• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam

Barit Fatkur Rosadi

Angkatan Muda Masjid Yogyakarta Email: barit.fatkur@gmail.com

Abstrak

Periode klasik merupakan masa gemilang (the golden age) bagi umat Islam. Pada masa tersebut umat Islam berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Agama Islam memberikan motivasi yang sangat jelas agar pemeluknya berkarya untuk mencapai kemajuan dan kejayaan. Kemajuan dan kejayaan tersebut tidak mungkin bisa tercapai tanpa ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak mungkin bisa diperoleh tanpa proses pendidikan.

Proses pendidikan pada masa klasik berlangsung secara informal, yakni dilangsungkan di masjid, surau, dan di rumah-rumah. Pada awal Islam, proses pembelajaran dilaksanakan di rumah Arqam bin Abi al Arqam. Setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah, maka proses pendidikan lebih difokuskan di masjid. Masjid pada periode klasik memiliki multi fungsi, salah satunya menjadi pusat pendidikan Islam. Sejak zaman Rasulullah saw sampai sekarang masjid tetap menjadi pusat kebudayaan bagi ummat Islam. Masjid menjadi tempat pendidikan, musyawarah, ibadah, pengajian-pengajian, membina ummat, dan lain sebagainya.

Kata kunci: Masjid, Kebudayaan Islam, Lembaga Pendidikan Islam

Abstract

The classic period was a glorious period or like a the golden age for Muslims. At the time the Muslims succeeded in various aspects of life. Islam gives very clear motivation so that adherents work to achieve progress and success. Progress and success are not likely be achieved without science. Whereas science could not be obtained without the educational process.

The educational process in the classic period directly held in mosques, surau, and at homes. At the beginning of Islam, the learning process is carried out at the House of Arqam Ibn Abi al Arqam. After Prophet Muhammad’s Hijra to Medina, the education process more focused at mosques. The classical period mosque has multiple functions, one of which become a center of Islamic education. Since the time of the Prophet until now remained the cultural

(2)

center mosque for Muslims. The mosque becomes a place for discussion, education, worship, study, build the Ummah, and others.

Key Words: Mosque, Islamic Culture, Islamic Education Institute

A. Pendahuluan

Menurut catatan sejarah, ketika Islam baru lahir di kota Mekkah, keadaan masyarakat Arab masih banyak sekali yang buta huruf. Bilangan yang mampu menulis dan membaca masih terlalu sedikit. Melihat kondisi masyarakat Arab tersebut, Islam memberikan dorongan yang sangat urgen untuk mengadakan reformasi. Reformasi yang dimaksudkan adalah perubahan sistem Jahiliyah kepada masyarakat Islam yang beradab. Masyarakat Arab mempunyai peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi setelah mereka mengambil Islam sebagai way of life dalam sistem kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka memperoleh kejayaan dan kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Proses terjadinya reformasi yang menyebabkan kemajuan tersebut tidak pernah lepas dari usaha keras dan kuat, pantang menyerah dan selalu berorientasi ke depan. Salah satu usaha tersebut adalah berlangsungnya proses pendidikan yang sangat baik.

Sebenarnya, pada awalnya proses pendidikan Islam masa Islam klasik berlangsung secara informal. Maksudnya adalah proses pendidikan berlangsung di rumah-rumah. Rasulullah menjadikan rumah sahabat Arqam bin Abi al Arqam sebagai sebagai proses pembelajaran sekaligus tempat pertemuan dengan para sahabatnya. Di rumah inilah Rasulullah menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama dan mengajarkan al-Qur’an kepada mereka.1

Ketika Rasulullah di Madinah, lembaga pendidikan informal (rumah) tetap berlangsung, tetapi pada masa ini lahir lembaga pendidikan baru yaitu masjid.2 Sebab, setelah tidak lama Rasulullah berada di kota Madinah,

maka yang pertama dibangun oleh beliau adalah masjid. Dan telah tercatat dalam sejarah, masjid pada kala itu tidak saja berfungsi sebagai tempat untuk beribadah semata. Tetapi lebih dari itu, ia memiliki banyak fungsi salah

1Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 58. 2Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 87.

(3)

satunya sebagai tempat berlangsungnya pembelajaran dalam mentransmisi ilmu pengetahuan Islam.

Sebagai pusat pendidikan di masjid diadakan tempat belajar (halaqah ta’lim) dan sebagai pusat kebudayaan masjid merupakan markas kegiatan sosial, politik, budaya dan agama. Dengan demikian, masjid berfungsi untuk membina peradaban dan kebudayaan, tempat ibadah dan tempat pengendalian urusan pemerintahan dan kenegaraan.

B. Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam

Masjid berasal dari bahasa Arab sajada yang berarti tempat sujud atau tempat menyembah Allah swt. Bumi yang kita tempati ini adalah masjid bagi kaum muslimin. Setiap muslim boleh melakukan shalat di wilayah manapun di bumi ini; terkecuali di atas kuburan, di tempat yang bernajis, dan di tempat-tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak sesuai untk dijadikan tempat-tempat shalat. Rasulullah saw bersabda:

)ملسم هاور( دجسم اهلك ضرلاا

Artinya: “Setiap bagian dari bumi Allah adalah tempat sujud (masjid)”. (HR. Muslim). Pada hadis yang lain Rasulullah saw bersabda pula:

)ملسم هاور( اروهط و ادجسم ضرلاا انل تلعج

Artinya: “Telah dijadikan bagi kita bumi ini sebagai tempat sujud dan keadaannya bersih”. (HR. Muslim).

