• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

5 A. Definisi dan Pengertian

Pinzon & Asanti (2010) mendefinisikan stroke sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem syaraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Gangguan peredaran otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluhnya darah di otak. Salah satu dampak dari stroke adalah gangguan komunikasi yang menyebabkan hilangnya bahasa.

Menurut LaPointe (2005) afasia adalah gangguan komunikasi yang diperoleh akibat kerusakan pada otak yang mana merusak kemampuan seseorang untuk mengerti, menghasilkan, dan menggunakan bahasa. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa kerusakan pada daerah otak yang sifatnya spesifik dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan komunikasi yang sifatnya spesifik.

Contoh apabila kerusakan di daerah sensoris maka gangguan bahasa yang dialami pasien afasia adalah bahasa reseptif. Pendapat ini diperkuat oleh Dharmaperwira- Prins (2002), mengemukakan bahwa kondisi ini merupakan gangguan bahasa perolehan yang disebabkan oleh cedera otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman serta gangguan pengutaraan bahasa lisan maupun tertulis. Sehingga cukup jelas bahwa afasia tidak hanya mengalami gangguan berupa pengutaraan bahasa lisan, tetapi juga permasalahan bahasa tulis baik dalam membaca maupun menulis. Sedangkan Afasia menurut Kusumoputro (1992) adalah gangguan kemampuan bahasa seseorang yang disebabkan oleh kerusakan otak akibat stroke (gangguan peredaran darah di otak) atau cedera kepala yang menyebabkan cedera otak yang ditandai dengan kehilangan kemampuan membuat formulasi, menyatakan dan membuat kata-kata ujaran, gangguan dalam membaca dan menulis.

Salah satu jenis afasia yang dialami oleh pasien post stroke adalah afasia konduksi. Afasia konduksi adalah gangguan yang ditandai dengan bicara mudah, dapat memahami pembicaraan orang lain, tapi mereka tidak dapat mengulang ataupun meniru kata-kata yang panjang. Kemampuan membaca umumnya lebih baik, akan tetapi kemampuan menulisnya terganggu. Tulisannya sering terdapat kesalahan berupa penghilangan, pembalikan ataupun penambahan (Kusomoputro &

(2)

Sidiarto, 2009). Dari penjelasan diatas diketahui bahwa klien dengan afasia konduksi dapat berbicara dengan lancar, pemahaman baik, dan pengulangan kata- kata buruk.

B. Etiologi

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya afasia, yakni : 1. Gangguan peredaran darah otak (GPDO)

Menurut Dharmaperwira-Prins (2002) penyebab GPDO adalah penghentian pengaliran darah ke sebagian otak. Penghentian ini dapat disebabkan oleh emboli, trombosis, atau perdarahan. Karena itu bagian otak yang tidak memperoleh darah lagi lalu mati (nekrosis), mencair dan meninggalkan rongga dikelilingi jaringan parut yang dibentuk oleh sel-sel glia.

LaPointe (2005) menyatakan bahwa Stroke atau serangan otak adalah gangguan suplai darah ke otak. Otak harus terus-menerus oleh pemberi kehidupan oksigen dan glukosa yang dibawa oleh pembuluh darah. Jika makanan menuju otak atau neuron terganggu sedikitnya 4 menit, akan terjadi kematian atau kerusakan neuron secara permanen. Penggumpalan darah, hemmoragy, dan pengerutan dinding pembuluh darah yang mensuplai otak adalah gangguan lazim yang menyebabkan CVA.

Klasifikasi Gangguan Peredaran Darah Otak menurut Dharmaperwira- Prins (2002) adalah Trombosis, penyumbatan pembuluh darah yang diakibatkan oleh perubahan dinding pembuluh, merupakan penyebab GPDO yang paling sering terjadi. Kejadian ini sering terjadi oleh arteriklerosis, tetapi juga oleh gangguan lain (misalnya peradangan). Emboli, yakni gumpalan darah yang terjadi dalam sistem pembuluh darah yang lalu dengan aliran darah terbawa ke otak dan kemudian di sana menyumbat sebuah pembuluh, ternyata lebih sering terjadi sebagai penyebab GPDO daripada yang dulu diduga. Perdarahan otak terjadi apabila dinding suatu pembuluh sobek dan darah mengumpul (hematom) mendesak jaringan sekitarnya lalu menggencetnya. Perdarahan otak biasanya disebabkan oleh tekanan darah tinggi, aneurisma yang pecah atau malformasi pembuluh darah, tetapi bisa juga disebabkan oleh pemakaian obat antikoagulan.

