• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMADIYAH: GERAKAN ISLAM-LOKAL MERAIH PRESTASI GLOBAL. Muhammad Sungaidi Dosen UIN Jakarta. Abstraksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MUHAMMADIYAH: GERAKAN ISLAM-LOKAL MERAIH PRESTASI GLOBAL. Muhammad Sungaidi Dosen UIN Jakarta. Abstraksi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 137

Dosen UIN Jakarta Abstraksi

Muhammadiya has been the biggest Islamic organization in the world in terms of social charity. There is no competing organization comparable to Muhammadiya in the number of educational and health institutions bringing its mission. Muhammadiya has thousands of schools, hundreds of colleges, health centres, hospitals, and orphanages which are spread out around the country.

Muhammadiya has been fulfilling the Indonesian archipelago.

Whatever the politics of Islam launched by the non-Muslim rule, the result will always be different from what these powers intended. Once again, the forces of the world are trying to use Islam to achieve political goals. Once again, they will be used by the Islamic politicians to achieve their goals which are totally different from the goals of the world itself. Sunrise will never pull the crescent from its orbit. Crescent is too big to be a satellite of anything.

Keywords: Gerakan Islam, Prestasi, Agent of Change

Pendahuluan

Muhammadiyah di Indonesia dikenal sebagai organisasi gerakan sosial keagamaan, kemanusiaan dan pendidikan. Hampir di setiap daerah perkotaan dapat ditemukan pelbagai amal usahanya, baik yang berupa lembaga peribadatan, rumah sakit, panti asuhan maupun lembaga pendidikan. Secara awami kenyataan tersebut menunjukkan, Muhammadiyah memiliki pusat kegiatan sosial yang telah mapan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Muhammadiyah dibentuk untuk pertama kalinya, KH Ahmad Dahlan banyak mendapat batu ganjalan dan rintangan. Dianggap menyimpang, murtad, melakukan tindakan bid’ah dan label- label lain yang tidak sepantasnya diucapkan. Namun, setelah 100 tahun berlalu, cita-cita sang Pencerah pelan-pelan mulai bertumbuh dan banyak dinikmati oleh masyarakat majemuk bangsa ini.Keterkaitan antara tradisi berfikir dalam Muhammadiyah dengan perkembangan amal usaha Muhammadiyah yang cukup menarik terutama dalam bidang pendidikan.Pendidikan yang dipelopori Muhammadiyah, mempunyai fungsi ganda.

Sesuai dengan perjalanan dan riak gelombang perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Muhammadiyah telah menjadi sebuah organisasi Islam terbesar di dunia (terutama dalam amal sosial). Jika dilihat dari jumlah amal usaha yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah, baik dalam bentuk lembaga pendidikan maupun rumah sakit, kiranya tidak ada satu pun organisasi Islam di dunia ini yang dapat menandingi keberhasilan Muhammadiyah dalam mengemban misinya. Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah, ratusan lembaga pendidikan tinggi dan balaі kesehatan, termasuk rumah sakit dan puluhan pantі

(2)

138 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

asuhan, yang tersebar di seluruh Indonesia. Muhammadiyah ibarat air bah yang dalam tempo relatif singkat telah menggenangi bagian-bagian lain kepulauan Indonesia yang jumlahnya ribuan itu.

Aset sosial-pendidikan dan hak milik Muhammadiyah antara lain; 1).

PAUD, TK, TPA 4.623,2).SD/Madrasah Ibadaiyah 2.604, 3). SMP/Madrasah Tsanawiyah 1.772, 4). SMA, SMK/Madrasah Aliyah 1.143, 5) Pesantren 67,6).

Universitas, Akademi, Politeknik 172, 7). Rumah Sakit, Klinik dan Poliklinik 457, 8). Panti, dll. 318, 9). Rumah Jompo 54, 10). Pusat Rehabilitasi Cacat 82, 11) SLB 71, 12). Masjid 6.118, 13) Mushalla, Surau, dll. 5.080, dan 14), Tanah 945.504 M2 (Ahmad Syafii Maarif: 2012) .

Muhammadiyah dan Yogyakarta

Daerah Kauman yang terdapat di berbagaі kota di Jawa dan Kauman Yogyakarta menduduki tempat cukup istimewa dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Di wilayah yang terletak di sebelah Barat Alun-alun ini lahir persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912. Muhammadiyah lahir di Yogyakarta di mana kota ini merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya adalah Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan) sebagai abdi dalem pamethaken di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun berbeda dari Martin Luther yang berkata:“Here I stand. I Can do no other” sebagai pemberontakan terhadap otoritas Gereja Katolik. Dahlan mampu mewarnai kraton Yogyakarta dan masyarakat Jawa tanpa harus berpisah atau memusuhi budaya Jawa. Justru dalam diri Dahlan, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal, seperti konsep sastra gending di mana Islam menjadi sastra yang diiringi gending Jawa. Ini adalah sebuah gerakan keagamaan modern, yang sering disebut para pakar sebagai gerakan reformis. Sebagai sebuah organisasi yang berjuang melakukan pembaharuan dalam kehidupan keagamaan dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, Muhammadiyah menetapkan landasan perjuangannya pada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah nabi (Jainuri Achmad 1990).

Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik. Pada waktu itu, Muhammadiyah justeru beralasan dan menemukan momentumnya (Ahmad Adaby Darban, 2000: 114-115). Budaya lokal adalah budaya priyayi dan kaum feodal, sedangkan gerakan Islam seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI) adalah budaya wong cilik dan populis. Jadi, bulldozer itu sebenarnya mewakili sebuah kelas sosial.

Muhammadiyah adalah gerakan kelas menengah pribumi yang sedang bangkit. Sama seperti Boedi Oetomo (BO) dan organisasi-organisasi priyayi lain, mereka mengadopsi kemajuan sebagai battle cry. Namun tidak sama dengan BO yang gerakan priyayi dan SI yang jelas-jelas mewakili wong cilik, Muhammadiyah yang non-kelas diterima dengan baik oleh BO dan SI. Kyai Dahlan mendirikan BO di Kauman, mengajar agama pada murid-murid Kweekschool yang didominasi orang BO, dan pada 1914 orang BO bersedia menjadi borg pada bank ketika ia membangun sekolah Muhammadiyah yang pertama, Kyai Dahlan menjadi penasihat agama SI (Kuntowijoyo, 2001).

(3)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 139

Berbagai lembaga yang dikembangkan di masa awal ditujukan bagi pemberdayaan kaum miskin (proletar). Muhammadiyah masa ini secara terbuka menerima). Kaum priyayi dan intelektual yang tergolong "abangan" dari elite Jawa, selain tradisi rakyat kebanyakan. Hingga saat ini sulit ditemukan bentuk kelembagaan dan amal-usaha gerakan ini yang belum dikembangkan pada masa generasi Kiai Dahlan tersebut.

Muhammadiyah dan Agent of Change

Muhammadiyah pada masa Ahmad Dahlan memang tidak banyak mewacanakan ide-ide besar dan spktakuler, seperti; demokrasi, hak azazi manusia dan pribumisasia Islam, tetapi inovasi Muhammadiyah tampak dan dirasakan langsung oleh umat dan maasyarakat luas dari tindakan yang dilakukan oleh para aktivis, dan masyarakat. Gerakan Muhammadiyah yang mengedepankan amaliah Vs ide (pemikiran), menjadi bukti membuminya gagasan-gagasan Muhammadiyah di kalangan masyarakat luas, baik di perkotaan maupun pedesaan. Oleh karena itu, Muhammadiyah mampu melewati berbagai macam zaman dengan segala dinamikanya. Dari mulai zaman Penjajahan (1912-1945), zaman Kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), zaman Orde Baru (1966-1998), dan zaman Reformasi (1998-sekarang) yang sedang berjalan dan entah sampai kapan.

Melalui masa-masa itu Muhammadiyah menjadi sarat, kaya dan tangguh menghadapi cuaca dan pergantian musim dengan berpijak pada gaya, stily dan nuansanya. Pada awal berdiri, Muhammadiyah dapat dikatakan hanya concern pada manhaj salafi-nya dengan melakukan pemurnian agama. Karena realitas masyarakat yang banyak melakukan taqlid, bid’ah dan khurofat, dengan rungan lingkup hanya di wilayah Yogyakarta. Pada zaman penjajahan tersebut juga terdapat pandangan perlawanan terhadap kebijakan penjajah. Memasuki masa kemerdekaan, banyak tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam mengokohkan pondasi bangsa ini. Pada kekuasaan Orde Lama Muhammadiyah sempat mengalami disorientasi jati diri yang tampak dari dualisme posisinya, sebagai gerakan sosial keagamaan dan sebagai gerakan politik praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis dan secara kelembagaan sosial-pendidikan agak terlambat menggarap pendidikan tingginya. Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dalam partai Masyumi. Walaupun sesungguhnya Muhammadiyah tetap tegas sebagai ormas namun keanggotaan istemewahnya pada partai Masyumi secara kelembagaan, menyeret Muhammadiyah dalam konsentrasi yang tinggi pada politik praktis.Usaha-usaha untuk membangun Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang pertama itu terus-menerus didengungkan oleh warga Muhammadiyah dalam tenggang waktu yang cukup lama, sejak tahun 1936 sampai tahun 1954, betapa lama dan susahnya mendirikan PTM untuk pertama didirikan.

Ketegaran Muhammadiyah di dalam menghadapi perubahan zaman sangat nampak dari semakin kuatnya amal-usahanya. Kekuatannya tidak semata-mata terletak pada jumlahnya belaka, tetapi di balik itu tersimpul pemikiran bahwa amal usaha Muhammadiyah selalu dapat berkembang karena mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial akibat dari semakin berperannya ilmu dan teknologi (IPTEK) dalam pelbagai bidang

(4)

140 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

kehidupan sosial. Keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya tradisi berfikir tertentu dalam Muhammadiyah.Muhammadiyah telah mengukuhkan jati dirinya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan dengan mendirikan sistem organisasi yang dinamis dan berkemajuan, dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Tajdid dilakukan dengan dua cara, yaitu pemurnian (purifikasi) dan pembaruan atau pengembangan (dinamisasi). Sebagai wujud nyata dari gerakan itu sudah tercermin dalam kepeloporan Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), Panti Asuhan dan mendobrak segala praktik dan pemikiran Islam yang jumud. Namun demikian, sejalan dengan tema yang diusung dalam Muktamar Satu Abad: Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, serta metodologi konteksual dan multiperspektif agar gerakan tajdid Muhammadiyah dapat masuk ke percaturan dunia kontemporer sembari tetap kokoh dalam jati dirinya yang genuine (pen-red.).

