• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

9

LANDASAN TEORI 2.1 Teori Pola Asuh

2.1.1 Definisi Pola Asuh

Menurut Santrock (2007:163), pola asuh merupakan suatu cara atau metode pengasuhan yang digunakan para orang tua untuk mendidik anak- anaknya menjadi pribadi yang dewasa secara sosial. Orang tua yang mengasuh anaknya dengan baik akan memberikan teladan yang baik juga terhadap anaknya. Hal itu terjadi karena secara sadar atau tidak sadar, perilaku orang tua lebih banyaknya akan ditiru oleh anaknya baik secara langsung, maupun tidak langsung. Sosok orang tua merupakan sosok yang paling dekat dengan anak sehingga anak akan cepat mengikuti tingkah laku orang tua. Seperti yang dikatakan Hurlock yang menyatakan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi sikap anak dan perilakunya. Adanya pola asuh atau pengasuhan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya diharapkan mampu membentuk kepribadian anak dalam bersosialisasi. Dalam masyarakat Jepang, mengasuh anak dikenal dengan istilah Ikuji. Kata Ikuji terdiri dari dua kanji, yaitu (iku) yang artinya membesarkan atau mengasuh, serta kanji 児 (ji) artinya anak (Nelson, 2008:114, 168).

2.1.2 Jenis-Jenis Pola Asuh

Menurut Reiko, Setsuko dan Nachiko (2008:36), di Jepang terdapat kriteria utama dalam pengasuhan anak yaitu:

a. Besarnya peran ibu

Besarnya peran ibu di Jepang dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap mitos San Sai Ji Shinwa, yang mengatakan jika anak yang berusia sampai tiga tahun akan mengalami dampak negatif pada proses pertumbuhannya jika tidak diasuh oleh ibu. Oleh karena itu, dengan adanya kepercayaan terhadap mitos tersebut, membuat sosok ibu berperan besar dalam pengasuhan anak. Selain itu besarnya peran ibu

(2)

membuat sosok ayah tidak berpengaruh besar terhadap anak sehingga menyebabkan kurangnya kedekatan antara ayah dan anak.

b. Ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan

Sebelumnya peran ayah di Jepang yaitu sebagai pencari nafkah dan mendidik anak anaknya. Namun, peran ayah mengalami perubahan bersamaan dengan berkembangnya keluarga modern di Jepang. Selain itu, pandangan mengenai wanita juga mengalami perubahan, seperti peran wanita sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam mendidik anak anaknya atau lebih dikenal dengan sebutan “kyouiku mama”. Dari hal tersebut, peran ayah hanya sebagai pencari nafkah sehingga tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Kurangnya keterlibatan sosok ayah dalam pengasuhan anak membuat ayah tidak mengetahui banyak hal yang dibutuhkan oleh anak, misalnya kasih sayang.

c. Dalam mengasuh anak kurang mendapat dukungan dari keluarga

Ibu sebagai sosok yang mempunyai peran besar menjadikan dirinya sebagai satu satunya sosok yang bertanggung jawab dalam mengasuh anak. Hal ini menyebabkan dalam pengasuhan anak sosok ibu kurang mendapat dukungan dari sang ayah atau keluarga lainnya.

d. Kurangnya penggunaan jasa pembantu rumah tangga

Pada umumnya orang Jepang tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk membantu mereka. Hal ini dikarenakan orang Jepang beranggapan jika dalam pengasuhan anak merupakan tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab pembantu.

e. Pada kedua orang tuanya yang bekerja, fasilitas houikuen berperan sampai batas waktu tertentu

Houikuen merupakan fasilitas penitipan anak yang biasa digunakan oleh para orang tua Jepang yang bekerja. Anak anak yang dititipkan di houikuen diasuh oleh pengasuh di tempat tersebut. Oleh karena itu, orang tua tidak begitu banyak berperan dalam mengasuh anak dalam hal ini.

