Salah satu hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat adalah hak untuk berotonomi. Berdasarkan Pasal 28I UUD 1945, hak kesatuan masyarakat hukum adat untuk berotonomi tergolong sebagai hak asasi manusia yang wajib mendapat perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan dari Negara.

Dari perspektif Teori Catur Praja yang dikemukakan oleh van Vollehhoven, otonomi kesatuan masyarakat hukum adat meliputi: (1) kekuasaan- kekuasaan untuk membentuk hukumnya sendiri; (2) melaksanakan pemerintahan sendiri; (3) kekuasaan melakukan tugas pengamanan sendiri; dan (4) kekuasaan melaksanakan peradilan sendiri14. Kekuasan-kekuasaan tersebut masih hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Dengan kekuasaan- kekuasaan tersebut, dapat dikatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat ibarat ”negara kecil” dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena secara internal kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai kekuasaan-kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk hukumnya sendiri); kekuasan eksekutif (kekuasaan melaksanakan pemerintahan sendiri dan kekuasaan melakukan tugas pengamanan sendiri); dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan melaksanakan peradilan sendiri.

Dalam kehidupan bernegara sekarang ini, walaupun keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat sudah ada lebih dahulu dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sudah

14 Menurut Teori Catur Praja, otonomi mencakup aktivitas membentuk perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), melaksanakan sendiri (zelffuitvoering), melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak), dan melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf-politie). Lihat: Panitia Ad Hoc I DPD RI.

”Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat”. Materi Uji Sahih.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Juni 2009, h. 50.

(17)

mendeklarasikan diri bahwa seluruh wilayah di mana kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu berada adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang harus tunduk kepada kekuasaan-kekuasaan negara. Dengan demikian, otonomi kesatuan masyarakat hukum adat bukanlah otonomi penuh tanpa batas, melainkan semi-otonom, dalam pengertian bahwa pelaksanaan otonomi tersebut dapat dipengaruhi atau dibatasi oleh kekuasaan yang lebih tinggi, dalam hal ini kekuasaan Negara. Sally Falk Moore, seorang penekun antropologi hukum yang sangat terkenal, menyebut masyarakat- masyarakat semi-otonom itu sebagai lapangan sosial semi otonom (semi- outomous social field),15

2.1.3. Implementasi Otonomi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bidang Peradilan

Salah satu kekuasaan yang sangat penting yang dimiliki oleh kesatuan masyarakat hukum adat adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri. Kekuasaan inilah yang melahirkan sistem penyelesaian perkara (sengketa maupun pelanggaran hukum) yang dipraktekkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, sejak dahulu kala, di wariskan secara turun temurun, sehingga dapat disebut sebagai hak asal-usul.

Tidak dapat diingkari bahwa dalam kehidupan masyarakat dimana pun juga, termasuk dalam masyarakat adat, tidak dapat dihindari terjadinya masalah- masalah yang mengganggu ketertiban, kedamaian ataupun keharmonisan hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat juga mempunyai pranata-pranata untuk menyelesaian masalahnya. Demikian juga masayarakat hukum adat mempunyai pranata-pranata penyelesaian masalah yang sudah teruji sejak berabad-abad.

Dalam setiap kesatuan masyarakat hukum adat, semua permasalahan yang mengganggu ketertiban, kedamaian dan keharmonisan hidup dianggap

15 Menurut Moore, “The semi-autonomous social field has rule making capacities, and the means to induce or coerce compliance; but it is simultaneously set in larger social matrix which can, and does, affect and invade it, sometimes at the invitation of persons inside it, sometimes at its own instance Sally Falk Moore, 1978, Laws as Process, An Anthropological Approach, Routledge & Kegal Paul, London,Boston, Melbourne and Henly, hlm. 56; Lihat pula: I Ketut Sudantra, Ni Nyoman Sukerti, AA. Istri Ari Atu Dewi; 2015, “Identifikasi Lingkup Isi dan Batas-batas Otonomi Desa Pakraman dalam Hubungannya dengan Kekuasaan Negara, Jurnal Magister Hukum Udayana, Volume 4 Nomor 1 Mei 2015, h. 22.

(18)

mengancam tujuan hidup bersama sehingga harus segera mendapat penyelesaian.

Dalam penyelesaian setiap permasalahan tersebut, terdapat aktor-aktor yang dihormati dan berperan dalam penyelesaian masalah, ada norma-norma dan prosedur-prosedur yang sudah disepatai untuik digunakan sebagai dasar acuan dalam menyelesaian masalah. Keseluruhan mekanisme penyelesaian inilah yang disebut dengan sistem peradilan adat.