Muhammadiyah di Indonesia dikenal sebagai organisasi gerakan sosial keagamaan, kemanusiaan dan pendidikan. Hampir di setiap daerah perkotaan dapat ditemukan pelbagai amal usahanya, baik yang berupa lembaga peribadatan, rumah sakit, panti asuhan maupun lembaga pendidikan. Secara awami kenyataan tersebut menunjukkan, Muhammadiyah memiliki pusat kegiatan sosial yang telah mapan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai gerakan, Muhammadiyah memang bercorak Jawa pedalaman, namun dari sisi idiologi (yang disebut puritan) ia banyak dipengaruhi nilai-nilai Sumatra Barat terutama yang dibawa oleh Haji Rasul dan Islam pesisiran melalui Haji Mas Mansur (Surabaya, Jawa Timur). Perbedaaan watak gerakan dan ideology itulah, justru mendorong Muhammadiyah selalu menjadaga keseimbangan antar pemurnian (puritanisasi) dan pembruan (modrnisasi) secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (altawazun bay al tajrid wa tajdid). Prinsip inilah yang belakngan ini ditampilkan dalam dakwah kultural. Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang menggunakan bahasa Jawa dalam salat dan untuk menyampaikan khutbah Jumat (Tanfidz Hoofdbestuur: 1938). Seperti disebut dalam kesaksian orang-orang setempat, Ahmad Dahlan pernah ditanya oleh para muridnya di Kweekschool Jetis tentang menggunakan bahasa Jawa dalam salat.

Menurutnya, orang yang tidak menguasai bahasa Arab dibolehkan menggunakan bahasa daerahnya dalam shalat. Ini adalah kesaksian Profesor Sugarda Purbakawatja, salah satu muridnya di Kweekschool Jetis (Howard M. Federspiel, 1970: 66). Para khatib di Jawa biasa menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab.

Padahal, sebagian besar jamaah Jum'at tidak mengerti bahasa Arab, sehingga khutbahnya pun tidak dapat dipahami. Karena itu Muhammadiyah menyesuaikan cara penyampaian khutbah ini agar lebih tepat sasaran, yakni dengan menggunakan bahasa local (Harry J. Benad: 1983).

Sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa juga terwujud dalam partisipasinya dalam Jong-Java dan kongresnya di Yogyakarta. Perhatian Muhammadiyah terhadap bahasa Jawa memberi pengaruh besar terhadap nasionalisme Indonesia. Von der Mehden menyatakan:

(5)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 141

Upaya-upaya gerakan reformis tersebut di Jawa untuk melindungi dan memajukan sejarah dan seni Jawa turut menopang nasionalisme. Upaya perhimpunan ini untuk mengembangkan Djawa-dipa, bahasa Jawa rendah yang digunakan para petani, juga punya nuansa nasionalis. Seperti terlihat di Irlandia, Wales, India, Finlandia, Catalonia, dan Uni Afrika Selatan, bahasa bisa menjadi alat yang kuat untuk memisahkan diri dari penindas atau mantan penguasa.Di Jawa kegiatan-kegiatan Muhammadiyah membuat mereka berkembang seperti separatisme serupa (Fred R. Von Der Mehden: 1963).

Muhammadiyah mencoba merasionalisasi dan memodernisasi budaya Jawa.

Bagi orang Jawa, kesempurnaan terjadi hanya di masa lalu. Karena itu, mereka selalu mencoba mengembalikan apa yang mereka anggap sebagai masa lalu mereka. Hari ini umumnya dianggap sebagai zaman kalabendu (masa malapetaka, ketidakberuntungan, kesulitan dan bencana). Sejarah adalah cakra manggilingan (roda yang terus berputar, gerak kembali yang abadi). Tragedi masa kini adalah titik tolak bagi rahmat di masa depan. Sebagian orang Jawa, di zaman dulu atau zaman sekarang, misalnya, terus memimpikan bangkitnya kembali zaman kerajaan besar semi-mitologis masa lalu, seperti Majapahit di Indonesia (Mark R.

Woodward, 1989).

Namun, hubungan antara perkembangan pemikiran pembaharuan dengan perubahan-perubahan sangat memungkinkan, karena lazimnya pemikiran pernbahan tentang sesuatu yang baru, secara relatif akan menimbulkan kekuatan- kekuatan yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan. Selo Soemardjan dalam penelitiannya di Yogyakarta (1962) membuktikan bahwa selagi pembaharuan- pembaharuan melakukan tindakan-tindakannya, ia sendiri terpengaruh oleh tekanan sosial yang menyertai proses perubahan, dan sering kali menimbulkan perubahan pada lembaga-Amal sosial lainnya. Pada umumnya perubahan yang dilakukan oleh lembaga politik, keagamaan, ekonomi dan pendidikan masyarakat, satu sama lain akan mempengaruhi terjadinya perubahan pada bidang lainnya (Selo Soemardjan: 1981).

Karakteristik Muhammadiyah

Orang Jawa punya seperangkat cara perilaku yang berbeda dari cara berperilaku orang Sunda dan Madura. Di tengah berjuta-juta orang Jawa, ada banyak kelompok, dan akibatnya, banyak identitas kolektif. Di mana, pada awal abad kedua puluh, di Jawa menjamurlah banyak organisasi baru dengan beragam karakter: nasionalis, relijius, kultural dan sebagainya. Salah satunya, yang diikuti Ahmad Dahlan, adalah Boedi Oetomo. Anggota utama organisasi ini adalah dari kalangan priyayi tamatan pendidika n Barat, namun ada juga sejumlah priyayi tradisional. Di antara tujuannya, seperti disebutkan dalam anggaran dasar awal mereka, adalah membangkitkan seni dan tradisi Jawa asli (A. Nagazumi: 50).

