• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Ahmad Sarwat, Lc.,MA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

(2)

2

Daftar Isi

Daftar Isi ... 2

A. Pengertian Istishna’ ... 4

B. Hukum Akad Istishna’ ... 7

1. Istihsan ... 8

2. Sunnah Nabi ... 9

3. Ijma’ ‘Amali ... 11

C

.

Takyif Fiqih Istishna’ ... 12

1. Akad atau Wa’d? ... 12

2. Bai’ atau Ijarah? ... 12

3. Lazim atau Ghair Lazim? ... 15

D. Syarat dan Ketentuan Istishna’ ... 16

(3)

3

E. Perbedaan Salam dan Istishna’ ... 17

1. Objek akad ... 17

2. Penentuan Waktu ... 18

3. Lazim dan Ghair Lazim ... 18

4. Cara Pembayaran ... 19

F. Fatwa DSN tentang Istishna’ ... 21

(4)

4

A. Pengertian Istishna’

Istishna’ (عانصتسا) berasal dari kata shana’a (عنص) yang bermakna membuat.

Kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi istashna’a (عنصتسا) yang bermakna meminta dibuatkan sesuatu.

Dalam istilah fiqih, para ulama berbeda pendapat ketika membuat pengertian akad istishna’, sebagian ulama yaitu Hanafiyyah mendefinisikan istishna’ sebagai akad yang berdiri sendiri. Sedangkan ulama lainnya memasukkan istishna’ ke dalam pengertian akad salam sehingga hukum dan ketentuannya mengikuti ketentuan akad salam.

Berikut beberapa definisi istishna ‘dalam pengertian fuqaha hanafiyyah:

لمعلا هيف طشر ةملذا في عيبم لىع دقع

1

1 Al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i, jilid 6, h. 2677

(5)

5

Akad terhadap barang dagangan secara tidak tunai yang disyaratkan di dalamnya suatu pekerjaan.

ي ن أ يش له عنصي ن أ عناصلا نم بلط مولعم نثمب ائ

2

Meminta kepada tukang pembuat untuk membuatkan sesuatu dengan harga yang diketahui.

بلط لعم شي ء اخ ص لىع هجو صمخ صو هتدام نم عناصلا

3

Meminta mengerjakan suatu barang tertentu dengan cara tertentu, di mana bahannya berasal dari pembuat.

2 Badruddin al-‘Aini, Ramz al-Haqaiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, jilid 2, h. 56

3 Muhammad Qadri Basya, Mursyid al-Hiran ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, h. 74

(6)

6

Dari definisi di atas dapa disimpulkan bahwa dalam akad istishna ada dua hal yang menjadi kewajiban shani’ atau pembuat barang, yaitu menyediakan bahan mentah dan membuatkannya menjadi barang yang diinginkan oleh mustashni’. Oleh karenanya dalam akad istishna terdapat gabungan dari unsur akad ijarah dan akad bai’. Lain halnya jika bahan mentah berasal dari pemesan, sedangkan tukang hanya membuatkan saja, maka ini murni akad ijarah.

Unsur-unsur Istisna’ terdiri dari dari:

1) Mustashni’, yaitu pelanggan yang minta dibuatkan barang

2) Shani’, yaitu penyedia jasa membuatkan barang sekaligus penyedia bahan mentahnya

3) Mashnu’, yaitu barang yang dipesan mustashni untuk dibuatkan oleh shani’

4) Tsaman, harga yang harus dibayar mustashni kepada shani’

(7)

7

B. Hukum Akad Istishna’

Sebagian besar ulama Hanafiyyah, memandang bahwa akad istishna adalah akad yang diperbolehkan. Menurut sebagian Hanafiyyah di antaranya Zufar akad istishna’ tidak diperbolehkan sebab termasuk bai’ al-ma’dum. Adapun ketiga mazhab lain (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mengaitkan kebolehan akad istishna’ pada ketentuan akad salam, jika syarat dan ketentuan akad salam terpenuhi, maka hukumnya boleh.

Di antara syarat akad salam menurut jumhur ulama adalah:

1) Barang yang dipesan harus jelas ukuran, jumlah dan spesifikasinya 2) Barang yang dipesan terjamin ketersediaannya pada saat diserahkan

pada pembeli

3) Adanya kejelasan dalam penentuan waktu penyerahan barang

4) Pembayaran dilakukan secara penuh pada saat akad. Tidak boleh

(8)

8

dihutang atau dicicil.