Dalam kenyataan, istilah “peradilan adat” bukanlah suatu istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat adat. Kalau kita datang ke pelosok-pelosok masyarakat dipedalaman, kita akan menemukan mekanisme-mekanisme penyelesaian masalah yang dipraktekkan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Apabila kita tanyakan kepada mereka mengenai istilah yang mereka gunakan untuk menyebut mekanisme-mekanisme penyelesaian masalah tersebut, setiap masyarakat adat mungkin akan menyebut dengan istilah-istilah yang beraga, misalnya: “sidang adat”, “rapat adat” dan lain-lain16.

Dalam kepustakaan, istilah “peradian adat” digunakan untuk menunjuk konsep-konsep yang tidak sama. Beberapa penulis menggunakan istilah

“peradilan adat” sebagai terjemahan dari inhemsche rechtspraak17, yaitu sistem peradilan bentukan pemerintah pada jaman Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi. Pada zaman itu, berdasarkan 163 Indische Staatsregeling (IS), penduduk di Hindia Belanda digolongkan dalam tiga golongan penduduk yang masing-masing tunduk kepada sistem hukum yang berbeda, yaitu (1) penduduk golongan Eropa yang tunduk kepada hukum Batrat;

(2) penduduk golongan bumiputra (pribumi) yang tunduk kepada hukum adat;

dan (3) penduduk golongan Timur Asing (Tionghoa, India, Arab, Afrika, dan sebagainya) yang tuduk kepada hukumnya masing-masing. Terhadap masing-

16 Anonim, , 2003, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia: Peluang dan Tantangan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)-Partnership for Governance Reform, Jakarta, h. 8; Lihat juga: Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, 2015,

“Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem peradilan Perdata Indonesia“ , Mimbar Hukum , Volume 27 No 1 Februari 2015, h.62.

17 Lihat antara lain: Sudikno Mertokusumo, 1970, Sejarah Peradilan dan Perundang- undangan di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Disertasi, Universitas Gajah Mada, h.52; H. Irene A. Muslim, 1991, “Peradilan Adat Pada Masyarakat Daya di Kalimantan Barat”, Pidato Pengkuhan jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura,Pontianak: Universitas Tanjungpura,15 Juni 1991, h. 2

(19)

masing golongan penduduk tersebut berlaku badan peradilan yang berbeda.

Melalui Reglement op de Rechterlijke Organisatie 1847 (R.O.) Pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sejumlah badan peradilan untuk mengadili perkara- perkara hukum yang terjadi di antara orang-orang Eropa atau yang dipersamakan dengannya, dan sejumlah lembaga peradilan lagi untuk mengadili perkara- perkara hukum yang terjadi di antara orang-orang pribumi atau yang dipersamakan dengannya. Badan peradilan untuk penduduk golongan Eropa isebut gouvernements-rechtspraak (peradilan gubernemen), sedangkan peradilan badan-badan peradilan yang diperuntukkan mengadili perkara-perkara diantara penduduk golongan pribumi disebut inheemsche rechtspraak.

Walaupun inhemsche rechtspraak mengadili perkara-perkara diantara penduduk golongan pribumi berdasarkan hukum adat, tetapi hakim-hakimnya diangkat oleh Pemerintah (Residen), jadi sesungguhnya inheemsche rechtspraak adalah peradilan negara. Di samping inhemsche rechtspraak, pada masa Hindia Belanda juga terdapat bentuk peradilan yang hidup dan dipraktekkan dikalangan masyarakat pribumi yang disebut dorpjustitie (peradilan desa). Sistem peradilan ini dipraktekkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum kecil-kecil yang di Jawa dan Bali disebut desa. Pelaksana (hakim) dalam peradilan desa adalah kepala-kepala dari masyarakat hukum kecil-kecil (kepala rakyat/desa) dan mereka menyelesaikan perkara juga berdasarkan hukum adat setempat. Melalui Undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 peradilan adat dalam konsepnya sebagai terjemahan inhemsche rechtspraak telah dihapuskan, sedangkan prkatek- praktek peradilan desa masih diakui.

Dewasa ini, konsep peradilan adat sudah bergeser. Istilah “peradilan adat” tidak lagi digunakan dalam kerangka terjemahan dari inhemsche rechtspraak, melainkan digunakan untuk menunjuk kepada sistem peradilan yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan tidak merupakan bagian dari Peradilan Negara18. Istilah “peradilan adat” dalam pengertiannya yang terakhir ini kini sudah menjadi istilah teknis yuridis (istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan) setelah istilah ini

18 Hedar Laujeng, 2003, Mempertimbangkan Peradilan Adat, Seri Pengembangan Wacana, HuMa, hlm. 1

(20)

digunakan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Menurut Pasal 51 undang-undang tersebut,

“Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan” Dengan pengertian yang demikian itu, maka konsep peradilan adat dewasa ini lebih mirip dengan konsep peradilan desa (dorpjustitie) pada jaman Hindia Belanda.

