• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI SOSIAL DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI SOSIAL DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI SOSIAL

DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71

DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

ZULFA ADZKIA ZAHIDAH WISKHA

NIM: 111-13-141

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp. : -

Hal : Naskah Skripsi

Saudari Zulfa Adzkia Zahidah Wiskha

Kepada

Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudari :

Nama : Zulfa Adzkia Zahidah Wiskha NIM : 111 13 141

Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul : NILAI-NILAI SOSIAL DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Dengan ini kami mohon kepada Bapak Dekan FTIK IAIN Salatiga agar skripsi saudari tersebut di atas segera dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi perhatian.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 19 Juni 2017 Pembimbing

(4)
(5)
(6)

MOTTO

ا نع

ساَّنلل ْمُهُعَفْ نا ساَّنلاُرْ يَخ ملس و ويلع للها ىلص للها لوسر لاق رمع نب

“Sebaik

-

baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lain”

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Baidlowi dan Ibu Umi Shobihah yang selalu ada dalam keadaan apapun, membantu dan mencurahkan semua usaha dan kasih sayang serta doa untukku, memberikan segalanya untukku, terimakasih ibu, bapak, tanpa dukungan ibu bapak saya tidak akan pernah sampai detik ini. Sayang dan hormat serta doaku selalu untuk ibu bapak.

2. Adik-adikku yang saya sayangi, Alfina Wiqoyati Wiskha dan Salwa Kamila Wiskha, semoga kalian selalu bisa menjadi kebanggaan ibu bapak. 3. Keluarga besarku yang telah memberikan banyak dorongan sehingga saya

terus berusaha menjadi lebih baik.

4. Sahabat-sahabatku yang saya sayangi, yang kami sering menyebutnya grup “Wanita Karier”, semoga nama itu tidak hanya menjadi nama grup

semata, melainkan doa semoga kita semua menjadi wanita karir yang sholihah dan berwibawa. Terimakasih atas semua dukungan dan motovasi dari sahabat-sahabat.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Puji syukur alhamdulillahi robbil‟alamin, penulis panjatkan kepada Allah Swt yang selalu memberikan nikmat, kaunia, taufik, serta hidayah-Nya kepada penulis sehinggap penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71 dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam.

Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi agung Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, serta para pengikutnya yang selalu setia dan menjadikannya suri tauladan yang mana beliaulah satu-satunya umat manusia yang dapat mereformasi umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang benerang yakni dengan ajarannya agama Islam.

Penulisan skripsi ini pun tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

sekaligus juga sebagai dosen pembimbing akademik.

(9)
(10)

ABSTRAK

Wiskha, Zulfa Adzkia Zahidah. 2017. Nilai-Nilai Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71 dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam. Skripsi, Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

Kata Kunci: Sosial, Surat at-Taubah ayat 71 dan Pendidikan Islam

Sosial merupakan hal yang begitu penting bagi setiap individu. Hubungan Sosial dibutuhkan dalam tata cara hidup bermasyarakat. Manusia di muka bumi tidak bisa hidup dengan sendiri, melainkan membutuhkan orang lain, untuk berinteraksi, saling tolong menolong, saling mengingatkan antar sesama.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui nilai-nilai sosial dalam tafsir surat Taubah ayat 71. 2) Mengetahui relevansi nilai sosial dalam tafsir at-Taubah ayat 71 terhadap pendidikan Islam.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologis. Pendekatan ini digunakan untuk menggunakan data sebanyak-banyaknya tentang sosial, data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan dilakukan dengan jalan Library Research (penelitian kepustakaan), dengan sumber tafsir para mufassirin yang menjelaskan tafsir tentang surat at-Taubah ayat 71, pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catan-catan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, yang membahas tentang sosial dalam pendidikan Islam. Metode yang digunakan antara lain Mudlu‟i, deduktif, dan induktif.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN BERLOGO ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

PENGESAHAN KELULUSAN iv

DEKLARASI v

MOTTO vi

PERSEMBAHAN vii

KATA PENGANTAR viii

ABSTRAKSI x

DAFTAR ISI xi

BAB I: PENDAHULUAN

A.Latar Belakang 1

B.Rumusan Masalah 6

C.Tujuan Penelitian 6

D.Kegunaan Penelitian 6

E. Metode Penelitian 7

F. Penegasan Istilah 11

G.Sistematika Penulisan 15

BAB II: LANDASAN TEORI A.Sosial

1. Pengertian Sosial 17

(12)

3. Fungsi Pendidikan Sosial 20 B.Nilai Sosial dalam Pendidikan Islam

1. Nilai-Nilai Sosial 21

2. Pengertian Pendidikan Islam 22

3. Landasan Pendidikan Islam 25

4. Tujuan Pendidikan Islam 26

5. Bentuk Nilai Sosial dalam Pendidikan Islam 32 C.Al-Qur‟an Surat At-Taubah

1. Asbabun Nuzul Surat At-Taubah 35 2. Maksud dan Tujuan Surat At-Taubah 38

3. Kompilasi Ayat 40

BAB III: TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71

A.Pendapat Mufassirin tentang Surat At-Taubah ayat 71

1. Tafsir Al-Maraghi 44

2. Tafsir Ibnu Katsir 48

3. Tafsir Al-Mishbah 49

4. Tafsir Muyassar 53

5. Tafsir Al-Qur‟anul Majid 54

B.Munasabah

1. Munasabah Surat at-Taubah ayat 71 dengan ayat Sebelum

dan Sesudahnya 56

2. Keterkaitan Surat at-Taubah Ayat 71 dengan Ayat Lain

(13)

BAB IV: RELEVANSI PENDIDIKAN SOSIAL DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 TERHADAP

PENDIDIKAN ISLAM

A. Nilai-Nilai Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71

1. Makna Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71 66 2. Nilai-nilai Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71 67 B. Relevansi Nilai Sosial dalam Tafsir Surat at-Taubah ayat 71

terhadap Pendidikan Islam

1. Sosial dan Ruang Lingkupnya dalam Pendidikan Islam 79 2. Hubungan Pendidikan Islam dengan Sosial dalam Tafsir

Surat at-Taubah ayat 71 82

3. Bentuk Relevansi Nilai Sosial dalam Tafsir Surat

at-Taubah ayat 71 terhadap Pendidikan Islam 84 BAB V: PENUTUP

A.Kesimpulan 97

B.Saran 98

C.Penutup 99

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah untuk umat manusia dengan tuntunan hidup yang serba sempurna, agar dapat dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia supaya mereka dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Untuk itu ikuti tuntunan Allah dan Rosul-Nya dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah yang mengajarkan bagaimana cara bertoleransi kepada semua golongan guna menjamin adanya perdamaian sesama umat (Yunus Ali Al Muhdar, 1986: 3-4).

Agama Islam memiliki banyak aturan yang mengatur segala seluk beluk manusia di muka bumi ini, baik itu dari hal yang terkecil hingga hal yang sangat penting, mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Allah yang lain seperti hewan dan tumbuhan, maupun hubungan manusia dengan Dzat Pencipta.

