• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : Pembimbing 1. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K) 2. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : Pembimbing 1. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K) 2. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BOLUS INTERMITTEN DENGAN LAMA RAWATAN RUMAH SAKIT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : 147041155

Pembimbing

1. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K) 2. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K)

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PERBEDAAN ANTARA PEMBERIAN FUROSEMIDE INFUS KONTINU DAN BOLUS INTERMITTEN DENGAN LAMA

RAWATAN RUMAH SAKIT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS MAGISTER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMAM KUKUH DARMAWAN NIM : 147041155

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PERBEDAAN ANTARA PEMBERIAN FUROSEMIDE INFUS KONTINU DAN BOLUS INTERMITTEN DENGAN LAMA RAWATAN RUMAH SAKIT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Nama Mahasiswa : Imam Kukuh Darmawan Nomor Registrasi : 147041155

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Menyetujui,

Pembimbing II

dr. Refli Hasan, SpPD, Sp.JP(K) NIP. 196104031987091001 Pembimbing I

dr. Zainal Safri, SpPD, Sp.JP(K) NIP.196805041999031001

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik

Dr. dr. Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) NIP. 197604172005012002

Dekan

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS(K) NIP. 196605241992031002

(4)

ii

Telah diuji pada : Seminar Hasil Tesis Magister

Tanggal : 26 Maret 2019

Penguji : 1. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) 2. Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K)

3. dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K)

Menyetujui

Penguji I Penguji II

Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) NIP. 195604051983031004 NIP.195610261983121001

Penguji III

dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked (Cardio), Sp.JP(K) NIP. 198211262012121001

Mengetahui, Ketua Departemen

Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Prof. dr. Harris Hasan Sp.PD, Sp.JP(K)

(5)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

PERBEDAAN ANTARA PEMBERIAN FUROSEMIDE INFUS KONTINU DAN BOLUS INTERMITTEN DENGAN LAMA RAWATAN RUMAH SAKIT PADA

PASIEN GAGAL JANTUNG AKUT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2019

Imam Kukuh Darmawan

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Ketua SMF Kardiologi RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) selaku Sekertaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan saran-saran berharga dalam penulisan penelitian ini.

4. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas

(7)

Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan selaku pembimbing dua penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah memberikan ide, arahan serta masukan sehingga dapat menerapkan pola berpikir yang komprehensif mengenai tulisan ini

6. dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP selaku Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

7. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K) dan dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku pembimbing penulis yang telah membimbing, mengoreksi dan memberikan ide, arahan serta masukan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

8. Para guru penulis: Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K); Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, Sp.JP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K); Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, SpJP(K); Alm. dr. Maruli T.

Simanjuntak Sp.JP(K); dr.Nora C. Hutajulu, Sp.JP(K); Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K); Alm. dr. Isfanuddin N. Kaoy, Sp.JP(K); dr.

Parlindungan Manik, Sp.JP(K); dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K); Alm. dr.

Amran Lubis, Sp.JP(K); dr. Nizam Akbar, Sp.JP(K); dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP(K); dr. Andre P. Ketaren, Sp.JP(K); dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K); dr. Anggia C. Lubis, Sp.JP; dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K);

dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Teuku Bob Haykal, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K); dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP; dr. T.

Winda Ardini, Mked(Cardio), Sp.JP; dr. Faisal Habib, Sp.JP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama mengikuti program pendidikan magister ini.

9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan suasana kerja yang baik sehingga

(8)

penulis dapat mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi yakni ayahanda Ir. Yogi Sufizarto dan ibunda tercinta dr. Hellida Nadjamuddin yang selama ini telah memberikan dukungan dan perhatian baik moril dan materi serta doa dan nasihat agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai. Takkan dapat semuanya itu penulis balas dengan apapun, penelitian ini hanya permulaan bukti kecil tanda terima kasih yang penulis persembahkan untuk orang tua tercinta.

11. Kedua ayah dan ibu mertua yang sangat penulis hormati dan sayangi, Edi Faizal, SE dan Heriyani Djuwahir, S.Pd, MM yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dukungan dan doa selama proses pendidikan ini.

12. Istri tercinta, dr. Indhi Vavirya Mestika untuk segala doa, pengertian, semangat, dukungan, kesabaran serta bantuan moril selama penulis menjalani proses pendidikan dan juga Anakku tersayang, Ibrahim Raffasya Darmawan, untuk segala pengertian dan kesabarannya selama penulis menjalani proses pendidikan.

13. Kepada abang dan kakak ipar penulis terkasih yakni Ikhsan Yudha Nugraha, SE, Ak dan Irma Murwanti, SE yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

14. Keenam teman-teman seperjuangan penulis, dr. Indri Maria Benazir, dr.

Petrus Suranta Pinem, dr. Sherly Cancerita, dr. Kamal K. Ilyas, dr. Taufik Delfian dan dr. Bambang A.H. Dalimunthe yang sedari awal masa pendidikan telah bersama–sama dengan penulis saling membantu dan bekerjasama melalui berbagai proses pendidikan serta dr. Omar Mokhtar Siregar dan dr. Suhenda B. H. Ginting yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

15. Rekan-rekan sahabat Kelakar Medan yang telah memberikan waktu dan

(9)

dan memberikan masukan serta saran dan doa dalam penyelesaian tesis ini dan saling membantu dalam mengikuti program magister ini.

16. Para perawat Pusat Jantung Terpadu RSUP HAM khususnya yang bertugas di bagian Cardiac Emergency dan CVCU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis pada waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian.

17. Para staf administari Ahmad Syafi’i, Nanda dan Aulia Husna yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.

Semoga Allah Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2019

Penulis

(10)

ABSTRAK

Latar Belakang : Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada individu dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular yang mendasari. Furosemide sebagai agen diuresis berfungsi menurunkan preload sehingga dapatmengatasi gejala–gejala kongesti.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara pemberian furosemide infus kontinu dan bolus intermitten dengan lama rawatan rumah sakit pada pasien gagal jantung akut di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini merupakan studi prospective–acak terkontrol, terhadap 54 orang penderita gagal jantung akut yang masuk ruang gawat darurat dan menjalani perawatan di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan sejak Oktober 2018hinggaMaret 2019. Pasien selanjutnya dirandomisasi menjadi kelompok furosemide infus kontinu dan bolus intermitten. Pemeriksaan ulang produksi urin, fungsi ginjal, dan elektrolit dilakukan setelah 72 jam perawatan.Subjek selanjutnya diamati selama perawatan untukkematian selama rawatan dan lama rawatannya. Follow up dilakukan selama 30 hari untuk menilai rehospitalisasi. Analisis Statistik menggunakan SPSS versi 17.0

Hasil : Melalui analisis statistik perbedaan rata–rata pemberian furosemide infus kontinu vs bolus intermitten, didapati lama rawatan 7.6±3.2 vs 7.3±4.8 hari, p=0.28, produksi urin 2241±429 vs 2020±368, p=0.048, ∆BUN 3.6±14.5 vs 4.0±10.9; p=0.91, ∆Ureum 7.9±31.0 vs 8.5±23.3; p=0.92, ∆Kreatinin 0.1±0.61 vs 0.03±0.33; p=0.56, dan ∆Laju Filtrasi Glomelurus -5.5±20.6 vs -2.7±22.7; p=0.64.Dan dalam hal kematian selama rawatan rumah sakit serta rehospitalisasi dalam 30 hari, didapati hasil 7.4% vs 11.1%, p=0.63 (HR 0.64; CI 95%: 0.098–4.1) dan 22.2% vs 37%; p=0.23 (HR 0.48; CI 95%: 0.14–1.6) Kesimpulan : Pada pasien gagal jantung akut, tidak terdapat perbedaan pemberian furosemide infus kontinu dan furosemide bolus interitten terhadap lama rawatan, perubahan fungsi ginjal dan elektrolit, kematian selama rawatan di rumah sakit, dan rehospitalisasi dalam 30 hari. Namun pemberian furosemide infus kontinu lebih baik pada produksi urin.