Menurut Baumrind dalam Shaffer (2008:376), terdapat empat macam pola asuh orang tua, yaitu:

(3)

1. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter merupakan salah satu dari ketiga pola pengasuhan yang dikemukakan oleh Diana Baumrind. Orang tua dengan pola asuh ini lebih memberikan banyak aturan yang sangat ketat dan mengharapkan anaknya agar mematuhi peraturan yang diberikannya.

Pola asuh orang tua otoriter ini jarang memberikan penjelasan kepada anak mereka dalam mematuhi peraturan yang telah diberikan. Selain itu, pada pola asuh ini, orang tua lebih memberikan hukuman dan taktik yang kuat, seperti kekuasaan sehingga anak menjadi patuh terhadap orang tua. Pada pola asuh ini, orang tua sensitif terhadap hal yang bertentangan dengan keinginan mereka sehingga jika anak tidak mematuhi aturan akan diberikan hukuman.

2. Pola Asuh Demokratis

Pada pola asuh ini, orang tua tetap membuat tuntutan atau permintaan untuk anak mereka. Tetapi orang tua pada pola asuh ini lebih bersifat waspada, seperti memberikan alasan kepada anak dalam mematuhi aturan yang diberikannya, dan memastikan bahwa anak mereka dapat mengikuti aturan tersebut. Selain itu, orang tua lebih menerima dan responsif dibandingkan pada pola asuh otoriter. Orang tua demokratis memberikan kesempatan untuk anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan berpendapat. Orang tua demokratis juga melakukan kontrol secara rasional, dengan cara yang mengakui dan menghormati perspektif anak-anak mereka. Orang tua yang responsif terhadap anak dapat dilihat dari sikapnya yang bersedia mendengar pertanyaan dari anak. Ketika anak gagal dalam memenuhi harapannya, orang tua memilih untuk memaafkan daripada menghukum anaknya.

3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh yang memberikan sedikit tuntutan dan mengizinkan anak-anak mereka untuk bebas mengekpresikan perasaan dan impuls mereka. Selain itu, orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini tidak memantau kegiatan anak- anak mereka dan jarang melakukan kontrol yang kuat terhadap perilaku anak mereka. Orang tua ini juga jarang mendisiplinkan anak-anak mereka serta antara orang tua dan anak kurang adanya komunikasi.

(4)

4. Pola Asuh Penelantaran

Pola asuh penelantaran atau tidak terlibat adalah jenis pola asuh orang tua yang tidak memperdulikan anak secara fisik maupun psikis. Orang tua dengan pola asuh ini lebih menolak anak dan tidak punya waktu dan energi untuk mengasuh dan membesarkan anak mereka (Maccoby dan Martin dalam Shaffer, 2008:378). Orang tua tersebut lebih mementingkan dirinya atau pekerjaaannya dibandingkan dengan keadaan anak mereka. Orang tua tetap memberikan beberapa tuntutan namun komunikasi orang tua terhadap anak lebih sedikit dan tanggapan mereka rendah. Orang tua masih memenuhi kebutuhan dasar anak, tapi mereka tidak memperdulikan kehidupan anak mereka.

2.1.3 Pengaruh Pola Asuh Terhadap Anak Menurut Baumrind 1. Pola Asuh Otoriter

Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh otoriter cenderung menjadi anak yang mudah murung, tidak bahagia dengan keadaannya, mudah kesal, dan tidak ramah terhadap orang-orang disekitarnya. Selain itu, mereka merasa tidak senang bila berada di lingkungan, dan mereka umumnya tidak memiliki tujuan hidup. Hal tersebut disebabkan oleh orang tua yang memberikan aturan ketat kepada mereka, dan mengharapkan mereka mematuhi aturan itu. Namun terdapat pengaruh positif dari pola asuh ini, yaitu dengan adanya aturan ketat, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang taat dan mahir.

2. Pola Asuh Demokratis

Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh demokratis memiliki perkembangan sosial yang baik, seperti adanya keceriaan atau kebahagiaan, bertanggung jawab, mandiri, berprestasi, dan kooperatif baik dengan teman, maupun orang lain. Anak-anak yang diasuh secara demokratis ini juga menunjukkan orisinalitas dalam berpikir, memiliki motivasi yang tinggi untuk berprestasi, menyukai tantangan intelektual, dan memiliki keterampilan sosial seperti bergaul dengan orang lain dan aktif berpastisipasi dalam kelompok.

