• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) karena mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat bukan hanya kepada kepentingan pribadi. Advokat sebagai salah satu aktor penegak hukum dan pelindung hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu peran advokat yaitu sebagai pengawas dan pengawal keadilan. Indonesia sebagai negara hukum melekat ciri- ciri mendasar antara lain perlindungan hukum atas hak-hak asasi manusia, persamaan dihadapan 3 hukum, peradilan yang bebas dan tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan lain.1

Kata advokat, secara etimologis berasal dari bahasa latin, yaitu advocatus, yang berarti to defend, to call one’s aid vouch or warrant. Atau to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended.2 Pengertian

advokat disebutkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 1 (Ayat) 1 yaitu : “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita pertama- tama ditemukan dalam bab IV ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijakan

1Nur Firman, “Peran Advokat Dalam Memberikan Pelayanan Hukum Cuma-Cuma Terhadap Masyarakat Yang Tidak Mampu Di Kota Makassar”, Skripsi Sarjana Hukum Universitas

Islam Negeri Alaudin Makasssar, Makassar, 2018, hlm.2.

https://123dok.com/document/zpvw250z-peran-advokat-memberikan-pelayanan-secara- masyarakat-makassar-peradi.html

2Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.14.

(2)

Mengadili (RO). Advokat merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar master in de rechten (Mr). akar kata Advokat berasal dari kata latin yang berarti membela. Oleh karena itu tidak mengherankan bila hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.3

Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi, dan sejak dulu keberadaan advokat selalu bersifat ambivalensi. Hal ini menjadi dilema yang selalu membayangi para Advokat, di satu sisi Advokat dianggap sebagai profesi yang senang mempermainkan hukum dan membuat perkara, karena memang litigasi merupakan bagian dari pekerjaan utamanya, dan disinilah moral seorang Advokat diuji dan dipertaruhkan, Namun disisi lain, jika kita renungkan siapa lagi yang bisa menolong orang yang sedang bertentangan dengan sesama warga lain atau bahkan dengan penguasa atau negara yang seringkali kedudukan sosialnya sangat berbeda.4

Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Advokat merupakan profesi yang memberi jasa hukum, dimana saat menjalankan tugas dan fungsinya dapat berperan sebagai pendamping, pemberi pendapat hukum atau menjadi kuasa hukum untuk dan atas nama kliennya.

3Luhut M.P Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Djambatan, Jakarta, 2002.

hlm.6.

4Sahuri Lasmadi, ”Peran Advokat Dalam Pendampingan Hukum”, Inovatif Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7 Nomor 2, 1 Januari 2015, hlm.60.

https://research.unived.ac.id/files/prosiding/Proceeding%20of%20%20ICCP%202016%202%20art ikel.pdf

(3)

Advokat sebagai Profesi hukum memiliki kode etik profesi sebagai sarana kontrol sosial sebagai kriteria dan prinsip profesional yang digariskan, selain itu dapat mencegah tekanan atau turut campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat dengan melakukan tingkatan standardisasi yang digunakan untuk melindungi hak-hak individu dan masyarakat. Kode etik sebenarnya adalah kristalisasi dari hal-hal yang biasanya sudah dianggap baik menurut pendapat umum serta didasarkan atas pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan, untuk mencegah kesalahpahaman dan konflik.5

Profesi Advokat diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Didalamnya diatur seluruh aspek dari profesi tersebut, mulai dari soal pengangkatan sampai soal sumpah, status, hak, kewajiban, honorarium, pengawasan, kode etik, dewan kehormatan, imunitas, penindakan, pemberhentian, dan lain-lain.6

Tujuan diaturnya profesi Advokat dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat adalah untuk menyetarakan status profesi Advokat dengan profesi hukum lain, juga untuk menyediakan struktur profesi hukum yang jelas agar dapat memperkuat akuntabililas publik dari penyelenggaraan peradilan, yaitu menjamin hak- hak hukum klien aktual (klien yang tengah diwakili) maupun klien potensial (masyarakat luas). Advokat sebagai unsur vital bagi pencarian kebenaran materiil dalam proses peradilan, terutama dari sudut kepentingan

5Didik Sumariyanto, Efa Laela Fakhriah, “Kajian Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Etik Advokat Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 26 Angka 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”, Iustitia Omnibus Jurnal Ilmu

Hukum, Volume 1, Nomor 2, 1 Juni 2020, hlm.31.

http://journal.unla.ac.id/index.php/iustitia/article/view/1640/1008

6Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum. Genta Press, Yogyakarta, 2016. hlm.2.