Kata Kunci : Gagal Jantung Akut, Furosemide, Infus Kontinu, Bolus Intermitten, Lama Rawatan Rumah Sakit

(11)

ABSTRACT

Background : Heart failure is a complication that often occurs in individuals with or without underlying cardiovascular disease. Furthermore as a diuresis agent can reduce preload so that it can overcome congestion problems. The aim of this study was to study the differences between the administration of continuous infusion furosemide and intermittent boluses with hospital length of stay in patients with acute heart failure at H.

Adam Malik Hospital Medan.

Methods : This study is a prospective, randomized controlled study of 54 people with acute heart failure who entered the emergency room and treatment at H. Adam Malik Hospital in Medan from October 2018 to March 2019. Patients were subsequently randomized by continuous infusion of furosemide and bolus intermittent. Re-examination of urine production, kidney function, and electrolytes is carried out after 72 hours of treatment. The next subject considered during treatment for death during treatment and duration of treatment. Follow-up was carried out for 30 days to assess rehospitalization. Statistical analysis was done by using SPSS version 17.0

Results : Through statistical analysis, the comparison of mean lenght of hospital stay in administration of furosemide, continuous infusion vs bolus intermitten, was found to be 7.6

± 3.2 vs 7.3 ± 4.8 days, p = 0.28, urine production 2241 ± 429 vs 2020 ± 368, p = 0.048,

∆BUN 3.6 ± 14.5 vs. 4.0 ± 10.9; p = 0.91, ∆Ureum 7.9 ± 31.0 vs. 8.5 ± 23.3; p = 0.92,

∆Creatinine 0.1 ± 0.61 vs 0.03 ± 0.33; p = 0.56, and ∆GFR -5.5 ± 20.6 vs -2.7 ± 22.7; p = 0.64. And in terms of deaths during hospitalization and rehospitalization within 30 days, results were found to be 7.4% vs 11.1%, p = 0.63 (HR 0.64; 95% CI: 0.098-4.1) and 22, 2% vs 37%; p = 0.23 (HR 0.48; 95% CI: 0.14-1.6)

Conclusions : In patients with acute heart failure, there was no difference in administration of furosemide even with continuous infusion and bolus intermitten for length of stay, changes in renal and electrolyte function, death during hospitalization, and rehospitalization within 30 days. But giving furosemide is better than urine production.

Keywords : Acute Heart Failure, Furosemide, Continuous Infusion, Intermittent Bolus, Length of Hospital stay

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

HALAMAN ORISINILITAS iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR SINGKATAN xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Pertanyaan Penelitian 3

1.3 Hipotesis 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Definisi Gagal Jantung 5

2.2 Klasifikasi Gagal Jantung 7

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung 11

2.4 Perubahan Hemodinamik Pada Gagal Jantung 12

2.5 Diuretik Pada Gagal Jantung 19

2.6 Parameter Penilaian Gagal Jantung 23 2.7 Prognosis Pasien dengan Gagal Jantung 27

2.8 Kerangka Teori 28

2.9 Kerangka Konsep 29

(13)

BAB 3 METODE PENELITIAN 30

3.1 Desain Penelitian 30

3.2 Tempat dan Waktu 30

3.3 Populasi dan Sampel 30

3.4 Besar Sampel 30

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 31

3.6 Variabel Penelitian 31

3.7 Alur Penelitian 32

3.8 Analisis Data 34

3.9 Definisi Operasional 34

3.10 Etika Penelitian 35

3.11 Perkiraan Biaya 35

BAB 4 HASIL PENELITIAN 36

4.1 Karakteristik Penelitian 36

4.2 Karakteristik Subjek Penelitian 36

4.3 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide Infus

Kontinu dan Bolus Intermitten terhadap Lama Rawatan

di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan 38

4.4 Perbedaan Rerata Furosemide Infus Kontinu dan Bolus Intermitten terhadap Fungsi Ginjal dan

Elektrolit di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan 39 4.5 Perbedaan Rerata Furosemide Infus Kontinu dan

Bolus Intermitten terhadap Kejadian Kematian Selama

Rawatan di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan 41 4.6 Perbedaan Rerata Furosemide Infus Kontinu dan

Bolus Intermitten di Rumah Sakit H. Adam Malik

Medan terhadap Rehospitalisasi dalam 30 hari 42

BAB 5 PEMBAHASAN 44

(14)

BAB 5 METODE PENELITIAN 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan

klinis dan hemodinamik 9

GAMBAR 2.2 Tekanan normal di ruang jantung dan

pembuluh darah 13

GAMBAR 2.3 Bagan Wiggres siklus jantung 14

GAMBAR 2.4 Kurva Frank Starling yang menggambarkan hubungan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri

dan isi sekuncup dan pemberian terapi 15 GAMBAR 2.5 Kurva gagal jantung sistolik dan diastolik 17 GAMBAR 2.6 Mekanisme dan tempat kerja diuretik loop 20 GAMBAR 2.7 Rekomendasi Panduan Penggunaan Diuretik

pada European Society of Cardiology – Heart

Failure Guideline 2016 21

GAMBAR 2.8 Patofisiologi gagal jantung dan biomarker

yang berperan pada proses tersebut. 24 GAMBAR 2.9 Kerangka Teori Gagal Jantung Akut 28

GAMBAR 2.10 Kerangka Konsep Penelitian 29

GAMBAR 3.1 Alur Penelitian 33

GAMBAR 4.1 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide

Infus Kontinu dan Furosemide Bolus Intermitten terhadap Lama Rawatan Rumah Sakit 39 GAMBAR 4.2 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide

Infus Kontinu dan Furosemide Bolus Intermitten terhadap Perubahan Fungsi Ginjal dan Elektrolit 40 GAMBAR 4.3 Grafik distribusi frekwensi permbedaan rata –

rata kelompok pemberian furosemide dengan

Kematian Selama Rawatan di Rumah Sakit 42

(16)

GAMBAR 4.3 Perbedaan Rerata Furosemide Infus

Kontinu dan Bolus Intermitten di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan terhadap Rehospitalisasi

dalam 30 hari 43

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Gagal Jantung Akut Berdasarkan

Subset Klinis 8

Tabel 3.1 Perkiraan Biaya Penelitian 35

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Kelompok Pemberian Furosemide Infus Kontinu dan

Furosemide Bolus Intermitten 37

Tabel 4.2 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide Infus Kontinu dan Furosemide Bolus Intermitten terhadap

Lama Rawatan Rumah Sakit 38

Tabel 4.3 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide Infus Kontinu dan Furosemide Bolus Intermitten terhadap

Perubahan Fungsi Ginjal dan Elektrolit 40 Tabel 4.4 Perbedaan Rerata Pemberian Furosemide Infus

Kontinu dan Furosemide Bolus Intermitten terhadap

Kejadian Kematian Selama Rawatan di Rumah Sakit 41 Tabel 4.5 Perbedaan Rerata Furosemide Infus Kontinu

dan Bolus Intermitten di Rumah Sakit H. Adam Malik

Medan terhadap Rehospitalisasi dalam 30 hari 43

(18)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

ADP : Adenosine DiPhosphate

ACE : Angiotensin Converting Enzyme ARB : Angiotensin Receptor Blocker

CMR : Cardiac Magnetic Resonance

BNP : B-type Natriuretic Peptide

BUN : Blood Urea Nitrogen

CHF : Chronic Heart Failure

DepKes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

DM : Diabetes Mellitus

DOSE Trial : Diuretic Strategies in Patients with Acute Decompensated Heart Failure Trial EKG : Elektrokardiografi

ESC : European Society of Cardiology IGD : Instalasi Gawat Darurat

IKP : Intervensi Koroner Perkutan IMA : Infark Miokard Akut

IU : Intra Unit

Kg : Kilogram

KKvM : Kejadian Kardiovaskular Mayor LVEF :Left Ventricular Ejection Fraction

mg : miligram

mm : millimeter

mg/dl : milligram per desiliter

mmHg : millimeter mercury

MRA : Mineralocorticoid Receptor Antagonist NRI : Net Reclassification Index

(19)

PJK : Penyakit Jantung Koroner RisKesDas : Riset Kesehatan Dasar

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

TAPSE : Tricuspid Annular Plane on Systolic Excursion

TDI : Tissue Doppler Imaging

UOP :Urine Output

VTI : Velocity Time Integral WHO : World Health Organization

(20)

LAMBANG

N : Jumlah subjek penelitian

P : Tingkat Kemaknaan

Α : Alpha

Β : Beta

< : Lebih Kecil

˃ : Lebih Besar

≥ : Lebih besar atau sama dengan Zα : Nilai Baku Alpha

Zβ : Nilai Baku Beta

% : Persentase

= : Sama dengan

± : Kurang lebih

(21)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada individu dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular yang mendasari sebelumnya. Pedoman American Heart Association/ American College of Cardiology mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindroma klinis yang disebabkan dari semua gangguan struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi atau memompa darah. Pedoman ini menggarisbesarkan bahwa dalam gagal jantung hal yang utama adalah diagnosis secara klinis (Janani, 2017).