2.2. Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali

Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali, sebab memenuhi kriteria-kriteria sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konsitusi Rebublik Indonesia di atas. Sesuai dengan rumusan pengertian desa pakraman dalam Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2001 tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut: Perda Desa Pakraman 2001), desa pakraman adalah:

1. kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi;

2. mempunyai tatakrama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa;

3. mempunyai wilayah tertentu;

4. mempunyai harta kekayaan sendiri; dan 5. berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Mengacu kepada tiga golongan kesatuan masyarakat hukum adat yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi RI, maka desa pakraman termasuk dalam golongan kesatuan masyarakat yang bersifat teritorial. Dengan melihat kriteria nomor tiga di atas, yaitu mempunyai wilayah tertentu, desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang eksistensinya bertumpu pada kesamaan wilayah tempat tinggal di mana anggotanya hidup secara turun temurun melaksanakan kehidupan sosial dan relegiusnya. Dalam realitasnya, karakter desa pakraman mempunyai kekhasan dibandingkan dengan kesatuan

(21)

masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia, sebab di samping terbentuk oleh adanya kelompok warga masyarakat yang mempunyai perasaan kelompok (unsur pawongan) dan menempati satu wilayah tertentu (unsur palemahan), yang lebih penting lagi desa pakraman terbentuk karena kelompok masyarakat tersebut terikat oleh satu tempat persembahyangan bersama yang disebut kahyangan desa (unsur parhyangan)19

Landasan yuridis pengakuan Negara terhadap eksistensi desa pakraman (dulu disebut desa adat) secara ekplisit pertama kali diletakkan oleh Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tanggal 27 Februari 1988 Seri D Nomor 3). Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda Desa Adat 1986 ini dikeluarkan di Denpasar pada tanggal 25 Juni 1986, disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Nomor 140.61-1380 tanggal 20 Oktober 1987 dan mulai berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali tanggal 27 Februari 1988. Menurut Paal 1 huruf e Perda Desa Adat 1986, “Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tanganya sendiri”.

Desa pakraman sudah ada jauh sebelum adanya negara Kesatuan Rebublik Indonesia, yaitu sekitar abad ke sembilan.. Perda Desa Adat 1986 mewngakui hal itu dengan menyatakan bahwa desa pakraman (dulu disebut desa adat) telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad dan telah memberikan sumbangan yang sangatberharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan dan pembangunan di Provinsi Bali. Diakui juga bahwa desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum

19 I Ketut Sudantra dan Wayan P. Windia, 2012, Sesana Prajuru Desa, Tatalaksana Pimpinan Desa Adat di Bali, Denpasar: Udayana University Press, hlm. 20.

(22)

adat di Bali yang sangat besar peranannya dalam bidang agama, idiologi negara, sosial kultural, ekonomi dan pertahanan keamanan.20

Semula, di Bali hanya terdapat satu bentuk desa. Pada masa kerajaan Bali Kuno (abad 9 – 10 Masehi), desa merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu.

Meskipun pada waktu itu ada yang disebut raja, namun kekuasaannya tidak mencampuri keadaan di desa, sehingga desa kedudukannya benar-benar mandiri dengan sistem dan struktur pemerintahan sendiri. Bahkan menurut Liefrienck (1986-1987), seperti dikutip oleh Parimartha, pada waktu itu desa merupakan

“republik kecil” yang memiliki hukum atau aturan adatnya sendiri. Kemudian dengan munculnya pengaruh kekuasaan Hindu (Jawa-Majapahit) abad ke-14 Masehi), desa mulai mendapat pengaruh kekuasaan supra desa, dalam hal ini kerajaan. Paling tidak pengawasan atas desa-desa di Bali dimulai sejak abad ke- 15 setelah raja Bali (Keturunan Majapahit) lebih mantap berkedudukan di Gelgel.

Akibat pengaruh kerajaan, desa-desa di Bali kemudian menunjukkan fungsi ganda yaitu di satu pihak fungsi desa sebagai kelompok cikal bakal, atau penghuni yang lekat dengan perilaku kepercayaan pada leluhur atau religius, di lain pihak fungsi desa sebagai kelompok sosial politik yang dibina oleh kekuasaan luar (raja). Pada waktu ini raja menunjuk seorang Perbakal (sekarang Perbekel) sebagai wakil raja yang bertugas mengawasi keadaan di desa sekaligus sebagai agen perubahan. Dengan adanya Perbekel ini dapat dikatakan bahwa desa telah menerima kehadiran faktor luar (raja) dan lama kelamaan terjadi pembauran yang luluh antara desa dengan unsur-unsur kerajaan tersebut.