Masjid tidak bisa dilepaskan dari masalah shalat. Berdasarkan sabda Nabi saw di atas, setiap orang bisa melakukan shalat dimana saja, di rumah, di kebun, di tepi jalan, di kendaraan, dan lain sebagainya. Selain itu, masjid merupakan tempat orang berkumpul dan melakukan shalat secara berjamaah, dengan tujuan meningkatkan solidaritas dan silaturrahmi di kalangan kaum muslimin. Di masjid pulalah tempat terbaik untuk melangsungkan shalat jumat.

(4)

Di masa Nabi saw ataupun di masa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin. Kegiatan di bidang pemerintahanpun mencakup: ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan di lembaga masjid. Masjid berfungsi pula sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam, terutama saat gedung-gedung untuk itu belum didirikan. Masjid juga sebagai ajang halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu agama ataupun umum. Pertumbuhan remaja masjid, dewasa ini juga termasuk upaya memaksimalkan fungsi kebudayaan yang diemban masjid.

Kalau saja tidak ada kewajiban shalat, tentu tidak ada yang namanya masjid dalam Islam. Memang, shalat sudah disyariatkan pada awal kelahiran Islam sebanyak empat rakaat, dua di pagi hari, dan dua di sore hari. Penetapan shalat menjadi lima waktu seperti sekarang ini baru disyariatkan menjelang Nabi saw hijrah ke Madinah. Sampai saat itu, ibadah shalat dilakukan di rumah-rumah. Tiadanya usaha mendirikan masjid karena lemahnya kedudukan umat Islam yang sangat lemah, sedangkan tantangan dari penduduk Makkah begitu ganasnya. Penduduk Makkah tampak belum begitu siap menerima ajaran Nabi saw., walaupuan telah 13 tahun lamanya dakwah berlangsung.3

Dilihat dari segi ethimologi (lughat), masjid disebut isim makan (nama tempat) yang mashdar nya (kata dasarnya) suju-dan dari fiil madhi sajada, jadi masjid artinya tempat sujud. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasul saw:

لصيلف هتكردا يتما نم لجر ايمااروهطو ادجسم ضرلأا لي تلعج

Artinya: “Bumi itu dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sujud) dan pembersih, siapa diantara umatku yang menemui waktu shalat hendaklah ia shalat di situ”. (HR. Imam Bukhari).

Keterangan ini menunjukkan bahwa tiap-tiap bidang tanah di permukaan bumi ini tidak terbatas apakah beratap atau tidak, apabila digunakan untuk shalat, dimana seorang hamba meletakkan dahinya sujud bakti kepada Allah dapat dinamakan masjid.4

3Moh. E. Ayyub, dkk., Manajemen Masjid, cet. VII (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),

hlm. 1-2.

(5)

Kata masjid banyak disebut dalam kitab suci al-Quran, terulang sampai dua puluh delapan kali, tersebar diberbagai ayat dan surat dalam al-Quran. Dalam ilmu tafsir, kata-kata atau kalimat yang diulang-ulang dalam al-Quran, menunjukkan bahwa kata-kata dan kalimat tersebut mengandung makna yang amat penting, sebagaimana kata masjid diulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-Quran menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dan fungsi masjid dalam ajaran Islam. Istilah masjid berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata “sajada, yasjudu, sajdan”. Kata sajada artinya bersujud, patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim. Untuk menunjukkan suatu tempat, kata sajada dirubah bentuknya menjadi “masjidun” (isim makan) artinya tempat sujud menyembah Allah.

Al-Quran menggunakan kata sujud untuk berbagai macam arti. Kadang-kadang diartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan kemulyaan pihak yang disujudi seperti sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud di sini sebagai bukti penghormatan malaikat kepada Nabi Adam as, bukan berarti sujud menyembah seperti sujud dalam shalat menyembah Allah. Sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Dan ingatlah ketika Allah berfirman kepada para malaikat,”Sujudlah” kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan karena kesombongannya, dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS. Al-Baqarah: 30).

Kata sujud dalam ayat di atas mengandung arti perintah Allah kepada para malaikat agar menghormati terhadap kedatangan Nabi Adam as. Dalam ayat lain al-Quran memberikan makna sujud berarti mengikuti atau menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah yang berkaitan dengan sunnatullah (hukum Allah) tentang alam raya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

Artinya: “Dan kepada Allah bersujud apa yang ada di bumi dan apa yang ada di langit, baik dalam keadaan sadar maupun terpaksa”. (QS. Ar-Ra’du: 15).

Dengan demikan secara umum, masjid diartikan sebagai tempat sujud (shalat), yaitu menunjuk pada sebuah bangunan yang fungsi utamanya sebagai tempat shalat bersujud menyembah Allah.5

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat bagi kaum Muslim. Namun, karena akar katanya mengandung makna

(6)

tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat untuk melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah swt semata. Oleh karena itu, di dalam al-Quran ditegaskan:

Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya selain Allah swt”. (Q.S. Al-Jinn: 18).

Rasulullah saw juga bersabda:

Artinya: “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri”. (HR. Bukhari dan Muslim, melalui Jabir bin Abdullah). Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan tempat bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu, tetapi kata masjid juga berarti tempat untuk melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah swt. Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh. Masjid memang merupakan bangunan yang didirikan dengan fungsi utama untuk memfasilitasi pelaksanaan shalat. Di dalam al-Qur’an, kita dapati ayat yang berkaitan dengan hal ini, diantaranya:

Artinya: “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (at-Taubah: 108).

“Ussisa ‘alat takwa” (didirikan atas takwa) bermakna masjid yang didirikan dengan niat untuk bertakwa dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan atas dasar yang lain. Hal tersebut berarti ketika seseorang mendirikan masjid, maka harus dilakukan smata-mata atas dorongan dan motivasi iman dan takwa, bukan untuk sekedar ingin tenar, apalagi riya. Selain itu, juga tidak boleh dilakukan atas dasar kepentingan politik, sukuisme, atau hal-hal lain yang bersifat jahiliyah.6

6Budiman Mustofa, Manajemen Masjid: Gerakan Meraih Kembali Kekuatan dan Potensi

(7)

1. Pengertian Kebudayaan

Pada umumnya kebanyakan orang, mengartikan kebudayaan dengan kesenian atau hasil karya manusia. Seperti seni tari, seni suara, seni lukis, seni drama, dan lain-lain, atau karya manusia seperti candi borobudur, masjid demak, istana raja, dan karya manusia lainnya. Demikian juga tingkah laku manusia yang dilakukan dalam lingkup yang luas juga dikatakan kebudayaan. Jadi kebudayaan dalam pengertian umum seperti ini lebih bersifat material. Sedangkan pandangan hidup, tata nilai, norma-norma yang bersifat ideal tidak dimasukkan sebagai kebudayaan. Tetapi sesungguhnya kebudayaan lebih luas dari itu, dan mencakup hal-hal yang bersifat ideal.

Beberapa pengertian kebudayaan menurut Mundzirin Yusuf, sebagaimana yang tercantum dalam buku Islam Budaya Lokal (Pokja UIN Suka, 2005), diantaranya yaitu:

Menurut Koentjaraningrat (1981), kebudayaan merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan, perbuatan, tingkah laku manusia, dan hasil karyanya yang didapat dari belajar. Sedangkan menurut Selo Soemardjan (1979), kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Kedua definisi inilah yang banyak mempengaruhi masyarakat dalam mengartikan kebudayaan. Sedangkan kebudayaan menurut E.B. Taylor adalah sebagai berikut: kebudayaan merupakan suatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum ada-istiadat, kesenian, dan kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Para ahli kebudayaan di Indonesia lebih banyak menganut yang bersifat idealistic, sehingga melihat kebudayaan sebagai pedoman bertindak dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, kesenian, yang dijadikan pedoman bertindak dalam memecahkan persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.7 Kebudayaan adalah

struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang

7Mundzirin Yusuf, dkk., Islam Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan

(8)

menggerakkan suatu masyarakat dengan semua metafisis, moral, dan estetis yang berkembang dalam masyarakat itu.8

Ungkapan kebudayaan Islam biasanya digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda-beda. Kebudayaan Islam dapat berarti: Pertama, suatu tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam, seperti di Baghdad selama pemerintahan Ma’mun atau di Cairo semasa dinasti Fatimiyah, atau di Samarkand dalam masa Ulughbek. Kedua, dapat berarti hasil yang dicapai oleh Islam dalam lapangan kesusastraan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Ketiga, dalam pembicaraan politik, kebudayaan Islam berarti melindungi “way of life” Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadat-ibadat, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup bermasyarakat.9

2. Fungsi-Fungsi Masjid

Masjid dari zaman klasik hingga zaman modern ini memiliki banyak fungsi dan kegunaan bagi umat Islam. Adapun fungsi tersebut antara lain: a. Fungsi Edukatif

Sebagaimana telah disebutkan di depan, bahwa pada saat Rasulullah berhijrah dari kota Makkah ke kota Madinah. Langkah pertama yang dipikirkan dan dibangun beliau adalah masjid. Di masjid inilah seluruh muslim bisa membahas dan memecahkan persoalan hidup mereka. Di masjid diadakan musyawarah untuk mencapai berbagai tujuan, menjauhkan diri dari berbagai kerusakan dan meluruskan aqidah. Dengan adanya masjid, dijadikanlah tempat tersebut untuk berhubungan dengan Allah untuk memohon ketentraman, kekuatan, pertolongan, kesabaran, ketangguhan, kesadaran, kewaspadaan dan aktivitas yang penuh semangat.10

Menurut Quraisy Shihab, ada sepuluh peranan masjid Nabawi di zaman Rasulullah antara lain: tempat ibadah, tempat konsultasi dan komunikasi,

8Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 6-7. 9A.A.A. fyzee, Kebudayaan Islam, terj. Syamsuddin Abdullah (Yogyakarta: Bagus arafah,

1982), hlm. 11.

10Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta:

(9)

tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer, tempat pengobatan, tempat perdamaian dan pengadilan, aula dan tempat menerima tamu, tempat tawanan perang, dan pusat penerangan dan pembelaan agama.11

Begitu sentralnya fungsi masjid pada waktu itu, sehingga masjid tidak saja digunakan untuk melaksanakan shalat semata, tetapi lebih dari itu masjid berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat urgen dalam mentransfer ilmu pengetahuan Islam. Di dalam masjid diadakan proses belajar al-Qur’an , al-Hadis, Fiqih, dasar-dasar agama, bahasa dan sastra Arab. Pendidikan bagi wanita juga dipentingkan, tetapi tidak bercampur dengan laki-laki. Rasulullah menyediakan waktu untuk secara khusus memberikan kuliah kepada kaum wanita.12 Pendidikan untuk anak-anak dilangsungkan di

al kuttab13 dan al suffah yang tempatnya berdampingan dengan masjid. Mereka

diajarkan al Qur’an, dasar-dasar agama, bahasa Arab, berhitung, keterampilan berkuda, memanah dan berenang.14

Menurut Hasan Langgulung, menjelaskan bahwa masjid pada mulanya digunakan untuk pendidikan rendah bagi anak-anak. Akan tetapi kaum muslimin lebih suka kelas bimbingan anak-anak dilakukan pada tempat yang khusus, yaitu al suffah dan al kuttab yang berada disamping masjid. Hal itu dikhawatirkan anak-anak akan merusak masjid dan biasanya mereka tidak dapat memelihara kebersihan masjid.15

Fungsi edukatif masjid pada awal pembinaan Islam, masjid merupakan lembaga pendidikan Islam. Yakni tempat manusia dididik agar memegang teguh keimanan, cinta kepada ilmu pengetahuan, mempunyai kesadaran sosial yang tinggidan mampu melaksanakan hak dan kewajiban dalam negara Islam. Masjid dibangun guna merialisasikan ketaatan kepada Allah,

11Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 462.