(4)

hukum klien. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi masyarakat dari jasa hukum yang diberikan Advokat di bawah standar. Atau secara garis besar, pendekatan yang dipakai adalah perlindungan kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan masyarakat pada umumnya, baik dalam proses peradilan maupun dari Advokat yang bertindak menyimpang.7

Dalam memberikan jasa hukum, advokat biasanya akan membuatkan surat kuasa khusus kepada klien untuk penyerahan urusan hukum klien diurus oleh advokat tersebut. Untuk lebih jelasnya, ketika seseorang mendapatkan masalah hukum, ia melalui surat kuasa mempercayakan masalah hukum yang dihadapinya untuk diurus oleh seorang advokat. Untuk keperluan itu, advokat tersebut berkewajiban mengurusi masalah hukum orang tersebut. Dengan keadaan demikian maka timbulah perikatan di antara keduanya, yang oleh karenanya masing-masing dari advokat ataupun klien memiliki hak dan kewajiban. Advokat berkewajiban mengurusi masalah hukum klien dan berhak mendapatkan honorarium. Dalam menjalankan jasa hukum, seorang advokat berhak meminta honor atas kerja hukumnya yang nilai besarnya atas kesepakatan bersama kliennya. Sedangkan klien berhak untuk diurusi masalahnya dan berkewajiban memberikan honorarium.8

Dalam realita praktisi hukum, seringkali terjadi pihak klien sendiri ingkar janji atas prestasi yang seharusnya dikeluarkan. Dalam hal ini honorarium. Dari

7Didik Sumariyanto, Efa Laela Fakhriah, Op.Cit., hlm.32.

8Rizki Nugraha Samar Dwi Saputra, “Analisis Ujuran Kewenangan Menahan dan Menjual Benda Milik Pemberi Kuasa Guna Pelunasan Hutang Pemberi Kuasa”, Skripsi Sarjana

Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2018, hlm.6.

https://repository.unsri.ac.id/1164/1/RAMA_74201_02011181419499_0001116501_01_front_ref.

pdf

(5)

itulah advokat diberikan hak retensi. Menurut Subekti, “hak retensi merupakan hak yang diberikan kepada juru kuasa untuk menahan barang kepunyaan si pemberi kuasa, sampai yang terakhir ini memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap dia, suatu hak seperti yang diberikan juga kepada seorang tukang yang mengerjakan sesuatu barang seorang”. 9Selain itu, berkaitan dengan pengertian hak retensi, Sukris Sarmadi berpendapat bahwa : “hak retensi adalah hak seorang advokat untuk menahan surat-menyurat, dokumen tertentu ataupun menunda pekerjaannya dalam ketika kliennya ingkar janji dalam pembayaran fee atau honorarium kepada dirinya”.10

Hak retensi (recct van terughouding) ini adalah hak yang diberikan oleh undang-undang atau karena perjanjian kepada kreditor untuk menahan sesuatu kebendaan di dalam penguasaannya sampai piutang pemilik kebendaan itu dilunasi oleh debitur yang bersangkutan. Hak yang demikian ini timbul karena adanya piutang atau tagihan (vordering) yang belum dibayar oleh debitur kepada kreditor, karenanya kreditor menahan kebendaan yang bertalian dengan piutang tersebut.11

Dalam kaitannya dengan hak advokat, hak retensi ini sendiri diatur di dalam Pasal 1812 KUHPerdata, yang mana Pasal tersebut berbunyi,“Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya

9 Ibid.

10Ibid., hlm.7.

11Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar grafika, Jakarta, 2009.hlm.524.

(6)

hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa”.12

Kemudian diatur dalam Pasal 4 Huruf K Kode Etik Advokat yang menyebutkan : “Hak retensi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien”.13

Berdasarkan rumusan dari Pasal 1812 KUHPerdata tersebut di atas, bahwa advokat memiliki hak untuk menahan benda kepunyaan dari kliennya sebagai jaminan apabila nantinya klien tersebut wanprestasi atau ingkar janji dalam hal pemberian fee atau honorarium yang telah disepakati sebelumnya. Dalam hal pemberi kuasa menyerahkan dokumen-dokumen tertentu kepada penerima kuasa, pada saat itu kesepakatannya adalah untuk kepengurusan perkara dari pemberi kuasa dan bukan sebagai objek jaminan. Terlebih lagi jaminan memiliki sifat tambahan atau ikutan (accesoir), artinya adanya hak tersebut tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian hutang pihutang yang di jamin dengan hak tersebut. Keberadaan perjanjian jaminan tidak dapat dilepaskan dari adanya perjanjian pokok yang umumnya merupakan perjanjian kredit, perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian hutang-piutang.14

Hak retensi ini juga mungkin termasuk ke dalam jenis perikatan bersyarat, karena hak retensi ini adalah menahan segala benda milik pemberi kuasa apabila

12Rizki Nugraha Samar Dwi Saputra, Op.Cit., hlm.9.

13Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum. Genta Press, Yogyakarta, 2016, hlm.10.

14Rizki Nugraha Samar Dwi Saputra, “Analisis Ukuran Kewenangan Menahan dan Menjual Benda Milik Pemberi Kuasa Guna Pelunasan Hutang Pemberi Kuasa”, Skripsi Sarjana

Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2018, hlm.10.

https://repository.unsri.ac.id/1164/1/RAMA_74201_02011181419499_0001116501_01_front_ref.

pdf

(7)

pemberi kuasa ingkar dalam pelaksanaan kewajibannya yaitu memberikan fee atau honorarium kepada advokat yang besarannya sesuai dengan kesepakatan bersama. Namun meskipun demikian, dengan sifat accesoir yang dimiliki oleh jaminan, tetap saja tidak bisa tiba-tiba menjadikan benda yang diserahkan oleh pemberi kuasa dengan maksud untuk pengurusan perkara sebagai objek jaminan.

Yang seharusnya adalah selain dengan surat kuasa, advokat dan klien harus membuat perjanjian baru yang isinya menggantungkan pada suatu kejadian tertentu dikemudian hari yang belum tentu akan terjadi, yang dengan kata lain perikatan di antara keduanya akan muncul setelah kejadian tertentu itu terjadi, yakni klien wanprestasi atau ingkar janji untuk memberikan fee atau honorarium kepada advokat.15

Dengan kekaburan norma yang terdapat dalam pengaturan hak retensi ini, tidak jarang banyak advokat yang menyalahgunaan hak retensi yang dimilikinya.

Hak retensi yang dimiliki advokat digunakan dengan tidak sebagaimana mestinya seperti tidak mengembalikan barang kepemilikian klien, tetap menahan kepunyaan klien walau honor dan success fee telah dilunaskan sebagaimana yang diperjanjikan, dan atau melakukan penggelapan terhadap dokumen-dokumen hukum ataupun kepemilikan klien sehingga merugikan klien tersebut. Hal ini termasuk sebagai suatu tindak pidana penggelapan.

Tindak pidana atau perbuatan yang dapat dihukum atau delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang dan oleh karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat

15Ibid., hlm.11.