Hubungan ini semakin mantap, sehingga timbulah semacam pola hubungan patron-client atau model hubungan “jumbuhing kawula gusti” (Jawa) yang mengandung makna adanya kesatuan antara rakyat dengan raja, yang pada akhirnya membawa satu pola hubungan sedemikian rupa dalam pelaksanaan adat di desa. Dari sini mulai kelihatan adanya keterikatan desa dengan unsur kerajaan, khususnya Perbekel, sehingga dalam hal desa tidak dapat

20Lihat konsideran bagian menimbang huruf a dan huruf b

(23)

menyelesaikan persoalannya sendiri sering mendapat masukan atau penyelesaian dari Perbekel. Liefrinck (1927) menyebutkan adanya Perbekel yang merupakan wakil raja di desa, memberikan petunjuk bahwa desa-desa di Bali meskipun tetap berada di bawah pimpinannya (tetua atau bendesanya) sendiri, telah mendapat pengaruh dan mungkin perubahan akibat hubungannya dengan kekuatan luar.

Akan tetapi tampak bahwa perubahan yang terjadi pada waktu itu tidak mengganggu sistem kepemimpinan desa berdasarkan musyawarah anggotanya21.

Masuknya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda ke Bali Selatan sekitar 1906-1908 menimbulkan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat desa. Untuk lebih menguatkan posisi pemerintah di desa, Pemerintah Belanda membangun satu lembaga administrasi ditingkat desa, dan membuat desa baru (bentukan pemerintah kolonial) dengan batas-batas yang jelas dan dukungan jumlah penduduk sekitar 200 orang dewasa yang siap untuk menjalankan tugas-tugas rodi pemerintah kolonial. Dengan demikian telah muncul dua kategori desa, yakni desa lama dan desa baru. Kedua wujud desa ini kemudian dikenal sebagai “desa pakraman” (adatdesa) dan “desa dinas”

(Gouvernementsdesa). Pemerintah Belanda melihat kedua bentuk desa ini sebagai dua dunia yang terpisah sama sekali (dualisme desa) , seolah-olah desa yang pertama (desa pakraman) tidak ingin disentuh atau dipengaruhi oleh pemerintah kolonial, melainkan mandiri dengan hukum-hukumnya yang otonom22. Mengenai pembentukan desa dinas ini Hunger dalam karangannya berjudul “Adatdesa’s en gouvernementsdesa’s in Zuid Bali” yang kemudian diterjemahkan oleh I Wayan Dangin23 mengatakan sebagai berikut:

...pemerintah membentuk wilayah-wilayah pemerintahan dan memberi nama

“desa” dengan tidak mengindahkan adat dan kebale-agungan, hanya eficiency. Apa yang terletak berdekatan digabungkan, apa yang berjauhan dipisahkan dan dengan demikian membentuk “desa”, yang bagi orang Bali hanya hidup di atas kertas. Mulai saat itu artinya “desa” dalam surat-surat

21 I Gde Parimartha , ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, h.3-4.

22 I Gde Parimartha , op.cit., h. 6.

23F.W.F, Hunger, 1982. h.6, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan Dangin),tanpa penerbit., 7.

(24)

resmi tidak lagi bale-agung, tetapi wilayah pemerintahan, penguasa gupermen.

Selanjutnya Hunger mengatakan bahwa wilayah desa pakraman dan desa dinas kemungkinan sebagai berikut:

(1) Wilayah desa dinas sama engan wilayah desa pakraman;

(2) Wilayah desa dinas tidak sama dengan wilayah desa pakraman, bisa lebih luas bisa lebih sempit;

(3) Wilayah desa dinas terdiri dari bagian-bagian dari berbagai desa pakraman, banjar-banjar yang ada tidak mempunyai bale agung diwilayahnya;

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang desa adalah Staatsblad 1906 Nomor 83 tentang Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) dan Staatblad 1938 No.490 tentang Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Berdasarkan IGO dan IGOB tersebut, dinyatakan bahwa di samping desa sebagai daerah otonom asli (zelfbestuurder) juga sebagai wilayah administratif yang diserahi tugas pembantuan (medebewinds)24.

Pada masa kemerdekaan (sesudah 1945) desa baru yang berfungsi administrasi tetap hidup25. Setelah Indonesia merdeka, Undang-undang pertama yang mengatur tentang desa adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini membagi daerah otonom menjadi tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Desa. Menurut Undang- undang ini, Desa merupakan daerah otonom terbawah yang menerima penyerahan urusan (kewenangan) dari pusat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, daerah otonom ibagi menjadi Swatantra Tingkat I, Swatantra Tingkat II, dan Swatantra Tingkat III,dengan suatu kelonggaran menganai keberadaan desa sebagai daerah Swatantra III. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tidak menginginkan