(5)

3. Pola Asuh Permisif

Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh permisif cenderung bersikap agresif dan impulsif. Selain itu, anak tersebut juga tidak terampil dalam pergaulan dengan teman atau sekitarnya. Mereka yang diasuh dengan pola asuh permisif menjadi anak yang kurang bahagia, tidak bisa mengatur diri, dan cenderung bermasalah dengan teman atau orang lain. Untuk anak laki-laki, anak tersebut akan menjadi sosok yang suka memerintah, mau menang sendiri, kontrol diri yang rendah, egois, tidak mandiri dan berprestasi di sekolah.

4. Pola Asuh Penelantaran

Anak- anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan pola asuh penelantaran atau ketidaklibatan ini cenderung menjadi pribadi yang kurang bisa mengontrol diri, memiliki harga diri yang rendah, dan kurang kompeten dibandingkan dengan teman-temannya (Maccoby dan Martin dalam Shaffer, 2008:378). Harga diri rendah merupakan perasaan seseorang yang berpikir negatif terhadap dirinya sendiri, tidak percaya diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung, dan menarik diri secara sosial.

2.2 Teori Fathering

Perceraian merupakan hal yang sulit bagi setiap keluarga, terutama pada pasangan itu sendiri. Ketika pasangan memutuskan untuk berpisah, hal yang menjadi masalah tidak hanya kesejahteraan anak saja, namun juga peran orang tua itu sendiri. Orang tua yang mendapat hak asuh anak harus berperan ganda.

Orang tua tunggal selain bertugas dalam mengurus anak, ia juga harus mencari nafkah. Peran orang tua tunggal lebih sering ditujukan kepada sosok perempuan daripada laki-laki. Namun banyak juga sosok laki-laki yang menjadi ayah tunggal.

Seperti halnya di negara Jepang, selain ibu tunggal, terdapat pula ayah tunggal.

Seiring dengan meningkatnya tingkat perceraian, maka jumlah orang tua tunggal meningkat di Jepang. Menurut kementerian dalam negeri dan komunikasi, dari tahun 2005 sampai tahun 2010, keluarga yang terdiri dari ayah tunggal meningkat tajam, dari jumlahnya yang mencapai 166.000 orang meningkat menjadi 204.000 orang (Krieger, 2012).

(6)

Peran ayah dalam keluarga dikenal dengan istilah Fathering, yaitu suatu peran yang dilakukan seorang ayah dalam memberikan pengarahan kepada anak menjadi sosok yang lebih dewasa dan mandiri baik secara fisik, maupun biologis.

Di Jepang, terdapat organisasi peran ayah yang didirikan pada tahun 2006.

Organisasi ini bertujuan untuk membantu ayah yang berperan dalam mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Organisasi ini bernama Not Profit Organizations (NPO), didirikan pada tahun 1980. Berdasarkan hasil dari organisasi tersebut, ayah Jepang dapat berinteraksi dengan anak-anak mereka, seperti dengan memberikan dorongan, pujian serta emosi yang positif terhadap anaknya dibandingkan dengan ayah Jepang yang tidak menjadi anggota NPO.

Menurut Berk (2009), kesediaan ayah dalam tanggung jawab kepada keluarga merupakan faktor yang penting.

In dual earner families, the father’s willingness to share responsibilities is a crucial factor. If he is uninvolved, the mother will carry a double load, at home, and work, which leads to fatigue, distress, and little time and energy for children

Terjemahan :

Dalam keluarga dengan dua pencari nafkah, kesediaan bapak untuk berbagi tanggung jawab merupakan faktor penting. Jika dia tidak terlibat, ibu akan membawa beban ganda, di rumah, dan bekerja sehingga menyebabkan kelelahan, kesulitan serta sedikit waktu dan energi untuk anak-anak.

Oleh karena itu, dengan adanya kesediaan ayah membuat hubungan antara ayah dan anak menjadi lebih harmonis. Selain itu, antara suami dan istri harus ada kerja sama dalam mengurus dan membesarkan anak. Pentingnya kesediaan ayah dalam tanggung jawab juga disebutkan oleh Ishii Kuntz yang membahas mengenai faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam tanggung jawab pengasuhan. Menurut Ishii Kuntz (2009:17), faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah Jepang dalam tanggung jawab pengasuhan anak, yaitu:

a. Ketersediaan waktu

b. Sumber daya relatif antara suami dan istri

(7)

c. Ideologi gender d. Identitas ayah

e. Jaringan dukungan keluarga, kerabat dan teman-teman f. Tuntutan rumah tangga

g. Keterampilan perawatan anak dan standar.

2.3 Teori Single Parent

Single Parent merupakan istilah bahasa asing yang sering disebut banyak orang kepada orang tua tunggal yang membesarkan anaknya sendiri tanpa adanya pasangan hidup. Menurut Algozzine dan Ysseldyke dalam Duncan (2014) single parent didefinisikan dengan istilah single parenting yaitu:

Single parenting means one person managing the affairs of a family without the benefit of a partner. It happens when a spouse is away for an extended period of time (e.g., in military service), when a family experiences a divorce, when parents do not marry and one parent chooses to raise children, or when a spouse dies. Single parenting is common and accepted in today’s society. Single parents face many concerns that are often economic, social, emotional, and practical in nature.

Terjemahan:

Orang tua tunggal berarti seseorang yang mengelola urusan keluarga tanpa manfaat/bantuan pasangan. Ini terjadi ketika pasangan sedang pergi untuk jangka waktu tertentu (misalnya, dalam dinas militer), ketika sebuah keluarga mengalami perceraian, ketika orang tua tidak menikah dan satu orang tua memilih untuk membesarkan anak-anak, atau ketika pasangan meninggal. Orang tua tunggal merupakan hal yang umum dan diterima di masyarakat saat ini. Orang tua tunggal menghadapi banyak masalah yang kebanyakan seputar ekonomi, sosial, emosional, dan sifat.

Menurut Algozzine dan Ysseldyke dalam Duncan (2014) secara umum peran sebagai single parent tetap diterima oleh masyarakat, menjadi seorang

(8)

single parent merupakan hal yang tidak mudah karena banyak masalah yang harus dihadapi di kemudian hari seperti masalah sosial, emosional dan ekonomi.

Di Jepang, beberapa tahun belakangan ini keluarga dengan orang tua tunggal mengalami kenaikan. Menurut Departemen Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan Jepang dalam Hiranuma (2011:51) yang melakukan penyelidikan pada tahun 2003, disimpulkan bahwa peran ibu tunggal dan ayah tunggal meningkat 28,3 % dan 6,4%. Namun penelitian mengenai peran ibu tunggal lebih banyak dipelajari dibandingkan dengan peran ayah tunggal di Jepang. Peran ayah yang membesarkan anak sebagai pengasuh utama mendapat kesulitan dalam membesarkan anak yang seperti ibu lakukan. Selain itu, kesulitan juga terjadi pada saat penyesuaian kerja, dan hal itu menimbulkan bebagai macam masalah.

Pada situasi seperti ini, peran ayah tunggal membutuhkan pemahaman dan kerja sama dari orang-orang yang terlibat pada kehidupannya.

Menurut Hiranuma (2011:52) yang meneliti tentang single father menyimpulkan beberapa masalah yang dihadapi oleh ayah tunggal, yaitu:

1) Kehidupan dan pengasuhan anak

Dari wawancara terhadap ayah tunggal, ditunjukan adanya beban mental dan fisik yang terjadi, seperti halnya ayah harus menanggung kestabilan finansial.

Selain itu, ayah berperan ganda dalam membesarkan anak dan pekerjaan rumah tangga. Kemudian berdasarkan catatan seorang ayah tunggal, walaupun ayah menghadapi berbagai kesulitan, peran dalam mengasuh anak dapat memberikan dampak positif bagi ayah. Hal itu terlihat pada ayah tunggal yang mampu menyeimbangkan antara pekerjaan, rumah tangga, dan pengasuhan anak, adanya perkembangan pada rasa tanggung jawab ayah sebagai orang tua.

2) Anak-anak

Dalam mengasuh anak, orang tua tunggal merasa khawatir terhadap masalah pendidikan dari usia kanak-kanak sampai remaja. Selain itu, orang tua tunggal juga merasa khawatir terhadap masa depan dari anaknya.

3) Dukungan

Dalam pengasuhan anak sebagai ayah tunggal, diperlukan pemahaman dan kerja sama di sekitarnya. Oleh karena itu, orang tua yang mengasuh anak perlu mendapatkan keterlibatan dan dukungan dari keluarga ayah tunggal.

(9)

Dalam menyikapi masalah yang dihadapi para ayah tunggal diperlukan adanya solusi. Oleh karena itu, jika ayah tunggal dapat menghadapi masalah sebagai orang tua tunggal, maka dia sukses dalam mengasuh anak. Menurut Duncan (2014), karakteristik orang tua tunggal yang sukses dalam membesarkan anaknya adalah:

a. Tanggung jawab: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari penerimaan akan tanggung jawab dalam mengasuh anak mereka.

b. Masalah: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari orang tua yang dapat menemukan solusi untuk memecahkan suatu masalah tanpa membesarkan atau mengecilkan masalah tersebut.

c. Kenali kesulitan: Tanpa mengasihani diri sendiri atau kepahitan, orang tua tunggal yang sukses dapat menerima pengorbanan yang akan mereka lakukan kepada anak-anak mereka.

d. Komitmen: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari prioritas yang diutamakan adalah anak-anak mereka.

e. Komunikasi: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari komunikasi yang dilakukan dengan anak sehingga anak menjadi orang yang ekspresif dan terbuka terhadap mereka.

f. Mengurus diri sendiri: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari kesadaran mengenai kesehatan fisik dan emosional dirinya snediri.

g. Dorongan: Orang tua yang sukses dalam mengasuh anaknya dapat dilihat dari adanya dorongan yang diberikan kepada anak untuk membangun hubungan yang baik dengan anggota keluarga yang lain.

h. Waktu: Orang tua tunggal yang sukses dapat dilihat dari pemanfaatan waktu bersama dengan anak-anak mereka. Orang tua mengetahui bahwa waktu berkumpul bersama anak selalu lebih baik daripada memberikan barang- barang.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Akhir dengan judul ” Pengolahan Limbah Cair Laboratorium Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya dengan Memanfaatkan Kulit Ubi. Kayu Sebagai Bahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perilaku komunikasi verbal Komunitas SHINWA Cosplay Pekanbaru dalam membentuk kohesivitas kelompok adalah dengan menggunakan

Perangkat Framing Berita MK Gagal Belajar Hakim Konstitusi Kecewakan Rakyat Pembocor Draf Dicari Pembocoran Draf Pelanggaran Berat Sumber Kebocoran Draf Putusan

Jika alat ini digunakan untuk jasa pengeboran dengan kedalaman minimal 35 meter, maka biaya dalam 2 (dua) kali jasa pengeboran tersebut sudah dapat mengembalikan

Dalam konteks pendidikan; kalau suatu bangsa ada yang cenderung mengaplikasi budaya Barat seperti Australia maka bangsa lain justru cenderung kembali ke budaya Timur seperti

Selanjutnya setelah proses pembuatan batik tulis selesai dilakukan, warga dim inta untuk mengeluarkan kreativitas ide mereka pada proses yang kedua yaitu membuat tekstil

Dalam menganalisis tingkat yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program Enviver yang digunakan untuk mengitung

Berkat taufik dan petunjuk Illahi Rabbi, penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengaruh Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an Terhadap Hasil Belajar