5) Tidak boleh menjual-belikan secara salam barang ribawi seperti emas dan perak

Dalil bolehnya akad istishna’ sebagai akad yang berdiri sendiri menurut jumhur Hanafiyyah antara lain:

1. Istihsan

Menurut Hanafiyyah, kebolehan akad istishna’ didasarkan pada isitihsan.

Sebab pada dasarnya dalam akad istishna’ terdapat beberapa hal yang dianggap bertentangan dengan qiyas, yaitu barang yang diperjual-belikan belum ada pada saat akad, tidak ada penentuan waktu penyelesaian dan pembayarannya pun tidak secara kontan. Akan tetapi hal itu diperbolehkan karena adanya hajat/kebutuhan banyak orang terhadap akad tersebut. Dan faktanya muamalah seperti ini telah dilakukan oleh umat secara turun temurun dari zaman Nabi hingga sekarang tanpa ada yang mengingkarinya.

(9)

9

2. Sunnah Nabi

Selain itu, terdapat hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah melakukan akad istishna’ yaitu meminta dibuatkan cincin.

نَع سَنَأ ضر الل نَأ هنع ِبَن ِ للّا لىص الل هيلع و لمس َن َكَ

َداَرَأ نَأ َبُت كَي َل ا ِ ِمَجَع لا َليِقَف َُله ن ا ِ

َمَجَع لا َنوُلَب قَي َل

ل ا ِ ًباَتِك ِه يَلَع مَتاَخ َعَن َط صاَف . اًمَتاَخ

نِم ة ضِف . َلاَق ِّنَ َكَ

ُر ُظ نَأ َل ا ِ ِه ِضاَيَب ِهِدَي ِف .

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (H.R. Muslim)

Dalam hadist lain, Nabi juga diriwayatkan pernah meminta dibuatkan mimbar.

(10)

10 ِجاَهُم لا نِم ةَأَر ما َل ا َل َس رَأ َ لم َسَو ِه يَلَع ُ للّا لى َص ِبِ نلا نَأ ُه نَع ُ للّا َ ِض َر ل ه َس نَع ِ

مم َلَُغ اَهَل َن َكََو َنيِر

َهَذَف اَه َد بَع تَرَمَأَف ِ َبَ نِم لا َداَو عَأ اَنَل لَم عَي لَف ِكَد بَع يِرُم اَهَل َلاَق مرا َنَ

ُ َله َعَن َصَف ِءاَف ر طلا نِم َع َطَقَف َب

ُ للّا لى َص َلاَق ُها َضَق دَق ُه ن ا َ لم َسَو ِه يَلَع ُ للّا لى َص ِّ ِبِ نلا َل ِ ا تَل َس رَأ ُها َضَق ا مَلَف اً َبَ نِم ِ ِلِ ِس رَأ َ لم َسَو ِه يَلَع

ي ِبِ نلا ُ َلََمَت حاَف ِهِب اوُءاَجَف َلَ ا ِهِب ِ َن و َرَت ُث يَح ُهَع َضَوَف َ لم َسَو ِه يَلَع ُ للّا لى َص

.

Dari Sahal radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang wanita Muhajirin yang wanita ini memiliki ghulam yang pandai olah mengolah kayu. Beliau berkata kepadanya; "Perintahkanlah sahayamu agar membuatkan mimbar untuk kami". Maka wanita itu memerintahkan ghulamnya.

Maka ghulam itu pergi mencari kayu di hutan lalu dia membuat mimbar untuk Beliau.

Ketika dia telah menyelesaikan pekerjaannya wanita itu mengirim mimbar tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata:

"Bawalah mimbar itu kepadaku". Lalu orang-orang datang dengan membawa mimbar tersebut kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menempatkan mimbar tersebut pada tempat yang sekarang kalian lihat. (H.R. Bukhari)

(11)

11

3. Ijma’ ‘Amali

Ijma amali artinya telah terjadi konsensus di mana semua umat Islam dari dulu sampai sekarang telah melakukan akad istishna’ dan tidak ada orang yang mengingkarinya. Sehingga dianggap telah menjadi ijma’ meskipun tidak secara tertulis.

(12)

12

C. Takyif Fiqih Istishna’

1. Akad atau Wa’d?

Sebagian Hanafiyyah memandang bahwa istishna’ hakikatnya adalah janji (wa’d) yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Dengan kata lain, ketika pembeli memesan untuk dibuatkan suatu barang kepada sorang tukang, itu dianggap baru sekedar janji beli, belum menjadi akad. Konsekuensinya, pembeli boleh membatalkan secara sepihak. Sedangkan sebagian lainnya menganggap istishna’ adalah bentuk akad akan tetapi pembeli dalam hal ini memiliki hak khiyar. Dari kedua pendapat itu, Imam al-Kasani men-tarjih pendapat yang mengatakan bahwa istishna’ adalah jenis akad, yaitu akad bai’ maushuf fi adz- dzimmah syuritha fih al-‘amal (jual-beli barang yang disebutkan sifat-sifatnya secara hutang yang disyaratkan di dalamnya suatu pekerjaan).