24 I Made Pasek Diantha, 2001, h. 15, “Eksistensi Desa Menurut UU No. 22 Tahun 1999” Makalah.

25 I Gde Parimartha op.cit.,h.6.

(25)

persekutuan hukum adat (desa pakraman) otomatis menjadi Daerah Swatantra III atas dasar pertimbangan faktor luas wilayah, potensi wilayah dan luasnya penduduk. Pembentuk undang-undang cendrung membikin sendiri satu wilayah otonom terbawah (Swatantra III) dengan menggabungkan beberapa kesatuan masyarakat hukum adat (desa pakraman). Sementara itu, karena terjadi pergantian konstitusi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.Undang-undang ini membagi wilayah Indonesia menjadi tiga tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini Kecamatan terdiri dari satu atau lebih Desa . Desa menurut Pasal 1 ayat (4) undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat (desa pakraman) sesuai penjelasan UUD 1945. Khusus tentang Desa, dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Dengan demikian, berdasarkan undang-undang ini desa pakraman mempunyai hubungan struktural dengan pemerintah atasan (Kecamatan, Kabupaten, Propinsi). Tetapi sebelum Undang-undang ini sempat berlaku, terlebih dahulu telah ditunda pelaksanaannya dengan Instruksi Mendagri Nomor 29 Tahun 1966 dan akhirnya dicabut dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 dengan dalih undang- undang tersebut produk legislatif orde lama. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 juga mengalami nasib yang sama yakni dinyatakan tidak berlaku pada saat telah ada Undang-undang yang baru menggantikannya (Pasal 2 UU Nomor 6 Tahun 1969). Undang-undang baru yang menggantikannya adalah Undang- undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Dalam undang-undang yang baru ini keberadaan Pemerintahan Desa diatur secara sumir yakni: “Pengaturan tentang Pemerintahan Desa diatur dengan Undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berdasarkan undang-undang ini, desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat (desa pakraman) melainkan Desa sebagai wilayah administrasi di bawah Kecamatan dengan bentuk dan susunan yang seragam diseluruh Indonesia. Namun masyarakat hukum adat tetap masih diakui keberadaannya (tidak dihapuskan). Dengan demikian, Undang- undang ini menganut stelsel ganda yakni: menetapkan adanya Desa Administrasi

(26)

(Desa dan Kelurahan), disisi lain tetap mengakui adanya desa pakraman26. Dalam masa berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 ini, Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 yang mengukuhkan secara formal keberadaan Desa pakraman sebagai masyarakat hukum adat di Bali. Dalam Peraturan Daerah itu, ditegaskan bahwa hubungan antara desa pakraman dengan pemerintah adalah kordinatif dan konsultatif.

Perkembangan selanjutnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya juga mengatur tentang Desa. Berdasarkan Pasal 1 huruf o undang- undang ini, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menimbulkan wacana yang sangat intensif dikalangan masyarakat Bali mengenai kedudukan desa pakraman dalam kerangka undang-undang yang baru ini. Inti dari wacana yang berkembang adalah munculnya tiga alternatif mengenai model desa di Bali setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu: pertama, dilakukan penyatuan dua bentuk desa di Bali (desa pakraman dan desa dinas) dengan menetapkan desa pakraman sebagai desa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Alasannya, desa yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kesatuan masyarakat hukum adat, dalam hal ini desa pakraman. Model kedua yang ditawarkan adalah desa dinas yang ditetapkan sebagai desa menurut undang-undang yang keberadaannya tetap berdampingan dengan desa pakraman. Dengan demikian, kondisi yang telah ada (desa yang dualilistis) tetap dipertahankan. Alternatif ketiga yang ditawarkan adalah dikembalikannya keperbekelan sebagai model desa yang melaksanakan

26 I Made Pasek Diantha, op.cit., h.5-6.

(27)

fungsi administratif disamping desa pakraman yang tetap melaksanakan fungsi- fungsi adat dan agama27.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menggantikan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Dengan pengertian yang tetap sama, berdasarkan peraturan daerah yang baru ini istilah desa adat diganti dengan istilah desa pakraman. Dalam realita, pergantian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pergantian Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tidak membawa perubahan mengenai posisi desa pakraman dalam hubungannya dengan pemerintah (Pemerintahan Desa ataupun Pemerintah Daerah). Eksistensi desa yang dualistis tetap dipertahankan. Setelah Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga tidak ada perubahan substansial terhadap kondisi desa di Bali. Kondisi pemerintahan desa yang dualistis tetap berlangsung, desa dinas dan desa pakraman tetap eksis dengan fungsinya masing-masing.

Dalam perkembangan terakhir, di awal tahun 2014, tepatnya 15 Januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yodoyono telah mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (LNRI Tahun 2014 Nomor 2; TLNRI Nomor 5495). Menurut undang-undang ini, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, yang disebut Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan

27 Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, 2001, ”Kedudukan Desa Adat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Setelah Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999”, Kerjasama antara Bappeda Kabupaten Gianyar dan Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar, h. 50-51.

(28)

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 1 dan butir 2).

Undang-undang Desa yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara RI pada hari dan tanggal yang sama dengan saat disahkan, sehingga secara yuridis telah berlaku, sangat berpengaruh bagi perkembangan dan masa depan desa (desa dinas maupun desa pakraman) di Bali. Undang-undang ini menyediakan pilihan-pilihan (opsi) berkaitan dengan eksistensi dua bentuk desa tersebut di atas, yaitu: (1) tetap mempertahankan kondisi seperti saat ini, yaitu masih tetap ada Desa Dinas dan Desa Pakraman; (2) menggabungkan Desa Pakraman dan Desa Dinas; atau (3) memilih salah satu diaantaranya sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 201428. Tetapi, hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali belum mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang ada, sehingga kondisi desa yang dualistis masih terjadi sampai saat ini.