12Hamid Hasan Bilgrami dan Sayyid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1989), hlm. 29.

13Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya

kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Ensiklopedi Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 86.

14Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hlm. 87.

(10)

mengamalkan syariat Islam dan menegakkan keadilan.16 Pendek kata, masjid

itu sebagai pusat kerohanian, sosial, budaya dan politik, sehingga masjid disebut sebagai baitullah atau rumah Allah artinya untuk memasuki masjid itu tidak dibutuhkan izin. Apakah untuk beribadah atau belajar atau untuk maksud-maksud baik lainnya.17 Masjid merupakan tempat terbaik untuk

kegiatan pendidikan. Sebab akan terlihat hidupnya sunnah-sunnah Islam, menghilangnya bid’ah-bid’ah, dan menghilangnya stratafikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan.

b. Fungsi Sosial Politik

Sosial politik dalam Islam tidak lain adalah dakwah itu sendiri. Sebab tujuan dakwah Rasulullah adalah agar umat kembali ke jalan Allah. Dan tempat untuk memberikan penyadaran tersebut masjid merupakan tempat yang kondusif. Begitu juga tujuan dakwah Nabi adalah untuk memakmurkan masjid sehingga umat Islam bersatu padu dalam ukhuwah Islamiah. Masjid merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Islam. Masjid pada zaman Nabi menjadi pusat kegiatan untuk membina masyarakat demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam satu kesatuan sosial dan satu kesatuan politik. Kaum Anshar dan Muhajirin yang berasal dari daerah yang berbeda dengan membawa adat dan kebiasaan yang berbeda, sebelum bersatu membentuk masyarakat Islam, berasal dari suku-suku bangsa yang berselisih.18 Melalui

masjidlah Rasulullah meletakkan dasar-dasar terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara internal. Tetapi juga diakui dan bahkan disegani oleh pihak lainnya.

c. Fungsi Ibadah

Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam al Qur’an. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata “sajada-sujud”, yang artinya patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’dhim.19

16Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung:

Diponegoro, 1989), hlm. 190.

17Atiyah al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999),

hlm. 58.

18Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 35. 19Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., hlm. 459.

(11)

Meletakkan dahi, kedua tangan, dan kedua kaki ke bumi yang kemudian dinamai sujud oleh syariat adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan bangunan yang dikhususkan untuk sholat dinamai masjid, yang artinya tempat bersujud.20

Fungsi utama masjid adalah tempat sujud kepada Allah, tempat untuk shalat dan beribadah kepada-Nya.21 Ibadah berarti mengabdi, yakni

mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Dengan penuh rasa taat, patuh dan tunduk. Di dalam masjid dilaksanakan segala aktivitas ibadah seperti shalat berjama’ah, zikir, tilawah al Qur’an, i’tikaf dan sebagainya. Dan masjid juga mempunyai makna tempat dilakukannya segala aktivitas keagamaan dalam dimensi ibadah sosial yang lebih luas.

d. Fungsi Pengabdian Kepada Masyarakat

Memakmurkan masjid berarti memakmurkan umat dalam arti yang luas. Masjid sebagai pusat pengbdian kepada masyarakat maksudnya setiap muslim hendaknya memberikan pelayanan untuk jama’ah masjid. Dengan demikian sifat tolong-menolong, kasih saying dan saling memuliakan terbina melalui masjid. Salah satu contohnya adalah pengelolaan zakat, infak dan sedekah. Di zaman klasik Islam khususnya pengelolaan zakat dikelola dan dilaksanakan di masjid.22

Dengan demikian terbentuk hubungan sosial kemasyarakatan yang saling memberikan haknya demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Di zaman klasik telah terjadi bahwa orang kaya menyerahkan sebagian hartanya kepada petugas Baitul Mal. Baitul Mal adalah tempat pengumpulan harta hasil zakat, infak dan sedekah yang bertempat di masjid. Petugas Baitul Mal bekerja untuk untuk mendata orang yang telah sampai haul dan nisab untuk membayar zakat. Setelah di data kemudian menariknya untuk dikumpulkan di baitul mal yang kemudian dibagikan secara adil kepada orang yang berhak menerimanya.

Di sisi lain orang-orang miskin tidak menunjukkan kemiskinannya karena telah terpenuhi segala hak mereka melalui zakat, infak dan sedekah yang dikelola melalui baitul mal yang diselenggarakan di masjid-masjid.

20Ibid, hlm. 459.

21Moh. Ayub, Manajemen Masjid..., hlm. 7. 22Ibid, hlm. 77.

(12)

Dengan demikian hati masyarakat terpaut kepada masjid, selanjutnya begitu masjid menjadi makmur dan ramai dengan jama’ah karena menjadi pusat dari berbagai aktivitas keagamaan, baik berupa kegiatan pendidikan, ibadah, sosial politik dan pengabdian kepada masyarakat. Itulah maksud masjid didirikan dengan jiwa yang bersih dan atas dasar taqwa.