2. Bai’ atau Ijarah?

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam akad istishna’ terdapat dua

(13)

13

objek akad yaitu ‘ain (bahan pembuat barang) dan ‘amal (pengerjaan bahan tersebut menjadi barang sesuai pesanan). Lalu apa akad apa yang tepat untuk menggambarkan skema seperti ini? Sebagian hanafiyyah menganggap bahwa istishna’ adalah mulanya akad ijarah dan berakhir dengan akad jual-beli ( ةراجإ ءاهتنا عيب ءادتبا).

Sebagian lagi menganggap istishna sebagai akad jual-beli (bai’) sedangkan pengerjaan barang hanya merupakan syarat pelengkap sebagaimana pendapat yang di-tarjih oleh Imam al-kasani (bai’ maushuf fi adz-dzimmah syuritha fih al-

‘amal). Pendapat ini berasalan bahwa andaikan si tukang pembuat menyerahkan kepada mustashni’ barang yang sudah jadi, bukan yang dibuat terlebih dahulu lalu pembeli ridha, hal tersebut dibolehkan dan sah-sah saja. Ini menandakan bahwa akadnya adalah jual-beli barang.

Sedangkan sebagian ulama kontemporer seperti Mushtafa az-Zarqa dan Qurrah Daghi tidak sepakat dengan pendapat di atas. mereka mengatakan bahwa akad istishna bukan akad bai’ bukan pula akad ijarah, melainkan gabungan dari keduanya sehingga menjadi akad yang berdiri sendiri dan

(14)

14

memiliki ketentuan sendiri yang berbeda dari kedua akad tersebut. Objek akad istishna’ adalah barang dan pekerjaan dalam waktu bersamaan.

Akad istishna bukan akad jual-beli sebab jika demikian, harusnya barang yang menjadi bahan dasar yang akan digunakan oleh pembuat (shani’) secara hukum menjadi milik si pemesan, padahal faktanya barang yang menjadi milik pemesan adalah barang yang sudah jadi bukan bahan mentah.

Begitu pun pekerjaan yang dilakukan shani’ yaitu membuatkan barang pesanan bukan hanya pelengkap dalam akad seperti pekerjaan mengantar barang sampai ke rumah. Tetapi ia adalah objek utama dalam akad istishna’.

Seorang mustashni akan memilih tukang yang memiliki keahlian dalam pembuatan barang bukan sembarang orang. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan juga adalah objek utama dalam akad istishna’.

Tetapi Akad istishna’ juga bukan akad ijarah murni yang mana objek akadnya hanya jasa/pekerjaan. Melainkan ada bahan mentah yang harus dimiliki oleh si tukang agar dapat membuatkan barang yang dipesan oleh mustashni’ Oleh karenanya akad istishna’ hakikatnya adalah akad yang berdiri

(15)

15

sendiri, bukan ijarah, bukan bai’ melainkan gabungan dari keduanya yang menghasilkan ketentuan khusus dan berbeda dari keduanya.4

3. Lazim atau Ghair Lazim?

Menurut jumhur Hanafiyyah, akad istishna adalah akad ghair lazim (tidak mengikat) baik pengerjaan sudah dimulai atau belum. Sedangkan Abu Yusuf memandang akad istishna’ adalah akad yang lazim (mengikat dan tidak bisa dibatalkan sepihak) pada saat pengerjaan telah dilakukan dan barang yang dibuat sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh mustashni’. Jika tidak sesuai, ia memiliki khiyar untuk membatalkan akad (khiyar fawat al-washf).

4 Hisamuddin Khalil, ‘Aqd al-Istishna’ ka Ahad al-Badail asy-Syar’iyyah li al-Au’iyah al- Iddikhariyyah al-Bankiyyah, h. 19

(16)

16

D. Syarat dan Ketentuan Istishna’

Ulama Hanafiyyah memberikan syarat dan ketentuan akad istishna’ sebagai berikut:

1) Barang yang dipesan harus jelas jenis ukuran dan spesifikasinya

2) Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa menjadi objek akad istishna’. Jika tidak, akadnya berubah menjadi akad salam.

3) Tidak ada penentuan waktu. Sebab jika ada batasan waktu, akadnya berubah menjadi akad salam dan ketentuannya mengikuti ketentuan akad salam. Syarat ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah sedangkan kedua muridnya (Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf) tidak mensyaratkan hal tersebut.

(17)

17

E. Perbedaan Salam dan Istishna’

Menurut tiga mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, akad istishna’

tidak berbeda dengan akad salam, ketentuan dan syarat-syaratnya mengikuti aturan akad salam. Sedangkan Hanafiyyah memandang akad istishna’ adalah akad yang berdiri sendiri. Menurut mereka, ketentuan akad salam tidak sama dengan akad istishna’. Berikut beberapa perbedaan antara akad salam dan istishna’:

1. Objek akad

Pada akad salam yang menjadi objek akadnya adalah barang. Penjual hanya wajib menjamin ketersediaan barang bagi pemesan pada saat yang dijanjikan, dari mana saja barang itu berasal, tidak harus dibuat dengan tangannya sendiri.

Sedangkan dalam akad istishna, objek akadnya adalah barang sekaligus pekerjaan. Seorang shani’ punya kewajiban untuk mengadakan bahan mentah lalu mengolahnya menjadi barang yang sesuai dengan keinginan mustashni’.

(18)

18

2. Penentuan Waktu

Dalam akad istishna’ tidak boleh ada penyebutan tempo atau waktu penyelesaian, sebab dengan adanya penentuan waktu akadnya berubah menjadi akad salam. Ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Lain halnya dengan kedua muridnya yaitu Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf yang memandang adanya penentuan waktu itu dibolehkan dan tidak mengubah akadnya menjadi akad salam.

3. Lazim dan Ghair Lazim

Akad istishna’ adalah akad ghair lazim (tidak mengikat) menurut sebagian Hanafiyyah. Sedangkan salam adalah akad lazim (mengikat dan tidak bisa dibatalkan sepihak). Imam al-Kasani menyatakan:

ام أو كح عانصت سالا

وهف توبث للما عنصت سملل

في

ينعلا

ةعيبلما

في

ةملذا

.

توبثو

للما

عناصلل

في

(19)

19 في

نثملا كالم يرغ مزل

5

Adapun konsekuensi hukum istishna’ adalah tetapnya kepemilikan bagi mustashni’

atas barang secara tidak tunai. Dan tetapnya kepemilikan bagi shani’ atas pembayaran bersifat ghair lazim (tidak mengikat).

4. Cara Pembayaran

Dalam akad salam wajib hukumnya menyerahkan pembayaran secara kontan pada saat akad. Sedangkan dalam akad istishna, boleh menangguhkan pembayaran. Ibnu Abdin mengatakan:

ول بضر لَج أ لعجو نثملا زاج نكَو مالس لو رايخ له هيف

6

.

Jika mustashni’ menentukan waktu dan menyegerakan pembayaran, hukumnya boleh

5 Al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i, jilid 5, h. 3

6 Ibnu Abdin, Rad dal-Muhtar, jilid 5, h. 225

(20)

20

dan akadnya menjadi akad salam dan tidak ada lagi khiyar baginya dalam akad tersebut.

(21)

21

F. Fatwa DSN tentang Istishna’

DSN MUI telah mengeluarkan fatwa terkait ketentuan akad istishna’ yaitu Fatwa Nomor 06/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Jual Beli Istishna’. Yang berbunyi sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang:

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

(22)

22

2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

3. Penyerahannya dilakukan kemudian.

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

5. Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga : Ketentuan lain:

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.

(23)

23

2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna'.

3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Referensi

Dokumen terkait

Proses degumming yang tepat untuk mendapatkan hasil samping lesitin kedelai yang optimum yaitu kemurnian fosfolipid yang tinggi dan residu fosfolipid dalam minyak yang

Sambungan baut-gusset plate pada struktur gable frame masih berperilaku linier elastis hingga momen 5.5 kNm dengan rotasi yang terjadi 5.5 mm.. Sambungan masih

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja diantaranya yakni penelitian yang dilakukan oleh (Masydzulhak et al.,

[r]

Atas dasar masalah tersebut, maka dilakukan penelitian dengan mengambil judul Strategi untuk Menciptakan Keunggulan Bersaing melalui Pengembangan, Desain, dan Kualitas Produk

Hasil analisis data kuantitatif dari validator Berdasarkan hasil analisis data yang telah disajikan, diketahui bahwa hasil penilaian dari 1 orang ahli media pada

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan Bupati terhadap rancangan peraturan daerah

Berkaitan dengan efisiensi, propeller yang mampu mendorong ke luar buritan kapal lebih banyak air dengan putaran lebih rendah akan memiliki daya dorong yang lebih