1
Perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang, khususnya bidang perekonomian, kesehatan, dan teknologi menyebabkan peningkatan usia harapan hidup. Meningkatnya usia harapan hidup ini akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia. Jumlah lanjut usia di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan 18.575.000 jiwa, angka tersebut sekitar 7% dari jumlah seluruh penduduk. Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan terus meningkat diperkirakan mencapai 28,8 juta (11,34%) pada tahun 2020 (Wreksoatmodjo, 2012). Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia ini akan berdampak pula pada meningkatnya masalah-masalah terkait dengan proses penuaan.
Proses penuaan merupakan proses fisiologis dimana akan terjadi
perubahan-perubahan baik fisik, psikologis maupun sosial. Secara fisik, seiring
bertambahnya usia akan terjadi perubahan pada sistem tubuh seperti sistem
kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal, sistem imunitas
dan yang lainnya. Perubahan ini akan memunculkan masalah-masalah yang
terkait kesehatan seperti penyakit-penyakit degeneratif dan kerentanan
terhadap penyakit infeksi. Adanya keterbatasan-keterbatasan fisik baik karena
penyakit atau penurunan kondisi yang berkaitan dengan proses penuaan
membuat para lanjut usia kehilangan kemandiriannya, sehingga menjadi lebih
tergantung pada bantuan orang lain. Secara psikologis pada lanjut usia
terutama yang berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif dimana yang paling
sering dikeluhkan adalah penurunan daya ingat jangka pendek. Risiko untuk
kehilangan pasangan serta teman-temannya akan berpengaruh pula pada
kondisi psikologis. Secara sosial, terjadi pula perubahan pada peran serta relasi
sosial pada lanjut usia. Adanya masalah-masalah pada perubahan fisiologis
yang dialami pada proses penuaan serta stressor psikososial yang lebih berat,
maka populasi lanjut usia menjadi rentan mengalami gangguan-gangguan
psikis.
Gangguan psikologis seperti depresi umum dijumpai pada populasi lanjut usia karena adanya perubahan terkait proses penuaan yang merupakan stresor bagi para lanjut usia. Meta analisis menunjukkan rata-rata prevalensi depresi pada populasi lanjut usia yaitu 17,1% (Luppa dkk, 2012). Adanya depresi pada lanjut usia akan menurunkan kualitas hidup serta kepuasan pada lanjut usia.
Pada lanjut usia juga terjadi perubahan pada otak antara lain terjadi disfungsi neurotransmiter serta adanya atrofi pada beberapa bagian otak seperti hipokampus, sehingga menimbulkan kerentanan biologis yang lebih besar untuk mengalami depresi (Blazer & Hybels, 2005). Status kesehatan juga berkaitan dengan kejadian depresi pada lanjut usia. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan gejala depresi pada penyakit-penyakit fisik seperti infark miokard dan penyakit jantung lainnya, stroke, diabetes serta artritis. Penyakit-penyakit fisik tersebut akan menyebabkan status fungsional lanjut usia yang buruk dan hal tersebut merupakan salah satu penyebab meningkatnya risiko terjadinya depresi (Blazer & Hybels, 2005).
Salah satu gangguan fisik yang juga sering dijumpai pada lanjut usia yaitu sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan dari faktor- faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular maupun penyakit serebrovaskuler. Usia tua merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya abnormalitas metabolik sehingga prevalensi sindrom metabolik meningkat pada populasi lanjut usia (Arai et al, 2010). Prevalensi terjadinya sindrom metabolik pada usia setelah 60 tahun yaitu sekitar 40% (Sinclair &
Viljoen, 2010). Hasil penelitian di 4 Panti Wredha Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan Bekasi ditemukan prevalensi sindrom metabolik pada perempuan lanjut usia yaitu 57,6%, komponen sindrom metabolik terbanyak adalah hipertensi (79,3%), rendahnya kadar HDL (55,4%) dan obesitas sentral (53%).
Pada penelitian sindrom metabolik pada lanjut usia di Minahasa, ditemukan
dari 53 subyek, 45 orang (85%) menderita sindrom metabolik yang terdiri dari
pria 18 orang dan wanita 27 orang (Saunderajen, 2010). Disamping itu adanya
perubahan gaya hidup masyarakat masa kini yang tidak sehat, diantaranya
rendahnya aktivitas fisik, pola makan yang tidak seimbang (tinggi kalori, tinggi
lemak, rendah serat), merokok dan sebagainya, juga berdampak pada peningkatan prevalensi sindrom metabolik. Hal ini menyebabkan sindrom metabolik merupakan permasalahan kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang terus meningkat pada lanjut usia.
Baik depresi maupun sindrom metabolik berisiko menimbulkan dampak yang merugikan pada lansia. Depresi dapat menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sampai bunuh diri. Perjalanan penyakit pasien lanjut usia dengan depresi cenderung lebih kronis dibandingkan pasien dengan usia lebih muda, terutama sekali karena adanya penurunan fungsi pada lanjut usia yang juga berkembang secara progresif sehingga seiring waktu stresor yang dialami justru memberat. Depresi pada lanjut usia juga akan berdampak pada terapi gangguan komorbid yang muncul bersama dengan depresi. Depresi dilaporkan menurunkan kepatuhan terhadap regimen terapi pada pasien lanjut usia dengan DM dan hipertensi, sehingga perjalanan penyakitnya lebih buruk (Beekman et al. 2011).
Sindrom metabolik ini akan berdampak pada peningkatan morbiditas serta mortalitas pada lanjut usia. Adanya sindrom metabolik akan menurunkan kualitas hidup lansia. Sindrom metabolik akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan degeneratif, kardiovaskular, dan serebrovaskular. Penyakit seperti stroke, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan hipertensi sering dihubungkan dengan peningkatan prevalensi depresi (Baldwin, 2011).
Berbagai penelitian telah dilakukan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara depresi dengan sindrom metabolik yaitu bahwa keadaan depresi merupakan faktor risiko terjadinya sindrom metabolik yaitu melalui jalur aksis hypothalamus pituitary adrenal (HPA). Keterkaitan antara depresi dengan sindroma metabolik bisa berlangsung dua arah dimana kondisi depresi itu sebagai penyebab maupun sebagai konsekuensi dari sindrom metabolik.
Pada penelitian ini dilakukan pada peserta kelompok senam diabetes RS
Jiwa Prof. dr. Soerojo Magelang. Kelompok senam ini merupakan bagian dari
program binaan Keswamas (Kesehatan Jiwa Masyarakat) dan rutin diadakan di
RS Jiwa Prof. dr. Soerojo Magelang. Peserta pada kelompok senam diabetes
tersebut banyak yang menderita diabetes, hipertensi, gangguan lipid serta berusia lanjut.
Pemahaman tentang hubungan antara sindrom metabolik dan depresi pada lanjut usia akan memberikan jalan untuk kemungkinan intervensi. Sedangkan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan sindrom metabolik dengan depresi khususnya pada lanjut usia di Indonesia masih sedikit. Hal ini yang menjadi latar belakang penulis untuk meneliti hubungan antara sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah apakah terdapat hubungan sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia.
D. Manfaat Penelitian
Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan hubungan sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia, diharapkan dapat memberi manfaat, berupa:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak, berupa pengetahuan tentang hubungan sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia.
2. Manfaat praktis
Diharapkan dengan tulisan ini, dapat mengedukasi masyarakat
khususnya lanjut usia untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari
sindrom metabolik dan mencegah depresi.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian mengenai hubungan sindrom metabolik dengan depresi pada lanjut usia yang sudah pernah dilakukan dan digunakan sebagai acuan pustaka diantaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar penelitian mengenai sindrom metabolik dan depresi pada lanjut usia:
Peneliti Judul Penelitian Desain & Subyek Hasil
Sekita A, et al.
(Japan, 2013)
Elevated depressive symptoms in metabolic syndrome in a general population of Japanese men: a cross- sectional study
Studi : cross sectional Subyek penelitian : 3.113 orang,
umur 40 tahun ke atas.
Instrumen : - NCE-ATP III - CES-D (Center for Epidemiologic Studies Depression Scale)
Sindrom Metabolik berhubungan dengan peningkatan gejala depresi pada populasi umum pria Jepang.
Akbaraly TN, et al. (French, 2011)
Metabolic Syndrome and Onset of Depressive Symptoms in the Elderly
Studi: kohort Subyek penelitian : 4.446, umur 65-91 tahun.
Instrumen : - NCE-ATP III - CES-D (Center for Epidemiologic Studies Depression Scale)
Hubungan antara sindrom metabolik dengan depresi yang sampai saat ini sudah dibuktikan pada usia pertengahan sebenarnya juga dapat diperluas sampai lanjut usia.
Akbaraly TN, et al. (UK, 2009)
Association Between Metabolic Syndrome and Depressive Symptoms in Middle-Aged Adults
Studi : kohort
Subyek penelitian: 5.232, umur 41-61 tahun.
Instrumen : - NCE-ATP III - GHQ (depression)
Sindrom metabolik, khususnya komponen obesitas dan dyslipidemia, diprediksi sebagai gejala depresi.