Angka harapan hidup pasien gagal jantung masih rendah, 17-45% dari pasien gagal jantung yang masuk rumah sakit akan mengalami kematian dalam setahun setelah dirawat, dan kebanyakan meninggal dalam 5 tahun ke depan (Ponikowski, 2016).

Lebih dari 17.7 juta populasi dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskular, dan merupakan 31 % dari seluruh penyebab kematian di dunia.

(WHO, 2016). Gagal jantung merupakan sebuah sindroma dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (Martins, 2011).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gagal jantung di Sumatera Utara berdasarkan diagnosis dan gejala adalah 0.3 % dengan angka estimasi 26.819 orang. Prevalensi gagal jantung di Indonesia sama dengan prevalensi gagal jantung Sumatera Utara, yaitu 0.3 % dan dengan estimasi 530.068 penderita. (RisKesDas 2013)

Prevalensi gagal jantung berdasarkan definisi yang digunakan sekitar 1 – 2

% dari populasi dewasa di negara berkembang, meningkat >10 % di antara populasi usia 70 tahun. Pada populasi usia 65 tahun yang masuk ke fasilitas kesehatan primer dengan sesak napas dan mudah lelah, 1 dari 6 akan menderita gagal jantung (Gagal jantung dengan fraksi ejeksi baik) (Van Riet, 2014).

Risiko gagal jantung seumur hidup pada usia 55 tahun adalah 33 % pada laki – laki dan 28 % pada perempuan. Proporsi pasien dengan gagal jantung – fraksi

(22)

2

ejeksi yang baik berkisar antara 22 – 73 %, bergantung dari pengaturan klinis (fasilitas kesehatan primer, klinik rumah sakit, dan saat masuk rumah sakit), usia, dan jenis kelamin pada populasi penelitian, infark miokard sebelumnya dan tahun publikasi. (Rutten FH, 2005).

Data dari pasien yang dirawat menunjukkan bahwa peningkatan insidensi gagal jantung mungkin diturunkan, terlebih pada gagal jantung fraksi ejeksi menurun dibandingkan gagal jantung fraksi ejeksi baik. Gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi ini memiliki profil epidemiologi dan etiologi yang berbeda.

Dibandingkan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun, pasien gagal jantung – fraksi ejeksi baik memiliki usia yag lebih tua, wanita, dan umumnya memiliki riwayat hipertensi serta fibrilasi atrium, walaupun riwayat infark miokard jarang terjadi.

(Owan TE, 2005).

Karakteristik pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun ringan berada antara gagal jantung – fraksi ejeksi menurun dan gagal jantung – fraksi ejeksi baik, namun beberapa penelitian menilai kelompok ini lebih baik untuk dikarakteristikkan. Etiologi dari gagal jantung berbeda antara daerah – daerah di dunia. Identifikasi dari beberapa patologis yang berbeda harus menjadi bagian dari proses diagnostik, karena dapat memberikan kesempatan terapi yang spesifik.

Banyak pasien dengan gagal jantung dan penyakit jantung iskemik, memiliki riwayat infark miokard atau revaskularisasi. Angiografi koroner yang normal tidak mengeksklusikan adanya skar miokardium ataupun terganggunya mikrosirkulasi koroner sebagai bukti alternatif dari penyakit jantung iskemik.

Lebih dari 30 tahun, peningkatan pada pengobatan dan implementasinya telah memperbaiki survival dan menurunkan rasio hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun. Data Eropa menunjukkan bahwa rasio mortalitas dalam 12 bulan dari pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dan stabil adalah 17 dan 7 %, dengan rasio hospitalisasi dalam 12 bulan adalah 44 dan 32 %. Pada pasien gagal jantung (dirawat inap dan rawat jalan), kematian umumnya terjadi akibat kematian mendadak dan perburukan gagal jantung, dan lebih tinggi pada gagal jantung – ejeksi fraksi menurun. (Magioni, 2013).

(23)

3

Gagal jantung akut membutuhkan penanganan yang lebih cepat.

Furosemide sebagai agen diuresis digunakan untuk menurunkan preload jantung sehingga diharapkan dapat mengatasi gejala sesak napas, edema perifer, ascites, dan gejala kongesti lainnya. Panduan European Society of Cardiology mengenai penanganan gagal jantung tahun 2016 menyebutkan bahwa pemberian furosemide dapat diberikan untuk memperbaiki gejala gagal jantung dengan pemantauan produksi urin, fungsi ginjal, dan elektrolit. Pilihan pemberian suntikan bolus intermitten ataupun infus kontinu direkomendasikan dengan kelas rekomendasi I, Tingkatan Bukti B. (Ponikowksi, 2016)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui :

Apakah Terdapat Perbedaan Antara Pemberian Furosemide Infus Kontinu dan Bolus Intermitten dengan Lama Rawatan Rumah Sakit Pada Pasien Gagal Jantung Akut di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah Pemberian Furosemide Infus Kontinu lebih baik dibandingkan Pemberian Furosemide Bolus Intermitten pada Lama Rawatan Rumah Sakit Pada Pasien Gagal Jantung Akut di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui Perbedaan Antara Pemberian Furosemide Infus Kontinu dan Bolus Intermitten dengan Lama Rawatan Rumah Sakit Pada Pasien Gagal Jantung Akut di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.2 Tujuan Khusus

(24)

4

• Untuk mengetahui Mengetahui perbedaan antara pemberian furosemide dosis infus kontinu dengan dosis bolus intermitten dengan produksi urin.

• Untuk mengetahui Mengetahui perbedaan antara pemberian furosemide dosis infus kontinu dengan dosis bolus intermitten dengan perubahan fungsi ginjal dan elektrolit.

• Untuk mengetahui Mengetahui perbedaan antara pemberian furosemide dosis infus kontinu dengan dosis bolus intermitten dengan rehospitalisasi dalam 30 hari.

• Untuk mengetahui Mengetahui perbedaan antara pemberian furosemide dosis infus kontinu dengan dosis bolus intermitten dengan kejadian kematian akibat penyakit kardiovaskular selama rawatan di rumah sakit.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Terhadap Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah dan memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan serta manfaat pemberian furosemide dalam menentukan tatalaksana pasien dengan gagal jantung akut.

1.5.2 Manfaat Terhadap Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang keuntungan dan kerugian pemberian diuretik saat perawatan rumah sakit.

(25)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang dikarakteristikkan dengan gejala tipikal (sesak napas, kaki bengkak, dan mudah lelah) yang berhubungan dengan tanda (peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi paru, dan edema perifer) disebabkan oleh adanya abnormalitas struktural dan atau fungsional, yang menyebabkan penurunan curah jantung dan atau peningkatan tekanan intrakardiak pada saat istirahat maupun dengan beban aktivitas.

Definisi gagal jantung saat ini terbatas pada tahap dimana gejala mulai terlihat. Sebelum gejala klinis terlihat, pasien dapat menunjukkan abnormalitas struktural dan fungsional tanpa gejala klinis (disfungsi sistolik ataupun diastolik ventrikel kiri), yang mana merupakan prekursor kejadian gagal jantung. Pengakuan dari prekursor ini menjadi penting karena hal ini berhubungan dengan hasil yang buruk, dan memulai pengobatan pada tahap prekursor memungkinkan menurunkan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik. (Wang TJ, 2003).

Gambaran mengenai penyebab kelainan jantung yang mendasari gagal jantung menjadi penting dalam diagnosis gagal jantung. Umumnya abnormalitas miokard menjadi penyebab gagal jantung sistolik dan diastolik. Abnormalitas katup, perikard, endokardium, irama jantung, dan sistem konduksi juga dapat menyebabkan gagal jantung. (Ponikowski, 2016)

Konsep Acute Heart Failure (AHF) atau gagal jantung akut sering dipakai karena lebih mudah. Gagal jantung akut merupakan kumpulan tanda dan gejala yang baru dan rekuren dari gejala gagal jantung yang memerlukan penanganan segera dan darurat dan sering mengakibatkan seseorang masuk rumah sakit secara tiba-tiba (Felker, 2015).

Gagal jantung akut mengacu kepada onset yang cepat atau perburukan dari gejala dan atau tanda gagal jantung. Hal ini merupakan kondisi medis yang mengancam jiwa, membutuhkan evaluasi dan penanganan yang cepat, biasanya

(26)

6

mengarah kepada hospitalisasi yang mendesak. Gagal jantung akut dapat datang dengan presentasi kejadian pertama (de novo) atau, sebagai konsekuensi dari dekompensasi akut dari gagal jantung kronis, dan dapat disebabkan oleh disfungsi jantung primer atau dipresipitasi oleh faktor ekstrinsik, sering pada pasien dengan gagal jantung kronik.

Disfungsi miokard akut (iskemik, inflamatorik, dan toksik), regurgitasi akut katup jantung, atau tamponade jantung merupakan penyebab yang paling sering menyebabkan gagal jantung akut. Dekompensasi dari gagal jantung kronis dapat terjadi tanpa faktor presipitasi, namun sering dengan satu atau lebih faktor seperti infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, gangguan irama jantung atau ketidakpatuhan minum obat.

Pada praktek klinis, klasifikasi yang sangat berguna adalah berdasarkan pada presentasi klinis saat masuk rumah sakit, memberikan kesempatan kepada klinisi untuk mengidentifikasi apakah pasien berada pada risiko tinggi terjadinya komplikasi dan untuk memberikan penanganan langsung pada target spesifik, yang membentuk alur untuk parawatan personal pada keadaan gagal jantung akut.

Pendekatan lain untuk mengklasifikasikan pasien berdasarkan adanya penyebab atau faktor presipitan yang memicu gagal jantung akut, yang harus mendapatkan penanganan atau koreksi sesegera mungkin : sindroma koroner akut, hipertensi emergensi, takiaritmia, atau gangguan konduksi yang berat, penyebab mekanis akut, ataupun emboli paru.

Klasifikasi klinis dapat berupa temuan saat pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya gejala atau tanda kongesti (wet bila dijumpai tanda kongesti, dan dry bila tidak dijumpai), dan gejala atau tanda hipoperfusi (cold bila dijumpai tanda hipoperfusi dan warm bila tidak). Klasifikasi ini dapat berguna untuk mengarahkan terapi pada fase inisial dan memberikan informasi prognostik. Pasien dengan gagal jantung akibat komplikasi infark miokard akut, dapat diklasifikasikan menggunakan Kilip dan Kimball menjadi kelas : I. Tanpa klinis gagal jantung; II.

Gagal jantung dengan ronkhi basah dan S3 gallop; III. Edema paru akut; dan IV.

Syok kardiogenik, hipotensi (TDS <90 mmHg), dan adanya bukti vasokontriksi

(27)

7

2.2 Klasifikasi Gagal Jantung

Klasifikasi gagal jantung akut dapat dikelompokan beberapa kategori.

Terkadang masih banyak dijumpai tumpang tindih klasifikasi dari gagal jantung akut berdasarkan kriteria yang berbeda (Ponikowski, 2015) (Fillippatos, 2007) (Metra, 2010). Beberapa klasifikasi gagal jantung akut dapat dilihat sebagai berikut:

2.2.1 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan subset klinis (Nieminen, 2005) A. Gagal jantung akut dekompensata (dekompensata gagal jantung kronik atau de novo).

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung akut yang ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema pulmoner, atau krisis hipertensi.

B. Gagal jantung akut hipertensif.

Terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel kiri yang masih baik disertai gambaran edema pulmonal akut pada foto thoraks.

C. Edema Paru akut

Terdapat distress pernafasan yang berat, ronki kasar (crakles) diseluruh lapangan paru, orthopnoe, saturasi oksigen < 90% pada udara kamar sebelum terapi.

D. Syok kardiogenik

Keadaan dimana dijumpai tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah koreksi preload. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turunnya tekanan arteri rerata (mean arterial pressure) > 30 mmHg dengan atau penurunan diuresis (< 0.5 cc/kg/jam), dengan laju nadi lebih dari 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ.

E. Gagal jantung akut High Output

Biasanya dijumpai denyut nadi yang cepat (disebabkan oleh arritmia, tirotosikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik atau mekanisme lainnya), dengan kondisi perifer yang hangat, kongesti pulmonal, dan terkadang dengan tekanan darah yang rendah.

F. Gagal jantung kanan akut

(28)

8

Ditandai dengan sindroma output rendah dengan peningkatan vena juguler, hepatomegali dan hipotensi. Perbedaan subset klinis pada masing-masing pembagian gagal jantung akut ini diperlihatkan pada tabel 2.1 dibawah ini

Tabel 2.1. Perbandingan Gagal Jantung Akut Berdasarkan Subset Klinis (Nieminen dkk, 2005)

2.2.2. Gagal jantung akut berdasarkan profil hemodinamik dan tanda klinis (Felker, 2005)

Pembagian gagal jantung ini dapat dipakai menjadi acuan strategi tatalaksana secara tepat. Pembagian ini lebih dikenal dengan klasifikasi Forrester.

A. Kelas I (grup A) : hangat dan kering, dimana tidak dijumpai hipoperfusi dan kongesti pulmonal. Mortalitasnya 2.2%.

B. Kelas II (grup B): hangat dan basah, dimana tidak dijumpai hipoperfusi, tetapi dijumpai kongesti pulmonal. Mortalitas mencapai 10.1%.

C. Kelas III (grup L): dingin dan kering, dimana dijumpai hipoperfusi, tetapi tidak dijumpai kongesti pulmonal. Angka mortalitasnya mencapai 22.4%.

D. Kelas IV (grup C): dingin dan basah, dimana dijumpai hipoperfusi dan

(29)

9

Gambar 2.1 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan klinis dan hemodinamik (Ponikowski, 2016)

2.2.3. Gagal jantung akut berdasarkan derajat keparahan klinis

Klasifikasi ini sama dengan klassifikasi pada pembagian gagal jantung akut pada tipe hemodinamik, disini juga menggunakan sirkulasi perifer dan auskultasi pada paru. Klasifikasi ini telah divalidasi secara prognostik pada penanganan pasien kardiomiopati dan dapat diaplikasikan pada pasien gagal jantung baik pada waktu rawatan ataupun setelah pulang (Nieminen,2005).

2.2.4. Gagal jantung akut berdasarkan tekanan darah sistolik (Lucas, 2007) A. Gagal jantung akut hipertensif (tekanan darah sistolik >140mmHg),

40- 50% kasus gagal jantung akut;

B. Gagal jantung akut normotensif (tekanan darah sistolik 90-140 mmHg), 40 % dari hampir semua kasus gagal jantung akut;

C. Gagal jantung akut hipotensif (tekanan darah sistolik <90 mmHg), meliputi 5% dari kasus gagal jantung akut termasuk syok kardiogenik, dengan angka mortalitas dirumah sakit >15%

2.2.5. Gagal jantung akut berdasarkan ada tidaknya riwayat gagal jantung (Felker, 2015).

(30)

10

A. Gagal jantung akut de novo, merupakan gagal jantung yang pertama kali dialami seseorang. Berkisar 20% pasien gagal jantung akut karena tipe gagal jantung ini, biasanya disebabkan oleh sindroma koroner akut.

B. Gagal jantung akut dekompensata, merupakan gagal jantung akut diakibatkan oleh perburukan klinis yang terjadi akibat penyakit jantung sebelumnya. Biasanya gagal jantung akut tipe ini telah menggunakan beberapa obat sebelumnya.

Diagnosis gagal jantung – fraksi ejeksi baik masih menjadi tantangan dibandingkan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun, dikarenakan pada fraksi ejeksi yang masih baik, ventrikel kiri belum mengalami dilatasi namun ketebalan dinding ventrikel kiri meningkat dan atau terjadi pula peningkatan ukuran atrium kiri sebagai tanda dari peningkatan tekanan pengisian. Sebagian besar memiliki tambahan bukti gangguan pengisian ventrikel kiri dan kapasitas penghisapan, yang diklasifikasikan sebagai disfungsi diastolik.

Pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun yang dikaitkan dengan gagal jantung sistolik, juga mengalami gangguan diastolik. Paga gagal jantung – fraksi ejeksi menurun ringan, kemungkinan utama pasin akan mengalami gangguan sistolik ventrikel kiri yang ringan, namun dengan tampilan gangguan diastolik.

Pasien yang tidak memiliki gangguan miokardium ventrikel kiri, mungkin menderita penyebab kardiovaskular lain seperti hipertensi pulmonal, penyakit katup jantung, dan lain-lain. Pasien dengan penyebab patologi non kardiovaskular seperti anemia, gangguan ginjal, gangguan paru, dan gangguan hati, mungkin memiliki gejala yang identik dengan gagal jantung, dan masing-masing mungkin menjadi faktor presipitasi untuk eksaserbasi gagal jantung.

Walaupun gejala dan tanda gagal jantung telah membaik, penyebab kelainan jantung yang mendasari masih belum selesai, sehingga pasien masih memiliki risiko untuk mengalami gejala dekompensasi ulang. Gagal jantung kongestif merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan gagal jantung akut

(31)

11

dapat dipakai pada satu pasien yang sama namun dalam waktu yang berbeda, tergantung tingkatan gejala yang timbul saat itu. Terminologi gagal jantung lanjut digunakan pada pasien dengan karakteristik gejala klinis yang berat, dekompensasi yang berulang, dan gangguan fungsi jantung yang berat. (Ponikowski, 2016)

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung

Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan serangkaian adaptasi kompensasi untuk mempertahankan homeostatis jantung. Salah satu adaptasi yang paling penting adalah aktivasi sistem saraf simpatis (adrenergik), yang terjadi di tahap awal gagal jantung.

Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung disertai dengan penurunan sistem saraf parasimpatis. Meskipun gangguan pada kontrol saraf otonom pada awalnya dikaitkan dengan hilangnya penghambatan dari refleks baroreseptor arteri atau kardiopulmonal, ada peningkatan refleks rangsang yang berpartisipasi dalam ketidakseimbangan saraf autonom yang terjadi pada gagal jantung. Pada pasien gagal jantung, hambatan masukan baroreseptor semakin berkurang dan masukan rangsang meningkat, sehingga terjadi peningkatan saraf simpatis dan menumpulkan saraf parasimpatis dan hilangnya variabilitas denyut nadi serta peningkatan resistensi vaskular perifer (Floras,2009; Hasenfuss,2015).

Sebagai hasil dari peningkatan nada simpatik, terjadi peningkatan sirkulasi norepinefrin (NE), sebuah neurotransmiter adrenergik yang kuat. Peningkatan NE yang bersirkulasi merupakan kombinasi peningkatan pelepasan NE dari ujung saraf adrenergik, dan akibatnya masuk ke plasma karena berkurangnya serapan NE oleh ujung saraf adrenergik. Namun, seiring dengan perkembangan gagal jantung, terjadi penurunan signifikan pada konsentrasi NE di miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk penurunan NE jantung pada gagal jantung berat tidak jelas dan mungkin berhubungan dengan fenomena "kelelahan" yang diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (Hasenfuss,2015; Metra,2017).

Peningkatan aktivasi simpatis reseptor beta-1-adrenergik menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard, sehingga terjadi peningkatan curah jantung. Selain itu, aktivitas tinggi sistem saraf adrenergik

(32)

12

menyebabkan stimulasi reseptor alfa-1-adrenergik di miokard, yang menghasilkan efek inotropik positif, serta vasokonstriksi arteri perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan relaksasi dan mempertahankan tekanan darah, kebutuhan energi miokard meningkat, yang dapat mengintensifkan iskemia saat pemberian oksigen miokard dibatasi.

Aliran adrenergik yang meningkat dari sistem saraf pusat juga dapat memicu takikardia ventrikel atau bahkan kematian jantung mendadak, terutama dengan adanya iskemia miokard. Dengan demikian, aktivasi sistem saraf simpatik memberikan dukungan jangka pendek yang berpotensi menjadi maladaptif dalam jangka waktu panjang. Efek dari sistem saraf simpatik dimediasi melalui tiga reseptor: β1, β2, dan α1. Pada penderita gagal jantung, reseptor β1 dan β2 diaktifkan dan, bersamaan dengan reseptor α1, akhirnya menyebabkan toksisitas miokard.

Efek yang terlihat adalah dengan penurunan fraksi ejeksi, aritmia,dan takikardia akibat overstimulasi oleh saraf simpatis. Pada vaskular perifer aktivasi receptor β1 dan α1 menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, dan haus, juga menambah tekanan rata-rata arteri (Kemp, 2012; Hasenfuss,2015).

2.4 Perubahan Hemodinamik Pada Gagal Jantung

Sangat penting untuk mengetahui nilai normal tekanan intrakardiak atau pun tekanan di dalam pembuluh vena dan arteri yang masuk dan meninggalkan jantung karena nilai yang abnormal dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung dan disfungsi tertentu. Tekanan di jantung sebelah kanan jauh lebih rendah daripada tekanan di jantung kiri dan bahwa sirkulasi paru tekanannya lebih rendah daripada tekanan sirkulasi sistemik. Tekanan atrium dan ventrikel berubah beberapa mmHg selama mengisi dan berkontraksi (Klabunde, 2012).

Bagan siklus jantung (bagan Wiggres) menggambarkan perubahan di jantung kiri (volume dan tekanan ventrikel kiri, tekanan atrium kiri dan tekanan aorta) sesuai fungsi waktu. Siklus jantung dibagi menjadi 7 fase yang dimulai ketika gelombang P muncul.

(33)

13

Fase 1 : Sistolik atrium : katup atrioventrikular terbuka; katup aorta dan pulmonalis tertutup.

Fase 2 : Kontraksi isovolumetrik : semua katup tertutup.

Fase 3 : Ejeksi cepat : katup aorta dan katup pulmonalis membuka; katup atrioventricular tetap tertutup.

Fase 4 : Ejeksi kecil : katup aorta dan pulmonalis terbuka, katup AV tetap tertutup Fase 5 : Relaksasi isovolumetrik : semua katup tertutup

Fase 6 : Pengisian cepat : katup AV terbuka; katup aorta dan katup pulmonalis tertutup.

Gambar 2.2. Tekanan normal di ruang jantung dan pembuluh darah (Lily, 2012)

(34)

14

Gambar 2.3. Bagan Wiggres siklus jantung (Borlaug,2011)

Pada penderita gagal jantung dapat terjadi perubahan hemodinamik. Gagal jantung dapat terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung (gagal sistolik) atau gangguan pengisian jantung (gagal diastolik). Gagal sistolik disebabkan oleh perubahan mekanisme transduksi sinyal sel dan coupling eksitasi-kontraksi yang mengganggu inotropik (Kemp 2012) (Klabunde, 2012) (Borlaug,2011).

Secara fungsional, gagal sistolik akan menggeser kurva Frank-starling ke bawah. Akibatnya terjadi penurunan isi sekuncup dan peningkatan kompensasi preload (secara klinis tampak sebagai peningkatan tekanan atau volume akhir diastolik ventrikel kiri atau peningkatan tekanan kapiler paru).

Preload yang meningkat merupakan mekanisme kompensasi yang penting mengaktifkan mekanisme Frank-Starling untuk mempertahankan isi sekuncup dalam keadaan hilangnya inotropi. Bila preload tidak mengikat sebagai upaya kompensasi, isi sekuncup dapat semakin turun sejalan dengan turunnya inotropi.

Dengan berlanjutnya gagal sistolik, kemampuan jantung untuk melakukan kompensasi melalui mekanisme Frank-Starling akan menjadi payah ketika sarkomer meregang sampai ke panjang maksimalnya (Kemp 2012) (Klabunde,

(35)

15

Lebih lanjut, pada gagal sistolik kronik, ventrikel akan mengalami remodelling anatomi dengan cara dilatasi. Dilatasi terjadi melalui penambahan sarkomer baru yang terangkai seri dengan sarkomer yang ada. Bertambahnya lingkar dinding jantung akibat bertambahnya sarkomer baru akan mencegah regangan berlebihan sarkomer pada peningkatan tekanan pengisian dan volume.

Ventrikel yang mengalami dilatasi memiliki komplians yang lebih baik sehingga dapat menampung volume akhir diastolik yang besar tanpa peningkatan tekanan akhir diastolik terlalu besar (Kemp 2012) (Klabunde, 2012) (Borlaug,2011).

Gambar 2.4. Kurva Frank Starling yang menggambarkan hubungan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan isi sekuncup dan pemberian terapi. V = vasodilator, I = inotropik, d = diuretik (Maron, 2011)

Gagal sistolik mengurangi kemiringan kurva hubungan tekanan volume akhir-sistolik akibat berkurangnya inotropi. Akibat perubahan ini, seberapa pun volume ventrikelnya, selama fase sistolik tekanan yang dihasilkan tetap rendah, sehingga volume darah yang dipompakan juga lebih sedikit. Lengkung tekanan – volume juga menunjukkan adanya peningkatan volume akhir – diastolik (peningkatan preload kompensasi).

Preload ventrikel meningkat karena ketika jantung tidak mampu memompakan darah, semakin banyak darah yang akan tertinggal didalam ventrikel pada akhir ejeksi. Ini menyebabkan pengisian ventrikel mencapai volume akhir –

(36)

16

diastolik yang lebih besar ketika aliran aliran balik vena memasuki ventrikel.

Pengisian ventrikel yang tinggi ditingkatkan lagi oleh remodeling ventrikel yang memperbesar ukuran ventrikel (dilatasi ventrikel) dan meningkatkan komplians.

Hal ini memungkinkan ventrikel menampang volume akhir – diastolik yang lebih besar dengan peningkatan tekanan volume akhir-diastolik yang lebih kecil, meskipun tekanan ini masih dapat naik lagi sampai ketingkat darah yang menyebabkan darah mengalir kembali ke atrium kiri dan pembuluh pulmonalis, dan menyebabkan edema paru. Namun, penambahan volume akhir – diastolik tidak sebesar peningkatan volume akhir – sistolik.

Dengan demikian ,efek akhirnya adalah pengisian isi sekuncup (lebar lengkung tekanan- volume berkurang). Karena isi sekuncup menurun dan volume akhir- diastolik meningkat ,terjadi penurunan hebat pada fraksi ejeksi. Fraksi ejeksi (isi sekuncup dibagi dengan volume akhir – diastolik) normalnya > 55%, tetapi bisa jatuh dibawah 20% pada gagal sistolik yang berat (Klabunde, 2012).

Jenis gagal jantung kedua adalah gagal diastolik, yang disebabkan oleh gangguan pengisian ventrikel. Gagal diastolik dapat disebabkan oleh penurunan komplians ventrikel (misalnya seperti yang terjadi pada hipertrofi ventrikel).

Hipertrofi ventrikel paling sering disebabkan oleh hipertensi kronik yang tidak terkendali yang menyebabkan penebalan dinding ventrikel berkat adanya penambahans sarkomer yang baru yang tersusun pararel dengan sarkomer yang sudah ada. Hipertrofi tersebut memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat untuk melawan tekanan yang lebih tinggi di aorta dan membantu menormalkan stress pada dinding.

Oleh sebab itu, jantung yang hipertrofik dapat memperlihatkan pergeseran kekiri pada hubungan tekanan-volume akhir- sistolik. Penurunan komplians ventrikel, baik yang berasal dari kelainan anatomi maupun kelainan fungsional menimbulkan pergeseran hubungan tekanan- volume akhir- diastolic ventrikel (yaitu kurva pengisian pasif) keatas dan ke kiri. Akibatnya ,terjadi penurunan pengisian ventrikel (berkurangnya volume akhir- diastolik) dan peningkatan tekanan akhir diastolik. Tekanan akhir-diastolik ventrikel yang tinggi, yang pada

(37)

17

serius karena tekanan atrium kiri dan kapiler paru meningkat (Borlaug, 2011) (Klabunde, 2012).

Tidak jarang pada gagal jantung kronik terjadi kombinasi berbagai derajat disfungsi sistolik dan diastolik . Pada disfungsi sistolik dan diastolik, kemiringan hubungan tekanan – volume akhir- sistolik berkurang, dan kemiringan kurva pengisian pasif bertambah. Kombinasi disfungsi sistolik dan diastolik ini juga dapat menyebabkan tingginya tekanan akhir – diastolik sehingga timbulkan bendungan dan edema paru.

Gambar 2.5. Kurva gagal jantung sistolik dan diastolik. A.gagal sistolik menurunkan kemiringan hubungan tekanan-volume akhir sistolik dan meningkatkan volume akhir sistolik . Ini menyebabkan peningkatan volume akhir diastolik karena dilatasi ventrikel dan terjadi penurunan fraksi ejeksi. B.Gagal diastolik akan menambah kemiringan hubungan tekanan-volume ventrikel kiri akibat penurunan komplians ventrikel. (Klabunde, 2012).

(38)

18

Prinsip klasik dan awal gagal jantung adalah mempertahankan curah jantung yang dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Pada kondisi defisit miokard (kehilangan kontraktilitas, problem intrinsik terletak pada kegagalan miokard dan katup jantung), terjadi penurunan fraksi ejeksi dan peningkatan volume dan tekanan akhir diastolik di ventrikel kiri, sehingga meningkatkan kontraksi atrium untuk memanfaatkan cadangan jantung. Selanjutnya mekanisme Frank-Starling teraktivasi, bersamaan dengan aktivasi simpatis, sehingga kontraktilitas bertambah dan terjadi perbaikan kondisi umum. Ketika berlanjut, respon ini akan merugikan dan menyebabkan perubahan pada bentuk dan fungsi ventrikel kiri, fenomena ini disebut ventricular remodeling. Kondisi ini akan mengubah fungsi dan konduksi elektris ventrikel dan berkembang menjadi gagal jantung.

Penjelasan hemodinamik ini berkaitan erat dengan disfungsi ventrikel.

miokard dan kedua ventrikel saling berinteraksi dan harus dianggap sebagai satu kesatuan dimana disfungsi dan kelebihan dari satu elemen akan mempengaruhi yang lain. Struktur dinding ventrikel kanan lebih tipis (8-11 mm vs. 2-3 mm).

Terdapat perbedaan proporsi myosin alfa pada myofibril; dan respon terhadap stimulus adrenergik dan aliran koroner berbeda. Hal ini memberikan kapasitas yang cukup besar bagi ventrikel kanan untuk menjadi “shock absorber” akibat perubahan volume dan aliran balik vena, dimana perubahan ini disebabkan oleh perubahan tekanan darah dan postur, volume vaskular yang penuh, respirasi dan maneuver Valsava.

Kelebihan akut volume ventrikel kanan (contoh tamponade, tromboembolisme, penyakit katup jantung akut) menghalangi pengisian ventrikel kiri, sehingga curah jantung menurun. Akibatnya perfusi ventrikel kanan menurun dan hipoksemia, dimana disfungsi memberat dan menghasilkan siklus patologis yang cepat menyebabkan kematian. Peran regulasi ventrikel kanan bersifat signifikan.

Bahkan disfungsi ventrikel kanan telah terbukti menjadi kunci patofisiologi dan faktor prognostik, terutama pada pasien dengan gagal jantung fraksi ejeksi

(39)

19

signifikan, baik dari studi populasi ataupun kohort pasien tertentu, yang menunjukkan nilai prognosisnya. Sebuah contoh kasus – studi kontrol pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal – menunjukkan peningkatan tekanan, disfungsi dan perubahan dimensi ventrikel kanan berhubungan langsung dengan mortalitas (Marteles, 2015).

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal, perubahan histopatologi pada percabangan pembuluh darah paru (hipertrofi intimal dan fibrosis adventisia pada pembuluh darah kecil) dan penebalan membran kapiler alveolus, serta fenomena inflamasi, mencetuskan hipertensi pulmonal jangka panjang dan perubahan struktur serta disfungsi ventrikel kanan.

2.5 Diuretik Pada Gagal Jantung

Diuretik direkomendasiken untuk mengurangi tanda dan gejala kongesti pada pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun, namun efek terhadap mortalitas dan morbiditas belum diteliti pada berapa RCT. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa pasien dengan gagal jantung kronis, loop diuretik dan thiazide menunjukkan penurunan risiko kematian dan perburukan gagal jantung dibandingan plasebo, dan dibandingkan dengan kontrol aktif, diuretik dapat meningkatkan kapasitas fungsional. Loop diuretik menghasilkan diuresis yang lebih intens dan lebih singkat dibandingkan thiazide, walaupun mereka bekerja secara sinergis dan kombinasi keduanya dapat berguna untuk mengatasi edema resisten.

Efek samping pada kombinasi tersebut lebih sering terjadi sehingga penggunaannya membutuhkan pengawasan yang tepat. Efek samping obat ini antara lain hipokalemia, alkalosis metabolik, dan penurunan volume intravaskular.

Hipokalemia terjadi akibat terganggunya reabsorbsi natrium sehingga kadar natrium di tubulus distal meningkat dan terjadi pertukaran yang abnormal dalam jumlah yang besar. Diuretik loop juga dapat memicu sistem renin angiotensin yang mengaktifkan aldosteron sebagai umpan balik dari penurunan volume intravaskular. Alkalosis terjadi akibat peningkatan ekskresi H+ pada tubulus distal dan peningkatan reabsorbsi natrium bikarbonat pada tubulus proximal sebagai

(40)

20

respon dari penurunan volume intravaskular. Efek samping lain seperti ototoksisitas terjadi akibat perubahan elektrolit (Lily, 2012)

Tujuan pemberian terapi diuretik adalah untuk mencapai dan mempertahankan status euvolemia dengan dosis terkecil yang dapat ditoleransi.

Dosis diuretik harus disesuaikan menurut kebutuhan individu sepanjang waktu.

Pada pasien asimptomatik dengan euvolemia, penggunaan diuretik mungkin dapat dihentikan sementara. Pasien dapat dilatih untuk menyesuaikan dosis diuretiknya sendiri sesuai dengan pengawasan gejala dan tanda kongesti dan pengukuran berat badan harian. (Ponikowski, 2016).

Mekanisme kerja dari diuretik loop dipercaya dapat mengatasi gejala konesti dengan beberapa mekanisme. Pertama, diuretik loop mengikat dan menghambat Na+-K+-2Cl--cotransporter secara reversibel, mencegah transpor garam pada dinding tebal loop of henle ascendens. Penghambatan ini juga berimbas pada penyerapan Ca2+ dan Mg2+ dengan mengubah perbedaan potensial transepitel yang dipicu oleh absorbsi kation-kation tersebut. Dengan menghambat konsentrasi terlarut pada interstisial medula, obat ini juga menurunkan laju resorbsi air pada tubulus kolektif.

Gambar 2.6 Mekanisme dan tempat kerja diuretik loop (Douglas, 2015)

(41)

21

Diuretik loop juga meningkatkan beberapa efek karakteristik pada tekanan intrakardiak dan hemodinamik. Furosemide bekerja sebagai venodilator menurunkan tekanan atrium kanan dan tekanan kapiler paru ketika diberikan intravena (0.5 – 1 mg/ kg berat badan). Efek venodilator didapat dengan menghambat indomethacin dan pelepasan prostaglandin. Furosemide juga dapat meningkatkan afterload akibat aktivasi sistem renin angiotensin sehingga kombinasi dengan vasodilator pada edema paru akut dengan tekanan darah yang adekuat masih dibutuhkan.

Diuretik meningkatkan ekskresi cairan dan garam dari ginjal dan memiliki efek vasodilatasi. Pada pasien dengan gagal jantung akut dengan tanda hipoperfusi, diuretik harus ditunda sebelum dicapainya perfusi yang adekuat. Pendekatan awal terhadap penanganan kongesti melibatkan diuretik intravena dngan vasodilator untuk membebaskan gejala bila tekanan darah memungkinkan.

Untuk menambah diuresis ataupun mengatasi resistensi diuretik, terdapat pilihan antara lain dual nephron blokade dengan diuretik loop (furosemide dan torasemide) dengan thiazide atau dosis natriuretik dari Mineralokortikoid Reseptor Antagonis (MRA). Kombinasi tersebut membutuhkan monitoring yang ketat untuk mencegah hipokalemia, disfungsi renal, dan hipovolemia.

Gambar 2.7 Rekomendasi Panduan Penggunaan Diuretik pada European Society of Cardiology – Heart Failure Guideline 2016 (Ponikowksi, 2016)

(42)

22

Data yang menunjukkan dosis yang optimal, waktu pemberian, dan metode pemberian masih belum seluruhnya selesai dilakukan. Dari penelitian furosemide dosis tinggi yang diambil dari The DOSE Study, pemberian furosemide 2.5 kali dari dosis oral sebelumnya menunjukkan perbaikan yang besar pada gejala sesak napas, penurunan berat badan, dan kehilangan cairan dengan efek samping perburukan sementara dari fungsi ginjal. (Felker 2011)

Pada gagal jantung akut, furosemide intravena menjadi diuretik lini pertama. Dosis inisial harus diberikan minimal sama dengan dosis oral harian, dengan pemberian bolus 20 – 40 mg pada gagal jantung akut ataupun gagal jantung kronis tanpa riwayat gagal ginjal. (Ponikowski, 2016)

Pemberian diuretik loop infus kontinu pada pasien dengan gagal jantung akut dekompensata menunjukkan hasil yang lebih baik pada diuresis dengan penurunan yang baik pada kadar BNP dibandingkan dengan diuretik loop dengan pemberian bolus pada perawatan di rumah sakit, walaupun dengan penurunan signifikan pada laju filtrasi glomerulus. (Palazuoli, 2014).

Pemberian diuretik loop secara bolus intermitten memiliki efek yang tidak diharapkan pada perubahan profil hemodinamik, yang berhubungan dengan tingginya rasio kejadian resistensi diuretik pada terapi suboptimal pada tubulus ginjal dan menghasilkan kembalinya reabsorbsi natrium. Di sisi lain, pemberian secara kontinu menghasilkan konsentrasi konstan diuretik pada tubulus sehingga meningkatkan diuresis, mencegah penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, menurunkan reabsorbsi natrium dan menurunkan kebutuhan energi nefron. Namun pada pemberian infus kontinu, perubahan neuroendokrin dan elektrolit lebih banyak terjadi.

Pada pasien dengan gagal jantung akut dekompensata yang diterapi dengan pemberian diuretik loop, mekanisme patofisiologi kompensatori untuk mempertahankan resistensi vaskular, seperti stimulasi nonosmotik dari sekresi vasopresin dan aktivasi sistem renin-angiotensin, telah banyak diamati. Karena pemberian diuretik loop intravena menghasilkan volume diuresis yang tinggi, pengisian cairan kembali plasma dari dari ekstravaskular menjadi berlebihan

(43)

23

dengan penipisan volume dini, sehingga meningkatkan risiko cedera ginjal akut.

(Aspromonte, 2011)

Diuretik loop dapat mengganggu fungsi ginjal secara langsung dengan menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga menghasilkan redistribusi di ginjal dan memicu penurunan fraksi filtrasi efektif. (Yilmaz, 2011).

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan pentingnya penggunaan diuretik yang agresif pada kasus berat dimana efek samping dihasilkan oleh keparahan penyakit tersebut. (House, 2010). Pada gagal jantung akut dekompensata, diuretik loop intravena dosis yang lebih tinggi mungkin tidak dapat dihindari. Penggunaan diuretik loop dengan pemberian kontinu berhubungan dengan peningkatan konsentrasi yang tinggi pada loop of henle, menurunkan energi yang dibutuhkan sel-sel di tingkat medula nefron, dan secara konsisten menghasilkan perlindungan selama keadaan hipoksia. Seluruh mekanisme tersebut menuju pada keadaan istirahat dan menurunkan umpan balik tubuloglomerular.

Pemberian diuretik kontinu seharusnya menghasilkan produksi urin yang konstan, variasi volume intravaskular yang lebih kecil, dan reabsorbsi natrium yang lebih sedikit. Efek menguntungkan ini harus dipertimbangkan terhadap aktivasi neuroendokrin yang lebih lama, upaya regulasi balik yang lebih besar untuk meningkatkan reabsorbsi natrium dan air, dan vasokonstriksi arteriol eferen dalam periode waktu yang lama. (Palazzuoli, 2014)

2.6 Parameter Penilaian Gagal Jantung 2.6.1 Pemeriksaan Serologi

Banyak penelitian yang menggambarkan kegunaan klinis dari beberapa biomarker yang berbeda pada pasien gagal jantung akut dan kronis. Natriuretik Peptide digunakan rutin pada penanganan gagal jantung, namun saat ini beberapa biomarker baru dapat diperiksa. Data dasar dan pengulangan pengukuran harus memungkinkan dan memiliki biaya yang beralasan. Biomarker baru harus memberiikan informasi yang tidak dapat diberikan saat penilaian klinis. NT-pro BNP telah menjadi patokan biomarker prognostik pasien dengan gagal jantung akut. Perbandingan head-to-head dengan MR-proANP dan MR-proADM menjadi

(44)

24

biomarker yang menjanjikan dan dapat menggantikan NT-pro BNP sebagai patokan. (Velde, 2011)

Gambar 2.8 Patofisiologi gagal jantung dan biomarker yang berperan pada proses tersebut.

Novel biomarker harus menunjukkan nilai diagnostik dan prognostik yang komparabel dalam analisis terakhir. Penelitian multipel melaporkan sebuah net reclassification index (NRI) yang memudahkan untuk melaporkan nilai prognostik dari biomarker. Walau begitu, masih terdapat kesulitan untuk menemukan biomarker yang dapat mengisi semua kebutuhan untuk evaluasi dari prognosis pasien dengan gagal jantung akut dekompensasi.

Beberapa biomarker menunjukkan nilai prediktifnya dan masih terbatas pada parameter klinis yang ada. Model prediksi klinis yang baik selali memiliki nilai prognostik yang tinggi dan sesuai dengan nilai Area Under Curve yang tinggi.

Penelitian – penelitian terakhir berfokus pada kombinasi biomarker untu prediksi risiko gagal jantung akut, dimana multimarker menghasilkan stratifikasi risiko yang lebih superior. (Velde, 2011)

2.6.2 Ekokardiografi

(45)

25

Ekokardiografi transthorakal yang digunakan di sini adalah semua teknik pencitraan ultrasonografi jantung, termasuk ekokardiografi 2 – 3 dimensi, pulse dan continuous wave doppler, colour flow doppler, tissue doppler imaging (TDI), contrast echocardiography, dan pencitraan deformitas (strain dan strain rate).

Ekokardiografi transthorakal merupakan pilihan metode untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik miokard pada ventrikel kiri dan kanan.

2.6.2.1 Pemeriksaan Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri.

Untuk penilaian fraksi ejeksi ventrikel kiri, metode simpson biplane direkomendasikan. Volume akhir diastolik ventrikel kiri dan volume akhir sistolik ventrikel kiri diukur dari apical four dan two chamber views. Metode ini membutuhan penelusuran batas jantung yang akurat. Pada kualitas gambar yang buruk, agen kontras padat digunakan untuk meningkatkan tampilan batas jantung.

Pengukuran regional wall motion abnormality merupakan temuan yang sesuai dengan kecurigaan penyakit jantung koroner atau miokarditis.

Metode Teichholz pada penghitungan fraksi ejeksi ventrikel kiri dari dimensi yang linear, sebagaimana pengukuran fractional shortening tidak direkomendasikan karena hasil pengukurannya tidak akurat pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri regional dan atau dengan remodeling ventrikel kiri.

Ekokardiografi 3 dimensi dengan kualitas yang adekuat memperbaiki kuantifikasi dari volume ventrikel kiri dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memiliki akurasi yang terbaik bila dibandingkan dengan nilai yang didapat dengan Cardiac Magnetic Resonance (CMR). Teknik doppler memberikan perhitungan variabel hemodinamik seperti indeks volume sekuncup dan curah jantung, berdasarkan velocity time integral (VTI) pada area keluar ventrikel kiri. Dalam dekade terakhir, parameter tissue doppler (gelombang S) dan deformasi teknik pencitraan (strain dan rasio strain) telah menunjukkan kegunaan klinis yang layak, terutama pada penilaian abnormalitas fungsi sistolik yang ringan pada kondisi preklinis. (Voigt JU, 2015)

2.6.2.2 Pemeriksaan Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri.

(46)

26

Disfungsi diastolik ventrikel kiri diperkirakan sebagai abnormalitas patofisiologi yang mendasari pasien dengan gagal jantung – fraksi ejeksi baik dan gagal jantung – fraksi ejeksi menurun ringan, dan penilaian ini memiliki peran penting pada diagnosis. Walaupun ekokardiografi hanya merupakan teknik pencitraan yang bisa memberikan diagnosis disfungsi diastolik, tidak ada satu variabel ekokardiografi yang cukup akurat untuk digunakan pada isolasi untuk membuat sebuah diagnosis disfungsi diastolik.

2.6.2.3 Pemeriksaan Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan.

Pemeriksaan fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmonal dilakukan dengan menilai pula kelainan strukturalnnya (dimensi ventrikel kanan), estimasi fungsi sistolik ventrikel iianan dengan Tricuspid Annular Plane Sistolic Excursion (TAPSE, nilai normal 17 mm atau lebih). Penilaian sistolik lain seperti tissue doppler pada anulus lateral trikuspid untuk menilai velocity (s’) dengan nilai 9.5 cm/s mengindikasikan disfungsi sistolik ventrikel kanan. Tekanan arteri pulmonal sistolik didapat dari perekaman optimal pada jet regurgitan trikuspid maksimal dan gradien sistolik trikuspid, bersamaan dengan estimasi tekanan atrium kiri pada ukuran basis vena kava inferior dan kolapsnya yang dihubungkan dengan pernapasan.

Ukuran ventrikel kanan harus dinilai secara rutin pada ekokardiografi 2 dimensi konvensional menggunakan gambar multipel, dan laporan ini harus memasukkan parameter kualitatif dan kuantitatif. Ekokardiografi 3 dimensi dengan speckle tracking mungkin merupakan metode kuantitatif tambahan untuk menilai fungsi ventrikel kanan pada pusat spesialisasi jantung. (Smith BCF, 2014)

2.6.3 Uji Latih Jalan 6 Menit

Pada populasi gagal jantung dengan terapi berbasis bukti, penilaian prognostik sebelum pulang dari rumah sakit dapat dicapai dengan kombinasi dari skor klinis (3C-HF atau MAGGIC Score) dengan pengukuran kapasitas fungsional yang simpel dan praktis seperti uji latih 6 menit. Pada populasi dengan mortalias total 7.7 % pada 12 bulan, pasien dengan risiko klinis intermediate dan risiko tinggi

Referensi

Dokumen terkait