(8)

dipertanggungjawabkan, untuk dapat membedakan suatu perbuatan tindak pidana atau yang bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.16

Pengaturan terhadap perbuatan yang digolongkan sebagai perbuatan pidana dalam hukum Indonesia diatur di dalam KUHP dan di beberapa undang- undang pidana khusus untuk perbuatan yang digolongkan sebagai perbuatan pidana setelah penetapan atau pengesahan KUHP di Indonesia pada tahun 1946.

KUHP merupakan kitab yang dijadikan rujukan pertama ketika akan mencari hukuman yang akan dikenakan terhadap suatu perbuatan pidana, karena di dalam KUHP terdapat ketentuan-ketentuan umum dalam penegakan hukum pidana, termasuk juga ketika membahas mengenai tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh advokat.17

Tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh advokat merupakan penggelapan khusus atau penggelapan dengan pemberatan karena adanya hubungan pekerjaan antara advokat dengan kliennya, hal ini diatur di dalam KUHP Pasal 374. Pasal 374 KUHP merumuskan ada tiga macam hubungan antara si pelaku dan yang mempercayakan barangnya, yaitu ke-1 : hubungan buruh- majikan (persoonlijke dienstbtrekking), ke-2 : hubungan berdasar pekerjaan si pelaku sehari-hari (beroep), dan ke-3 : hubungan di mana si pelaku mendapat

16Rahmi Zilvia, Haryadi Haryadi, “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Kasus Tindak Pidana Penganiayaan”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 1, 7 Februari 2020, hlm.102. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/8271/9886

17Kukuh Prima, Usman, dan Herry Liyus, “Pengaturan Homoseksual dalam Hukum Pidana Indonesia”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 3, 2 Desember 2020, hlm.95. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11099/10264

(9)

upah untuk menyimpan barang.18 Penggelapan yang dilakukan Advokat terhadap kliennya memenuhi unsur-unsur pasal tersebut sehingga dapat dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak atau dipecat dari jabatannya.

Advokat yang melakukan penyalahgunaan hak retensi dengan melakukan tindak pidana penggelapan dokumen milik klien dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Per definisi, pertanggungjawaban pidana adalah pengenaan hukuman pada pelaku tindak pidana karena pelaku dan perbuatan yang dilakukannya dapat dicela secara hukum pidana.19

Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.

Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan

18Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm.33.

19Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum. Genta Press, Yogyakarta, 2016, hlm.60.

(10)

tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. 20

Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi: pertama kemampuan bertanggungjawab; kedua kesalahan dalam arti luas, yakni sengaja dan atau kealpaan; dan ketiga tidak ada alasan pemaaf.

21Apabila pembuat delik memenuhi unsur-unsur tersebut maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

Salah satu contoh pernah terjadi penyalahgunaan hak retensi oleh seorang advokat di Pekanbaru dimana ia melakukan terhadap akta milik klien sehingga advokat tersebut dilaporkan oleh kliennya. Kasus penggelapan yang dilakukan oleh Terdakwa diawali dengan Terdakwa Defnolita yang merupakan seorang advokat melakukan penggelapan terhadap surat tanah milik kliennya yang bernama Radjab Ahmad dengan cara memiliki surat tanah milik klien tersebut akibat honorarium yang belum dibayarkan kepada terdakwa Defnolita, maka dengan adanya hak retensi yang dimiliki advokat maka terdakwa Defnolita menahan surat tanah milik Radjab Ahmad sampai dibayarkan lunas kepadanya hak-hak akibat pemberian kuasa.

Namun dalam mencari penyelesaian permasalahan kliennya Radjab Ahmad secara hukum tidak dapat diselesaikan oleh terdakwa Defnolita, maka klien Radjab Ahmad meminta surat tanah tersebut yang ada pada terdakwa Defnolita, namun terdakwa Defnolita tidak mau memberikannya. Akibat

20Tommy J. Bassang, “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Deelneming”, Lex Crimen Journal, Volume 4 Nomor 5, 5 Juli 2015, hlm.124.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/9015/8569

21Ibid.

(11)

perbuatan terdakwa Defnolita tersebut, klien Radjab Ahmad mengalami kerugian sekitar Rp.1.200.000.000,- (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Pengadilan Negeri Pekanbaru yang mengadili perkara tersebut pada putusan No. 210/Pid.B/ 2009/PN.PBR, tanggal 30 Juli 2009, menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dengan penjatuhan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan.

Penulis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti namun bukan merupakan perbuatan pidana, karena keberadaan surat sebagaimana yang didakwakan kepada Terdakwa didasarkan pada adanya perjanjian antara Terdakwa dengan saksi korban yaitu sebagai pembayaran biaya operasional Terdakwa sebagai Pengacara saksi korban. Selanjutnya di samping tuntutan sebagai biaya Pengacara, surat tersebut berada di tangan Terdakwa karena untuk diperlihatkan kepada pihak terkait dalam rangka mengurus peningkatan surat tersebut sesuai tingkat administrasinya dan sekaligus mengurus pemecahan surat tanah tersebut berdasarkan perjanjian jual beli. perjanjian jual beli. Dengan demikian surat tersebut berada di tangan Terdakwa berdasarkan perjanjian, sehingga apabila saksi Radjab Ahmad mengajukan surat tersebut untuk dikembalikan kepadanya, maka harus diproses melalui perkara perdata.

Masalah ini penulis anggap penting untuk dibahas dan dilakukan penelitian lebih lanjut apakah kasus tersebut tepat dikenakan sanksi pidana dan agar hal masalah serupa tidak terulang dan masyarakat menjadi hati-hati akan masalah tersebut.

(12)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian dan menjadikannya sebuah karya ilmiah dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Advokat yang Menyalahgunakan Hak Retensi (Studi Kasus Perkara No.210/Pid.B/ 2009/PN.PBR)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah :

1. Bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana advokat yang menyalahgunakan hak retensi?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No.

210/Pid.B/2009/PN.PBR?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pertanggungjawaban pidana advokat yang menyalahgunakan hak retensi.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No.618 K/PID/2010/PN.PBR.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoretis,

hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumber pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan

(13)

penyalahgunaan hak retensi, dan dapat juga dijadikan sebagai titik tolak bagi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.

b. Secara praktis

hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi para aparat penegak hukum yang terkait.

D. Kerangka Konseptual

Untuk memahami maksud yang terkandung di dalam judul ini, maka penulis merasa perlu untuk mengumukakan beberapa pengertian istilah di bawah ini : 1. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roeslan Saleh, “pertanggungjawaban pidana menunjuk pada pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.”22 Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.23

2. Penyalahgunaan

Secara sederhana, Penyalahgunaan dapat dimaknai sebagai bentuk perilaku, sikap, perbuatan, ucapan, maupun pemikiran, baik sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu disertai niat buruk dengan tujuan untuk mengambil keuntungan demi keuntungan diri sendiri secara merugikan pihak lain, dengan menggunakan

22Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum, Genta Press, Yogyakarta, 2016, hlm.60.

23Ibid.

(14)

instrument ataupun alat yang dimiliki ataupun melekat padanya secara paten, dimana pihak korbannya dalam posisi tersudutkan yang dilematis. Kata kerjanya adalah menyalahgunakan dan yang melakukannya disebut penyalahguna.24

3. Hak Retensi

Menurut Pasal 1812 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,“Hak retensi yaitu si kuasa adalah berhak menahan segala apa kepunyaan si pemberi kuasa yang berada ditangannya, sekian lamanya, hingga kepadanya telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntut-nya sebagai akibat pemberian kuasa.”

Kemudian diatur dalam Pasal 4 Huruf K Kode Etik Advokat yang menyebutkan :“Hak retensi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien”.

4. Advokat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

“Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun non-ligitasi.”25

Dari definisi di atas dapat disimpulkan pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan hak retensi oleh advokat adalah pengenaan pidana akibat melakukan tindak pidana penggelapan dengan cara menyalahgunakan hak retensi yang dimiliki advokat untuk menahan kepunyaan klien akibat

24https://www.hukum-hukum.com/2020/01/memahami-makna-kata-menyalahgunakan dan-penyalahgunaan, diakses pada 23 januari 2021.