(3)

2. Trauma

Trauma sering diklasifikasikan sebagai terbuka dan tertutup, tergantung dari rusak-tidaknya tengkorak. Tingkat kehilangan kesadaran dan kurun waktu Amnesia Post Traumatic (APT) merupakan ukuran penting untuk menilai keparahan kerusakan otak. Sebuah pukulan pada tengkorak dapat menyebabkan suatu kerusakan tepat dibawahnya, tetapi karena isi tengkorak terbentuk pada sisi lain (efek ‘contre-coup’), maka ditempat itu pun sering terjadi kerusakan (Dharmaperwira-Prins, 2002). LaPointe (2005) menambhakan trauma kepala dapat menyebabkan gangguan kognitif tertentu dan fungsi komunikasi.

3. Tumor Otak

Tumor otak (neoplasma kranial) sering berkembang dengan perlahan, sedangkan jaringan otak menyesuaikan diri dengan perubahan ini sehingga sering tumor itu baru menyebabkan gangguan pada stadium yang berikut. Tumor dapat menimbulkan edema dan dapat menekan pembuluh darah. Dengan demikian dapat terjadi gangguan akut, jauh dari keletakan tumor. Sakit kepala seringkali merupakan gejala pertama. Dapat pula muncul rasa mual dan muntah- muntah. Ciri-ciri gejala sebenarnya tergantung dari lokasi tumor (Dharmaperwira-Prins, 2002). Sedangkan menurut LaPointe (2005) Tumor atau pertumbuhan sel yang abnormal pada otak dapat menyebabkan afasia.

4. Infeksi

Infeksi dengan akibat meningitis dan ensefalitis bisa mengakibatkan kerusakan otak, pada masa sebelum ada antibiotika, sering terjadi abses di lobus temporalis sebagai akibat infeksi telinga. Dewasa ini yang paling banyak dijumpai adalah ensefalitis karena herpes simpleks. Dalam hal ini kehilangan daya ingat seringkali menutupi kemungkinan adanya afasia. Infeksi virus lain seperti AIDS, dapat juga menjadi penyebabnya (Dharmaperwira-Prins, 2002) 5. Dementia

Penyakit seperti alzheimer, kadang-kadang parkinson, dan penyakit neurodegenerative lainnya dapat menyebabkan kerusakan difuse di otak, atau kerusakan lokal yang merusak hubungan area penting di otak, dan mengenai memory, reasoning, judgement, organizational, dan planning skill, dan fungsi spesifik bahasa, kehadiran afasia dikaitkan dengan tanda dan gejala pada

(4)

kerusakan difuse otak masih dalam perdebatan diantara para ahli dan membuat perbedaan diagnosis yang rumit (LaPointe, 2005).

C. Prevalensi

Secara global penyakit stroke/GPDO adalah penyebab terbesar untuk kematian. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2015, stroke menyumbang sekitar 15 juta kematian dari 56.400.000 jiwa.

Di Brazil setiap tahunnya diperkirakan bahwa masing-masing stroke 2.231.000 dan post stroke 568.000. prevalensi ini terjadi pada wanita dan pria stroke dengan porsentase 1,4% dan 1,6% sedangkan porsentase post stroke yang mengalami gangguan atau kecacatan pada pria dan wanita sebanyak 29,5% dan 21,5%. Tingkat prevalensi stroke meningkat akibat dari faktor penuaan, tingkat pendidikan yang rendah, perbedaan gaya hidup pada orang kota dan desa, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan ras (Bensenor et al, 2015).

National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), memperkirakan bahwa sekitar satu juta orang atau 1 dari 250 jiwa di Amerika serikat menderita afasia. 15% individu dbawah usia 65 tahun mengalami afasia;

porsentase ini meningkat menjadi 43% bagi individu yang berusia 85 tahun ataupun yang lebih tua (Engelter et al., 2006). Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita dalam kejadian afasia. Namun,beberapa data menunjukkan perbedaan antara jenis dan tingkat keparahan afasia (ASHA, 2017).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stroke di Indonesia 12,1 per 1.000 penduduk. Angka itu naik dibandingkan Riskesdas 2007 yang sebesar 8,3 persen. Stroke telah jadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di Indonesia, yakni 14,5 persen.

Sedangkan jumlah kasus afasia di RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya pada tahun 2016 adalah 27 pasien afasia dari 275 pasien dewasa.

D. Karakteristik

Karakteristik afasia antara individu satu dengan individu lain sangat bervariasi. Beberapa variasi terkait dengan daerah saraf yang rusak dan tingkat kerusakan. Tanda dan gejala mungkin tidak hadir pada individu dengan afasia dan bervariasi dari tingkat keparahan dan tingkat gangguan komunikasi. tanda dan

(5)

gejala juga bervariasi, tergantung pada situasi bicara. Karakteristik umum afasia adalah sebagai berikut (ASHA, 2017):

1. Gangguan ekspresi verbal

a. Kesulitan menemukan kata-kata (anomia) b. Berbicara terbata-bata dan memerlukan usaha c. Berbicara dengan kata-kata tunggal

d. Bicara pendek, frase terbagi-bagi e. Bicara telegrap

f. Menempatkan kata-kata dalam urutan yang salah g. Adanya perseverasi

h. Adanya jargon i. Bicara lancar.

2. Gangguan pemahaman auditori

a. Kesulitan pemahaman ucapan lisan

b. Memberikan jawaban yang tidak tepat dari pertanyaan ya dan tidak c. Gagal untuk memahami tata bahasa yang kompleks

d. Membutuhkan waktu yang lama untuk memahami perintah lisan e. Kesulitan untuk mengikuti bicara yang cepat

f. Kesalahan dalam menafsirkan seluk beluk bahasa g. Kurang kesadaran apabila melakukan kesalahan 3. Gangguan pemahaman membaca

a. Kesulitan dalam memahami tulisan

b. kesulitan mengenali beberapa kata dengan penglihatan c. ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata

d. mengganti kata-kata

e. kesulitan membaca kata noncontent (misalnya, kata-kata fungsi seperti untuk, dari)

4. Gangguan bahasa tulis

a. Kesulitan menulis atau menyalin huruf, kata, dan kalimat b. Menulis satu kata saja

c. Mengganti kata-kata

d. Mengeja atau menulis kata-kata yang tidak masuk akal

(6)

e. Menulis kalimat dengan tata bahasa yang salah

Karakteristik-karateristik diatas dikelompokkan masuk kedalam delapan kriteria afasia yakni, afasia global, afasia broca, afasia transkortikal motoris, afasia transkortikal campuran, afasia wernicke, afasia transkortikal sensoris, afasia konduksi, afasia anomis. Tabel pengklasifikasian menurut Goodglass dan Kaplan (1972), membuat klasifikasi afasia atas dasar ciri-ciri penamaan kata, kelancaran, meniru ucapan dan pemahaman auditif. Ciri-ciri berbagai sindrom afasia sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Boston mengenai Sindrom Afasia yang dibuat oleh Goodglass dan Kalpan (1972).

SINDROM AFASIA

KELANCARAN

PERKATAAN MENIRU PEMAHAMAN

Afasia Global Tidak Lancar _ _

Afasia Broca Tidak Lancar _ +

Afasia Transkotikal

Motoris Tidak Lancar + +

Afasia Transkotikal

Campuran Tidak Lancar + _

Afasia Wernicke Lancar _ _

Afasia Transkotikal

Sensoris Lancar + _

Afasia Konduksi Lancar _ +

Afasia Anomis Lancar + +

Sumber : Dharmaperwira-Prins. 2002. Afasia Deskripsi, Pemeriksaan

Penanganan. (Edisi Kedua). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

E. Prognostik Teoritik

Prognosis kasus afasia berdasarkan dari teoritik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Seperti yang diuraikan oleh Chapey (2001) diantaranya adalah : 1. Usia

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa usia yang lebih muda memiliki hasil pemulihan yang lebih baik dibanding usia lanjut. Penelitian lain tidak mempunyai batasan umur yang signifikan dalam efek pemulihan.

(7)

Usia merupakan faktor prognostik dalam pemeriksaan afasia yang dipertimbangkan berdasarkan tipe afasia fluent dan afasia nonfluent.

Berdasarkan penelitian afasia fluent lebih baik daripada afasia nonfluent.

Sebaliknya setelah jenis afasia mungkin akan menjadi faktor prognostik, setiap penelitian tentang efek usia untuk pemulihan harus dapat mengendalikan jenis afasia.

Demikian pula pengaruh usia pada pemulihan harus diperhatikan dengan etiologi. Usia lanjut berhubungan dengan faktor etiologi sehingga mempunyai prediksi lebih buruk. Sebagai contoh afasia akibat dari open atau closed trauma kepala yang tampak pulih lebih baik daripada pasien akibat stroke. Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan umur, karena trauma kepala biasanya mempengaruhi seseorang yang berusia muda. Seseorang dengan stroke hemoragik yang memiliki usia lebih muda dibandingkan dengan seseorang yang mengalami stroke non hemoragik biasanya memiliki prognosis yang baik untuk pemulihan bahasa setelah. Sebaliknya, prognosis untuk stroke non hemoragik lebih terbatas tergantung pada lokasi infark.

Pengaruh usia pada pemulihan juga harus dipertimbangkan dengan status kesehatan umum. Sebagai contoh, hasil penelitian stroke non hemoragik, seseorang yang memiliki usia lanjut dan mengalami stroke awal akan lebih buruk pada serangan 3 bulan pertama. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan status kesehatan seperti gangguan medis, psikososial, dan kejiwaan. Faktor-faktor riwayat sebelum stroke, seperti riwayat hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Seseorang dengan usia lanjut akan mempunyai hasil yang lebih parah dari dampak gangguan kesehatan lain tersebut. Penelitian ini konsisten dengan Marshall, el al., (1982, 1983) dalam Chapey (2001) yang menemukan bahwa kesehatan umum adalah variabel prediksi dari bicara dan kinerja bahasa. Demikian pula dengan durasi rawat inap yang mungkin berhubungan dengan usia dan status kesehatan umum, dan secara tidak langsung akan terkait pada bahasa.

2. Jenis Kelamin

Telah diusulkan bahwa perbedaan gender dapat mempengaruhi pola pemulihan pada afasia. Pada dua penelitian menyelidiki bahwa pemulihan pada

(8)

afasia, jenis kelamin perempuan memliki prognosis yang baik daripada laki-laki untuk ekspresi lisan (Basso et al., 1982 dalam Chapey, 2001) dan untuk auditory comprehension (Pizzamiglio et al, 1985 dalam Chapey, 2001). Namun penelitian lain tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam antara laki- laki dan perempuan. Oleh karena itu, untuk saat ini tidak ada bukti yang nyata untuk mendukung penelitian ini.

3. Lateralisasi

Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa kidal atau ambidextrous dan penggunan kedua tangan memiliki representasi yang lebih bilateral untuk pengolahan bahasa, dan karena itu pemulihan afasia jadi lebih cepat apabila penderita lebih sering menggunakan tangan kanan. Namun, prognosis yang lebih baik untuk tangan kiri tidak didukung oleh data dari penelitian yang baru.

Masalah yang mempengaruhi penanganan bahwa lateralisasi dapat dievaluasi dengan metode dan kriteria yang berbeda dengan mempertimbangkan tangan yang dominan. Oleh karena itu, seperti jenis kelamin, penelitian tentang efek lateralisasi pada pemulihan tidak dapat disimpulkan.

4. Psikososial

Perubahan emosional dan psikososial dapat menyertai afasia. Misalnya pasca stroke, depresi ditemukan pada pasien stroke stadium akut sebanyak 25%;

kejadian ini meningkat menjadi 31% pada 3 bulan pertama pasca stroke, menurun menjadi 16% dengan 12 bulan pertama pasca stroke, dan kemudian naik lagi pada tahun kedua menjadi 29%, lebih tinggi dari pada tahap akut.

Namun, sedikit yang mengetahui tentang interaksi antara perubahan dan pemulihan afasia. Banyak faktor, seperti motivasi pada penelitian eksperimental. Meskipun demikian, emosional dan psikososial mungkin memainkan peranan penting dalam pemulihan afasia dan bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara keadaan suasana hati dan kemajuan dalam rehabilitasi. Dalam hal ini Hemsley dan Code (1996) dalam Chapey (2001) menemukan pola yang unik dari penyesuaian emosional dan psikososial pada pasien afasia satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam hal prognosis, peneliti mengingatkan bahwa penyesuain emosi dan psikososial mempunyai

(9)

dampak pada komunikasi dan kemajuan rehabilitasi yang tidak dapat diantisipasi.

Menurut Watila & Balarabe (2015) prognostik teoritik pada kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Faktor terkait lesi

a. Lokasi dan ukuran lesi

Beberapa penelitian melaporkan bahwa adanya pengaruh negatif dari luas lesi yang lebih besar pada pemulihan afasia post stroke dan ukuran lesi dianggap sebagai faktor penting dalam pemulihan.

Pemulihan afasia umumnya tidak hanya diprediksi berdasarkan ukuran tetapi juga oleh lesi di daerah bahasa, secara logika lesi dengan ukuran kecil pada daerah bicara akan berdampak pada tingkat keparahan dan pemulihan bahasa, sedangkan lesi dengan ukuran besar yang berada di area lain pada otak juga dapat mempengaruhi sedikit pada bicara.

Lesi pada gyrus temporal superior, terutama pada bagian posterior akan mengakibatkan afasia global yang akan berhubungan dengan pemulihan afasia. Lesi kortikal cenderung akan mengakibatkan afasia yang parah dibandingkan dengan lesi subkortikal, seperti afasia yang letak lesinya terjadi di daerah subkortikal akan memiliki pognosis yang lebih baik.

Lazar, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa ukuran lesi tidak dapat memprediksi pemulihan bahasa, beberapa penelitian lebih banyak membuktikan bahwa pemulihan akan terbanding terbalik dengan ukuran lesi, pada area gyrus temporal superior yang memiliki sebagian besar akan menghasilkan faktor yang paling penting untuk pemulihan, dan basal ganglia yang lengkap akan berkontribusi terhadap pemulihan yang lebih baik.

b. Tingkat keparahan stroke dan afasia

Beberapa penelitian mengamati bahwa dampak keparahan afasia akan mempengaruhi pemulihannya. Mass, et al., dalam Watila &

Balarabe (2015) mencatat bahwa skor awal NIHSS yang lebih rendah akan mempunyai hasil yang menguntungkan dan sekitar 90% dari

(10)

pasien afasia dengan skor NIHSS <5 akan sembuh sepenuhnya tanpa adanya trombolisis. Pedersen, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa prediksi secara klinis yang relevan dari afasia adalah keparahan awal afasia. Perbaikan yang lebih baik juga dapat diamati pada pasien dengan fungsi bicara yang tidak terpengaruh menurut penelitian Laska, et al dalam Watila & Balarabe (2015). Pandangan yang berlawanan diamati oleh Seniów, et al. dan Lazar, et al dalam Watila & Balarabe (2015). mengungkapkan bahwa keparahan stroke tidak dapat memprediksi hasil dari bahasa.

c. Jenis defisit bahasa

Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa tingkat pemulihan afasia yang lebih rendah adalah pemulihan afasia global dan anomi sedangkan pemulihan yang lebih baik terjadi pada afasia broca dan afasia konduksi. Pasien dengan afasia global cenderung akan memiliki defisit setahun kemudian.

Jung, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) mengamati bahwa klien dengan afasia global akan mempunyai pemulihan yang buruk dibandingkan jenis afasia yang lainnya, dan mungkin akan memperlihatkan tingkat keparahan stroke yang lebih tinggi. Afasia global biasanya terganggu pada semua aspek. Para peneliti mencatat bahwa tingkat keparahan awal afasia sangat terkait dengan peningkatan fungsi bicara dan tingkat keparahan awal yang rendah akan menunjukkan respon yang baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mazzono, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa pemahaman bicara akan memiliki pemulihan yang lebih baik dibandingkan dengan ekspresi. Sementara Basso, et al., dalam Watila &

Balarabe (2015) melaporkan bahwa afasia transkortikal sensorik memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan afasia broca dan afasia transkortikal motorik. Sebaliknya Sarno & Levita dalam Watila & Balarabe (2015) tidak menemukan hubungan antara jenis afasia dan pemulihan afasia. El Hachioui, et al., dalam Watila &

Balarabe (2015) mencatat bahwa modalitas bahasa akan pulih dalam

(11)

waktu yang berbeda, dengan peningkatan fonologi lebih awal dari sematik atau sintaksis dan bahasa ekspresi akan pulih lebih lamba dari bahasa reseptif.

d. Subtipe stroke

Penelitian oleh Basso, et al. dan Jung, et al., dalam Watila &

Balarabe (2015) melaporkan bahwa seseorang yang mengalami stroke perdarahan akan memiliki prognosis yang lebih baik daripada stroke penyumbatan, ini menunjukkan bahwa stroke penyumbatan adalah prediktor negatif untuk pemulihan afasia. Prognosis yang lebih baik seharusnya mempunyai bundel serat yang menggantikan tanpa adanya kerusakan pada stroke perdarahan.

e. Faktor metabolisme

Pemulihan afasia yang lebih baik ditentukan oleh normalnya aliran darah menuju otak, berhasilnya tingkat repersufi, dan metabolisme normal pada glukosa pada jaringan infark dan daerah perilesional. Richardson, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa hubungan yang kurang antara aliran darah yang menuju otak pada awal dan keberhasilan anomia. Sebuah penelitian oleh Mimura, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) mencatat bahwa pemulihan awal dari aliran darah yang menuju ke otak akan berhubungan dengan gangguan awal bahasa dan pemulihan yang paling baik terjadi dalam jangka satu tahun. Singkatnya keterlambatan dalam mengalirkan darah menuju otak dan tingkat metabolisme otak yang berdekatan dengan lesi selama awal post stroke akan mengakibatkan pemulihan yang lebih lama.

2. Faktor non-lesi a. Jenis kelamin

Beberapa penelitian melaporkan bahwa insiden afasia lebih tinggi terjadi pada wanita. Kertesz & Sheppard dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa laki-laki mempunyai tingkat insiden yang lebih tinggi. Sementara Kang, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan tidak ada variasi gender. Basso. et al., dalam Watila &

(12)

Balarabe (2015) melaporkan bahwa wanita akan pulih lebih cepat secara signifikan dalam ekspresi lisan dibandingkan laki-laki. Sedangkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pizzamiglio. et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa wanita dengan afasia global memiliki peningkatan yang lebih baik dalam pemahaman bahasa.

Penelitian oleh Pedersen et al., Lendrem & Lincoln, Inatomi et al., Seniów et al., dan Godefroy et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan tidak ada perbedaan gender dalam pemulihan afasia.

b. Usia

Umumnya seseorang dengan usia lebih tua memiliki prevalensi lebih tinggi, sedangkan Renzi, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan afasia broca menjadi biasa pada seseorang yang berusia muda. Kang, et al., dalam Watila & Balarabe (2015) tidak menemukan perbedaan antara usia dan jenis afasia.

Sebuah penelitian oleh Pickersgill & Lincoln dalam Watila &

Balarabe (2015) menemukan bahwa afasia dapat ditingkatkan lebih baik pada klien yang berusia muda daripada klien yang berusia lebih tua.

Lendrem & Lincoln dalam Watila & Balarabe (2015) menemukan bahwa pengaruh usia yang lebih muda akan mempengaruhi pemulihan afasia menjadi lebih cepat. Laska et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa usia yang lebih tua merupakan prediktor negatif dalam pemulihan afasia. Penelitian oleh Kertesz & Mccabe dan Pedersen et al., dalam Watila & Balarabe (2015)

melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan menurut faktor usia. Penelitian-penelitian lain tidak menemukan pengaruh usia pada pemulihan afasia.

c. Lateralisasi

Beberapa penelitian tidak menunjukkan pengaruh lateralisasi dan pemulihan afasia, meskipun potensi pemulihan lebih besar apabila seseorang kidal karena mereka mungkin memiliki gambaran bahasa yang lebih besar di kedua belahan otak dan lateralisasi tangan kanan kemungkinan lebih mendominasi otak belahan kanan.

(13)

d. Defisit kognitif

Penelitian yang dilakukan oleh Vukovic et al., dalam Watila &

Balarabe (2015) mengamati bahwa tidak ada hubungan antara penurunan defisit kognitif dan pemulihan afasia. Pada klien dengan post stroke memiliki defisit bahasa yang lebih berat dibandingkan dengan klien cedera kepala. Defisit kognitif pada klien dengan post stroke mungkin tidak berhubungan langsung dengan pemulihan afasia secara fungsional, tetapi dapat mempengaruhi rehabilitasi pembelaaran. Oleh karena itu kesadaran peran dalam pemulihan afasia post stroke masih belum jelas.

e. Tingkat pendidikan

Pendidikan yang kurang rentah terhadap gangguan bahasa post stroke. Seniów et al., dalam Watila & Balarabe (2015) melaporkan bahwa memori visuo-spatial akan berhubungan dengan peningkatan pemahaman dan penamaan yang lebih baik. Penelitian lain melaporkan bahwa tidak ada pengaruh antara tingkat pendidikan dan pemulihan afasia.

f. Faktor lingkungan-dukungan dan motivasi keluarga

Meskipun pengaruh faktor lingkungan pada pemulihan afasia belum terlalu umum digunakan untuk pembelajaran, umumnya lingkungan dianggap sangat mendukung untuk meningkatkan hasil klien dengan afasia terutama yang berkaitan dengan efektivitas terapi. Klien dengan stroke umumnya menyadari kecacatan mereka dan menerima dukungan serta motivasi yang lebih baik.

F. Metode Terapi

1. Schuell’s Stimulation Approach a. Sumber Metode

Metode ini diambil dari buku Language Intervention Strategies in Aphasia and Related Neurogenic Comunication Disorder : fourth edition : 2001

(14)

b. Definisi dan Dasar Pemikiran

Pendekatan stimulasi dapat didefinisikan sebagai pendekatan untuk latihan yang mana menggunakan kekuatan, pengontrolan dan stimulasi auditori untuk memfasilitasi dan memaksimalkan reorganisasi dan pemulihan bahasa pada sistem simbol yang mengalami permasalahan.

Pendekatan ini merupakan stimulus untuk mengetahui respon bahasa mana yang terganggu.

Meskipun banyak modalitas yang dapat digunakan, modalitas pendengaran adalah dasar dari Stimulation Approach. Penggunaan yang intensif, dikontrol oleh stimulasi pendengaran yang diikuti dengan :

1) Stimulasi sensorik akan berdampak pada aktifitas otak.

2) Banyaknya hasil penelitian mangindikasikan bahwa stimulasi sensorik yang berulang merupakan komponen utama untuk mekanisme pemerolehan, organisasional, penyimpanan dan pengambilan pola-pola bahasa di otak.

3) Sistem auditori merupakan komponen penting yang sifatnya utama dalam proses pemerolehan bahasa dan penggunaan bahasa secara fungsional tergantung pada mekanisme pemprosesan dan pengontrolan informasi melalui mekanisme umpan balik.

4) Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa mendekati seluruh kasus afasia memunculkan adanya permasalahan pada modalitas auditori.

5) Penggunaan stimulasi auditori yang intensif konsisten dengan definisi afasia yang menyatakan bahwa afasia merupakan kondisi yang mengalami permasalahan bahasa yang bersifat multimodal.

c. Tujuan Metode

Metode ini bertujuan sebagai dasar untuk memancing respon verbal, dengan menggunakan stimulasi sensorik untuk memanipulasi dan mengontol stimulus dalam membuat respon secara maksimal.

d. Prinsip Metode

1) Stimulasi auditori merupakan pendekatan stimulasi yang didasarkan pada keunggulan modalitas pendengaran dalam memproses bahasa dan merupakan kunci dari defisit afasia. Modalitas pendengaran tidak perlu

(15)

digunakan terus-menerus merupakan kunci dari defisit afasia. Modalitas pendengaran dapat diperkuat dan dikombinasikan menggunakan stimulasi visual.

2) Stimulus harus yang memadai dan dan masuk ke dalam otak. Oleh karena itu, perlu dikontrol memberikan stimulus. Penerapan prinsip ini mungkin sangat tergantung pada fakta dasar, dan mungkin melibatkan individu dalam perencanaan pretreatment. Brookshire (1997) dalam Chapey (2001) menyatakan bahwa materi harus berada pada tingkat kesulitan dimana “pasien akan mengolah materi dibawah tingkat kemampuan maksimum mereka (yaitu sekitar 60% sampai 80% respon benar dan meningkatkan kesulitan materi ketika respon benar melebihi 90% sampai 95%)”.

3) Stimulus sensorik harus digunakan diulang beberapa kali. Materi auditori dengan stimulus tunggal, menjadi tidak efektif dapat menjadi efektif apabila stimulus diulang beberapa kali sebelum klien dapat merespon.

4) Setiap stimulus harus mendapat respon. Ini adalah satu-satunya cara kita dapat menilai ada atau tidak adanya respon dari stimulus yang telah diberikan dan memberikan umpan balik kepada klien serta klinikan dapat memodifikasi rangsangan dan respon selanjutnya.

5) Respon yang diberikan harus tanpa paksaan ataupun dikoreksi. Jika stimulus cukup, klien akan merespon. Jika tidak ada respon yang ditimbulkan, mungkin stimulus yang diberikan kurang. Yang klien butuhkan dalam metode ini lebih pada responnya, tidak ada koreksi maupun informasi mengapa respon tidak baik.

6) Jumlah respon maksimum harus ditimbulkan. Jumlah respon yang cukup akan menunjukkan bahwa jumlah rangsangan yang diberikan cukup. Respon yang banyak juga memberikan umpan balik dan penguatan untuk bahasa, dan membantu meningkatkan kepercayaan diri serta serta upaya dalam mengolah bahasa.

7) Umpan balik tentang respon yang tepat sebaiknya harus dengan syarat umpan balik yang muncul menguntungkan, dan klien harus

(16)

menunjukkan kemajuannya. Kebutuhan umpan balik bervariasi dari klien satu dengan klien yang lain. Menunjukkan kemajuan klien mungkin dapat memotivasi, memperkuat, dan sangat membantu untuk

“membuktikan” kemajuan yang terjadi.

8) Klinikan harus bekerja secara sistematis dan intensif. Pengobatan memerlukan urutan dalam merencanakan tindakan. Perlu penerapan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan klien, dengan mempertimbangkan kondisi dan prognosis mereka secara keseluruhan untuk pemulihan.

9) Sesi pertemuan harus dimulai dengan yang relatif mudah terlebih dahulu. Hal ini memungkinkan untuk penyesuaian waktu dan pemanasan guna melanjutkan ke kegiatan yang lebih sulit.

10) Alat yang banyak, beragam, sederhana serta relevan dengan defisit klien harus digunakan.

11) Alat yang baru dan prosedur dasar harus yang akrab dalam kehidupan sehari-hari klien. Hal ini memungkinkan klien untuk berkonsentrasi pada pengolahan bahasa.

e. Langkah-langkah Metode

Schuell et al. (1964) dalam Chapey (2001) menunjukkan bahwa penanganan harus dimulai dimana bahasa yang mengalami gangguan dan harus dilanjutkan secara bertahap untuk meningkatkan tingkat kesulitan.

Bollinger dan Stout (1976) dalam Chapey (2001), melaporkan bahwa pentingnya stimulasi untuk penanganan dan menyarankan bahwa penanganan harus lebih maju dari penanganan sebelumnya. Brookshire (1997) dalam Chapey (2001) memberikan saran yang spesifik untuk penanganan yang lebih lanjut, diantaranya :

1) Penanganan harus dimulai pada tingkat dimana sedikit adanya kekurangan. Hal ini menjamin bahwa klien tidak didorong di luar kapasitas mereka, tetapi dengan memaksa mereka untuk bekerja atau latihan sesuai dengan kapasitas.

(17)

2) Latihan dimana dengan respon benar 60% sampai 80%. Artinya tidak lebih dari 20% sampai 40% dari respon yang seharusnya perlu dikoreksi.

3) Latihan seharusnya tidak terlalu mudah. Kesulitan harus ditingkatkan menjadi 90 atau lebih dari respon yang benar-benar adekuat.

Referensi

Dokumen terkait

MISSION Menyediakan produk dan jasa yang unggul dan terpadu dibidang EPC dan Investasi untuk Infrastruktur, Gedung Bertingkat, Energy, Industrial Plant, Industri Beton, dan Properti

percaya, ketika melakukan ritual-ritual tertentu, arwah nenek moyang masuk ke dalam wayang sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah nenek moyang mereka.

1. Fokus penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Peneliti tidak dapat memanipulasi perilaku mereka yang terlibat dalam

3.1 Menggali informasi tentang konsep perubahan wujud benda dalam kehidupan sehari-hari yang disajikan dalam bentuk lisan, tulis, visual, dan/atau eksplorasi

Distribusi zakat dapat dilakukan dengan dua pola, yaitu dengan pola memberikan kepada orang yang berhak menerima (mustahik) secara konsumtif dan dapat diberikan

Jumlah tenaga kerja mampu mempunyai hubungan yang sangat positif terhadap pendapatan, yaitu semakin banyaknya jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam suatu usaha

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

 Kelompok terbaik pada hari itu diberikan reward oleh guru  Siswa bersama guru mengevaluasi hasil pembelajaran hari ini.. Rincian Kegiatan