C. Upaya-Upaya Memakmurkan Masjid

1. Membina Ukhuwah Islamiyah

Dalam perjalanan hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah, ketika beliau hampir sampai tujuan, beliau justru memerintahkan rombongan berhenti di desa Quba, sebuah desa kecil yang terletak kira-kira 5 km dari Madinah. Sebenarnya, Madinah yang dituju itu sudah tampak dari kejauhan, tetapi Rasulullah saw memerintahkan pada sahabatnya dan kaum Muhajirin berhenti sejenak; dan beliau berkata “Kita berhenti dulu di sini untuk mendirikan masjid”. Coba bayangkan, rombongan Muhajirin itu telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Rasulullah. Ketika tempat yang dituju sudah sedemikian dekat, Rasulullah saw justru memerintahkan berhenti dan membangun masjid. Bukan di tempat yang dituju, tapi di tengah jalan. Rombongan Rasulullah saw berenti, mereka bergotong-royong mendirikan sebuah masjid kecil. Masjid yang terdiri dari bahan-bahan yang sangat sederhana; bertiang pohon korma, beratap daun korma, dan berlantai batu-batuan. Bangunan historis inilah yang dikenal dengan masjid Quba.

Rasulullah saw bersimbah peluh bersama-sama para sahabat mendirikan masjid pertama umat Islam itu. Seorang sahabat meminta kepada Rasulullah agar beliau tidak usah mengangkut batu, tapi Rasulullah menjawab, “Kalau kalian merasa lebih kuat dari aku, angkatlah batu yang lebih besar dari yang kuangkat.” Demikianlah Rasulullah saw memberi contoh kepada para jamaahnya. Beliau mengajak melakukan sesuatu, bukan memerintah. Inilah kiat Rasulullah saw dalam melibatkan umat berjihad di jalan-Nya.

Sekarang, masjid Quba memang berlantaikan marmer yang kemilau. Tetapi perlu tetap diingat, pembangunan masjid yang pertama ini merupakan simbol adanya zaman baru, yakni pembinaan umat. Sesudah zaman pembinaan

(13)

pribadi muslim di bidang akidah dan akhlak di Makkah. Maka Madinah menandai zaman baru sebagai zaman pembinaan umat dalam arti yang lebih luas dan menyeluruh. Pembinaan di pusatkan di masjid. Itulah sebabnya, menjelang sampai di Madinah, yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid Quba itu sekaligus memakmurkan masjid tersebut. Ini merupakan sifat, khittah, akidah kedudukan dan pendirian bagi seseorang yang bertekad hendak memakmurkan masjid. Walaupun masjid sudah menggunakan marmer dan dilengkapi sarana yang modern, masjid bisa tidak berfungsi apa-apa. Yang menjadikan ia sebagai sarana “kemakmuran” adalah kita semua. Masjid dapat merupakan tempat kita pulang, tempat kita berangkat, dan tempat kita bertanya. Kalau seseorang mempunyai pertanyaan, baik yang terkait aspek kehidupan duniawi maupun ukhrawi, jangan bingung dia mencari jawaban atas pertanyaannya. Maka datanglah ke masjid.23

2. Masjid Sebagai Kegiatan Dakwah dan Pembinaan Umat

Ada beberapa unsur yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam membina umat:

a. Memantapkan Aqidah

Nabi Muhammad saw meletakkan dasar bagi pembinaan umat dengan memantapkan aqidah, sehingga tertanam roh tauhid. Allah berfirman:

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid), seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24).

Roh tauhid yang tertanam itu ibarat sebuah pohon yang subur, yang pokok dan akarnya terhunnjam kuat dan kokoh ke dalam bumi, tidak bisa digoyah apalagi diturunkan, dan puncaknya menjulang ke langit, hanya satu cita-cita, yaitu ridha Allah swt. Roh tauhid yang demikianlah yang melahirkan pribadi muslim utama, seperti Abu Bakar as-Sihiddiq, Umar bin Khattab, dan seterusnya. Dengan roh tauhid itu kaum muslimin di zaman Nabi saw dapat memanfaatkan akal mereka dengan sebaik-baiknya; pikiran, perasaan, dan

(14)

kemauan yang terbina dengan sempurna dan melahirkan manusia-manusia muslim yang bersikap dewasa dalam segala hal, tanpa terpengaruh oleh nafsu.24

b. Perbaikan Hubungan Manusia dengan Manusia (Muamalah)

Setelah Rasulullah saw berhasil menanamkan tauhid dan pelaksanaan ibadah dengan baik, lahirlah syarat yang syarat yang ketiga yaitu perbaikan hubungan manusia dengan manusia (muamalah). Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah dengan hati yang bersh dan jiwa yang ikhlas. Contoh untuk ini adalah seseorang yang dinyatakan oleh Nabi saw sebagai salah satu ahli syurga. Setelah diselidiki oleh seorang sahabat, Abdullah bin Amir, orang yang dimaksudkan Nabi saw ternyata memiliki keluhuran hati.

Artinya: “Tiada jalan dalam jiwaku sifat palsu terhadap salah seorang kaum mukminin, dan aku tidak mempunyai rasa dengki terhadap seseorang tentang nikmat

yang diberikan oleh Allah kepada-Nya.” (HR. Ahmad).25

c. Perbaikan Ekonomi

Setiap manusia berhak membebaskan dirinya dari kemiskinan. Dalam Islam, mencari nafkah adalah jihad fi sabilillah. Sebagai contoh dalam hal ini dapat dikemukakan seorang sahabat yang bernama Abdurrahman bin Auf. Ia bebas berusaha tapi tetap terikat, bukan oleh peraturan manusia, tapi keyakinannya terhadap agama. Ia berhasil dalam bisnisnya, ia menjadi orang kaya raya. Kekayaannya berfungsi sosial, ia menikmati hasil usahanya dan orang lainpun juga dapat merasakannya.