Selain itu, Muhammadiyah dan Boedi Oetomo sama-sama punya beberapa kesamaan dalam visi dan misi mereka. Boedi Oetomo tertarik mendidik masyarakat Jawa dan ini selaras dengan tujuan Muhammadiyah membebaskan masyarakat Jawa dari takhayul. Dua gerakan ini juga sama-sama bermaksud melindungi identitas Jawa dari apa yang tampak sebagai serangan oleh budaya

(6)

142 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

Barat. Singkatnya kesamaan budaya antara dua organisasi ini adalah kunci kecocokan mereka. Persekutuan Muhammadiyah dengan sebuah gerakan budaya Jawa, dan keikutsertaan beberapa anggotanya dalam gerakan itu, menjadi indikasi kuat tentang apresiasi dan dukungan gerakan Islam modern ini terhadap identitas Jawa. Posisi bahasa Arab di dunia Islam dan bagi ibadah umat Islam menjadi tema diskusi yang sangat penting. Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur'an dan Hadis, dua sumber Utama ajaran akidah, syariat, dan akhlak Islam. Supremasi bahasa Arab bagi muslim mendapat tempat yang nyaris tak tergoyahkan setelah berkembangnya doktrin teologi tentang kemukjizatan al-Quran dan keyakinan tentang kemustahilan meniru bahasa Al-Quran (Alwi Shihab: 1995).

Di Jawa, kita bisa dengan sangat percaya diri mengidentifikasi bahwa orang-orang dengan nama seperti; Paijo, Slamet, Bejo dan Untung hampir pasti berasal dari keluarga petani. Orang-orang dengan nama-nama seperti; Kusuma, Jati, dan Ningrat hampir pasti berasal dari kalangan bangsawan. Mereka yang mempunyai nama-nama; Ngusman, Ngali, Ngumar, Ngaisah, Ngatijah, Pertimah, Kasan dan Kusen kemungkinan besar dari keluarga santri. Misalnya, nama seperti Mas Atmosudigdo, ayahanda Profesor Rasjidi (tokoh terkenal di Muhammadiyah dan mantan Menteri Agama), membuat kita bisa mengidentifikasi kelompok mana dia berasal (M. Nakamura: 1993).

Peristiwa penting, seperti haji, juga mendorong orang Jawa mengubah namanya. Djojotaruno, mertua dari ketua kedua Muhammadiyah, Haji Ibrahim, menggubah nama baru, Haji Abdurrahman, setelah berhaji (Alfian. 199). Haji Misbach, Muslim Marxis dan tokoh terkenal perjuangan kemerdekaan, punya nama muda Darmodiprono (Nor Hiqmah: 2000). Pangeran Diponegoro, tokoh sentral dalam Perang Jawa 1825-1830, punya nama santri Abdul Kamid. Orang- orang yang sudah punya nama santri pun berganti nama Muhammad Darwisj berganti nama Ahmad Dahlan setelah berhaji.

Karena itu, fakta Muhammadiyah lahir di jantung peradaban Jawa tak pelak berarti bahwa gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari identitas budaya Jawa. Di samping itu, dominasi abdi dalem—aliansi antara priyayi santri Kauman dan priyayi sekular—Kesultanan Yogyakarta dalam organisasi modoern ini adalah jaminan bahwa budaya Jawa tidak bisa sepenuhnya dihilangkan darinya. Aksi, penampakan, dan penampilan Muhammadiyah pada masa awal sangat ditentukan diarahkan oleh nilai-nilai yang melekat dalam budaya Jawa dan sistem keyakinan tradisional. Ringkasnya, Muhammadiya adalah semacam potret sebuah gerakan abdi dalem dan priyayi dalam sebuah kerajaan Jawa (Mitsuo Nakamura: 1993).

Masyarakat Jawa, tokoh-tokoh ternama Muhammadiyah, termasuk Ahmad Dahlan, tidak pernah menyimpang dari apa yang digariskan oleh adat dan tradisi istana dalam tingkah laku terhadap Sultan Yogyakarta. Peacock menggambarkan ini sebagai berikut:

Dahlan tetap santun dan rendah hati terhadap pihak istana Yogyakarta. Ia ingin menyampaikan pada sang penguasa, Paduka Sri Sultan, saran mengenai penyelenggaraan perayaan Gerebeg. Agar Dahlan bisa "bicara bebas dan mengutarakan isi hatinya tanpa merasa silau dengan Paduka Sri Sultan dan para bangsawan kaki tangannya," sang raja menerima Dahlan di sebuah ruangan gelap pada malam hari. Meski penulis riwayat Dahlan menganggap kejadian itu

(7)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 143

mencerminkan keberanian Dahlan bicara kepada sang raja, pembaca Barat lebih terkesan oleh kepatuhan dan kesopanannya; Dahlan di sini bukanlah Luther yang berteriak "Di sini aku berdiri” kepada pangeran. KH. Dahlan tidak berlaku arogan di hadapan Sultan HB (raja) dan budaya Jawa, tetapi merasa bahwa ia adalah bagian dari budaya dan kerajaan Jawa. Karena itu, ia bertingkah laku ala orang Jawa dan menunjukkan watak kepribadian aslinya di hadapan Sultan.

Selaras dengan ini, Muhammadiyah dulu menggunakan kalender Jawa (tahun Saka), bersamaan dengan kalender Arab (Hijriah) dan Gregorian (Masehi) dalam sturat menyurat dan laporan-laporan mereka

Ahmad Dahlan menunjukkan penghargaannya terhadap budaya ini.

Almanak-almanak Muhammadiyah menunjukkan hal ini. Anggota Muhammadiyah dulu masih terbiasa menggunakan kalender Saka, yang diciptakan Sultan Agung pada 1630 an, dalam keseharian mereka (M.C. Ricklefs:

1998). Almanak-almanak ini juga menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak merasa enggan atau bersalah untuk menggunakan pasaran Jawa lima hari seminggu (Tanfidz Hoofdbestuur: 1938). Muhammadiyah baru mulai merekomendasikan warganya untuk menggunakan tahun Hijriah dalam Kongres ke-26 di Surabaya pada 1926 (Tanfidz Hoofdbestuur: 1938).

Perilaku Muhammadiyah yang bisa dikatakan mengapresiasi budaya Jawa adalah sikapnya terhadap grebeg. Tiga grebeg besar secara rutin diadakan di Kasultanan Yogyakarta, yaitu Grebeg Mulud (peringatan hari lahir Nabi Muhammad), Grebeg Besar (hari raya kurban), dan Grebeg Pasa (akhir puasa).

Ada juga grebeg lain yang dilaksanakan secara agak berbeda, yaitu Grebeg Sultan (peringatan hari lahir Sultan). Di antara grebeg-gerebeg ini, Grebeg Mulud atau Maulud dirayakan secara besar-besaran. Dalam grebeg ini, perayaan Sekaten selalu menjadi atraksi permanen (N.J.G. Kaptein: 1993).

Sebagai abdi dalem pamethakan, Ahmad Dahlan tentu ikut dalam ritual grebeg. Perayaan grebeg sangat mungkin mengandung banyak unsur takhyul.

Tentu saja boleh jadi Muhammadiyah tidak setuju dengan beberapa praktik yang dilakukan saat grebeg.Dalam kasus ini, bagi sebagian peneliti, apa yang memotivasi perilaku para anggotanya memang masih diperdebatkan. Namun, yang jelas dari hal ini adalah bahwa Ahmad Dahlan tetap sebagai abdi dalem hingga meninggalnya. Bahkan hingga hari ini pun Muhammadiyah tidak mengecam grebeg (Jan Platvoet dan Karel van der Toorn: 1995). Muhammadiyah menganggap praktik-praktik grebeg sebagai sarana dakwah Islam. Inilah salah satu alasan mengapa Muhammadiyah terus ikut serta dalam ritual-ritual grebeg Kesultanan (A.A. Darban: 107). Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Hatta, mantan perdana menteri Indonesia dan anggota Muhammadiyah, menyatakan: gerakan Muhammadiyah tidak akan pernah bisa mewujudkan cita- citanya memurnikan agama jika Muhammadiyah tidak bebas dari akar Kauman Yogyakarta-nya.

Kisah lain, adalah dari pengajuan izin resmi pengakuan Muhammadiyah yang diserahkan kepada Gubernur Jenderal pada 1912, menyebutkan bahwa ada sembilan pendiri Muhammadiyah kebanyakan adalah abdi dalem keraton Yogyakarta. Sembilan orang itu adalah:

1. Mas Ketib Amin, Haji Ahmad Dahlan

(8)

144 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

2. Mas Pengulu, Abdullah Sirat 3. Raden Ketib Tjandana, Haji Ahmat 4. Haji Abdul Rahman

5. Raden Haji Sarkawi

6. Mas Gebajan, Haji Mohammad 7. Raden Haji Djaelani

8. Haji Anis

9. Mas Tjarik, Haji Muhammad Pakih (Alfian: 1989).

Tujuh dari sembilan pemimpin awal Muhammadiyah ini adalah abdi dalem, terlihat dari gelar bangsawan mereka; empat di antaranya bergelar Mas, dan tiga lainnya bergelar Raden. Mereka yang tidak punya gelar bangsawan dalam daftar ini hanyalah Haji Abdul Rahman dan Haji Anis. Namun, keduanya sangat mungkin jugalah keturunan priyayi. Ini bisa disimpulkan dari fakta bahwa mereka tinggal di Kauman, tempat abdi dalem pamethakan atau putihan (para pejabat untuk urusan agama) Kesultanan Yogyakarta.

Selain priyayi santri Kauman, kelompok kedua yang paling tertarik dengan Muhammadiyah adalah priyayi non-santri, masuk mereka yang jebolan pendidikan Barat.Ada banyak tokoh terkenal di Muhammadiyah dari kelompok ini, seperti Raden Sosrosoegondo, Mas Radji, Mas Ngabehi Djojosugito dan Dr.

Soemowidagdo (Akira Nagazum: 1972). Dalam laporan-laporan tahunan Muhammadiyah pada masa awal, kita bisa melihat bahwa ada banyak nama yang tidak bergelar haji. Banyak bahkan yang menggunakan nama Jawa dengan gelar bangsawan (Smith: 1966)

Selain yang disebut tadi, beberapa di antara mereka yang menduduki posisi kepemimpinan adalah raden Pringgonoto sebagagai Sekretaris Empat Pimpinan Pusat (Solichin Salam: 1963).

Bahkan, ketika Muhammadiyah meresmikan salah satu panti asuhannya pada 13 Januari 1923, Dr. Mas Somowidagdo (dari Malang, JawaTimur) adalah salah satu tamu penting (selain K.P.A.Adipati Danuredjo, R.T.Wirjokoesoem R.W. Dwijosewojo, Dr. Ofrenga dan Dr. R. R. Abdukadir). Ia merasa terharu dengan upaya Muhammadiyah membantu orang-orang miskin. Karena itu, ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menawarkan keahliannya. A. Dahlan berperan penting dalam penyebaran gagasan-gagasan Muhammadiyah ke seluruh Jawa.

Beberapa anggota gerakan priyayi ini tertarik bergabung dan mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di tempat mereka tinggal. Asumsi logisnya, para anggota Boedi Oetomo yang bergabung dengan Muhammadiyah menjadi “faksi”

priyayi dalam gerakan Islam ini, kelompok pilar kedua gerakan ini (Hamka:

1946).

Boleh jadi karena salah satu faksi utamanya adalah priyayi, Muhammadiyah cenderung berperan ambigu dalam politik. Banyak pamong praja dan guru di sekolah-sekolah pemerintah adalah priyayi. Tak pelak, lantaran pekerjaan mereka, beberapa priyayi punya hubungan dekat dengan Pemerintah kolonial. Mereka merasa nyaman menjadi anggota Muhammadiyah yang, meski tidak kalah nasionalistisnya ketimbang organisasi lain, juga menjalin hubungan kooperatif dengan Pemerintah. Tentu ada ada saat ketika keikutsertaan mereka di

(9)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 145

organisasi ini terganggu Ahmad Dahlan pernah mengundang beberapa pemimpin ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging). Perhimpunan Sosial Demokratik Hindia) untuk memberi informasi tentang gerakan mereka kepada para anggota Muhammadiyah. Menanggapi undangan ini, Adolf Baars, Semaun dan Darsono datang dan memberi ceramah. Akibat kejadian ini sangat tragis dan drastis; beberapa priyayi meninggalkan Muhammadiyah, kecewa lantaran dengan kelompok kiri radikal ini (H. Suja, 61-2).

Kelompok utama ketiga yang menyangga Muhammadiyah adalah para pedagang dan pengusaha. Sangatlah mungkin kegiatan Dahlan sebagai pedagang batik, yang diketahui dari biografinya, membuatnya kenal dengan para pedagang dan pengusaha dari luar Yogyakarta. Juga sangat mungkin melalui koneksi inilah para pedangan dan pengusaha nantinya menjadi para pendukung Muhammadiyah.

Sumbangsih kelompok ini kepada Muhammadiyah bisa dilihat dari kepemimpinan di cabang-cabang Muhammadiyah di Surabaya, Pekalongan, Pekajangan, Surakarta, dan Kota Gede (Alfian: 1989).

Di Pekalongan, Muhammadiyah diketuai Ahmad Rasjid, (AR) Sutan Mansur, seorang pedagang Minangkabau. Keikutsertaannya di Muhammadiyah sering dianggap faktor yang menarik para pedagang lain di kota ini bergabung dengan Muhammadiyah. Ranuwihardjo, pengusaha batik kaya raya, adalah salah satu contoh pebisnis sukses yang bergabung dengan Muhammadiyah dan kemudian menjadi tokoh terkenal Muhammadiyah di kota ini (Alfian: 1989).

Banyak pengusaha batik di Pekajangan dan beberapa pengusaha rokok kretek di Kudus dan sejumlah pengusaha perak di Kota Gede, juga menjadi pendulukung utama Muhammadiyah. Jelas bahwa bukti paling penting dari partisipasi para pengusaha dan pedagang dalam Muhammadiyah adalah besarnya donasi mereka untuk membantu jalannya organisasi ini (Alfian: 1989).

Dengan demikian, jelaslah bahwa priyayi santri Kauman adalah kelompok pilar pertama Muhammadiyah. Yang kedua dan ketiga adalah para priyayi non santri, termasuk priyayi yang terdidik ala Barat dan para pedang dan pengusaha.

Semuanya adalah representasi dari kelasmenengah—sangat mungkin adalah kelas menengah atas. Ini tidak berarti bahwa Muhammadiyah pada masa awal tidak punya anggota dari kalangan bawah. Sebagai gerakan keagamaan, Muhammadiyah mencoba menarik orang-orang dari berbagai lapisan, dan sebanyak mungkin. Namun, persentase kalangan bawah di Muhammadiyah pada waktu itu sangatlah kecil. Pada 1930 misalnya, para petani dan pedagang kelas pekerja hanya sebanyak 15 persen (petani 10 persen, pekerja 5 persen) dari total anggota Muhammadiyah (Alfian: 1989). Mengingat hal ini, tidaklah mengejutkan bila pada masa awal Muhammadiyah disebut sebagai organisasi elit. Selain itu, Muhammadiyah sangat jelas adalah sebuah fenomena urban ((Alfian: 1989).

Monetisasi, Komersialisasi, Televisi dan Mobilitas Sosial

Pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia memang benar bahwa Muhammadiyah dianggap sebagai penyusut budaya lokal, hanya karena ajarannya tidak memungkinkan untuk mengikuti tradisi, dan di sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak ada pelajaran gamelan dan tari. Akan tetapi, Muhammadiyah sebenarnya tidak sendirian. Banyak organisasi Islam lain,

(10)

146 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

sekolah-sekolah Belanda, dan sekolah-sekolah swasta tidak berminat mengembangkan budaya lokal. Di antara sekolah swasta itu hanya Taman Siswa- lah satu-satunya sekolah yang memelihara budaya lokal. Dalam masyarakat Islam di lingkungan pesantren juga berkembang budaya lokal, Jawa-Islam, yang juga ditolak oleh Muhammadiyah dcngan alasan tertentu. Sebenarnya itu juga piliha n kebudayaan, Muhammadiyah tidak mau menjadi esthete yang statis, tetapi tetap pada jalur etos ekonomi yang dinamis. Untuk mempertahankan etos ekonomi dan dinamika itulah Muhammadiyah mengorbankan estetika. Kita tahu adanya pepatah Jawa, Jer basuki mawu beya.

Namun, sejaki tahun 60-an di kalangan warga Muhammadiyah berkembang teater, koreografi, seni tari, seni lukis, seni lukis batik, kaligrafi, perfilman, sastra, musik dan seni suara. Jadi bulldozer itu membawa berkah: Muhammadiyah justeru tidak ketinggalan dalam seni modern, lain dengan kaum esthete lama yang hanya menggosok-gosok budaya lokal masa lalu, dan kaum esthete Muslim dengan budaya Jawa-Islam yang "mati nggak, hidup tak mau". Para seniman itu sekarang mempunyai status lain, bukan lagi esthete, tetapi profesional.

Surutnya budaya Jawa bukan salah Muhammadiyah. Itu lebih disebabkan oleh monetisasi, komersialisasi, televisi dan mobilitas sosial ketimbang akibat berkembangnya sebuah ajaran. Mengenai surutnya budaya lokal (Jawa) menurut hemat penulis tidak seorang pengamat budaya pun menyalahkan gerakan purifikasi sebagai penyebab. Sebaliknya, zending dan missi yang menggunakan budaya lokal sedikit banyak telah melahirkan waranggana, koreografer dan dalang, tapi mereka tak pernah membawa-bawa agama dalam pertunjukkan.

Alasannya sangat jelas ialah soal pemasaran. Malahan, banyak dalang Islam yang dalam pertunjukannya membawa missi agama. Misalnya, melaksanakan Wahyu Makutoromo diganti dengan pelaksanaan syari'at Islam. Tak ada yang harus dikhawatirkan dcngan susutnya budaya lokal bagi Muhammadiyah.

Akibat dari monetisasi seorang petani harus menyediakan sejumlah uang untuk bisa melaksanakan klenengan, ketoprak dan, wayang orang. Petani tidak sanggup menyediakan sejumlah uang itu. Tidak seperti dulu, pada waktu itu budaya lokal masih merupakan participatory culture, scmua datang dan pulang sendiri. Dulu dengan sistem sambatan, seorang petani hanya ketempatan, sedangkan sekarang semuanya hams dibayar dengan uang. Komersialisasi budaya lokal lebih merusak lagi. Sekarang ini, hanya sebuah usaha kolektif (panitia) atau resmi (peringatan HUT) yang punya anggaran untuk mengembangkan budaya lokal, misalnya dengan nanggap wayang. Seorang dalang sama saja dengan penyanyi atau dagelan yang sangat mahal bayarannya. Nama-nama besar dalam pedalangan adalah selebritis. Kiranya tidak seorang petani, eks-priyayi alias pegawai sanggup membayar. Adanya televisi juga sudah mengubah peta budaya lokal: dari participatory culture menjadi sebuah performance. Dulu (tahun 50-an) kita mengenal wayang karena nonton dari rumah ke rumah, sekarang (tahun 90- an) kita mengenal wayang dari televisi. Dulu kita berpartisipasi secara aktif, sekarang kita menjadi penonton yang pasif. Dulu seorang dalang adalah tokoh masyarakat, sekarang dalang adalah karier dalam masyarakat (Kuntowijoyo, 2001).

(11)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 147

Dari perilaku Kiai Ahmad Dahlan itulah seorang elite priyayi Jawa, dr.

Soetomo kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah melalui proses kekaguman serupa atas gagasan dasar cinta-kasih, aksi-aksi sosial, tema sentral LSM dan budaya yang dulu menjadi fokus Muhammadiyah seperti yang belakangan menjadi kini terasa asing dalam gerakan Muhammadiyah ini (Ahmad Najib Burhani: 2010).

Kesimpulan

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut penulis berpendapat Muhammadiyah berada dalam suatu kondisi yang sistemnya mampu menawarkan suatu alternatif bagi perubahan zaman, Karena kemampuan Muhammadiyah tersebut tidak mungkin terjadi tanpa dilandasi oleh suatu hasil olah-pikir, tentunya di belakang sosok Muhammadiyah yang demikian terdapat suatu tradisi berfikir tertentu yang hasilnya mampu memberikan masukan kepada organisasi untuk selalu siap meng- hadapi persoalan zaman sehingga Muhammadiyah dapat tetap tegar dalam perubahan-perubahan sosial.

Pada sisi lain, tantangan Muhammadiyah ke depan semakin kompleks, seiring dengan kemajuan jaman yang ditopang oleh akselerasi kemajuan dunia teknologi informasi dan komunikasi. Muhammadiyah harus mampu memanfaatkan TIK untuk kepentingan organisasi, jamaah Muhammadiyah, serta umat dan bangsa. Situs Muhammadiyah (www.muhammadiyah.or.id) bisa menjadi wahana berbagi berbagai ‘best practice’ amal usaha Muhammadiyah.

Wallahu A’lam

Daftar Pustaka

Alfian, Muhammadijah, The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialsm, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1989)

Ali, A. Mukti ,"The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction", tesis MA. di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, 1957 Asrofie, M. Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran Kepemimpinannya

(Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983)

Benda, Harry J. , The Cressent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945 (Holland: Foris Publications, 1983)

Burhani, Ahmad Najib, Muhammadiyah Jawa, (Jakarta; Al-Wasat, 2010)

Darban, Ahmad Adaby, Sejarah Kauman:Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta:Tarawang 2000)

Federspiel, Von Der Mehden, Fred R. Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, The Philippines (Madison: The University of Wisconsin Press, 1963)

Geertz, Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:

Pustaka Jaya,1983)

Gunawan, Restu (ed.), Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir.Soekarno dan K.H. Ahmad Dahlan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999).

(12)

148 | Jurnal Manajemen Dakwah Vol. 2 No. 1 Juni 2014

Hamka, Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman (Soematera Barat: Markaz Idarah Moehammadijah, 1946)

Hiqmah, Nor, H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (Yogyakarta:

Yayasan Litera Indonesia, 2000)

Howard M. "The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic Movement in Indonesia", dalam Indonesia 10 (October), Cornell Modern Indonesia Project, 1970

Jackson, Karl D. and Lucian W. Pye (ed), Political Power and Communication in Indonesia, University of California Press Berkeley, Los Angeles-London, 1978 Jainuri, Achmad, 1990. "Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan Islam",

dalam M. Dien Syamsuddin (ed.) Muhammadiyah Kini dan Esok (Jakarta:

Pustaka Panjimas)

Kartodirdjo, Sartono, The Peasant’s Revolt of Banten in 1888 , It Condition, Course and Sequel; A Case Study of Social Movement in Indonesia( S- Gravenhage: NV. De Nederlandsche Boek en Sreendrukkerij v/h H. L.

Smith, 1966)

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001) Makalah “Maling Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan

Budaya Lokal”, Halaqah Tarjih, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2-4 November 2001

Liddle, R. William (ed), Political Participation in Modern Indonesia, Monograph Series No. 19, Yale University Southeast Asia Studies New Haven, Connecticut, 1973

Maarif, Ahmad Syafii, 100 Tahun Muhammadiyah (1), Republika, Selasa, 13 November 2012 A

100 Tahun Muhammadiyah (II), Republika, Selasa, 20 November 2012

Mulkhan, Abdul Munir, “Muhammadiyah Dalam Keragaman Budaya Lokal”, Halaqah Tarjih, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2-4 November 2001

Nakamura, M. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, terj. (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1983)

Nagazumi, Akira, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918 (Tokyo: Institute of Developing Economies, 1972)

Peacock, James L. Purifying The Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam, (The Benjamin/ Cumming Publishing Company, Menlo Park, California, 1978)

Ricklefs, M.C., The Seen and Unseen Worlds in Java, 1926- 1949:History,Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II (Honolulu: Allen Unwin and University of Hawai Press,1998)

Salam, Junus, KH.A.Dahlan: Amal dan Perdjoeangannja (Djakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1968)

Salam, Solichin K.H. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia (Jakarta:

Djajamurti, 1963)

(13)

Vol. 2 No. 1 Juni 2014 Jurnal Manajemen Dakwah | 149

Samson, Allan A. "Religious Belief and Political Action in Indonesian Islamic Modcrnisme"

Shihab, Alwi "The Muhammadiyah Movement and its Controversy with Christian Mission in Indonesia", disertasi doktoral, The Temple University, 1995

Soemardjan, Selo, terj HJ Koesoemanto, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1981)

Suja', Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta; Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pustaka, 1989)

W.F. Wertheim,, Kata Pengantar, dalam Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang, terj.

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980)

Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (Arizona: The University of Arizona Press J 1989)

Referensi

Dokumen terkait

F9 Penguasaan bahasa Melayu yang baik oleh kaum-kaum lain Mana-mana jawapan munasabah. Maksimum

penderita penyakit gizi buruk, dengan cara menentukan status gangguan gizi terlebih dahulu yang terdiri dari 4 status gangguan gizi, dengan jumlah gejala sebanyak

[r]

Rapid yeast test (RYT) sebagai sarana diagnostik baru digunakan untuk mendeteksi Candida pada duh tubuh vagina dengan sensitivitas dan spesifisitas yang

Dalam bidang pemuliaan tanaman, teknik mutasi induksi dapat memudahkan pemulia dalam melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan yang

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan Deskriptif dengan teknik pengumpulan data yang menggunakan teknik observasi, wawancara, dan

Anjayengsentanu raja negeri Manila , Raja Kiana Surya Dadwa raja negeri Prajatisna dan Putri Kanaka Wulan (adik Raja Kiana Surya Dadwa). Mereka menuju ke Jawa

Melibatkan sebanyak mungkin umat lingkungan untuk bersama-sama membangun komunitas dalam suatu pengurusan lingkungan Santa Klara dari Asisi merupakan upaya membangun kebersamaan