25Yahman dan Nurtin Tarigan, Advokat Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2019, hlm.8.

(15)

pembayaran honorarium yang belum lunas, yang dilakukan oleh advokat/penerima kuasa dalam kasus perkara No.210/Pid.B/ 2009/PN.PBR.

E. Landasan Teoretis

Dalam skripsi ini penulis menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan judul penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.26 Untuk dapat dibuktikan bahwa seorang pelaku telah memenuhi unsur tindak pidana, maka salah satu unsur yang harus terlebih dahulu diketahui adalah unsur sengaja dan unsur culpa.27

Pertanggungjawaban pidana Menurut Roeslan Saleh, menunjuk pada pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. Dalam konsep rancangan UU KUH Pidana tahun 1991/1992, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan

26Ayu Veronika, Kabib Nawawi, dan Erwin, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyelundupan Baby Lobster”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 3, 2 Desember 2020, hlm.48. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11085/10260

27Listiana, Elly Sudarti., “Putusan Tentang Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penadahan”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 1, 7 Februari 2020, hlm.69.

https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/8372/9900

(16)

secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.28

Asas paling dasar tentang pertanggungjawaban pidana adalah geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Tindak pidana hanya

menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, namun apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan, akan sangat bergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.29

Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri.30

Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan dapat juga dikatakan kesalahan dalam arti yuridis, yang berupa pertama, kesengajaan, dan kedua, kealpaan. Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah:

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat harus normal;

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yakni berupa kesengajaan atau kealpaaan;

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.31

Selain culpabiltas, unsur lain bagi adanya pertanggungjawaban pidana adalah mampu bertanggungjawab (zurechnungsfahigkeit). Simons mengartikan

28Loc.Cit.

29Theodorus Yosep Parera, Advokat dan Penegakan Hukum, Genta Press, Yogyakarta, 2016, hlm.61.

30Ibid.

31Tommy J. Bassang, “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Deelneming”, Lex Crimen Journal, Volume 4 Nomor 5, 5 Juli 2015, hlm.124.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/9015

(17)

kemampuan bertanggungjawab sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari diri pelaku.32

Menurut Van Hamel,

Kemampuan bertanggung jawab adalah keadaaan normalitas kejiwaan dan kematangan yang membawa tiga kemampuan, yakni :

a. Mengerti akibat/nyata dari perbuatan sendiri;

b. Menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat (bertentangan dengan ketertiban masyarakat);

c. Mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.33

Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki orang yang sehat rohaninya, mempunyai pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapinya, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara normal pula.34

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya peraturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

32Theodorus Yosep Parera, Op.Cit., hlm.66.

33Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hlm.86.

34Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm.148.

(18)

adanya aturan yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.35

Sajipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, tujuan pemegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.36

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua pengertian kepastian hukum, yaitu:

kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang- undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu system yang logis dan praktis), undang-undang berdasarkan rechtswerkelfikheid (keadaan hukum yang sugguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.37

Konsep kepastian hukum mengandung dua prinsip mendasar, pertama, adanya peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam bertindak. Kedua, adanya penerapan atau penegakan hukum yang

35Eddy Army, Bukti Elektronik Dalam Praktik Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2020, hlm.42.

36Ibid., hlm.43.

37Ibid., hlm.38.

(19)

konsisten dalam hal pelanggaran hukum.38 Dalam usaha memberikan kepastian hukum, adanya penerapan atau penegakan hukum yang konsisten dalam hal terjadi pelanggaran hukum.

Menurut Jan M. Otto bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan:

1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan- aturan hukum secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan tersebut;

4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5. Bahwa keputusan peradilan secara konrit dilaksanakan.39

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artin ia menjadi suatu system norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.40

38Leo Arwansyah, Andi Najemi, dan Aga Anum Prayudi., “Batas Waktu Pelaksanaan Pidana Mati dalam Perspektif Kepastian Hukum dan Keadilan di Indonesia”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 3, 2 Desember 2020, hlm.16. https://online- journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11073/10257

39Ibid., hlm.24.

40Eddy Army, Bukti Elektronik Dalam Praktik Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2020, hlm.39.

(20)

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan-bahan referensi lainnya.41

Tekhnik yang dilakukan dalam melakukan penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan cara mengkaji, mempelajari dan menafsirkan aturan- aturan hukum yang berlaku.42 Dalam hal ini penulis mengkaji tentang pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan hak retensi oleh advokat.

2. Pendekatan Penelitian

Didalam penelitian hukum, terdapat beberapa macam pendekatan.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).43 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

41Ardi Saputra Gulo, Sahuri Lasmadi, Khabib Nawawi, ”Cyber Crime dalam Bentuk phising Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Pampas Journal Of Criminal Law, Volume 1 Nomor 2, 23 April 2021, hlm.73. https://online- journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9574/6399

42Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.90.

43Peter Ahmad Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.133

(21)

a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.44

b. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.45

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian- pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.46

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan studi kepustakaan guna memperoleh bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara meneliti:

a. Bahan Hukum Primer

Terdiri dari Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk

44Ibid.

45Ibid., hlm.134.

46Ibid., hlm.135.

(22)

peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Terdiri dari literatur-literatur atau bacaan-bacaan ilmiah yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Analisis Bahan Hukum

Dalam pengkajian ilmu hukum normatif, langkah atau kegiatan melakukan analisis mempunyai sifat yang sangat spesifik atau khusus, kekhususannya disini bahwa yang dilihat adalah syarat-syarat normatif dari hukum itu sudah terpenuhi atau belum sesuai dengan ketentuan dan bangunan hukum itu sendiri.

Analisis bahan hukum dapat dilakukan dengan cara yaitu, sebagai berikut:

a. Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas;

b. Mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti; dan

c. Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

(23)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi atas 4 (empat) bab yang penyusunannya saling berkaitan secara sistematis. Bab-bab tersebut antara lain :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG

PERTANGGUNGUNGJAWABAN PIDANA, ADVOKAT, DAN HAK RETENSI

Bab ini menjelaskan tinjauan umum tentang pertanggungjawaban pidana, advokat, dan hak retensi.

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ADVOKAT

YANG MENYALAHGUNAKAN HAK RETENSI Bab ini menjelaskan penerapan pertanggungjawaban pidana advokat yang menyalahgunakan hak retensi dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No.210/Pid.B/2009.PN.PBR.

BAB IV PENUTUP

Bab ini adalah bab penutup yang memuat 2 (dua) subbab, yaitu terdiri dari kesimpulan dan saran dari permasalahan yang ada dalam bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Secara teknis, dalam proses pelaksanaan penelitian penulis mengobservasi murid tingkat dasar biola di SMS Bandung yaitu sebanyak 2 orang dan guru pendamping yang

Dalam melakukan optimisasi injeksi daya reaktif dan tegangan dengan fungsi objektif mencari nilai rugi daya aktif saluran transmisi yang minimum, variabel kontrol

Unit pengolahan air payau menjadi air minum terdiri dari proses koagulasi, sedimentasi, oksidasi (reaktor) dan filtrasi bertingkat yang terdiri dari filter pasir,

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hasim selaku petugas PK Bapas Kelas I Makassar yang menangani klien anak yang mendapatkan pembinaan di BRSAMPK Toddopuli Makassar,

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan

Penelitian ini menganalisis pendapatan, efisiensi usaha, dan Break Event Point ( BEP) pada Agroindustri milik Abdori yang dianalisis biaya, produksi dan harga

Diberikan format untuk naskah soal penilaian harian kepada semua guru mata pelajaran di awal Tahun Pelajaran Guru SMAN 91 Jakarta Maksimal seminggu menjelang pelaksanaan