(15)

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Akan tetapi dengan kesempurnaannya, tidak akan pernah bisa manusia hidup di muka bumi ini dengan sendiri ataupun tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi, kerja sama, dan bantuan orang lain. Dewasa ini sering dijumpai disekitar kita minimnya rasa sosial diantara manusia, minimnya moral yang disebabkan kurang terjalinnya hubungan sosial yang baik diantara masyarakat. Masyarakat yang hidup pada zaman saat ini banyak menyampingkan hubungan sosial diantara masyarakat, mereka lebih banyak memilih hidup individulisme, dan lebih mementingkan kelompok sendiri.

Anak manusia lahir dalam keadaan lemah. Ia belum dapat beradaptasi sendiri dengan lingkungan sekitarnya, baik fisik maupun sosial. Namun, kelemahan itu memberi indikasi sosial pedagogis. Kelemahan itu menjadi dasar untuk mempersiapkan dan membentuk kepentingan masyarakat, disamping melakukan transformasi dari fase individualitas-biologis kepada fase personalitas-humanis-sosial. Proses transformasi inilah yang disebut proses pendidikan. Jadi, pendidikan dalam arti ini merupakan “proses kultural dan jalan bagi anak manusia

yang baru lahir itu untuk menjadi anggota yang sempurna di dalam masyarakat insani” (Hery Noer Aly, 2003: 175).

(16)

mewujudkan hakekat kehidupan yang sesuai dengan tujuan. Melalui pendidikan seseorang dapat mampu memperoleh memberikan pengetahuan, dimana pengetahuan tersebut seseorang mendapatkan informasi.

Pendidikan merupakan media dalam menyiapkan generasi muda muslim yang bertaqwa kepada Allah, hidup dengan aqidahnya, melakukan syiar agamanya, bergaul dengan sesama dengan cara yang lurus, mengaplikasikan perintah agama dan menjauhi larangannya dalam seluruh aspek kehidupan individu, keluarga, sosial kemasyarakatan, masyarakat lokal atau internasional. Dan di sisi lain, pendidikan sebagai media untuk mengaplikasikan Islam, sebagai aqidah, syariat, pedoman kehidupan dalam seluruh aspek pemikiran, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan politik merupakan sesuatu yang penting pula (Hafidz, 2009: 1)

Berbagai ranah pendidikan yang di pelajari seseorang dalam kehidupannya. Diantaranya pendidikan sosial dimana pendidikan sosial tersebut banyak memberikan pelajaran berharga dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana hidup bersosial dengan baik, saling tolong menolong, serta menjaga kerukunan antar sesama manusia.

(17)

maka itulah perkumpulan yang baik karena membawa dampak positif bagi orang yang berkumpul. Manusia diharapkan saling tolong menolong antar sesama, dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan, serta mencegah pada perbuatan yang dilarang syariat Islam.

Dengan berbagai masalah yang muncul dalam negeri ini, kurangnya rasa toleransi dan solidaritas yang menyebabkan Indonesia krisis akan moral dan spiritual, maka untuk membentuk Negara yang berjiwa toleransi tinggi, saling tolong menolong, dan menghargai sesama, diharapkan masyarakat dapat memberikan kontribusi penuh kepada generasi penerus bangsa dengan pendidikan sosial yang baik agar mereka hidup dengan penuh kedamaian dan saling tolong menolong.

Dalam Islam yang memiliki kitab suci al-Qur‟an yang banyak menjelaskan tata cara manusia hidup di muka bumi maupun hukum-hukum yang mengikat kepada manusia. Al-Qur‟an memberikan banyak pengetahuan serta menjelaskan tentang pendidikan secara baik kepada seluruh manusia. Di dalam al-Qur‟an terdapat surat at-Taubah ayat 71, dimana dalam ayat tersebut banyak menjelaskan mengenai nilai pendidikan salah satunya pendidikan sosial.

(18)

Artinya:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka

menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar,

mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rosul-Nys. Mereka itu akan diberi rahamat oleh Allah; sesungguhnya

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. at-Taubah: 71).

Melalui ayat al-Qur‟an dalam surat at-Taubah, yang menjelaskan didalamnya untuk saling tolong menolong antar sesama manusia dan menyeru kepada yang ma‟ruf serta mencegah pada yang munkar, peneliti

akan meneliti lebih dalam makna surat at-Taubah ayat 71, kandungan serta nilai-nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam ayat tersebut, serta meneliti bagaimana relevansinya terhadap pendidikan Islam. Maka dalam penelitian ini penulis memberi judul: NILAI-NILAI SOSIAL DALAM TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM. Penulis akan berusaha mengulas nilai-nilai pendidikan sosial dalam surat at-Taubah ayat 71 serta relevansinya terhadap pendidikan Islam. Diharapkan nantinya dapat dijadikan referensi dalam pembimbingan sosial para pelajar dan juga masyarakat umum.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut:

(19)

2. Apa relevansi nilai sosial dalam tafsir surat at-Taubah ayat 71 terhadap pendidikan Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sebagai konsekuensi dari permasalahan pokok, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui nilai sosial dalam tafsir surat at-Taubah ayat 71. 2. Untuk mengetahui relevansi nilai sosial dalam tafsir surat at-Taubah

ayat 71 terhadap pendidikan Islam. D. Kegunan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan pendidikan sosial pada khususnya, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan sosial dalam surat at-Taubah ayat 71.

b. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi orang tua, pendidik, masyarakat, khususnya penulis untuk mengetahui dan mendalami serta mengamalkan nilai-nilai pendidikan sosial dalam surat at-Taubah ayat 71.

2. Kegunaan Praktis

(20)

a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap masyarakat dalam memahami nilai-nilai pendidikan sosial yang sebenarnya.

b. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan khususnya orang tua, pendidik, dan masyarakat agar dapat mengaplikasikan pendidikan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metode Penelitian

Metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya sehingga dapat mencapai objek atau tujuan permasalahan. Sedangkan metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data yang objektif, valid dan reliable agar dapat diperoleh, dibuktikan dan dikembangkan suatu pengetahuan guna memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Moleong, 2002: 4).

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi, 1981: 3). Penelitian pustaka yaitu penelitian yang difokuskan pada penelusuran dan telaan literatur serta bahan pustaka lainnya. Literratur juga merupakan cara untuk menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya.

(21)

dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang metode pendidikan sosial, kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian kepustakaan menghasilkan suatu kesimpulan tentang gaya bahasa buku, kecenderungan isi buku, tata tulis, lay-out, ilustrasi dan sebagainya (Arikunto, 1993: 11).

2. Pendekatan Penelitian

Dalam pendekatan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologis. Pendekatan ini digunakan untuk menggunakan data sebanyak-banyaknya tentang sosial.

3. Sumber Data

Pada skripsi ini yang menjadi sumber penelitian adalah penafsiran Surat at-Taubah ayat 71.

a. Sumber Data Primer

Sumber yang diperoleh langsung dari sumbernya, surat at-Taubah dan kitab-kitab tafsir antara lain:

1.) Tafsir al-Mishbah jilid 5 karya M. Quraish Shihab

2.) Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 karya Muhammad Nasib ar-Rifa‟i 3.) Tafsir al-Qur‟anul Majid an-Nuur karya Teungku Muhammad

Hasbi ash-Shiddieqy.

4.) Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi.

(22)

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya penulis lain yang membahas tentang pendidikan sosial, baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, maupun karya ilmiah lainnya. Buku-buku bacaan literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini, diluar sumber primer.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan penelitian ini, data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan dilakukan dengan jalan Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka (Zed, 2004: 3).

Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catan-catan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger, agenda, dan sebagainya.

(23)

5. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan penulis antara lain:

a. Maudlu‟i

Metode Maudlu‟i menurut istilah menafsirkan ayat-ayat

al-Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai

maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan suatu topik dan menyusunnya berdasarkan kronologi, dan sebab turunnya ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 50). Dengan menggunakan berbagai referensi penulis berusaha menjelaskan isi pokok surat at-Taubah sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. b. Deduktif

Metode deduktif adalah “berangkat dari pengetahuan yang

secara umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus” (Hadi, 1981: 36).

(24)

c. Induktif

Cara berfikir dengan berlandaskan pada fakta yang khusus dan kemudian ditarik menjadi pemecahan yang bersifat umum (Hadi, 1981: 42). Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Dan hasil analisis surat at-Taubah, kemudian ditarik kesimpulan dari surat tersebut dan keterkaitannya dengan nilai-nilai pendidikan sosial secara umum. F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari penafsiran dan kesalahan pemahaman, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:

1. Nilai-nilai

Nilai-nilai adalah suatu kualitas yang dibedakan menurut kemampuan untuk berlipat ganda atau bertambah meskipun sering dibedakan kepada orang lain dan kenyataan atau hubungan bahwa makin banyak nilai diberikan kepada orang lain, makin banyak pula nilai serupa yang dikembalikan dan diterima oleh orang lain (Abdul Majid, 2013: 42).

(25)

memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan, nilai-nilai memberi seperti: setia, dapat dipercaya, hormat, sopan, cinta, kasih saying, peka, dan lain-lain.

2. Sosial

Ilmu sosial merupakan disiplin ilmu yang bersahabat dengan disiplin ilmu lainnya. Dasar ilmu sosial adalah pengaruh dan efek samping satu komunitas dan komunitas lainnya (Wardi Bachtiar, 2006: 27).

Ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai semua bidang ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam konteks sosialnya atau sebagai anggota masyarakat. Jadi dengan demikian, tiap ilmu pengetahuan yang mempelajari dengan mengkaji aspek kehidupan manusia di masyarakat, termasuk bagian dari ilmu-ilmu sosial (Nursid Sumaatraja, 1986: 22). Ilmu-ilmu sosial dipergunakan dalam pendekatan, sekaligus sebagai sarana jalan keluar untuk mencari pemecahan masalah-masalah sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat (Abu Ahmadi, 1991: 3).

(26)

3. Surat at-Taubah

Surat at-Taubah merupakan surah terakhir yang diterima Nabi SAW. Ia turun di Madinah sesudah turunnya surat al-Fath (Surat ke 110 dalam perurutan Mushaf). Jumlah ayatnya 129 ayat. Dalam urutannya surat at-Taubah berurutan pada juz 10 dan 11.

Selain at-Taubah dan Baro‟ah yang merupakan nama popular, surah ini dikenal juga beberapa nama lain, seperti al-Muqasyqisyah, yakni yang menyembuhkan atau membersihkan dari kemusyrikan dan kemunafikan, juga dinamai al-Fadhihah atau pembuka rahasia. Ada lagi yang menamainya Surah al-Munaqqirahatau yang melobangi hati orang-orang munafik. Sehingga penipuan dan niat busuk yang terpendam dihati mereka terbongkar dan muncul ke permukaan.

(27)

4. Pendidikan Islam

Secara etimologi pendidikan berasal dari kata didik; mendidik, yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan. Pendidikan adalah perbuatan (hal, cara dsb) mendidik (Poerwadarminta, 2006: 291).

Secara terminologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia (2007: 263) ialah mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Islam adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad yang berpedoman pada kitab suci al-Qur‟an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insani untuk membentuk manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.

(28)

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan. BAB 11 : LANDASAN TEORI

Pada bab ini dikemukakan tentang pendidikan sosial yang meliputi pengertian pendidikan sosial, tujuan pendidikan sosial, dan fungsi pendidikan sosial. Nilai pendidikan sosial dalam pendidikan Islam yang meliputi nilai nilai pendidikan sosial, pengertian pendidikan Islam, landasan pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, bentuk nilai sosial dalam pendidikan Islam. Asbabun Nuzul surat Taubah, isi surat Taubah, maksud dan tujuan Surat at-Taubah, serta kompilasi ayat.

BAB 111 : TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71

(29)

BAB IV : RELEVANSI PENDIDIKAN SOSIAL DALAM SURAT AT-TAUBAH AYAT 71 TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Menganalisis tentang pendidikan sosial dalam al-Qur‟an surat a-Taubah ayat 71, yang berisi nilai pendidikan sosial dalam Surat at-Taubah ayat 71 serta relevansi pendidikan sosial surat a-Taubah ayat 71 terhadap pendidikan Islam.

BAB V : PENUTUP

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sosial

1. Pengertian Sosial

Ilmu sosial adalah ilmu yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian manusia sebagai makhluk sosial yang berwawasan luas dan kritis serta dapat menyelesaikan sebuah masalah dengan baik, memahami konsep-konsep dasar tentang manusia sebagai makhluk sosial.

Sosial merupakan hal yang begitu penting dalam kehidupan manusia, dengan adanya hubungan sosial seseorang akan lebih banyak memiliki jangkauan terhadap orang lain, oleh karenanya begitu penting hubungan sosial masyarakat satu dengan yan lainnya.

(31)

Dalam kamus sosiologi dan kependudukan mendefinisikan sosial adalah hubungan seorang individu dengan lainnya dari jenis yang sama atau pada sejumlah individu untuk membentuk lebih banyak atau lebih sedikit, kelompok yang terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan implus-implus yang berhubungan dengan lainnya. Kata sosial dihubungkan dengan pengertian hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Sebagai contoh, bila dikaitkan dengan kehidupan seseorang dalam memenuhi kebutuhan untuk lebih meningkatkan kegiatan sosial dalam suatu lingkungan tertentu terutama komunitas. Kata sosial mempunyai kecenderungan kearah pengertian kelompok orang, yang berkonotasi „masyarakat‟ dan „warga‟ (Diana Convers,

1991: 10).

(32)

fasilitas pelayanan umum yang layak (Undang-Undang Dasar, 2016: 153,166).

Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri dan berkembang sempurna tanpa hidup bersama dengan individu manusia lainnya. Manusia harus hidup bermasyarakat saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya dan juga dengan individu di luar kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingan (Lies Sudibyo, 2013: 5).

Jadi, sosial adalah humanisasi yang dipengaruh kondisi dan situasi dimana hubungan seorang individu dengan lainnya dari jenis yang sama atau pada sejumlah individu untuk membentuk lebih banyak atau lebih sedikit, kelompok yang terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan implus-implus yang berhubungan dengan lainnya. 2. Tujuan Sosial

(33)

a. Memahami dan menyadari adanya kenyataan-kenyataan sosial dan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat.

b. Peka terhadap masalah sosial dan tanggap untuk ikut serta dalam usaha menanggulanginya.

c. Menyadari bahwa setiap masalah sosial yang timbul dalam masyarakat selalu bersifat kompleks dan hanya dapat mendekatinya (Mahfudh Shalahuddin, 1991: 5)

3. Fungsi Pendidikan Sosial

Tugas pendidikan dimulai dari keluarga yang berkewajiban mentransfer pengalaman kepada anak untuk selanjutnya dapat membuka jalan hidupnya sendiri. Namun, pengalaman itu kemudian berakumulasi, dan kebudayaan yang hendak ditransfer sangat banyak dan kompleks akibat berinteraksinya keluarga-keluarga dalam bentuk masyarakat dengan segala wataknya yang khas.

Pendidikan Mempunyai Dua Fungsi:

a. Memilih warisan budaya yang relevan bagi zaman ketika pendidikan itu berlangsung, sehingga bentuk dan kepribadian masyarakat dapat terpelihara.

b. Memperhitungkan semangat zaman dalam melakukan perubahan dan pembaharuan yang terus-menerus, serta mempersiapkan generasi sesuai dengan prinsip “Yang ada bukanlah tetap yang

(34)

Fungsi pendidikan sosial adalah kegunaan sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat yaitu memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan pentingnya hubungan sosial dengan sesama, saling membantu, gotong royong, serta peka terhadap lingkungan sekitar, dan mengajak banyak orang untuk melakukan suatu kebaikan serta mencegah kemunkaran.

B.Nilai-Nilai Sosial dalam Pendidikan Islam 1. Nilai-nilai Sosial

Nilai adalah gambaran dari apa yang diinginkan, yang pantas, dan yang berharga serta yang mempengaruhi tingkah laku seseorang. Dengan kata lain, nilai-nilai adalah standard-sandard di mana pendukung-pendukung suatu kebudayaan mendefinisikan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan, apa yang baik dan tidak baik, apa yang indah dan jelek. Karena itu, nilai-nilai adalah semacam evaluasi atau pertimbangan tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh menurut kebudayaan tertentu. Prinsip-prinsip ini tercemin di dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir (Abdul Syani, 2002: 50).

Istilah “Sosial” (social) pada ilmu-ilmu sosial mempunyai arti yang

(35)

menunjukkan pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme adalah ideologi yang berpokok pada prinsip pemilikan umum (atas alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi. Sedangkan istilah “sosial pada Departemen sosial, menunjukkan pada kegiatan-kegiatan

di lapangan sosial, artinya kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti misalnya tuna karya, tuna susila, orang jompo, yatim piatu dan lain sebagainya, yang ruang lingkupnya adalah pekerjaan ataupun kesejahteraan sosial (Soerjono Soekanto, 1986: 11). Nilai-nilai sosial antara lain:

a. Stratifikasi sosial: perbedaan (diferensasi) yang berhubungan dengan pengertian perbedaan tingkat, dimana anggota masyarakat berada di dalamnya (Abdul Syani, 2002: 83).

b. Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

c. Bersahabat dan komunikatif: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk membangun suasana persaudaraan dan relasi dengan orang-orang lain.

d. Cinta damai: sikap dan tindakan yang mendorong untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tetapi melalui dialog.

(36)

mengembangkan upaya-upaya umtuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi.

f. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Bernard Raho, 2016: 132-133).

g. Norma sosial: kekuatan dari serangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tingkah laku atau perbuatan manusia yang menurut penilaian anggota kelompok masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik atau buruk, pantas atau tidak pantas (Abdul Syani, 2002: 55).

2. Pengertian Pendidikan Islam

Kata pendidikan dalam bahasa Arab tarbiyah dengan kata kerja rabba. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta‟lim” dengan kata kerjanya “ ‟allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa

Arabnya “tarbiyah wa ta‟lim” sedangkan “pendidikan Islam” dalam

bahasa Arabnya “Tarbiyah Islamiyah”.

(37)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. al-Isra‟: 24).

Dalam bentuk kata benda, kata “rabba” ini digunakan juga untuk

“Tuhan”, mungkin karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh,

memelihara, malah mencipta.

Kata lain yang mengandung arti pendidikan ialah

َبَّدَا

seperti

sabda Rasul:

ونع وّللا يضر سنأ نعو(

لاق دقو فيك )ًاقلخ سانلا نسحأ وّللا لوسر ناك :لاق

«

بييدأت نسحأف بير نيبدأ

»

حيحص هانعمو فيعض هدنس بييدأت نسحأف بير نيبدأ

Dari Anas r.a berkata: Rosulullah SAW bersabda: “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”

(Muhammad bin Darways bin Muhammad, Juz 1 : 35)

Kata “ta‟lim” dengan kata kerjanya “ „allama” juga sudah digunakan pada zaman Nabi. Baik dalam al-Qur‟an, Hadits atau pemakaiannya sehari-hari, kata ini lebih banyak digunakan dari pada kata “tarbiyah” tadi (Zakiah Daradjat, 2011: 25-26).

(38)

Menurut Zakiah Daradjat, landasan pendidikan Islam terdiri dari

al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat

dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah al mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya.

a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an adalah firman Allah berupa wahyu yang

disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syariat (Zakiah Daradjat, 2011: 19).

b. As-Sunnah

As-Sunnah adalah perkataan, perbuatan, maupun pengakuan Rosulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rosulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah al-Qur‟an. Seperti al-Qur‟an Sunnah juga berisi aqidah dan syariat.

(39)

manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya dan muslim yang bertaqwa (Zakiah Daradjat, 2011: 20).

c. Ijtihad

Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam untuk menetapakan/menentukan suatu hukum syariat Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan as-Sunnah. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur‟an dan as -Sunnah tersebut (Zakiah Daradjat. 2011: 21).

4. Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam berhubungan erat dengan agama Islam itu sendiri, lengkap dengan aqidah, syariat dan sistem pendidikannya. Keduanya ibarat dua kendaraan yang berjalan diatas dua jalur seimbang, baik dari segi tujuan maupun rambu-rambunya yang disyariatkan kepada hamba Allah yang membekali diri dengan takwa, ilmu, hidayah, serta akhlak untuk menempuh perjalanan hidup.

(40)

Tujuan pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Untuk merealisasi tujuan tersebut, Allah mengutus para Rasul untuk menjadi guru dan pendidik serta menurunkan kitab samawi.



Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Q.S al-Jumu‟ah, 62:2) (Herry Noer Aly, 2003: 138-142).

Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan Nasional Negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tujuan umum itu tidak dapat dicapai kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya (Zakiah Daradjat, 2011: 30).

b. Tujuan Khusus

(41)

kebahagiaan tersebut dapat digali tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:

1.) Mendidik individu yang shaleh dengan memperhatikan segenap dimensi perkembangannya: rohaniah, emosional, sosial, intelektual, dan fisik.

2.) Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim.

3.) Mendidik manusia shaleh bagi masyarakat insani yang besar. Pendidikan Islam mendidik individu agar berjiwa suci dan bersih. Dengan jiwa yang demikian, individu akan hidup dalam ketenangan bersama Allah, teman, keluarga, masyarakat dan umat manusia di seluruh dunia. Dengan demikian, pendidikan Islam telah ikut andil dalam mewujudkan tujuan-tujuan khusus agama Islam, yaitu menciptakan kebaikan umum bagi individu, keluarga, masyarakat, dan umat manusia.

(42)

Dalam pendidikan aspek emosional, Islam berupaya mengantar individu untuk mencapai kematangan emosional. Islam mengakui bahwa manusia memiliki emosi seperti kasih sayang, sedih, gembira, dan marah. Emosi tersebut merupakan sesuatu yang alami pada manusia. Namun, Islam memperlakukan emosi tersebut secara seimbang dengan memenuhi tuntutannya tanpa berlebihan ataupun kekurangan. Ibadah-ibadah dalam Islam, umpamanya, jika dilaksanakan secara benar, akan mengantar seseorang kepada kematangan emosional. Zakat akan menumbuhkan rasa cinta berbuat baik dan membatasi rasa cinta memiliki. Ibadah haji akan menambah kepekaan untuk rendah hati dan menguatkan makna-makna kasih-sayang.

Dalam pendidikan aspek sosial, Islam berupaya mendidik individu agar insyaf akan hak-hak. Individu akan dimintai pertanggungjawaban sehubungan dengan sikap dan tindakannya terhadap hak-hak itu.

(43)

kekuasaan Allah, baik kealaman, sosial, ataupun kejiwaan, kemudian mengambil hikmah dari semua itu.

Pendidikan aspek jasmani termasuk salah satu aspek yang mendapat perhatian Islam dalam mendidik individu. Kebutuhan fisik seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan seks, diperhatikan dan dipenuhi dalam batas-batas yang seimbang dengan kemaslahatan umum masyarakat. Untuk itu, Islam meletakkan aturan yang menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselematan jasmani, memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang bermanfat, dan mengubah tenaga vital yang berlebihan di dalam tubuh menjadi berguna bagi kebahagiaan hakiki individu dan masyarakat.

Tujuan khusus pendidikan Islam yang kedua, setelah mempersiapkan individu muslim yang memiliki perkembangan secara sempurna, ialah mempersiapakan individu yang shaleh bagi masyarakat dengan menanamkan kepedulian sosial serta membekali keterampilan mental atau kerja atau keduanya, sehingga menjadi anggota yang berguna bukan yang menjadi beban bagi masyarakat (Herry Noer Aly, Munzier, 2003: 138-148). c. Tujuan Akhir

(44)

pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Orang yang sudah bertakwa dalam bentuk Insan Kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu

mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imron: 102)

(45)

tujuan akhir dari proses pendidikan Islam. (Zakiah Daradjat, 2011: 31).

5. Bentuk Nilai Sosial dalam Pendidikan Islam

Seperti dijelaskan pada pembahasan di atas. Bahwa nilai sosial adalah gambaran dari apa yang diinginkan, yang pantas, dan yang berharga serta yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam bersosial dengan baik, serta berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan aturan.

Nilai sosial dalam pendidikan Islam adalah pertimbangan tentang apa yang boleh dan tidak boleh menurut ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam setiap aspek kehidupan manusia, antara lain sebagai berikut:

a. Tolong Menolong

Setiap manusia hendaknya mempunyai perasaan yang serba baik terhadap orang-orang lain, seperti perasaan mencintai, belas kasihan, bergaul dengan penuh kesopanan, dan harmonis, bergotong royong dalam menyempurnakan kehidupan, dikala suka dan duka. (Musthafa Husni, 1993: 30). Dalam hal ini Rosulullah bersabda:

للها ىلص للهلاوسر لاق ةريرى بىا نع

مّلسو ويلع

َا

َكِسْفَ نِل ُّبُِتُ اَم ِسَّنلِل َّبِح

ًانمؤم نكت

Dari Abu Hurairoh berkata: Rosulullah SAW bersabda:

(46)

b. Amar Ma‟ruf Nahi Munkar

Islam menganggap bahwa masyarakat itu wajib bertanggungjawab mengenai terpeliharanya akhlak di kalangan ummat, sebab ini lah yang dapat menjamin untuk menghindarkan kehancuran, kemerosotan kebinasaan dan kemunduran. Oleh sebab itu masyarakat wajib mengingatkan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran akhlak ataupun kesopanan lain-lainnya. Oleh Islam hal itu tidak dianggap sebagai bertentangan terhadap kemerdekaan perorangan, sebab kebinasaan dan kemungkaran itu pasti akan menghancurkan bangunan yang didirikan oleh ummat (Musthafa Husni, 1993: 31).

Dari ibu Sa‟id Al-Khudri r.a berkata: aku mendengar Rosulullah

SAW bersabda:“Barangsiapa diantara kamu semua ada yang

(47)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang

lurus” (Al-Bayyinah: 5).

Ayat di atas itu menjelaskan bahwa perintah berzakat itu merupakan salah satu wasiat yang diberikan oleh Allah pada seklian Nabi dan hamba-hamba-Nya, juga merupakan wasiat-wasiat para Nabi itu sendiri kepada ummatnya masing-masing. Jelaslah kiranya bahwa kewajiban zakat itu, dengan mengikuti cara-cara yang diajarkan oleh Islam, adalah merupakan suatu hal yang amat baru, yang belum pernah ada sebelumnya di dalam syariat manapun juga. Oleh sebab itu pengertian zakat dalam ayat-ayat itu mengandung makna berbuat kebaikan, membelanjakan harta kepada faqir miskin dan orang-orang yang berhajat atau sangat memerlukan (Musthafa Husni Assiba‟i, 1993: 32).

d. Shodaqoh dan Infak

(48)

e. Silaturahim

Kehidupan atau kebutuhan hidup memang bergandengan erat dengan dengan pengayoman masyarakat terhadaap kehidupan golongan yang kekurangan supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mulia, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia yang berhak memiliki kemuliaan diri. Kewajiban seseorang kepada orang lain antara lain memberikan perlindungan kepada kaum fakir miskin, orang-orang yang dalam kekurangan, orang-orang sakit dan orang-orang yang mempunyai keperluan (Musthafa Husni, 1998: 218).

C. Al-Qur‟an Surat at-Taubah

1. Asbabun Nuzul Surat at-Taubah

Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), melainkan berdasarkan riwayat yang shohih dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya al-Qur‟an, atau dari orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul (Muhammad Ali ash-Shabuni, 2001: 50).

(49)

hijrah ke Madinah dinamakan Madaniyah sekalipun diturunkan di Makkah.

Surah ini mempunyai banyak nama, tidak ada surah dalam al-Qur‟an yang lebih banyak namanya dari surah ini dan surah al-Fatihah,

akan tetapi yang paling masyhur dari semua namanya adalah

“Bara‟ah” dan “at-Taubah”.

Dinamakan bara‟ah karena surat ini dimulai dengan kata

“Bara‟ah” yang berarti terlepas diri yang maksudnya ialah pemutusan

hubungan, karena didalamnya terdapat ayat-ayat yang membicarakan pernyataan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin. Dan dinamakan at-Taubah artinya “pengampunan”, karena di dalam surah ini banyak diterangkan tentang pengampunan terutama pada firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” (at-Taubah/9: 117).

Selain dari dua nama tersebut di atas ada beberapa nama lagi di antaranya: “al-Fadihah” (mengungkap kejahatan), “al-Azab”

(50)

-Muqasyqisyah” (membebaskan), “al-Hafirah” (menggali), “al

-Musirah” (membangkitkan), “al-Mudamdimah” (membinasakan) dan

lain-lain.

Surah ini tidak dimulai dengan Basmalah sebagimana surah-surah lainnya. Hal ini menjadi dalil bagi sebagian ulama yang berpendapat bahwa surah ini tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai lanjutan dari surah sebelumnya (al-Anfal) tetapi menurut pendapat sebagian besar ulama (jumhur) bahwa surah ini berdiri sendiri.

Adapun sebab-sebab tidak dimulainya surah ini dengan Basmalah antara lain:

a. Diriwayatkan dari al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Ibnu Abbas yang bertanya kepada Ali bin Abi Tholib tentang tidak ditulisnya Basmalah pada permulaan surah, Ali menjawab “karena Basmalah

mengandung isi kedamaian, sedangkan Bara‟ah diturunkan dengan

pedang, artinya untuk berperang melawan kafir yang melanggar janji.”

b. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan lain-lain dari Ibnu Abbas yang maksudnya, “Ibnu Abbas bertanya kepada Usman bin

Affan ra, “apakah yang mendorongmu untuk berbuat terhadap

surah al-Anfal yang termasuk al-Masani (surah-surah dalam al-Qur‟an yang ayat-ayatnya kurang sedikit dari seratus ayat), dan

al-Bara‟ah yang termasuk al-Mi‟un (surah-surah yang ayatnya lebih

(51)

menulis Basmalah antara keduanya dan menggolongkan kepada

“As-Sab‟u at-Tiwal” (tujuh surat yang manjang), yaitu: al-Baqarah, Ali „Imran, an-Nisa‟, al-A‟raf, al-An‟am, al-Ma‟idah, dan Yunuh.” Usman Menjawab, “Rasulullah tidak pernah menerangkan

digabung atau tidak antara al-Anfal dan Bara‟ah.” Kata Utsman selanjutnya, “Saya berpendapat bahwa keduanya itu satu surah,

oleh karena itu saya tidak menulis Basmalah antara keduanya (permulaan Bara‟ah).

Hukum Membaca Basmalah pada Bara’ah

a. Para ahli qiraat sepakat untuk meninggalkan bacaan Basmalah pada permulaan surah Bara‟ah, karena tidak tertulis dalam mushaf

al-Imam, bahkan ada yang mengatakan ini merupakan ijma‟ ulama, kecuali Ibnu Munzir. Dia membaca pada awal surah ini, karena mengikuti Mushaf Ibnu Ma‟ud (kini sudah tidak ada lagi). Menurut

„Asim, membaca Basmalah pada permulaan Bara‟ah dengan

maksud untuk mengambil berkah adalah dikiaskan hukumnya kepada hukum disunatkan membaca Basmalah setiap memulai pekerjaan yang baik.

b. Adapun membaca Basmalah tidak pada permulaan Bara‟ah boleh

(52)

tidak pada permulaan surah) (Departemen Agama RI, 2004: 51-52).

2. Maksud dan Tujuan Surat at-Taubah Tema dan Tujuan Surah

Surah ini turun pada masa tersebarnya ajaran Islam dan kekuatannya dalam masyarakat. Uraiannya antara lain tentang:

a. Pemutusan hubungan dengan kaum musyrik, khususnya yang sesama ini tidak menghormati perjanjian mereka dengan Nabi SAW.

b. Dibongkarnya rahasia orang-orang munafik yang merupakan musuh dalam selimut.

c. Mengingatkan tentang pentingnya berjuang menegakkan kalimat Allah SWT disertai kecaman terhadap yang enggan.

d. Menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan umat, serta keharusan menunaikan kewajiban, antara lain sholat dan zakat, serta menuntut ilmu.

e. Hijrah Nabi SAW; demikian juga uraian tentang Bulan-bulan Haram, dan permberian perlindungan kepada non Muslim yang memintanya selama ia tidak memusuhi Islam.

(53)

Tujuan utama surah ini adalah memberi tuntunan tentang pembinaan wilayah yang dikuasai masyarakat Islam agar terbebaskan dari gangguan orang-orang musyrik yang memusuhinya dan tipu daya orang munafik, disamping kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kaum muslim demi tegarnya masyarakat mereka (Quraish Shihab, 2012: 544).

3. Kompilasi Ayat

a. Redaksi Surat At-Taubah ayat 71

Sesuai dengan judul bab ini, maka penulis menyajikan kompilasi ayat-ayat yang menjadi tema pembahasan dalam skripsi ini. Adapun ayat yang dikaji adalah ayat 71 dalam surat at-Taubah.







sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

(54)

b. Arti Kosa Kata (Mufrodat)

Setelah menyajikan teks ayat dan terjemahnya, perlu bagi penulis untuk menyajikan beberapa kosa kata penting untuk memperjelas makana ayat.

c. Pokok-Pokok Kandungan Surat At-Taubah ayat 71

(55)

at-Taubah. Dalam surat at-Taubah ayat 71 terdapat pokok-pokok kandungan antara lain membicarakan tentang:

Tanda-tanda orang mukmin, laki-laki dan perempuan, disebutkan dalam ayat yang sedang dalam pembahasan ini. Tanda-tanda ini juga menggambarkan 5 hal. Ayat ini menggambarkan sebagai berikut, Dan orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, mereka itu adalah penolong antara yang satu

dengan yang lain.

Setelah menunjukkan pada prinsip umum ini, penyingkapannya membuka penjelasan pada karakteristik yang mendetil dari orang mukmin:

1.) Ciri pertama menunjukkan bahwa mereka mengajak orang-orang pada kebaikan.

2.) Mereka juga mencegah orang dari kebiasaan buruk, kekejian, dan hal-hal yang melarang syariat (agama).

3.) Bertentangan dengan munafikin, yang selalu melupakan Allah, mukminin selalu mendirikan sholat, terus mengingat Allah, dan akibatnya dengan mengingat Allah ini, hati mereka bercahaya dan pikirannya sadar.

(56)

hamba-hamba Allah, demi untuk memperbaiki kondisi masyarakat mereka.

5.) Orang-orang munafik itu merugikan, membangkang, dan berbuat diluar lingkaran perintah-perintah Allah, tetapi orang-orang mukmin mematuhi perintah Allah dan Rosul-Nya. 6.) Pada akhir ayat ini, al-Qur‟an menunjukkan keistimewaan

pertama mukminin dari sisi nasib dan pahala mereka. Tak ada keraguan akan janji kemurahan bagi mukminin dari sisi Allah SWT.

(57)

BAB III

TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 71

A. Pendapat Mufassirin tentang Surat At-Taubah ayat 71 1. Tafsir Al-Maraghi

Dalam ayat sebelumnya yaitu ayat 70, Allah menjelaskan beberapa perbuatan buruk orang-orang munafik, serta menerangkan azab di dunia dan di akhirat yang telah disediakan bagi mereka. Dalam ayat 71 ini, Dia menjelaskan sifat orang-orang beriman yang bersih jiwa dan hatinya, serta menerangkan pahala dan nikmat yang kekal, yang telah disediakan bagi mereka.



















Al-Walayah (mengasihi) lawan dari al-„Adawah (memusuhi), dan mencakup: mengasihi dengan pertolongan, dengan persaudaraan, dan dengan kecintaan. Pertolongan kaum wanita diberikan di luar berperang dalam pekerjaan yang berkenaan dengan mengurus tentara, seperti dalam urusan harta dan badan. Di zaman Rasul, para istri beliau dan para istri sahabatnya keluar bersama tentara, untuk menyediakan air dan makanan, mendorong mereka untuk ikut berperang, dan membangkitkan semangat orang yang kalah. Husain berkata:

(58)

“Kuda kami senantiasa berlari kencang, dicambuki kaum wanita

dengan kerudung-kerudung mereka”.

Dalam menggambarkan kaum Mu‟minin, Allah berfirman:

ba‟duhun awliya‟u ba‟din „sebagian mereka menjadi penolong bagi

sebagian yang lain‟. Sedangkan dalam menggambarkan kaum

munafik, Dia berfirman: ba‟duhun min ba‟din „sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama‟. Sebab diantara kaum Mu‟minin

terdapat rasa persaudaraan, kecintaan, saling tolong menolong dan saling mengasihi, sehingga Nabi SAW menyerupai kesatuan mereka dengan tubuh yang satu dan bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Di samping itu, mereka saling menolong dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta meninggikan kalimat Allah.

Adapun orang munafik, sebagian mereka menyerupai sebagian yang lain dalam keraguan dan kebimbangan, serta implikasinya berupa sifat pengecut dan kebakhilan, dua sifat yang menghalangi mereka untuk saling menolong dalam perkataan dan perbuatan yang tidak sulit. Oleh sebab itu, Allah mendustakan kaum munafik Madinah dalam janji mereka bagi kaum Yahudi, bahwa mereka akan memberikan pertolongan dalam memerangi Nabi SAW dan kaum Mu‟minin, apabila tentara Allah memerangi mereka:

(59)



(11) “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir[1467] di antara ahli kitab: "Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersamamu; dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu kamu." dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. (12) Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan Sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; Sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (Al-Hasyr, 59: 11-12)

(60)

b. Mereka mencegah melakukan perbuatan yang munkar, sedangkan

kaum munafik mencegah malakukan perbutan yang ma‟ruf.

Kedua sifat ini merupakan pagar segala keutamaan dan benteng penghalang tersebarnya berbagai keburukan.

c. Mereka melaksanakan salat dengan sebaik dan sesempurna mungkin, dengan khusu‟, menyerahkan diri kepada Allah, dan

menghadirkan kalbu di dalam munajat kepada-Nya. Sedangkan orang-orang manufaik, jika mereka melaksanakan salat, maka mereka melaksanakannya dengan bermalas-malasan dan riya‟ terhadap manusia.

d. Mereka mengeluarkan zakat yang diwajibkan atas mereka dan sedekah tatawwu‟ (sukarela) yang mereka diberkati untuk itu. Meski kaum munafik melaksanakan salat, namun mereks tidak menegakkannya; dan meskipun mereka menunaikan zakat serta mengeluarkan infak, namun meraka melakukannya kaarena takut dan riya‟, bukan karena ketaatan kepada Allah Ta‟ala, sebagaimana

(61)

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta)

mereka, melainkan dengan rasa enggan,” (At-taubah: 54)

e. Mereka terus menerus melakukan ketaatan, dengan meninggalkan segala larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya menurut kemampuan mereka. Sebaliknya, orang munafik melakukan kefasikan dan keluar dari lingkungkan ketaatan.

Kemudian, Allah menerangkan akibat-akibat baik dari dan balasan yang besar atas amal baik mereka:









Allah menjanjikan bagi mereka rahmat-Nya di dunia dan di akhirat, karena mereka terus menerus mentaati Allah dan Rosul-Nya. Berbeda dengan kaum munafik, Allah akan melupakan dan mengutuk mereka.





Sesungguhnya, Allah Ta‟ala Maha Perkasa, tidak ada sesuatu

(62)

2. Tafsir Ibnu Katsir

Menurut Muhammad Nasib ar-Rifa‟i dalam tafsir Ibnu Katsir, menafsirkan surat at-Taubah ayat 71 bahwa Allah menceritakan sifat-sifat kaum mukminin yang terpuji. Maka Dia berfirman, „Dan orang -orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian

mereka merupakan penolong bagi sebagian yang lain‟, yakni mereka saling menolong dan mendukung. Dalam Shahih dikatakan (475), “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal mereka saling mencintai

dan menyayangi adalah seperti tubuh yang satu. Jika salah satu organnya mengadu, maka organ tubuh lainnya memberi perhatian lewat demam dan tidak tidur”.

Firman Allah Ta‟ala, “Mereka menyuruh kepada kema‟rufan,

mencegah dari kemunkaran.” Firman Allah Ta‟ala, “mendirikan

sholat dan menunaikan zakat” berarti mereka taat kepada Allah dan

berbuat ihsan kepada makhluk-Nya. “Dan mereka taat kepada Allah

dan Rosul-Nya” dalam berbagai dan larangkan. “Mereka itu akan

dirahmati oleh Allah”, yakni, Allah akan merahmati orang-orang yang

(63)

3. Tafsir Al-Mishbah

Setelah menjelaskan keadaan kaum munafikin dan ancaman siksa yang menanti mereka, maka kini sebagaimana kebiasaan al-Qur‟an menggandengkan uraian dengan sesuatu yang sejalan dengan

uraian yang lalu atau bertolak belakang dengannya, maka melalui ayat-ayat ini Allah menguraikan keadaan orang-orang mukmin yang sepenuhnya bertolak belakang dengan keadaan orang munafik. Sekaligus sebagai dorongan kepada orang-orang munafik dan selain mereka agar tertarik mengubah sifat buruk mereka. Dan orang-orang mukmin yang mantab imannya dan terbukti kemantabannya melalui amal-amal saleh mereka, lelaki dan perempuan, sebagian mereka

dengan sebagian yang lain, yakni menyatu hati mereka, dan senasib serta sepenanggungan mereka, sehingga sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam segala urusan dan kebutuhan mereka. Bukti kemantapan iman mereka adalah mereka menyuruh

melakukan yang ma‟ruf, mencegah perbuatan yang munkar, melaksanakan shalat dengan khusu‟ dan bersinambungan,

menunaikan zakat dengan sempurna, dan mereka taat kepada Allah dan Rosul-nya menyangkut segala tuntunan-Nya. Mereka itu pasti

(64)

Firman-Nya: (

ضعت ءايلوأ مهضعت

(ba‟dhuhum auwliya‟ ba‟dh

/ sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain berbeda redaksinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang munafik. Ayat 67 yang lalu menggambarkan mereka sebagai ba‟dhuhum min ba‟dh/ sebagian mereka dari sebagian yang lain. Perbedaan ini

menurut al-Biqa‟i untuk mengisyaratkan bahwa kaum mukminin tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya, karena setiap orang diantara mereka telah mantab imannya, atas dasar dalil-dalil pasti yang kuat, bukan berdasar taklid. Pendapat serupa dikemukakan oleh Thahir Ibnu „Asyur yang menyetakan bahwa yang menghimpun

orang-orang mukmin adalah keimanan yang mantab yang melahirkan tolong-menolong yang diajarkan Islam. Tidak seorangpun yang bertaklid kepada yang lain atau mengikutinya tanpa kejelasan dalil.

Ini-tulis Ibnu „Asyur – dipahami dari makna auwliya‟ yang

mengandung makna ketulusan dalam tolong menolong. Berbeda dengan kaum munafikin yang kesatuan antar mereka lahir dari dorongan sifat-sifat buruk.

Pendapat Sayyid Quthub sedikit berbeda. Menurutnya, walaupun tabiat sifat munafik sama dan sumber ucapan dan perbuatan itu sama, yaitu ketiadaan iman, kebejatan moral dan lain lain, tetapi persamaan itu tidak mencapai tingkat yang menjadikan mereka

auwliya‟. Untuk mencapai tingkat auwliya‟ dibutuhkan keberanian,

(65)

Tabiat kemunafikan bertentangan dengan itu semua, walau antar sesama munafik. Mereka adalah individu-individu bukannya satu kelompok yang solid, walu terlihat mereka mempunyai persamaan dalam sifat, akhlak dan perilaku. Demikian Sayyid Quthub.

Rosulullah SAW mengibaratkan persatuan dan kesatuan orang-orang beriman, sama dengan satu bangunan yang batu batanya saling kuat menguatkan, atau sama dengan jasad yang akan merasakan nyeri, panas, dan sulit tidur, bila salah satu bagiannya menderita penyakit.

Huruf (

س

) sin pada

مهمح ريس

sayarhamuhum/ akan

(66)

sebelumnya oleh mata, tidak terdengar beritanya oleh telinga, dan tidak juga pernahterlintas dalam benak manusia (Qurash Shihab, 2002: 650-652).

4. Tafsir Muyassar

„Aidh al-Qarni menjelaskan dalam kitabnya tafsir Muyassar, “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan adalah satu

golongan. Mereka saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, saling mengasihi dan membantu satu sama lain, menyuruh kepada perbuatan ma‟ruf yang disyariatkan berupa amal sholeh, ucapan yang

baik, dan akhlak yang luhur, melarang segala bentuk perbuatan mungkar berupa tutur kata yang keji, perbuatan jahat, atau perilaku yang buruk, menunaikan shalat secara sempurna, membayar zakat wajib kepada yang berhak menerimanya, taat kepada Allah S.W.T dan Rosul-Nya, menjalankan segala perintahnyadan meninggalkan semua larangan-Nya”.

(67)

memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik dan menyiksa mereka yang berbuat jahat („Aidh al-Qarni, 2008: 137).

5. Tafsir Al-Qur‟anul Majid







sebagian mereka merupakan penolong dan pembantu bagi sebagian

yang lain”.

Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaian dari mereka adalah penolong dan pembantu bagi sebagian yang lain. Mereka satu sama lain bertolong-tolongan, bantu-membantu, baik dalam masa damai ataupun masa perang. Mereka satu sama lain bersaudara dan berkasih sayang.





Mereka menyuruh ma‟ruf, mencegah munkar, mendirikan sembahyang, memberikan zakat, serta menaati Allah dan Rosul-Nya”.

Para mukmin, baik lelaki maupun perempuan, memiliki lima sifat sebagai lawan dari sifat-sifat orang munafik.

1.) Orang beriman menyuruh makruf, sedangkan orang-orang yang munafik menyuruh munkar.

(68)

3.) Orang-orang mukmin mendirikan sembahyang dengan sebaik-baiknya dan secukup-cukupnya, serta menyempurnakan rukun dan syaratnya. Selain itu juga berlaku khusuk dan hatinya bermunajat (berkomunikasi) kepada Allah. Adapun orang munafik mendirikan sembahyang dengan rasa malas karena sembahyang untuk riya (pamer) dan sum‟ah semata.

4.) Orang-orang mukmin memberikan zakat yang difardhukan dan yang disunnatkan, sedangkan orang-orang munafik perperilaku kikir. Kalaupun mereka mereka mengeluarkan harta, maka hal itu atas dasar riya.

5.) Orang-orang mukmin terus menerus menaati Allah dengan meninggalkan apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintah oleh Allah.”

Mereka itu adalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah, dan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya yang luas. Allah itu Maha Keras Tuntunan-Nya. Selain itu, Allah Maha Hakim dalam segala dalam segala perbuatan-Nya dan senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya (Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, 2000: 1699-1700).

B. Munasabah

Secara etimologi munasabah berasal dari kata

ةساني

ةسان

ةثسانم

kata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujarrod dari

ةسن

(69)

(Budihardjo, 2012: 39). Secara terminologi munasabah adalah menerangkan korelasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, baik yang ada di belakangnya atau dimukanya (Syadali dan Rofi‟i,

1997:168).

Ilmu ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sesab turun suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat tersebut dengan ayat lainnya (Masjfuk Zuhdi, 1997: 164). Dikarenakan tidak ditemukannya Asbabun Nuzul dari surat at-Taubah ayat 71, oleh karena itu penulis mencari relevansi dari surat at-Taubah ayat 71 dengan ayat sebelum serta sesudahnya.

1. Munasabah Surat at-Taubah ayat 71 dengan ayat Sebelum dan Sesudahnya

Dalam al-Qur‟an surat at-Taubah ini memiliki munasabah antara ayat satu dengan ayat yang lainnya, peneliti akan menjelaskan munasabah ayat sebelumnya yaitu surat at-Taubah ayat 70 dan korelasinya dengan surat at-Taubah ayat 71.

(70)

Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri

mereka sendiri” (Q.S. at-Taubah; 70).

Pada ayat 70, dijelaskan persamaan-persamaan orang-orang munafik itu dengan generasi-generasi durhaka sebelum mereka, kini mereka diancam dengan akibat buruk serupa yang telah dialami oleh generasi-generasi terdahulu itu. Ancaman itu dipaparkan dalam bentuk pernyataan agar lebih mengena hati mereka yaitu Apakah belum datang kepada mereka, yang munafik dan mengejek Nabi Muhammad saw itu, berita penting yang sewajarnya mereka perhatikan yaitu

tentang orang-orang yang sebelum mereka, yaitu kaum Nabi Nuh as yang dikenal panjang usianya mantab keadaannya , dan sejahtera hidupnya, tetapi pada akhirnya dibinasakan oleh Allah dengan tofan yang mematikan semua yang durhaka. Atau berita kaum Nabi Hud as, yaitu „Ad, yan terkenal dengan kekuatan jasmani mereka, tetapi

(71)

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai orang yang beriman pada kitabullah Al Qur'an, Ahmad Dahlan sekali-kali tidak pernah meragukan (me-dhoni-kan) Al Qur'an, ia mengajarkan pemahaman terhadap

Untuk itu dalam rangka penanggulangan kemiskinan melalui program P2WKSS di desa binaan yaitu Desa Panyindangan Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut salah satunya adalah

Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan ( value of the firm ) yang menggunakan hutang

Berbeda dari CPracR, GMM sendiri berbicara mengenai etika yang berusaha memberi pendasaran pada metafisika moral, yaitu semacam garis besar prinsip-prinsip murni

Penelitian ini mengukur jumlah gas rumah kaca dari perkebunan kakao dan menguraikan stok (cadangan) karbon dari perkebunan, yaitu jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah,

Populasi dari spesies r memiliki kecenderungan untuk meningkatkan ukuran mereka secara eksponensial pada saat tidak terdapat pembatasan oleh faktor lingkungan.. Populasi

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan analisis terhadap model faktor- faktor yang mempengaruhi aliansi

Juga dengan penelitian Usman (2003) yang menganalisa rasio keuangan dalam memprediksi perubahan laba pada bank-bank di Indonesia, yang dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa