• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multi Level Marketing (MLM) Perspektif Urf dan Istihsan Abdul Wahab Khallaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Multi Level Marketing (MLM) Perspektif Urf dan Istihsan Abdul Wahab Khallaf"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Multi Level Marketing (MLM) Perspektif ‘Urf dan Istihsan Abdul Wahab Khallaf

Masyhuri

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep masyhuri.drajat@gmail.com

A Washil

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep a.washil@gmail.com

Minhatun

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep minhatun@gmail.com

Abstrak

Artikel ini berusaha mengungkap status hukum sistem MLM menggunakan perspektif ‘urf dan istihsan. Status hukum dari sistem MLM tersebut, setelah dianalisis menggunakan istihsan Abdul Wahab Khallaf yang disandarkan pada al-

‘urf dengan pendekatan qiyas, maka hukumnya boleh. Dengan catatan, bonus yang diberikan harus adil meskipun tidak sama. Bonus juga diberikan atas prestasi kerja dengan melihat pada banyaknya produk yang dipasarkan, bukan pada banyaknya calon distributor di-recrut. Apabila terdapat MLM yang hanya fokus pada recrut member, maka hukumnya haram hal tersebut dengan alasan ada pihak yang dirugikan, yaitu para dowline yang tidak mendapatkan calon distributor lagi. Kebolehan MLM beserta pedoman praktiknya juga dijelaskan dalam fatwa DSN MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.

Kata Kunci: MLM, ‘urf, istihsan, abdul wahab khallaf

Pendahuluan

Pemasaran berjenjang atau yang dikenal dengan istilah at- Tasywiq asy-Syabaky dan lumrah disebut dengan istilah MLM (Multi Level Marketing) merupakan suatu sistem atau strategi penjualan produk dari suatu perusahaan kepada konsumen secara langsung yang kemudian para konsumen memasarkan kembali produk tersebut kepada calon pembeli lain dengan imbalan bonus. Teknik atau pola MLM yaitu dengan cara suatu perusahaan menjual produknya kepada

(2)

seorang pembeli yang kemudian secara otomatis menjadi anggota (member) yang mempunyai kewajiban untuk me-rekrut satu atau dua orang atau lebih calon pembeli lain untuk membeli produk tersebut.

Satu atau dua orang pembeli tersebut juga harus mencari satu atau dua orang pembeli selanjutnya, begitupun seterusnya dengan perjanjian bonus sesuai dengan banyaknya anggota yang sudah di-rekrut.

Sistem pemasaran dengan pola MLM (Multi Level Marketing) sudah menjadi kegiatan muamalah kontemporer. Terdapat banyak sekali perusahaan yang menawarkan produknya dengan sistem pemasaran MLM. Bahkan, hal tersebut sudah dianggap lumrah menjadi trend pemasaran masa kini yang banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga terdapat sebagian masyarakat yang berlomba- lomba mencari member untuk direkrut yang kemudian menjadi bawahannya (downline). Hal ini juga didukung dengan munculnya MLM Syari’ah, sehingga masyarakat muslim juga melakukan praktik tersebut.

Strategi pemasaran dengan pola MLM (Multi Level Marketing) menuai kontroversi dari berbagai kalangan ulama kontemporer. Hal ini terkait dari sistem yang digunakan dalam praktik pemasaran berjenjang. Sebagian fatwa mengeluarkan hukum boleh terhadap sistem MLM yang sifatnya syariah, namun juga terdapat fatwa yang menyatakan seperti apapun sistem yang digunakan dalam MLM hukumnya haram. Pernyataan tersebut tidak membedakan antara sistem MLM yang konvensional dan juga syariah. Perbedaan pendapat tersebut menimbulkan gejala permasalahan muamalah baru terkait status hukum mengenai sistem atau pola yang digunakan dalam praktik MLM. Permasalahan tersebut mengenai pertimbangan ijtihad atas pernyataan hukum haram ataupun boleh terhadap sistem MLM.

Menurut pendapat Lembaga fatwa Al-Azhar Mesir, hukum dari MLM (Multi Level Marketing) adalah mubah (boleh). Hal ini dikuatkan dengan argumennya yang mengatakan bahwa praktik pemasaran dengan pola ini sama dengan samsarah (perantara antara penjual dan pembeli). Sehingga seluruh sistem operasional dalam praktik ini dianggap boleh, begitu juga dengan bolehnya memberikan

(3)

bonus sebagai bentuk motvasi agar terus memasarkan produk perusahaan.1

Pendapat lain yang juga mengemukakan kebolehannya terkait dengan sistem operasional MLM (Multi Level Marketing), yaitu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang diputuskan melalui fatwa No. 75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah bahwa praktik pemasaran dengan pola tersebut, hukumya boleh. Hal tersebut salah satunya dipertimbangkan atas kebiasaan masyarakat yang sudah mempraktikkan pola pemasaran tersebut supaya tetap berprinsip syariah.2

Fatwa yang ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 3 Sya’ban 1430 H/25 Juli 2009 M tersebut, ditanda tangani oleh Ketua fatwa, DR. KH.M.A Sahal Mahfudh yang menyatakan bahwa sistem operasional MLM adalah boleh dengan catatan semua sistem operasional pemasaran tersebut harus berprinsip syariah, salah satunya yaitu tidak mengandung ighra’ yang merupakan daya tarik luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya hanya untuk memperoleh bonus atau komisi yang dijanjikan. Demikian pula dalam sistem ini tidak terdapat penipuan, kecurangan dan kezaliman.

Sedangkan pendapat kedua, yaitu para ulama yang membantah pendapat ulama yang memperbolehkan. Salah satunya yaitu Dr. Husein Syahrani dalam desertasinya yang berjudul ﺎﺠّﺘﻟا ﻖﯾﻮﺸّﺘﻟا

ﺣأ و ير

ﻲﻣﻼﺳﻹ ا ﮫﻘﻓ ﻲﻓ ﮫﻤﻜ yang diajukan ke Fakultas Syariah, Univeristas Islam al-Imam Saud, Riyadh, Arab Saudi yang menanggapi bahwa fatwa yang memperbolehkan sistem MLM tersebut, tidak secara mutlak boleh. Hal tersebut disebabkan salah satunya karena fatwa tersebut disampaikan tanpa mengkaji ulang secara langsung sistem yang digunakan dalam MLM. Karena pada dasarnya untuk dapat memasarkan produk dan meraih bonus harus dengan syarat membeli produk terlebih dahulu. Dari hal tersebut,

1 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: PT Berkat Mulia Insani, 2016), hlm. 352.

2 Himpunan Fatwa Keuangan Syariah: Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm. 811.

(4)

sangat berbeda jauh antara samsarah dan MLM, karena untuk menjadi perantara tidak diharuskan membeli produk terebih dahulu.

Pendapat yang juga menyatakan haram terhadap sistem MLM adalah pendapat Dr. Sami As Suwaylim (Direktur Pengembangan Keuangan Islam di Islamic Development Bank) dalam penelitiannya mengatakan bahwa MLM adalah perpanjangan dari pyramid scheme/Letter Chain (pengiriman uang secara berantai).

Praktik pyramid scheme secara jelas dinyatakan haram oleh jumhur ulama kontemporer, karena mengandung unsur riba ba’i dan juga unsur gharar. MLM disamakan dengan pyramid scheme karena praktiknya dengan cara seseorang menyerahkan uang pada suatu peruasahaan untuk bergabung dengan sebuah jaringan pemasaran dan dia tidak tahu apakah uang yang telah dibayarkannya akan kembali ditambah bonus karena posisinya di tingkat atas (upline) atau sebaliknya, uang dan bonus hilang karena berada di tingkat bawah (downline). Bahkan para ulama yang mengharamkan terhadap praktik MLM, membuat kesimpulan dengan perkataannya “setelah mencari, meneliti, mendiskusikan serta mengkaji maka saya tidak menemukan seorang ulamapun yang berpendapat bahwa sistem MLM hukumnya boleh secara mutlak”. Hal tersebut bukan karena melihat produk yang diperjual-belikan halal atau haram, tetapi melihat pada sistem operasionalnya yang tidak sesuai syariah.3

Berbeda halnya jika kedua pendapat tersebut didasarkan kepada ‘Urf dan Istihsan. Karena pada dasarnya ‘Urf merupakan adat ataupun kebiasaan mayoritas orang yang berbentuk ucapan ataupun perbuatan yang tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal.

Sedangkan Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian berbeda terkait istihsan yaitu adanya sesuatu itu lebih baik karena mengandung kemaslahatan. Sehingga dari hal tersebut, akan terjadi kemungkinan bahwa pendapat yang menyatakan boleh terhadap sistem MLM akan merubah pendapatnya menjadi haram apabila didasarkan pada ‘Urf dan Istihsan. Begitu juga sebaliknya, pendapat yang menyatakan haram

3 Erwandi Tarmizi, Harta…, hlm. 310-311.

(5)

atas sistem tersebut, bisa saja menyatakan halal apabila didasarkan pada Urf dan Istihsan.4

Dari hal tersebut, maka dalam meneliti dan mengkaji permasalahan di atas, peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Oleh karenanya, peneliti sangat ingin mengkaji permasalahan tersebut terkait tanggapan hukum Islam pada sistem (pola) pemasaran berjenjang (MLM) apabila didasarkan pada ‘Urf dan Istihsan Abdul Wahab Khallaf.

Memahami MLM

Multi Level Marketing (MLM) adalah sebuah sistem penjualan langsung, dimana barang dipasarkan oleh para konsumen langsung dari produsen. Para konsumen yang sekaligus memasarkan barang mendapat imbalan bonus. Bonus tersebut diambil dari keuntungan setiap pembeli yang dikenalkan oleh pembeli pertama berdasarkan ketentuan yang diatur.5

Multi Level Marketing (MLM) merupakan sebuah pemasaran dengan sistem formulasi piramida yang besar kecilnya keuntungan ditentukan. Bagi person yang berada di level tertinggi (up line) akan mendapat keuntungan terbesar dan begitu seterusnya hingga level bawah (down line). Secara umum, up line akan memperoleh keuntungan dari down line yang dibinanya dari awal.6

MLM merupakan sebuah konsep penyaluran/pemasaran barang yang juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menjadi penjual dan mendapatkan keuntungan melalui bonus atas rekrutmen anggota yang menjadi mitranya.

Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Multi Level Marketing (MLM) merupakan praktik jual beli dengan menggunakan sistem/pola pemasaran langsung yang terdiri dari tingkatan-tingkatan

4 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, terj. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 165-167.

5 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: PT Berkat Mulia Insani, 2016), hlm. 352.

6 Samsul Ma’arif, et.al, Fiqh Progresif : Menjawab Tantangan Modernitas, (Jakarta: FKKU Press, 2003), hlm.134.

(6)

dengan adanya imbalan bonus. Artinya, seseorang membeli barang/jasa terhadap produsen, kemudian mencari calon pembeli lain untuk menjadi bawahannya (down line), begitupun seterusnya hingga terbentuk level (tingkatan).

‘Urf dan Istihsan

‘Urf dan ‘adat merupakan dua kata yang sering muncul bersamaan, sehingga terkadang muncul penafsiran bahwa ‘urf dan

‘adat merupakan dua kata berbeda, namun memiliki makna yang sama.

Namun, meskipun kata ‘urf dan ‘adat terdapat perbedaan, tetapi perbedaannya dikatakan tidak berarti dengan alasan suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Sebaliknya, karena perbuatan tersebut sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali.7

Menurut Rachmat Syafi’i, ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Salah satu contoh ‘urf adalah perbuatan saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan sighat.8 ‘Urf terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial. Bedanya dengan ijma’ adalah bahwa ijma’ dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid.9

a. Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sebagai landasan hukum. ‘Urf bisa dijadikan landasan hukum jika memenuhi syarat-syarat berikut: ‘Urf atau ‘adat bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat

b. ‘Urf berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tersebut atau kalangan sebagian warganya. Seperti halnya al-Suyuthi yang mengatakan:

7 Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm. 411.

8 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 128.

9 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 108.

(7)

ﻼﻓ ْد ِﺮﱠﻄﯾ ﻢﻟ نﺈﻓ ْت َدَﺮﱠط ا اذإ ُةَدﺎﻌْﻟا ُﺮﺒَﺘﻌُﺗ َﺎﻤّﻧِإ Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.

c. ‘Urf sudah ada sebelum penetapan hukum, artinya ‘urf sudah dilaksanakan oleh masyarakat, kemudian penetepan hukumnya kemudian

d. ‘Adat tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau dengan prinsip-prinsip yang pasti.

Dari berbagai paparan di atas, cukup jelas behawa kedudukan ‘urf sebagai landasan hukum terdapat beberapa perbedaan pendapat bahwa sebagian ulama menetapkan‘urf sebagai dalil syara’ namun ada juga yang menolaknya sebagai dalil syara’. Sehingga dari hal tersebut ‘urf dapat menjadi dalil syara’ namun tidak sebagai dalil mandiri, karena masih bergantung kepada maslahat yang telah disepakati.10 Hukum yang dibina diatas ‘urf berubah dengan berubahnya zaman dan tempat.

Namun, meskipun adakalanya ‘urf mengalami perubahan karena zaman, hal tersebut tidak mengubah atas kehujahan ‘urf yang tetap tidak bisa dijadikan sebagai dalil mandiri.11

Adapun istihsan secara umum diartikan sebagai upaya untuk men- tawaqquf12-kan prinsip-prinsip umum dalam suatu nash disebabkan adanya nash lain yang menghendaki demikian.13 Sedangkan secara sederhana, istihsan diartikan sebagai berpaling dari ketetapan khusus kepada ketetapan dalil umum. Artinya, meninggalkan satu dalil dan beralih kepada dalil yang lebih kuat atau membandingkan satu dalil untuk menetapkan suatu hukum.14

10 Amir Syarifuddin, Ushul..., hlm. 246.

11 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Usul Fikh, terj. Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 106.

12 Tawaqquf adalah ulama yang tidak menentukan sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut.

13 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip..., hlm.23.

14 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 188.

(8)

Abdul Wahab Khallaf juga memberikan definisi berbeda terkait pengertian istihsan itu sendiri. Istihsan secara istilah, dikemukakan oleh banyak kalangan dari ulama ushul, sehingga terdapat beberapa perbedaan dalam hal pengamalan serta titik pandang istihsan yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Ibnu Subki mendefinisikan istihsan sebagai berikut:

ﮫﻨﻣ ىﻮﻗا سﺎﯿﻗ ﻰﻟا سﺎﯿﻗ ﻦﻋ لوﺪﻋ Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiyas pertama)

ﺔﺤﻠﺼﻤﻠﻟ ةدﺎﻌﻟا ﻰﻟا ﻞﯿﻟ ّﺪﻟا ﻦﻋ لوﺪﻋ Beralih dari penggunaan suatu dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.

Definisi pertama tidak diperdebatkan di kalangan ulama ushul, sedangkan definisi kedua, masih terdapat pendapat lain yang menyatakan jika adat tersebut memang nyata baik dan benar pada masa Nabi, dapat dipastikan bahwa ada nash atau ijma’ yang mendukung sehingga adat tersebut harus diamalkan. Namun, apabila adat tersebut tidak terbukti kebenarannya, maka cara beralihnya suatu dalil kepada adat tersebut tertolak secara pasti.

b. Ulama Malikiyah mendefinisikan istihsan melalui salah seorang pakar Malikiyah, al- Syatibi sebagai berikut:

ﻲّﻠﻛ ﻞﯿﻟ د ﺔﻠﺑﺎﻘﻣ ﻲﻓ ﺔﯿﺋ ﺰﺟ ﺔﺤﻠﺼﻤﺑ ﺪﺧﻻا ﻚﻟ ﺎﻣ ﺐھﺬﻣ ﻲﻓ ﻮھو Istihsan dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.

Dalam hal ini, seharusnya dalam menetapkan hukum harus berpedoman pada dalil yang bersifat umum. Namun pada keadaan tertentu, dalam menetapkan suatu hukum, melihat kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus sehingga dalil umum tidak digunakan sebagai pedoman.

(9)

c. Al-Sarkhisi dari kalangan ulama Hanafiyah merumuskan istihsan dengan dua macam, yaitu:

ﺎﻨﺋارا ﻰﻟا ﻻﻮﻛﻮﻣ عﺮّﺸﻟا ﮫﻠﻌﺟ ﺎﻣ ﺮﯾﺪﻘﺗ ﻲﻓ يأ ّﺮﻟا ﺐﻟﺎﻏو ﺪﮭﺘﺟﻻﺎﺑ ﻞﻤﻌﻟا Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentujan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita.

ّﻟا ﻞﯿﻟ ّﺪﻟا ﺄّﺘﻟا مﺎﻌﻧا ﻞﺒﻗ مﺎھوﻻا ﮫﯿﻟا ﻖﺒﺴﺗ يﺬّﻟا ﺮھﺎّﻈﻟا سﺎﯿﻘﻠﻟ ﺎﺿرﺎﻌﻣ نﻮﻜﯾ يﺬ ﻲﻓ ﮫﻗﻮﻓ ﮫﺿرﺎﻋ يﺬّﻟا ﻞﯿﻟ ّﺪﻟا ّنأ ﺮﮭﻈﯾ لﻮﺻﻻا ﻦﻣ ﺎﮭھﺎﺒﺷاو ةدﺎﻌﻟا ﻢﻜﺣ ﻲﻓ ﻞّﻣ

ﺐﺣاﻮﻟاﻮھ ﮫﺑ ﻞﻤﻌﻟا ّنﺎﻓ ةﻮﻘﻟا Dalil yang menyalahi qiyas zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata dalil bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.

Analisis Hukum MLM Berdasarkan ‘Urf dan Istihsan

Praktik MLM merupakan kegiatan muamalah kontemporer, sehingga sistem yang digunakan masih terdapat perbedaan pendapat antar ulama. Dalam praktiknya, beberapa perusahaan yang menerapkan pemasaran dengan pola MLM ini, mengharuskan setiap calon distributornya membeli barang/produk perusahaan sendiri. Hal tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjadi distributor resmi sehingga dapat memperoleh bonus apabila dapat memenuhi klasifikasi dari perusahaan.

Apabila ditarik kesimpulan, yang menjadi permasalahan dalam sistem MLM adalah keharusan membeli produk untuk menjadi distributor sekaligus bonus yang diberikan kepada setiap distributor.

Sehingga apabila dianalisis dengan ‘urf dan istihsan terdapat penjelasan sebagai berikut:

1. Keharusan membeli produk

Pada mulanya, praktik MLM ini di-qiyaskan dengan samsarah, jual beli perantara, karena perannya yang sama

(10)

sebagai distributor. Namun, yang membedakan dengan samsarah adalah MLM harus membeli produk sedangkan samsarah tidak. Sehingga hal tersebut yang menimbulkan keharaman bagi praktik MLM, karena pada dasarnya untuk menjadi perantara tidak harus membeli produk.

Namun, berbeda jika keharusan membeli produk tersebut di- qiyas-kan pada akad jual beli biasa. Karena apabila pembeli sudah menerima barang dari penjual, pembeli berhak memanfaatkan barang yang sudah menjadi hak miliknya, baik barang tersebut untuk di konsumsi ataupun dijual kembali.

Beralihnya qiyas yang satu pada qiyas yang lain untuk mencapai kemaslahatan menurut Abdul Wahab Khallaf, maka digunakanlah istihsan.

Hal tersebut melihat pada kebiasaan masyarakat yang sudah mengamalkan praktik tersebut atas dasar rela (ضاﺮﺗ ﻦﻋ) dibuktikan dengan mereka menerima ketentuan perusahaan untuk dapat memenuhi syarat menjadi distributor. Akad jual beli ini juga didasarkan atas fatwa DSN MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) bagian ketiga terkait ketentuan akad yang digunakan dalam MLM.

Sehingga dari hal tersebut, penulis dapat menilai jika MLM sama dengan samsarah (jual beli perantara), maka yang menjadi pembahasan adalah rantai jaringannya (distributor), namun apabila disamakan dengan jual beli, maka yang menjadi pokok pembahasan adalah seseorang yang membeli barang kepada penjual yang kemudian di jual kembali atas haknya kepada orang lain. Sehingga dapat ditemukan titik pandang bahwa yang menjadi permasalahan bukan cara yang diamalkan, tetapi akad yang digunakan.

Seperti halnya istihsan yang diungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf yang menyatakan peralihan dari qiyas jali pada qiyas khafi, maka untuk menentukan suatu hukum harus mengetahui dari unsur-unsur qiyas itu sendiri. Sehingga, hukum keharusan membeli barang dalam praktik MLM yang

(11)

di-qiyaskan pada akad jual beli dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Penetapan Hukum Pada Keharusan Membeli Barang Dalam Praktik MLM Berdasarkan Unsur-Unsur Qiyas Ashl/Far’u Praktik Hukum Illat (sifat) Ashl (Maqis

alaih) Akad jual beli Boleh Pertukaran/perpind ahan hak milik disertai dengan saling ridha dengan adanya

tsaman/harga Far’u MLM (Keharusan

membeli produk) Boleh Pertukaran hak milik antara produsen dan calon member secara ridha sebagai syarat untuk dapat

direkrut menjadi member

perusahaan.

2. Upah yang diberikan

Upah dalam praktik ini dikenal dengan dua istilah, yaitu komisi dan bonus. Menurut Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah, komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan berdasarkan prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa.

Sedangkan bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan. Sehingga dari hal tersebut, tidaklah upah yang diterima oleh setiap distributor harus

(12)

sama. Banyaknya upah baik dalam bentuk komisi maupun bonus, tergantung pada prestasi kerja yang dilakukan sesuai dengan kriteria setiap perusahaan. Jadi, bisa saja upline lebih sedikit memperoleh upah karena malas memasarkan begitu sebaliknya downline bisa melampaui upah upline apabila prestasi kerjanya lebih baik.

Berbeda halnya, jika terdapat MLM yang memfokuskan pada pe-rekrutan member, artinya upah yang diberikan tergantung berapa banyak seorang upline memperoleh downline begitu seterusnya sampai terbentuk suatu jaringan. Apabila hal tersebut memang benar ada tanpa melihat aspek lain, maka hal tersebut yang tidak dibolehkan. Karena bisa saja, posisi downline paling bawah, tidak dapat me-rekrut member sehingga hal tersebut menimbulkan kerugian. Dari sisi inilah, ulama sangat mengharamkan paraktik MLM karena ada unsur gharar.

Dilihat dari ketentuan umum jual beli, tidak dijelaskan bahwa terdapat imbalan/bonus dalam setiap transaksinya karena sifatnya tidak pasti dan mendekati pada praktik riba. Namun, dalam hal ini bonus yang dimaksud di-qiyas-kan pada akad ju’alah yaitu memberikan upah atas jasa seseorang. Jasa tersebut berbentuk pemasaran produk perusahaan yang dilakukan oleh distributor. Hal ini juga mirip dengan ji’alah yaitu sayembara yang dilakukan untuk mendapatkan bonus.

Hal ini dikuatkan dengan firman Allah dalam surah Yusuf (12) ayat 72 yang artinya:

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

Sehingga untuk menentukan hukum terkait upah yang diberikan dalam praktik MLM harus memperhatikan unsur- unsur qiyas yang dapat dilihat pada tabel berikut:

(13)

Tabel 2: Penetapan Hukum Pada Pemberian Bonus (Upah) Dalam Praktik MLM Berdasarkan Unsur-Unsur Qiyas

Ashl/Far’u Praktik Hukum Illat (sifat) Ashl (Maqis

alaih) Akad Ju’alah Boleh Memberikan upah atas jasa seseorang Far’u MLM (bonus

yang diberikan)

Boleh Pemberian upah (bonus/komisi) pada member atas jasanya

memasarkan produk perusahaan.

Salah satu metode ijtihad dalam menetapkan hukum adalah ‘urf dan istihsan. ‘Urf yang merupakan suatu kebiasaan masyarakat, menjadi salah satu unsur dalam penetapan hukum. Hal ini di perkuat oleh al-Suyuthi yang mengulasnya dalam kaidah:

ﺔﻤّﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا

Adat (‘urf) itu menjadi pertimbangan hukum

Juga dijelaskan bahwa ‘urf dapat dijadikan salah satu metode ijtihad, atas pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti, apabila ‘urf tidak menjadi pertimbangan, maka dampaknya pada orang banyak yang akan mengalami kesulitan. Sehingga ulama menempatkan ‘urf sebagai:

ﺎطﺮﺷ طوُﺮﱡﺸَﻤﻟﺎﻛ ﺎﻓﺮﻋ فوﺮﻌﻤﻟا

Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti sesuatu yang telah diisyaratkan

Begitu halnya dengan istihsan, meskipun dalam kajiannya metode ini menuai pertentangan dari ulama Syafi’i, namun terdapat beberapa argumen yang mematahkan kekhawatiran imam Syafi’i pada istihsan yang menurutnya hanya berdasarkan nafsu dan seenaknya (talazzuz). Argumen tersebut dikemukakan oleh al-Amidi dengan menilai istihsan dari sudut “beralihnya dari menetapkan hukum

(14)

berdasarkan dalil tertentu kepada hukum lain berdasarkan dalil yang lebih kuat, baik dalam bentuk nash atau ijma’, atau lainnya.”

Dari paparan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem MLM yang mengharuskan membeli produk serta upah yang diberikan pada setiap distributor dianalisis menggunakan istihsan Abdul Wahab Khallaf yang disandarkan pada al’urf melalui pendekatan qiyas, yaitu istihsan yang disandarkan pada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan di-qiyas-kan pada beberapa ketentuan umum yang lebih banyak menimbulkan kemaslahatan (atsar). Sehingga sistem yang digunakan dalam hal ini hukumnya boleh. Hal ini juga didasarkan atas kriteria MLM yang diperbolehkan menurut fatwa DSN MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah, salah satunya:

1. Ada obyek transaksi riil yang diperjual-belikan berupa barang atau produk jasa;

2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram

3. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, besaran maupun bentuk-nya harus berdasarkan prestasi kerja yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan produk, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;

4. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara regular tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;

Namun sebaliknya, apabila praktik MLM mengandung unsur jahalah (ketidak jelasan), zhulum (merugikan terhadap salah satu pihak) dan unsur dharar (bahaya), maka secara jelas hukum MLM tersebut adalah haram. Oleh karena itu, sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas.

(15)

Simpulan

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, sistem (pola) pemasaran Multi Level Marketing (MLM) dikenal dengan istilah recrut member, artinya pemasaran ini tidak sama dengan yang lain karena tekniknya yang harus mencari calon pembeli lain untuk dijadikan bawahannya sampai terbentuk suatu jaringan, sehingga istilah yang digunakan adalah upline (atasan) dan downline (bawahan). Sistem yang digunakan dalam MLM selain recrut member, adalah keharusan calon member untuk membeli produk perusahaan guna terdaftar sebagai mitra resmi perusahaan yang selanjutnya dibuktikan dengan adanya kartu anggota sekaligus memperoleh kit member/starter kit. MLM disini, tidak jauh berbeda dengan jual beli biasa, dalam arti bahwa kegiatan MLM ini juga melakukan transaksi jual beli di dalamnya. Hanya saja, dalam praktik ini terdapat ketentuan upah berbentuk komisi atau bonus yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Upah disini, dapat diperoleh oleh member ketika sudah mampu memasarkan produk sesuai kuantitas yang ditetapkan perusahaan juga diperoleh dari hasil recrut member.

Sehingga dari ini, member tidak hanya mendapatkan keuntungan dari penjualan barang, namun juga mendapat tambahan pendapatan dari bonus yang diberikan oleh perusahaan.

Kedua, sistem Multi Level Marketing (MLM) yang mengharuskan membeli produk serta bonus (upah) yang diberikan, setalah dianalisis menggunakan istihsan Abdul Wahab Khallaf yang disandarkan pada al-‘urf melalui pendekatan qiyas, maka hukumnya boleh. Dengan penjelasan, keharusan membeli barang tersebut di- qiyas-kan pada akad jual beli, sedangkan dalam pemberian upah baik berbentuk komisi atau bonus di-qiyas-kan pada akad ju’alah, yaitu upah atas jasa distributor dalam memasarkan barang. Prioritas pemberian upah juga harus diberikan berdasarkan prestasi kerja dalam memasarkan barang bukan pada recrut member. Artinya apabila bonus yang diberikan pada recrut member 70% dan penjualan barang 30%, maka hal tersebut tidak diperbolehkan karena terdapat eksploitasi bonus dari atasan (upline). Dianalisis menggunakan istihsan al-‘urf

(16)

melalui pendekatan qiyas, yaitu istihsan yang disandarkan pada kebiasaan umum yang berlaku dalam suatu keadaan di-qiyas-kan pada ketentuan umum yang lebih banyak menimbulkan atsar (kemaslahatan). Kemaslahatan dimaksud dalam praktik MLM diantaranya terbukanya lapangan kerja lebih luas, menambah pendapatan seseorang serta bisa dilakukan oleh semua orang dimana saja dan kapan saja.

Daftar Pustaka

Dewan Syariah Nasional MUI. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Erlangga.

Khalil, Rasyad Hasan. 2011. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, terj. Nadirsyah Hawari. Jakarta: Amzah.

Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu ‘Usul Fikh, terj. Halimuddin.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ma’arif, Samsul, et.al. 2003. Fiqh Progresif : Menjawab Tantangan Modernitas. Jakarta: FKKU Press.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.

Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. Jogjakarta:

Ar-Ruz Media.

Syafe’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Tarmizi, Erwandi. 2016. Harta Haram Muamalat Kontemporer.

Bogor: PT Berkat Mulia Insani.

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, sebagai Penyedia barang dalam prakteknya lembaga keuangan syariah (BMT) kerap kali tidak mau dipusingkan dengan langkah-langkah pembelian barang,maka

Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan kabupaten layak anak adalah komunikasi implementor para pelaksana kebijakan dengan target group sasaran kebijakan

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Tarjo (2002) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan aliran kas bebas besar cenderung akan memiliki

Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Daerah mempunyai tugas membantu Bupati Kepala Daerah dalam melaksanakan urusan rumah tangga Daerah di bidang Pekerjaan Umum Cipta

Subjek yang memiliki disposisi matematis sedang dapat menyelesaikan tes literasi matematika sebanyak 3 soal dengan benar, sedangkan 2 soalnya tidak dapat

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut, (1) Telah disusun seperangkat instrumen pengukuran independen yang berhubungan dengan matematika untuk siswa kelas X

Ditinjau dari sisi akademis, berbagai teori, strategi, metode untuk meningkatkan kinerja suatu organisasi terus menerus dikembangkan. Salah satunya adalah pelaksanaan evaluasi

Sedangkan perwujudan nilai-nilai demokrasi yang belum diwujudkan oleh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis Bantul adalah bersikap menghargai perbedaan pendapat