28Lihat: Pedoman Diskusi Kelompok Menyikapi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dilaksanakan oleh Bappeda Provinsi Bali, 15 April 2014.

(29)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai kondisi empiris eksistensi peradilan adat yang masih hidup dalam kesatuan masyarakat hukum adat Desa Pakraman di Bali. Secara khusus dapat dirumuskan tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

(1) Untuk mengetahui dan memahami kelembagaan yang melaksanakan fungsi peradilan adat sebagaimana diprkatekkan dalam kehidupan kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

(2) Untuk mengatahui dan memahami secara mendalam tentang hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam praktek penyelesaian perkara

(3) Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam tentang kompetensi peradilan adat sebagaimana dipraktekkan dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

(4) Untuk mengetahui dan memahami secara mendalam tentang mekanisme kerja peradilan adat sebagaimana dipraktekkan dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap eksistensi peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman sangat mendesak untuk dilakukan, terutama dikaitkan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPHMHA) yang sampai saat ini masih berproses di DPR-RI. Diharapkan, tidak lama lagi RUU tersebut berhasil disetujui dan ditetapkan menjadi undang-undang sehingga amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengakui dan menghormati hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat – termasuk di dalamnya hak untuk menyelenggarakan peradilan adat – segera dapat diwujudkan.

(30)

Sebagaimana proses pembentukan undang-undang lainnya, dalam proses pembentukan undang-undang yang mengakomodasi sistem peradilan adat sangat dibutuhkan adanya masukan-masukan dari masyarakat, termasuk masukan yang berupa hasil penelitian atau kajian ilmiah dari kalangan Perguruan Tinggi.

Masukan tersebut dibutuhkan oleh pembentuk undang-undang supaya mereka dapat secara tepat merumuskan dalam undang-undang mengenai bangunan (konstruksi) peradilan adat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengemban peradilan adat itu sendiri, yaitu kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Penelitian ini akan menjawab sebagian kebutuhan pembentuk undang- undang tersebut karena akan mengungkap eksistensidan praktek peradilan adat dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali. Hasil penelitian yang berupa artikel ilmiah akan dipublikasikan dalam jurnal hukum nasional (terakreditasi) sehingga dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi proses pembentukan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak- hak masyarakat hukum adat.

(31)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris, yaitu jenis penelitian hukum yang berusaha mengkaji bekerjanya hukum (law in action) dalam kenyataannya di masyarakat29. Penelitian ini adalah penelitian lanjutan dari penelitian pendahuluan terhadap eksistensi peradilan adat dalam kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali yang telah dilakukan oleh I Ketut Sudantra dan Ni Nyoman Sukerti (2014) dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang meneliti pengaturan peradilan adat dalam peraturan adat yang disebut awig-awig. Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa eksistensi peradilan adat telah diatur dalam peraturan-peraturan adat yang disebut awig-awig desa pakraman30. Sekarang, penelitian dilanjutkan dengan dengan menggunakan pendekatan fakta, yaitu meneliti eksistensi peradilan adat tersebut sebagaimana yang dipraktikkan dalam kenyataannya di masyarakat, sehingga dapat diketahui apakah kenyataan yang berlaku (das-sein) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan dalam awig-awig desa pakraman (das sollen). Dalam penelitian lanjutan ini diteliti praktek peradilan adat, baik menyangkut kelembagaan atau institusi yang melaksanakan fungsi peradilan adat, hukum yang dijadikan dasar dalam

29 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

& Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47.

30 I Ketut Sudantra dan Ni Nyoman Sukerti, 2014, ”Pengaturan Peradilan Adat dalam Awig-awig Desa Pakraman: Studi Pendahuluan tentang Eksistensi Peradilan Adat dalam Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol 6 No 2 Tahun 2014, h. 315.

(32)

mengadili kompetensi (kewenangan) peradilan adat, serta prosedur-prosedur (mekanisme kerja) dari praktik peradilan adat tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berusaha menggambarkan bangunan (konstruksi) peradilan adat yang hidup dan dipraktikkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

4.2. Lokasi Penelitian dan Penetapan Informan

Jumlah kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali jumlahnya ribuan31 dan bervariasi baik menyangkut susunannya, sistem keanggotaannya, maupun sistem pemerintahannya32. Tidak mungkin melakukan penelitian di semua desa pakraman tersebut., sehingga perlu ditentukan sample daerah (lokasi) penelitian. Peradilan adat menyangkut sistem pemerintahan dalam desa pakraman, sehingga pemilihan lokasi penelitian secara purposive harus mempertimbangkan variasi sistem pemerintahan sesuai tipologi desa pakraman yang ada, yaitu (1) Desa Baliage (desa tua); (2) Desa Apanage (dataran), dan (3) Desa Anyar (Baru). Berdasarkan tipologi desa pakraman tersebut akan dipilih masih-masing dua desa pakraman sebagai lokasi penelitian.

Informan pada masing-masing lokasi penelitian tersebut adalah kepala- kepala-kepala adat (prajuru) terutama yang melaksanakan fungsi peradilan adat.

Penetapan informan dilokasi penelitian tentukan dengan teknik bola salju, dengan terlebih dahulu seorang informam kunci, dalam hal ini salah satu orang yang duduk dalam struktur prajuru desa/banjar.

4.3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder bersumber dari hasil-hasil penelitian terdahulu, literatur-literatur-literatur dan dokumen-dokumen milik desa pakraman yang dijadikan lokasi penelitian, seperti awig-awig, pararem (hasil-hasil keputusan

31 Data terakkhir (2012) menyebutkan terdapat 1480 buah desa pakraman. Lihat:

Badan Peremcanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Bali, 2013, Data Bali Membangun 2012, h. V.1

32 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 48.

(33)

desa) dan dokumen-dokumen lainnya. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik pencatatan dengan menggunakan sistem kartu (card-system).

Data primer bersumber dari para informan di lokasi penelitian yang dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview). Sebagai instrumen wawancara, digunakan pedoman wawancara (interview guide) yang hasilnya dicatat dalam catatan lapangan.

4.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpul diverifikasi validitasnya, kemudian dikwaklifisir dan disistematisir sesuai dengan permasalahan dan kerangka penulisan laporan yang telah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya analisis data dilakukan secara kwalitatatif dengan melakukan penafsiran-penafsiran data agar dapat ditarik suatu kesimpulan. Akhirnya, keseluruhan hasil penelitian disajikan secara deskriptif-analitis.

(34)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Peristilihanan Peradilan Adat dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Desa Pakraman

Dalam kehidupan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di mana pun di Indonesia, tentu saja istilah “peradilan adat” bukan suatu istilah yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi para peneliti pada umumnya mempercayai bahwa semua kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai suatu sistem atau mekanisme penyelesaian masalah yang terjadi di lingkungan mereka, baik itu masalah hukum atau bukan. Adanya sistem penyelesaian masalah tersebut menyebabkan setiap masalah yang terjadi di dalam masyarakat dapat diselesaikan menurut sistem yang berlaku sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat berjalan dengan tertib, aman dan damai.

Secara akademis, sistem penyelesaian masalah-masalah hukum yang hidup dan dipraktikkan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat lazim disebut sistem peradilan adat.. Dalam bangunan sistem ini, terdapat elemen- elemen yang saling kait-mengait dan bekerjasama dalam mencapai tujuannya, yaitu terwujudnya ketertiban, keamanan dan kedamaian hidup masyarakatnya.

Elemen-elemen tersebut meliputi: kelembagaan (petugas) yang melaksanakan fungsi peradilan adat, norma-norma, kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan peradilan, mekanisme-mekanisme yang disepakati, sistem sanksi, dan elemen masyarakat adat sebagai pengemban peradilan adat yang menggunakan jasa peradilan adat tersebut sebagai tempat untuk mendapatkan keadilan atau pun perlindungan hukum.

Secara sosiologis, istilah-istilah yang digunakan dalam kehidupan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia tidaklah seragam,

(35)

bahkan istilah “peradilan adat” hampir tidak pdernah digunakan dalam bahasa sehari-hari dalam masyarakat. Istilah-istilah yang digunakan sangatlah beragam, seperti “sidang adat”, “rapat adat” dan lain-lain33.

Dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakramani Bali, dimana sebagian hukum adat yang sedang berlaku di desa pakraman yang bersangkutan dituangkan dalam awig-awig tertulis, tidak ditemukan satu pun pawos (pasal)-nya menyebutkan istilah “peradilan adat”. Namun demikian, di dalam awig-awig sudah ditemukan adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang mekanisme (prosedur-prosedur) untuk penyelesaian masalah-masalah hukum yang terjadi di lingkungan desa pakraman. Secara teknis awig-awig, masalah-masalah hukum yang terjadi di lingkungan desa pakraman disebut wicara, yang dalam bahasa Indonesia berarti masalah atau perkara. Dalam awig- awig, mekanisme penyelesaian wicara (masalah/perkara) diatur dalam bab (sarga/sargah) tersendiri berjudul Wicara lan Pamidanda, yang artinya Perkara dan Sanksi. Dalam bab ini, ditentukan lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara, tatacara penyelesaian perkara, dan bentuk-bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pihak yang dinyatakan terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum. Dalam beberapa awig-awig, pada bab Wicara lan Pamidanda inilah ditemukan istilah yang secara spesifik dapat dimaknai sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan adat, yaitu istilah “kertha desa”.

Namun demikian, harus diakui bahwa tidak semua awig-awig menyebutkan istilah tersebut secara ekplisit di dalam pasal-pasalnya. .

Dari ketentuan-ketentuan dalam Bab Wicara lan Pamidanda ini dapat disimpulkan bahwa secara normatif sistem peradilan adat dikenal dan diakui eksistensinya dalam kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali.

Dikonfirmasi secara empiris, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa sistem peradilan adat memang diakui keberadaannya, hidup dan dipraktikkan secara nyata dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di

33 Anonim, , 2003, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia: Peluang dan Tantangan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)-Partnership for Governance Reform, Jakarta, h. 8; Lihat juga: Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, 2015,

“Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem peradilan Perdata Indonesia“ , Mimbar Hukum , Volume 27 No 1 Februari 2015, h.62.

(36)

Bali. Namun demikian, harus diakui pula bahwa tidak ditemukan keseragaman istilah sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang secara spesifik dapat secara tepat mewakili pengertian sistem peradilan tersebut.. Istilah “kertha desa”

yang ditemukan dalam beberapa awig-awig memang dapat secara spesifik dimaknai sebagai suatu sistem peradilan di desa pakraman, sebab secara harfiah istilah kertha berarti: hakim atau pengadilan34. Istilah “kertha” di tambah dengan kata “desa”, menjadi bentukan kata “kertha desa” dapat diartikan sebagai hakim desa” atau “pengadilan desa”. Namun, harus diakui bahwa istilah tersebut bukanlah istilah yang secara sosiologis digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat umum di desa pakraman, melainkan hanya digunakan dalam acara-acara formal dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja (prajuru).

Tidak adanya peristilahan yang secara khusus digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari di desa pakraman untuk menyebut sistem peradilan di desa yang bersangkutan bukan berarti sistem peradilan adat tidak ada. Ternyata, masyarakat menggunakan istilah-istilah yang beragam untuk menyebut mekanisme-mekanisme penyelesaian masalah yang dipraktikkan dalam masyarakat.. Tidak jarang istilah tersebut sesungguhnya mengandung pengertian yang umum dan tidak spesifik bermakna peradilan adat, seperti “kasangkepang”,

“sangkepang banjar” atau “paumang banjar”. Kata dasar kasangkepang adalah

“sangkep”, sedangkan kata dasar “paumang” adalah “paum”; keduanya mengandung arti yang sama, yaitu rapat, berapat (melakukan rapat)35.

Istilah sangkep, paum, atau parum adalah istilah-istilah yang sangat lazim digunakan dalam masyarakat adat di Bali untuk menyebut proses pengambilan keputusan dalam segala aspek kehidupan masyarakat adat yang bersangkutan.

Jenis-jenis rapat tesebut menyesuaikan dengan tingkatan rapat atau lembaga apa yang melakukan rapat, misalnya disebut sangkepan banjar apabila peserta yang menghadiri aktivitas rapat tersebut adalah masyarakat adat anggota banjar;

disebut sangkepan subak apabila orang-orang yang menghadiri rapat tersebut adalah anggota subak, suatu kesatuan masyarakat hukum adat perkumpulan

34Lihat: : J. Kersten S.V.D., 1984. Bahasa Bali, Penerbit Nusa Indah, Ende-Flores, h.

349.

35Lihat: : J. Kersten S.V.D., op.cit., h.447, 450, 508.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penambahan karaginan terhadap karakteristik pasta tepung garut dan kecambah kacang tunggak sebagai bahan baku bihun.. Jurnal Pangan

Sedangkan pada kondisi KHDTK ULM tutupan tajuk pohon di lokasi penelitian tutupan tajuknya sedang sehingga tumbuhan pasak bumi tersebut tumbuh mendekati pohon

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian

Bab 1 membahas tentang dasar dan argumentasi mengapa Pendidikan Agama Islam perlu diajarkan di level perguruan tinggi, dan bagaimana cara mengajarkannya. Dalam bab

Ancak, kesin olarak bildiğimiz bir şey var ise, o da şudur; ebter tohumlardan elde edilen mahsulleri (ürünleri) tükettiğimiz takdirde, hastalıklara karşı önleyici ve

Efek samping jangka panjang akibat pengobatan steroid tidak biasa terjadi pada pasien Multiple Myeloma karena perawatan tersebut diberikan dalam waktu yang

Setelah mengikuti praktikum Kimia Fisik mahasiswa mampu melakukan percobaan dengan benar untuk mengamati perubahan fisik dan kimia baik secara termodinamika maupun kinetika.

Menurut Wursanto (2005: 288) lingkungan kerja non fisik adalah kondisi lingkungan kerja yang menyangkut segi fisikis dari lingkungan kerja. Perusahaan perlu memfasilitasi