Artinya: “Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli untuk ingat kepada Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, karena takut kepada hari yang (pada hari itu), berbolak-balik hati dan pandangan manusia.” (QS. An-Nur: 37).

Untuk memantapkan angkatan perang waktu menghadapi musuh di perang badar, Abdurrahman bin Auf menyerahkan 6.000 dinar (uang emas), 500 ekor unta, dan 500 ekor kuda; di samping membekali setiap prajurit yang melangkah ke medan juang dengan 400 dinar. Bahkan Abdurrahman bin

24Ibid, hlm. 81. 25Ibid, hlm. 83-84.

(15)

Auf ikut ke medan perang bersama prajurtit yang lain demi membela agama dan negara.26

d. Tempat Pendidikan Non-Formal

Masyarakat dimanapun menyadari bahwa pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikanlah terbentuk manusia yang siap dengan hasil kerja nyata. Di jalur nonformal, pendidikan manusia berlangsung dalam dimensi kehidupan yang sangat luas. Berbeda jauh dengan pendidikan formal, yang terlalu lama menggumuli teori; basis pendidikan nonformal sekitar 80 persen justru bertumpu pada praktek. Di jalur pendidikan formal, porsi praktek sangat minim. Masjid memang sarana penggemblengan jiwa, agar manusia siap mengarungi lautan kehidupan. Artinya, pendidikan nonformal dapat pula dilakukan di masjid. Cakupan pendidikan nonformal jauh lebih luas dari sekedar format kelembagaan dalam proses belajar-mengajar. Di zaman Rasulullah saw., masjid sebagai tempat berkompetisi dalam arti positif. Waktu itu belum dikenal yang namanya sekolah atau universtas. Masjidlah yang menjadi tempat pengembangan ilmu pengetahuan, khusunya ilmu agama, dan tempat transfer of knowledge dari Rasulullah saw kepada para sahabat.

Masjid sekarang sudah berfungsi ganda, sebagai tempat ibadah dan untuk mendidik putra-putri generasi penerus cita-cita umat. Aktifnya kegiatan remaja/ generasi muda Islam menjadikan perkembangan Islam semakin semarak. Kelompok muda Islam ini bersungguh-sungguh memahami Islam secara mendalam. Di sekolah, mereka memperoleh pelajaran agama hanya dua jam dalam seminggu. Jumlah yang jauh dari memadai untuk membentuk aklhak putra-putri, untuk memahami Islam dengan maksimal. Dengan masjid sebagai media membentuk pikiran remaja, akan lahir generasi yang potensial bagi kelangsungan dan perkembangan Islam di masa mendatang. Mereka tidak hanya tahu masalah ilmu dunia, tapi juga memahami Islam dengan baik.27

26Ibid, hlm. 84. 27Ibid, hlm. 86-88.

(16)

3. Konsep Pemberdayaan Masjid

Berangkat dari sebuah pertanyaan klasik tentang eksistensi masjid, mengapa keberadaan masjid di Indonesia belum dirasakan kehadirannya di tengah jama’ahnya, terutama dalam konteks kehidupan keseharian mereka? Diantara jawaban yang dapat disampaikan di sini adalah karena masjid belum berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga jama’ah yang ada di sekitarnya tidak merasa diberdayakan oleh kehadiran masjid. Secara konseptual diakui bahwa masjid merupakan potensi umat Islam yang sangat berharga, tetapi mengapa keberadaan masjid belum dirasakan kehadirannya dalam kehidupan jama’ahnya? Padaha jika melihat perhatian dan pemahaman umat terhadap pentingnya memperdayakan potensi masjid sebagai wahana peningkatan kualitas umat, dari waktu ke waktu cenderung terus meluas. Di sini pasti ada sesuatu yang kurang sesuai.

Dalam upaya optimalisasi fungsi masjid menuju “masjid yang paripurna” tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor kegunaan semata. Akan tetapi, perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek etika dan nilai-nilai syari’ah yang bersifat ritual dan sakral sebagai fungsi utamanya yaitu rumah ibadah. Untuk memfungsikan masjid sebagai sarana pemberdayaan umat, diperlukan berbagai strategi yang tepat. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi masjid, diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Pembinaan kepemimpinan masjid.

b. Pembinaan organisasi.

c. Pembinaan program kerja masjid. d. Pembinaan administrasi masjid.

e. Pembinaan ketrampilan teknis sumber daya masnusia (SDM) pengurus masjid.28

Beberapa strategi di atas sebagai upaya untuk pembinaan dan pengembangan keahlian sumber daya pengelola masjid. Melalui upaya peningkatan skill pengelola masjid, diharapkan mampu memperdayakan jama’ah. Sehingga dengan kehadiran masjid di tengah-tengah mereka mampu memberikan perubahan yang nyata, baik dari segi dhahiriyah maupun bathiniyah.

(17)

D. Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jabir bin Abdulullah, bahwa Rasulullah bersabda;

اروهطو ادجسم ضرلاا لى تلعجو

Artinya: “Telah dijadikan bumi ini masjid dan suci baginya”

Dalam kamus Arab-Indonesia, masjid berasal dari kata “sajada” yang berarti membungkuk dan hikmat.29 Menurut Sidi Ghazalba masjid adalah

tempat untuk bersujud. Sujud adalah pengakuan ibadah lahir dan batin. Sujud dalam pengertian lahir bersifat gerak jasmani, sujud dalam pengertian batin berarti pengabdian.30

Pada masa awal Islam, proses pembelajaran dilaksanakan secara informal, yaitu berlangsung di rumah al Arqam bin Abi al Arqam atau biasa disebut dengan Dar al Arqam31 di Mekkah, tepatnya di atas bukit Shafa. Rasulullah

menggunakan Dar al Arqam tersebut sebagai tempat pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Bilangan kaum Muslim yang hadir pada masa awal Islam ini masih sangat kecil, tetapi makin bertambah sehingga menjadi 38 orang yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang dan hamba sahaya.32

Setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah, maka proses pendidikan lebih difokuskan di masjid. Pertama yang dilakukan Rasulullah setiba di Madinah adalah membangun masjid. Fungsi masjid tersebut selain tempat ibadah, juga sebagai tempat penyebaran dakwah, ilmu Islam, penyelesaian masalah individu

29A.W. munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),

hlm. 610.

30Sidi Ghazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Antara,

1983), hlm. 118.

31Arqam bin al-Arqam orang ke sebelas yang memeluk Islam. Ia termasuk kaum muslim

gelombang pertama yang berhijrah ke Habasyah. Di rumahnya telah banyak orang yang memeluk Islam hingga mencapai jumlah 40 orang, yang terakhir adalah Umar bin Khattab. Al-Arqam wafat tepat pada hari wafatnya Abu Bakar dalam usia 80 tahun. Lihat al-Hamid al-husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hlm. 294.

32Muhammad Syafii Antonio, Muhammad saw: The Super Leader Super Manager (Jakarta:

(18)

dan masyarakat, menerima duta-duta asing, pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran Islam.33 Rasulullah benar-benar mengoptimalkan

fungsional masjid dalam membangun masyarakat Madinah menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini.

Dari pengertian di atas, masjid bukan saja dijadikan sebagai tempat ibadah berupa shalat semata, lebih dari itu masjid berfungsi untuk mengabdikan diri kepada Allah. Masjid sebagai tempat pengabdian kepada Allah termasuk di dalamnya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Karena sangat urgennya fungsi masjid ketika Rasulullah berhijrah dari kota Mekkah ke Madinah ketika sampai di Quba’ pada tahun 622 M beliau membangun masjid. Untuk merealisasikan program tersebut Rasulullah dan para sahabat bekerja bakti membangunnya. Akhirnya berdirilah sebuah bangunan masjid di Quba’, dan inilah masjid Islam pertama dalam Islam. Saat dibangun masjid ini berlantaikan tanah, dan beratap pelepah kurma. Dari masjid yang kecil inilah selanjutnya Rasulullah membangun peradaban Islam yang besar. Perkembangan pesat kota Madinah sendiri bermula dari pembangunan masjid.

Selama Rasulullah di Madinah seringkali beliau mengunjungi masjid Quba’ ini, begitu juga dengan para sahabat. Kunjungan Rasulullah dan para sahabat ke tempat tersebut bukan semata untuk mendirikan shalat di sana, tetapi lebih dari itu semua adalah untuk menjalankan proses pendidikan dan pengajaran kepada penduduk muslim di desa tersebut. Di dalam masjid ini, Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah, di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari.

Ketika Rasulullah telah tiba di kota Madinah setelah beberapa hari tinggal di desa, maka program pertama dalam pembangunan adalah mendirikan masjid. Rasulullah sendiri turut bekerja dengan giatnya beserta dengan para sahabat. Ia juga ikut mengangkat batu dan pohon kurma. Dengan semangat gotong-royong yang luar biasa dalam waktu singkat berdirilah masjid yang dinamakan dengan masjid Nabawi.

(19)

Kedua masjid tersebut dibangun atas dasar taqwa, Allah berfirman: “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108).

Di Madinah ketika itu selain masjid Nabawi juga tercatat sembilan masjid yang lain, dan dapat dimungkinkan juga kesembilan masjid itu difungsikan sebagai madrasah, dalam artian tempat belajar. Di antara masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu berupa halaqah-halaqah.34 Sistem ini selain menyentuh dimensi intelektual peserta

didik juga menyentuh dimensi emosional dan spiritual mereka. Metode diskusi dan dialog kebanyakan dipakai dalam berbagai halaqah.

Dalam halaqah ini, murid yang lebih tinggi pengetahuannya duduk di dekat guru. Murid yang level pengetahuannya lebih rendah dengan sendirinya akan duduk lebih jauh, serta berjuang dengan keras agar dapat mengubah posisinya dalam halaqah-nya, sebab dengan sendirinya posisi dalam halaqah menjadi sangat singnifikan. Meskipun tidak ada batasan resmi, sebuah halaqah biasanya terdiri dari sekitar 20 orang siswa.35

Dikte (imla’) biasanya memainkan peranan pentingnya, tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Uraian materi disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Menjelang akhir sesi, diadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penyerapan materi beserta pemahamannya terhadap peserta didik. Terkadang pengajar menyempatkan diri untuk memeriksa catatan peserta didik, mengoreksi dan menambah seperlunya. Seorang peserta

34Kata halaqah atau usrah bermakna keluarga. Kata ini sering juga diartikan dengan ikatan

persaudaraan antar beberapa orang yang mempunyai satu cita-cita, satu pemikiran, dan satu visi untuk mencapai tujuan tertentu. Halaqah ini adalah metode yang umum diterapkan oleh hampir setiap rasul dalam menyebarkan ajaran tauhid. Sebagai contoh, nabi Isa mengadakan halaqah bersama golongan Hawariyyun untuk menyampaikan dakwahnya.

35Samsul Nisar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah

(20)

didik juga bisa masuk dari satu halaqah ke halaqah lainnya sesuai orientasi dan materi belajar yang ia ingin capai.36

Rasulullah pun melakukan evalusi pengajaran, dengan cara mengevaluasi hafalan para shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al-Qur’an dihadapannya dan membetulkan hafalan dan bacaan yang keliru, dan setiap utusan yang akan dikirim oleh Rasulullah dicek dulu kemampuannya. Misalnya ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai qadli, Rasulullah menanyakan bagaimana ia memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah umat. Mu’adz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al-Qur’an, as-Sunnah, dan jika tidak didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka Rasulullah pun tersenyum tanda menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz sebagai qadli di Yaman.37

Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama yang terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwwah dan mahabbah sesama kaum muslim, semangat persamaan dan keadilan sesama muslim, dan terpadunya beragam latar belakang kaum muslim dalam suatu kesatuan yang kokoh.38

Di sebelah selatan masjid terdapat satu ruangan yang disebut al suffah, yakni tempat tinggal para sahabat miskin yang tidak memiliki rumah. Mereka

36Zainal Efendi Hasibuan, Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal: Telaah Pola Pendidikan

Islam Era Rasulullah Fase Mekkah dan Madinah dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 10.

37Pada tahun ke-9 Hijriyah, delegasi dari berbagai penjuru berdatangan ke Madinah

untuk menyatakan keislaman mereka. Satu di antaranya berasal dari negeri Yaman. Mereka meminta kepada Rasulullah untuk mengirim seorang utusan yang akan memberi pemahaman agama kepada penduduk di sana dan mengajarkan syariat. Mengingat kapasitas ilmunya yang luas, wajahnya yang rupawan, dan budi pekertinya yang luhur, Mu’adz bin Jabal kemudian ditunjuk Rasulullah untuk tugas ini. Lebih lengkapnya lihat Khalid Muhammad Khalid. 60 Sahabat Rasulullah. Terjemahan M. Arfi Hatim dari judul asli Men Around The Messenger. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 138.

38Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah

(21)

yang tinggal di al suffah ini disebut ahl al suffah.39 Mereka adalah para penuntut

ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan proses pendidikan kepada mereka dan para sahabat lain.

E. Simpulan

Simpulan dari pemaparan di atas adalah bahwa periode klasik merupakan masa gemilang (the golden age) bagi umat Islam. Pada masa tersebut umat Islam berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Agama Islam memberikan motivasi yang sangat jelas agar pemeluknya berkarya untuk mencapai kemajuan dan kejayaan. Kemajuan dan kejayaan tersebut tidak mungkin bisa tercapai tanpa ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak mungkin bisa diperoleh tanpa proses pendidikan.

Proses pendidikan pada masa klasik berlangsung secara informal dan nonformal, yakni dilangsungkan di masjid, surau, dan di rumah-rumah. Pada awal Islam, proses pembelajaran dilaksanakan di rumah Arqam bin Abi al Arqam. Setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah, maka proses pendidikan lebih difokuskan di masjid. Masjid pada periode klasik memiliki multi fungsi, salah satunya menjadi pusat pendidikan Islam. Sejak zaman Rasulullah saw sampai sekarang masjid tetap menjadi pusat kebudayaan bagi ummat Islam. Masjid menjadi tempat pendidikan, musyawarah, ibadah, pengajian-pengajian, membina ummat, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Al Abrasyi, Atiyah. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.

Antonio, Muhammad Syafii. Muhammad saw: The Super Leader Super Manager, Jakarta: Tazkia Publishing, 2009.

Ayyub, Moh. E. dkk.. Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

39Muhammad Syafii Antonio, Muhammad saw: The Super Leader Super Manager (Jakarta:

(22)

Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayyid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

Al Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Jakarta: Rabbani Press, 2010.

Fyzee, A.A.A.. Kebudayaan Islam, terj. Syamsuddin Abdullah, Yogyakarta: Bagus arafah, 1982.

Ghazalba, Sidi. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1983.

Hasibuan, Zainal Efendi. Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal: Telaah Pola Pendidikan Islam Era Rasulullah Fase Mekkah dan Madinah dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna,

1988.

Munawwir, A.W.. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Mustofa, Budiman. Manajemen Masjid: Gerakan Meraih Kembali Kekuatan dan Potensi Masjid, Surakarta: Ziyad Visi Media, 2008.

An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989.

An Nahlawi, Abdurrahman.. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Salabi, Ahmad. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Sharqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986. Syahidin, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung: Alfabeta, 2003. Yusuf, Mundzirin, dkk.. Islam Budaya Lokal, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN

Sunan Kalijaga, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pemaparan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang fungsi masjid dalam pendidikan Islam bagi masyarakat dengan judul Fungsi Masjid

Teras yang biasa disebut serambi berfungsi sebagai tempat untuk berteduh serta beristirahat untuk menunggu datang dan selesainya shalat. Ruang serambi masjid memiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah berdirinya Masjid Sultan Suriansyah, peran Masjid Sultan suriansyah sebagai lembaga pendidikan Islam (2005-

George Makdisi menyebut masjid sebagai lembaga pendidikan Islam. Masjid adalah tempat berkumpulnya para ilmuan dan pecinta ilmu. Mereka saling berserikat untuk mengembangkan

Secara definitif Imam Zarkasi, mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya,

Di dalam format pendidikan masjid berupa halaqa tersebut, terdapat beberapa subjek pengajar yang masing-masing secara hirarkis memiliki tugas dan fungsi yang

Ketika masjid memiliki tempat di hati masyarakat muslim, dimana orang-orang Islam sudah tidak lagi menunda-nunda kehadirannya untuk melaksanakan shalat berjama’ah, mulailah

Menurut mereka pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan