• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Vitamin D Terhadap Perbaikan Foto Toraks Pada Pasien TB Paru Etnik Batak Di Kota Medan Dihubungkan Dengan Polimorfisme ApaI Gen Reseptor Vitamin D Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Vitamin D Terhadap Perbaikan Foto Toraks Pada Pasien TB Paru Etnik Batak Di Kota Medan Dihubungkan Dengan Polimorfisme ApaI Gen Reseptor Vitamin D Chapter III VI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Keterangan:

= Variabel bebas

= Variabel terikat

= Variabel antara

Bagan 2.10. Skema Kerangka Konsep

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah Design blinded randomized controlled

trial untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks

pada penderita TB paru etnik batak dihubungkan dengan polimorfisme gen RVD ApaI. - OAT +

Plasebo

Polimorsime Apa I gen RVD

(2)

3.2. Lokasi dan waktu penelitian

3.2.1. Lokasi penelitian adalah pengambilan sampel penelitian dilakukan di dipuskesmas Helvetia Medan, Puskesmas Teladan Medan, Puskesmas Amplas

Medan, Puskesmas Medan Johor, Puskesmas Delitua, Puskesmas Patumbak,

Puskesmas Mulyorejo untuk pemeriksaan foto toraks dan sampel serum darah.

Pemeriksaan kadar vitamin D dan polimorfisme gen RVD ApaI dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan Januari

2016

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi dalam penelitian ini adalah populasi wilayah (Area Population) yaitu seluruh pasien yang terdaftar menderita penyakit tuberkulosis paru BTA (+) dan

foto toraks positif bersuku Batak yang berobat ke puskesmas sesuai lokasi pada

bulan Januari sampai dengan Desember 2014. Populasi dibagi menjadi 2 (dua)

kelompok, kelompok intervensi diberi perlakuan OAT dan vitamin D oral dan

kelompok pembanding diberi OAT dan plasebo.

3.3.2. Sampel

1) Kelompok intervensi diberi perlakuan OAT dan vitami D oral

Kelompok intervensi adalah penderita tuberkulosis paru positif berdasarkan

pemeriksaan sputum dan rongent yang berusia 18 tahun keatas, yang

(3)

batak. Kelompok intervensi akan diberikan vitamin D dengan 100.000 IU per

oral setara dengan 2,5 mg pada hari 0, 14, 28 dan 42

2) Kelompok pembanding diberi Oat dan plasebo

Kelompok pembanding adalah penderita tuberkulosis paru positif

berdasarkan pemeriksaan sputum dan rongent yang berusia 18 tahun keatas,

yang bertempat tinggal di wilayah sumatera utara yang memiliki identitas diri

suku batak. Kelompok pembanding akan diberikan placebo oral pada hari 0,

14, 28 dan 42

3.3.3. Kriteria Sampel Penelitian 1) Kriteria inklusi :

a. Penderita TB paru baru positif dari pemeriksaan sputum dan foto toraks

sudah minum OAT maksimal 1 minggu

b. Etnis batak dari 2 generasi sebelumnya (kakek-nenek, ayah-ibu)

c. Usia > 18 tahun

d. BMI > (Body Mage Indeks) 18,5

e. Bersedia untuk menjadi sampel penelitian dan menandatangani inform concent.

2) Kriteria eksklusi :

a. Pasien TB, HIV positif

b. Pasien dengan riwayat Diabetes Melitus, transplantasi organ, gangguan

fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keganasan, pengobatan dengan

steroid, penderita TB ekstra paru, dan alergi dengan vitamin D yang

(4)

3.3.4. Besaran sampel

Adapun besar sampel dihitung dengan pendekatan sebagai berikut:

n1 = n2 = ((Zα√P(1-P) + Z √p1(1-p1)+p2(1-p2))2 (p1 – p2) 2

dimana :

n = besar sampel

Zα = deviat baku α (α = 0,05, Zα =1,960) Z = deviat baku ( = 10%, Z = 0.842) P = p1+p2/2

p1 = nilai proporsi kelompok perlakuan = 0,67 (siswanto at al, 2009)

p2 = nilai proporsi kelompok kontrol = 0,18 (siswanto at al, 2009)

Menurut penelitian (siswanto at al, 2009) dari nilai proporsi perlakuan maka jumlah n = 15,

perhitungan droup out 10 % maka sampel dibutuhkan kelompok perlakuan sebanyak 36 orang, 1

kelompok 18 kelompok intervensi dan 18 orang kelompok pembanding.

3.4. Metode Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip non probability sampling dengan teknik consecutive sampling, dimana sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dipilih dan dilakukan secara acak dengan tabel random. TB aktif yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi akan digunakan sebagai sampel. Dari hasil foto toraks pasien

dikelompokkan menjadi 2 yaitu: pasien dengan cavitas dan non kavitas. Pada

masing-masing kelompok foto toraks tersebut pasien akan dikelompokkan menjadi pasien yang

(5)

sampel sudah mencukupi pembagian sampel atas kelompok perlakuan dan pembanding

dilakukan secara acak.

3.5. Variabel Penelitian

Variabel bebas yaitu kadar vitamin D pada suku batak

Variabel terikat yaitu perbaikan foto toraks

Variabel antara yaitu Polimorfisme gen ApaI

(6)
(7)

No Variabel Defenisi Alat Ukur

Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Pengukuran 6= ada 6 zona

yang terlibat

3.7. Kerangka Operasional

Meminta persetujuan Majelis Komite Etik Penelitian (Ethical Clearance)

Menentukan sampel penelitian

n = 36

pasien baru TB paru etnis batak (kuesioner)

Mengumpulkan data sampel penelitian

(8)

Bagan 3.1. Skema kerangka operasional

3.8. Metode penelitian

3.8.1. Pemeriksaan kadar vitamin D 1) Alat dan Bahan

i) elisa kit vitamin D

ii) sentrifuge

iii) vortex

iv) mikropipet (10-200µl, 100-1000µl)

v) tabung eppendorf Melakukan pemeriksaan rongent pertama terdiagnosa

TBC

pemeriksaan kadar vitamin D dengan teknik ELISA

Pemeriksaan polimorfisme gen VDR Apa 1 dengan PCR-RFLP Sentrifugasi

Analisa data INTERVENSI

OAT + VITAMIN D

PEMBANDING

OAT + PLASEBO

Melakukan pemeriksaan rongent setelah penderita mendapatkan perlakuan obat selama 2 (dua) bulan

(9)

vi) freezer

vii) rak tabung eppendorf.

2) Bahan

i) serum plasma darah sampel penelitian

ii) aquades steril dan bahan yang telah tersedia dalam elisa kit vitamin D

3.8.2. ELISA kit Vitamin D

1) Alat digunakan dalam mengukur kadar vitamin D dalam serum sampel

penelitian diperiksa dengan menggunakan 25-OH Vitamin D ELISA essay

kit. Memiliki ukuran 1x96 wells, sensitifitas 1,6 ng/ml, dynamic range 4-120

ng/ml, dengan sampel 20µl serum plasma.

3.8.3. Isolasi DNA

1) Alat yang digunakan adalah mikropipet (1-10 μL), ice pack, vortex, spin

down, PCR-RFLP.

2) Bahan yang digunakan adalah 5x Reaction buffer, nuclease free water,

enzyme mix, spike in (sp6), tips mikropipet (1-10 μL).

3.8.4. PCR-RFLP

1) Alat yang digunakan adalah mikropipet (1-10 μL; 100-1000 μL), vortex,

tabung ependorf, tabung PCR, PCR-RFLP.

2) Bahan yang digunakan adalah Primer TaqI, master mix, agarose, DNA

leader, TAE buffer, tips mikropipet ((10-200µl, 100-1000µl).

3.9. Prosedur Kerja

(10)

Pengurusan ethical clearance melalui komisi etik FK USU dilakukan sebelum

pelaksanaan penelitian. Setelah diterbitkannya ethical clearance dan izin

penelitian dari instansi terkait, maka dilakukan proses seleksi sampel penelitian

berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

3.9.2. Persiapan sampel

Sampel pada penelitian ini adalah suku batak yang telah terdiagnosa TB paru

dari hasil pemeriksaan BTA dan rongent, sampel darah diambil 3 cc kemudian

disentrifugasi untuk memisahkan serum dari selnya dan dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa kelaboratorium disimpan dalam freezer suhu -20oC untuk diperiksa kadar vitamin D. Serum plasma disimpan dalam freezer kemudian

diukur kadar vitamin D awal dan polimorfisme ApaI gen reseptor vitamin D di laboratorium FK USU. Pasien dirandomisasi menjadi 2 (dua) kelompok

intervensi (kontorl) dan pembanding (plasebo). Kelompok intervensi diberi OAT

sesuai program DOTS dan vitamin D oral dengan dosis 2,5 mg dengan 4 (empat)

kali pemberian pada minggu ke-2, 4, 6 dan minggu ke-8. Kelompok

pembanding diberi OAT dan plasebo (Salahuddin et al, 2009). Pasien diikuti perkembangannya kemudian setelah pemberian obat minggu ke-8 dilakukan

pengambilan darah 3 cc untuk mengukur kadar vitamin D dan pemeriksaan paru

dengan rongent.

Polimorfisme ApaI gen RVD diperiksa dengan teknik PCR-RFLP dari sampel darah setiap pasien kedua kelompok intervensi dan pembanding. Genotip hasil

(11)

2 band pada 531 bp dan 214 bp; dan heterozigot Aa menghasilkan 3 band pada

745 bp, 531 bp, 214 bp (Sinaga, 2014).

3.9.3. Pemeriksaan kadar vitamin D

Kadar vitamin D yang diukur adalah kadar 25(OH) serum. Pemeriksaan kadar

25(OH)D serum mempergunakan metode enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA). Hasil pemeriksaan dalam satuan nmol/L. deficiency vitamin D

dinyatakan bila kadar 25 (OH)D serum 10-20 nmol/L insufficiency vitamin D

dinyatakan bila kadar 25 (OH)D serum 21-29 nmol/L, sufficiency vitamin D

dinyatakan bila kadar 25 (OH)D serum > 30.

1. Masukkan sebanyak 25 ul larutan standard, kontrol dan sampel yang akan

diperiksa ke dalam vial, dengan ujung mikropipet yang baru setiap kali

2. Masukkan sebanyak 50 ul buffer denaturasi ke dalam masing-masing vial

3. Tutup vial dan inkubasi selama 30 menit pada suhu 370C

4. Tambahkan 200 ul buffer netralisasi ke dalam vial

5. Tambahkan 50 ul enzim konjugasi ke dalam vial

6. Tambahkan 50 ul enzim kompleks ke dalam vial

7. Campurkan larutan dalam masing-masing vial selama 10 detik

8. Gunakan sebanyak 200 ul larutan dari vial untuk proses selanjutnya

9. Masukkan 200 ul larutan standard, kontrol dan sampel, ke dalam sumur plate

10.Tutup vial dan inkubasi selama 60 menit pada suhu 370C

11.Kocok cepat sumur plate, cuci sebanyak 4x dengan wash solution (300 ul per

sumur). Ketokkan sumur pada kertas absorben untuk menghilangkan sisa

(12)

12.Tambahkan 200 ul substrate solution ke dalam masing-masing sumur

13.Inkubasi selama 15 menit dalam suhu kamar

14.Hentikan reaksi enzimatik dengan menambahkan 100 ul stop solution ke dalam sumur

15.Tentukan absorbansi masing-masing sumur dengan pembacaan pada panjang

gelombang 450±10 nm. Direkomendasikan pembacaan dilakukan dalam 10

menit sete lah penambahan stop solution.

3.9.4. Pemeriksaan rongent

Pemeriksaan paru dengan rongent sampel dilakukan pada kedua kelompok

intervensi dan pembanding pada pre (awal sebelum diberikan vitamin D)

intervensi dan post intervensi (setelah selesai pemberian vitamin D) oleh bagian

rongent di rumah sakit maupun dipuskesma.

3.9.5. Isolasi DNA

Isolasi DNA dari darah pasien baru TB paru positif dilakukan di Laboratorium

Terpadu Fakultas Kedokteran USU Medan, dengan cara kerja sebagai berikut :

1. Diambil darah dan dimasukkan dalam tabung EDTA lebih kurang 3 cc.

2. Darah dimasukkan ke tabung EDTA dengan diinjeksikan perlahan-lahan

3. Darah EDTA dibolak – balik perlahan supaya tercampur

4. Darah EDTA disentrifus pada 3000 rpm dalam 10 – 15 menit

5. Dipisahkan plasmanya dan diambil leukositnya sebanyak 300 µl pada tabung

microcentrifuge 1,5 ml (waktu mengambil leukosit, ujung mikropipet

dipotong sedikit) lalu ditambahkan EL Buffer 900 µl, dibolak – balik

perlahan.

6. Diinkubasi kira – kira 10 menit dalam kulkas lalu disentrifus pada 13.000

(13)

7. Supernatan dibuang, saat buang supernatant dilakukan dengan hati-hati dan

perlahan jangan sampai endapannya ikut terbuang (diulangi bisa sampai 5

kali), sampai warna supernatant jernih dan endapan sudah berwarna putih.

8. Endapan divortex selama 20 detik.

9. Ditambahkan 300 µl, Nucleic Lysis Solution dan dicampurkan dengan

bolak-balik

10.Ditambahkan 100 uL Protein Precipitation dan divortex selama 20 menit

11.Disentrifuse 13.000 rpm selama 3 menit pada temperature ruang.

12.Supernatan dibuang ke dalam tabung microsentrifuge 1,5 ml steril yang telah

berisi 300 µl isopropanolol. Kemudian tabung divortex tapi tidak lama

kira-kira 3 detik atau dibolak-balik sampai terlihat benang-benang DNA.

13.Disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit, dan tampak pellet putih.

14.Supernatan dibuang dan ditambahkan 300 µl Etanol 70%.

15.Disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit.

16.Dengan hati-hati diaspirasikan etanol dengan menggunakan pipet (biasanya

dituang pelan-pelan dan disisakan sedikit di tabung) dan dikeringkan sampai

1 jam.

17.Ditambahkan 100 µl DNA Rehydration Solution dan disimpan pada suhu

4°C selama 1 malam. Setelah itu baru disimpan di freezer (-20°C).

3.9.6. Pemeriksaan polimorfisme ApaI gen RVD

Bahan yang digunakan dalam PCR - RFLP adalah master mix, primer ApaI Forward 5’- AGAGCATGGACAGGGAGCAAG-γ’, reverse 5’-

GCAACTCCTCATGGCTGAGGTCTCA -γ’, MgCl2 (2 mM) dNTPs (400 µM),

reaction buffer pH 8,5 dan Taq DNA polymerase, enzim restriksi ApaI (10 U

37ºC), 2% agarose gel(Rashedi et al, 2015).

1. Reaksi campuran terdiri dari 1 µl primer reverse dan 1 µl primer forward

(14)

25 µl. Go Taq green master mix isinya adalah reaction buffer pH 8,5 masing

– masing 400 µM dATP, dGTP, dCTP, dTPP, 2mM MgCl2,Taq DNA

polymerase, dan loadng dye (Promega, USA).

2. Dilakukan optimasi suhu anneling didapat suhu optimal, didapat 60°C. 3. Sampel DNA diamplifikasi dengan parameter bersiklus berikut :

Tabel 3.2 Parameter proses amplifikasi DNA

Hot start 94°C 5 min

Initial denaturation 94°C 60°C 72°C

30 sec

Anneling 30 sec 40 cycle

Extension

Final extension

30 sec 2 min

4. Hasil amplifikasi (PCR) dielektroforesis menggunakan agar 2% didapat

pita 745 bp.

5. Setelah amplifikasi sisi inisiasi terjemahan gen reseptor vitamin D dideteksi

dengan cara RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)

menggunakan enzim restriksi endonuklease ApaI (Promega, USA) pada suhu

65°C selama 1 jam.

6. Fragmen restriksi yang dicerna dipisahkan pada 2%(w/v) gel agarose

(Promega, USA)

7. Fragmen dideteksi dengan pewarnaan etidium bromide.

8. Pita divisualisasikan pada sebuah alat Gel Document System.

9. Genotip yang dihasilkan tergantung dari pola hasil cerna. Homozigot AA

untuk tidak adanya sisi ApaI yang dicerna dengan band 745 bp; homozigot aa

untuk adanya ApaI yang dicerna sempurna menjadi pita 531 bp dan 214 bp

dan heterozigot Aa jika terdapat tiga pita (745 bp, 531 bp, dan 214 bp).

(15)

3.10.1. Analisis univariat untuk mengetahui deskripsi variabel penelitian.

3.10.2. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dengan menggunakan uji statistic Wilxocson

Apabila data distribusi normal dilakukan uji parametrik uji t, tetapi bila distribusi tidak

normal dilakukan uji non parametrik uji Wilxocson. Untuk menilai hubungan pemberian

vitamin D terhadap perbaikan foto toraks maka digunakan Uji Fisher’s Exact Test dianggap bermakna apabila p <0,05.

(16)

HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian

Penelitian tentang pemberian vitamin D pada penderita tuberculosis telah dilaksanakan

pada bulan Februari sampai dengan Juni 2016. Jumlah sampel secara keseluruhan

sebanyak 42 orang pada penderita TB paru BTA positif etnik batak sesuai dengan kriteria

inklusi dan ekslusi yang terdiri dari kelompok intervensi yang diberikan vitamin D dan

kelompok pembanding diberikan plasebo. Pengambilan sampel dilakukan dipuskesmas

Helvetia Medan, Puskesmas Teladan Medan, Puskesmas Amplas Medan, Puskesmas

Medan Johor, Puskesmas Delitua, Puskesmas Patumbak, Puskesmas Mulyorejo. Sampel

penelitian individu bersuku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Nias, Angkola, Pakpak) yang

didapat dengan cara anamnesis menggunakan pohon silsilah keluarga. Sampel penelitian

adalah bersuku Batak 3 generasi kakek dan neneknya atau minimal ibu dan bapak subjek

penelitian bersuku Batak.

4.1.1. Karakteristik Umum Sampel

Sampel penelitian adalah sebanyak 42 penderita TB paru dengan karakteristik yang

berbeda-beda dari segi umur, jenis kelamin, pekerjaan.

Tabel. 4.1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden Penderita TB Paru

Karakteristik

Intervensi

Vitamin D Plasebo Total

n % n % n %

Umur

18 – 34 3 52.4 4 19 7 16.7

35 – 52 13 42.9 9 42.9 22 52.4

53 – 69 5 4.8 8 38.1 13 30.9

Jenis Kelamin

Laki-laki 14 66.7 13 61.9 27 62.5

Perempuan 7 33.3 8 38.1 15 37.5

(17)

Karakteristik

Intervensi

Vitamin D Plasebo Total

n % n % n %

< 20 ng/ml

(Defisiensi) 3 14.3 2 9.5 5 11.9

20-30 ng/ml

(Insufisiensi) 6 28.6 8 38.1 14 33.3

> 30 ng/ml

(Optimal) 12 57.1 11 52.4 23 54.7

Kadar vitamin D

Mean 21 30.93 21 29.81 21

SD 8.78 8.65

Riwayat Perokok Pre

Prokok 11 52.4 21 11 52.4 22

Tidak Perokok 10 47.6 10 47.6 20

Post

Perokok 3 14.3 21 2 9.5 5

Tidak perokok 18 85.7 19 90.5 37

Jumlah 21 100 21 100 42 100

Berdasarkan tabel 4.1. diketahui bahwa frekuensi umur terbanyak 35-52 tahun 22

orang (52.4%), frekuensi jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah

27 orang (62.5%), perempuan 15 orang (37.5%), frekuensi status vitamin D

terbanyak > 30 ng/ml (Optimal) 23 orang (54.7%), rerata mean kadar vitamin D

pada kelompok yang diberikan vitamin D 30.93 ng/ml, pada kelompok plasebo

29.81 ng/ml, fekuensi terbanyak yang merokok sebelum perlakuan sebanyak 22

orang (52.4%) setelah perlakuan sebanyak 37 (90.5%) orang tidak merokok.

4.1.2. Distribusi polimorfisme gen RVD ApaI pada penderita TB paru

(18)

Gambar 4.1.1 Foto RFLP polimorfisme ApaI gen RVD Keterangan: M : Marker

UC : negative control

Hasil amplifikasi PCR dipotong dengan enzim restriksi ApaI, homozigot AA merupakan pita pada 745 bp, homozigot aa pada 531 bp dan 214 bp, dan heterozigot Aa pada 745 bp,

531 bp dan 214 bp. Gambar diatas menunjukkan ketiga pita baik homozigot dan

heterozigot.

Tabel 4.2. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Polimorfisme Responden Penderita TB Paru

Karakteristik

Intervensi

Vitamin D Plasebo Total

n % n % n %

Polimorfisme

AA 1 4.8 3 14.3 4 9.5

Aa 8 38.1 7 33.3 15 35.7

Aa 12 57.1 11 52.4 23 54.8

Berdasarkan tabel 4.2. Karekteristik polimorfisme yang terbanyak adalah polimorfisme aa

sebanyak 23 orang (54.8%), diikuti polimorfisme Aa sebanyak 15 orang (35.7%), dan AA

sebanyak 4 orang (9.5%).

(19)

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terhadap Jumlah Zona Pada Kelompok Vitamin D dan Plasebo

Jumlah Zona

Vitamin D Plasebo

Pre Post Pre Post

n % n % n % n %

0 - - - 1 4.8

1 - - 2 9.5 1 4.8 1 4.8

2 2 9.5 5 28.8 5 23.8 7 33.3.

3 6 28.6 7 33.3 2 9.5 2 9.5

4 8 38 5 23.8 2 9.5 2 9.5

5 2 9.5 1 4.8 8 38.1 6 28.6

6 3 14.2 1 4.8 3 14.3 2 9.5

Jumlah 21 100 21 100 21 100 21 100

Berdasarkan tabel 4.3, Perbedaan frekuensi pada kedua kelompok perlakuan adalah

sebelum diberikan vitamin D 1 zona sebanyak 1 orang (4.8%), 2 zona sebanyak 5 orang

(23.8%), 3 zona sebanyak 2 orang (9.5%), 4 zona sebanyak 2 orang (9.5%), 5 zona

sebanyak 8 orang (38.1%) , 6 zona sebanyak 2 orang (9.5%) sedangkan frekuensi setelah

diberikan vitamin D bersih 2 orang (9.5%) 1 zona sebanyak 1 orang (4.8%), 2 zona

sebanyak 6 orang (28.6%), 3 zona sebanyak 2 orang (9.5%), 4 zona sebanyak 2 orang

(9.5%), 5 zona sebanyak 6 orang (28.6%) , 6 zona sebanyak 2 orang (9.5%) sedangkan

perbedaan frekuensi pada kelompok yang diberikan plasebo adalah 2 zona sebanyak 2

orang (9.5%), 3 zona sebanyak 6 orang (28.6%), 4 zona sebanyak 8 orang (38.1%), 5 zona

sebanyak 2 orang (9.5%), 6 zona sebanyak 8 orang (38.1%) , 6 zona sebanyak 3 orang

(14.3%) sedangkan perbedaan frekuensi setelah diberikan plasebo 1 zona sebanyak 2

orang (9.5%), 2 zona sebanyak 5 orang (23.8%), 3 zona sebanyak 7 orang (33.3%), 4 zona

sebanyak 5 orang (23.8%), 5 zona sebanyak 1 orang (4.8%), 6 zona sebanyak 1 orang

(20)

4.1.3. Kadar vitamin D pada pasien TB paru etnik batak sebelum dan sesudah perlakuan

selama 8 minggu pada kelompok yang diberi vitamin D

Tabel 4.4. Analisis Kadar Vitamin D Pada Pasien TB Paru Kelompok yang Diberikan Vitamin D

Vitamin D

Kelompok n Mean + sd Perbedaan

rerata P* Value Sebelum perlakuan vit D 21 31.35 + 1.99 29.27+22 0.000 Sesudah perlakuan vit D 21 60.62 + 4.63

* Uji T Berpasangan

Berdasarkan tabel 4.4, terdapat perbedaan rerata kadar vitamin D sebelum dan

sesudah pemberian vitamin D p= 0.000 (p<0.05), rerata perbedaan antara kedua

waktu pengukuran adalah 29.2 ng/ml dengan standar deviasi 22.0 ng/ml.

4.1.4. Kadar vitamin D pada pasien TB paru etnik batak sebelum dan sesudah perlakuan

selama 8 minggu pada kelompok yang diberi plasebo

Tabel 4.5. Analisis Kadar Vitamin D Pada Pasien TB Paru Kelompok yang Diberikan Plasebo

Vitamin D

Kelompok n Mean + SD Perbedaan

rerata P* Value Sebelum perlakuan plasebo 21 29.81 + 7.54 1.36+5.53 0.271 Sesudah perlakuan plasebo 21 31.18 + 8.23

* Uji t berpasangan

Berdasarkan tabel 4.5, bahwa tidak terdapat perbedaan rerata kadar vitamin D

sebelum dan sesudah 2 bulan pemberian plasebo pada kelompok plasebo p =

0.271 (p>0.05 rerata perbedaan kadar vitamin D sebelum dan sesudah adalah

1.36 ng/ml dengan standar deviasi 5.53 ng/ml.

4.1.5. Perbandingan kadar vitamin D pada pasien TB paru beretnis Batak pada kedua

(21)

Tabel 4.6. Rata-rata Kadar Vitamin D Subjek Penelitian Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Berdasarkan tabel tabel 4.6, bahwa kelompok yang diberi vitamin D terdapat kenaikan

sebanyak 33,3%. Perbedaan rata-rata kadar vitamin D sebelum dan sesudah pengobatan

pada kelompok vitamin D adalah 29,27 ng/ml (SD= 22), sedangkan pada kelompok

plasebo adalah 1,39 ng/ml (SD=5,53). Pada uji t-berpasangan didapat hasil p=0,00 pada

kelompok vitamin D yang berarti ada kenaikan bermakna dari rata-rata kadar vitamin D

sebelum dan sesudah pengobatan. Pada uji yang sama untuk kelompok plasebo didapati

p=0,27 yang berarti tidak ada kenaikan yang bermakna dari kadar rata-rata vitamin D

sebelum dan sesudah pengobatan.

4.1.6. Perbedaan foto toraks pada kedua kelompok yang diberikan vitamin D dan plasebo

berdasarkan frekuensi pasien

1) Berdasarkan jumlah zona yang mengalami perbaikan

Tabel: 4.7. Perbedaan Jumlah Perbaikan Zona Foto Thoraks pada kedua Kelompok Jumlah

Perbaikan Zona

Vitamin D Plasebo P*value

(22)

Berdasarkan tabel 4.7, penilaian perbaikan pada zona paru dalam penelitian ini

adalah jika setelah perlakukan selama dua bulan ada yang bersih. Pengurangan

kepadatan zona yang rusak tidak dikategorikan sebagai perbaikan. Penelitian ini

terdiri dari 4 kategori yaitu (0) tidak ada perbaikan, (1) jika ada perbaikan pada 1

zona, (2) jika ada perbaikan pada 2 zona dan (3) jika ada perbaikan pada 3 zona.

Berdasarkan zona lapangan paru yang mengalami perbaikan pada foto thoraks

kelompok vitamin D adalah 7 orang (33.3%) tidak mengalami perbaikan, 10 orang

(47,6%) mengalami perbaikan 1 zona, 4 orang (19%) mengalami perbaikan 2 zona

sedangkan pada kelompok plasebo tidak mengalami perbaikan 14 orang (66.7%), 3

orang (14.3%) mengalami perbaikan 1 zona, 3 orang (14.3%) mengalami perbaikan

pada 2 zona. 1 orang (4.8%) mengalami perbaikan sejumlah 3 zona yang

dinyatakan bersih. Pemberian vitamin D menunjukkan jumlah total perbaikan yang

lebih banyak dari pada plasebo (66,7%) dibandingkan dengan (33.3%). Namun

pada uji chi-square menunjukkan p=0.06 berarti tidak ada hubungan yang bermakna

antara pemberian vitamin D dengan perbaikan foto thoraks pada pasien TB paru

beretnis batak.

2) Berdasarkan Luas Lesi Foto Thoraks Sebelum Perlakuan

Tabel. 4.8. Distribusi frekuensi Berdasarkan Luas Lesi Foto Thoraks Sebelum Perlakuan pada Kedua Kelompok

(23)

Berdasarkan tabel 4.8, Foto thoraks dapat dikategorikan menjadi 4 berdasarkan luas

lesi yaitu minimal, moderate dan far advance. Pada kelompok vitamin D tidak

dijumpai subjek dengan luas lesi minimal, sedangkan kelompok plasebo ada 1

orang (4,8%). Luas lesi moderate sebanyak 11 orang (52,4%) kelompok vitamin D

dan plasebo. Luas lesi far advance sebanyak 10 orang (52,6%) pada kelompok

vitamin D dan 9 orang (47,4%) pada kelompok plasebo.

3) Berdasarkan Luas Lesi Sesudah Perlakuan

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perubahan Luas Lesi Foto Toraks Sesudah Perlakuan pada Kedua Kelompok

Perubahan Luas Lesi Vitamin D Plasebo Total

n % n % n %

perubahan yaitu perubahan dari moderate menjadi minimal, far advance menjadi

moderate, far advance menjadi minimal, far advance menjadi negatif. Pada kelompok

perlakuan vitamin D ada 7 orang (33,3%) yang mengalami perubahan luas lesi moderate

menjadi minimal sedangkan pada kelompok plasebo ada 1 orang (4,8%). 5 orang

(23,8%) yang mengalami perubahan dari lesi far advance menjadi luas moderate, pada

kelompok Vitamin D dan sebanyak 4 orang (19%) pada kelompok plasebo. 1 orang

(4,8%) yang mengalami perubahan foto dari far advance menjadi lesi minimal dan 1

(24)

menjadi negative. Pada kelompok vitamin D 8 orang (19%) tidak mengalami perubahan

dan kelompok plasebo 15 orang tidak mengalami perubahan.

4.1.7. Perbaikan foto toraks pada kedua kelompok berdasarkan polimorfisme Apa1 gen reseptor

Vitamin D.

Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Perbaikan Foto Toraks Pada kedua Kelompok Berdasarkan Polimorfisme

perubahan moderate ke minimal aa sebanya Aa sebanyak 2 orang (9.5%), aa sebanyak 5

orang (29%), far advance ke moderate AA sebanyak 1 orang (4.7%), Aa sebanyak 2

orang (9.5%) dan aa sebanyak 3 orang (14%) sedangkan pada kelompok plasebo yang

tidak mengalami perubahan AA sebanyak 2 orang (9.5%), Aa sebanyak 6 orang (29%)

aa sebanyak 8 orang (38%), far advance ke moderate AA sebanyak 1 orang (4.7%), Aa

sebanyak 1 orang (4.7%) dan aa sebanyak 2 orang (9.5%) dan far advance ke negatif

dinyatakan bersih aa sebanyak 1 orang (4.7%).

Tabel 4.11. Distribusi dan Analisis Hubungan Proposi Genotif Polimorfisme Gen RVD Apa1 dengan Perbaikan Foto Thoraks

(25)

Jumlah 9 100 12 100 10 100 11 100 * Uji Fisher’s Exact Test

Berdasarkan tabel 4.11, bahwa perbedaan jumlah jerbaikan foto toraks pada kelompok

vitamin D berdasarkan polimorfisme AA+Aa sebanyak 6 orang (66.7%), aa sebanyak 8

orang (66,7%) sedangkan pada kelompok plasebo yang mengalami perbaikan

berdasarkan polimorfisme AA+Aa sebanyak 5 orang (50%) aa sebanyak 8 orang

(72.7%) sedangkan yang tidak mengalami perbaikan pada kelompok vitamin D

polimorfisme AA+Aa sebanyak 3 orang (33.3%), aa sebanyak 4 orang (33.3%)

sedangkan pada kelompok plasebo yang tidak mengalami perbaikan berdasarkan

polimorfisme AA+Aa sebanyak 5 orang (50%) aa sebanyak 3 orang (27.3%). Pada uji

Fisher’s Exact Test kelompok yang diberikan vitamin D p=1.00 sedangkan pada

kelompok yang diberikan plasebo p=0.387 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan

antara polimorfisme gen RVD Apa1 dengan perbaikan foto toraks pada pasien TB paru

etnik Batak.

BAB 5

PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian vitamin D terhadap perbaikan foto toraks pada pasien TB paru etnik

Batak di Kota Medan dan sekitarnya. Subjek penelitian berjumlah 42 orang pasien TB paru

dengan BTA positif yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok Vitamin D dan

kelompok plasebo. Gambaran radiologi paru terjadi akibat infeksi laten yang terbawa dari aliran

darah apeks ke segmen posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Perbaikan foto

(26)

yang terlibat. (Kemenkes 2014). Sampel penelitian adalah sebanyak 42 penderita TB paru

dengan karakteristik yang berbeda-beda dari segi umur, Jenis kelamin, pekerjaan.

5.1. Frekuensi TB paru Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, status vitamin D dan merokok

Berdasarkan usia subyek penelitian bahwa frekuensi umur terbanyak 35-52 tahun

22 orang (52.4%) Data Kemenkes, 2014 mencatat usia pasien TB paru di Indonesia

paling banyak 25 – 34 tahun sebesar 21,40%, usia 35 – 44 tahun sebesar 19,41% dan usia

45 – 54 tahun 19,39%. Proporsi berdasarkan umur pada penelitian ini terdapat perbedaan

frekuensi umur yang ditetapkan peneliti dengan data Kemenkes dan laporan WHO karena

peneliti mengambil rentang umur berdasarkan jumlah rata rata semua sampel.

Berdasarkan frekuensi jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah

27 orang (62.5%), Hal ini sejalan dengan data pada Riskesda tahun 2013 yang mencatat

prevalensi TB paru laki-laki sebesar 0,4% lebih tinggi dari TB perempuan 0,3%.

Penelitian sebelumnya Selvaraj, 2008, Haddad, 2014 dan Davila, et al., 2008menyatakan

TB pada jenis kelamin laki-laki lebih rentan dibandingkan pada pasien jenis kelamin

perempuan dan adanya hubungan yang kuat antara kerentanan terhadap TB pada jenis

kelamin laki-laki dibandingkan perempuan pada varian missense. Status vitamin D

terbanyak > 30 ng/ml (Optimal) 23 orang (54.7%), rerata mean kadar vitamin D pada

kelompok yang diberikan vitamin D 30.93 ng/ml, pada kelompok plasebo 29.81 ng/ml.

5.2. Polimorfisme gen RVD ApaI pada pasien TB paru etnis Batak

Polimorfisme gen RVD ApaI pada pasien TB paru beretnis Batak belum pernah

(27)

serta heterozigot Aa pada gel doc. Ketiga genotif polimorfisme ApaI dijumpai pada penelitian ini dengan frekuensi AA 4 orang (9.5%), aa 23 orang (54.8%) dan Aa 15

orang (35.7%).

Polimorfisme ApaI dan BsmI gen RVD terjadi pada intron antara ekson 8 dan 9.

Polimorfisme yang dihasilkan tidak mengubah asam amino struktur protein RVD tetapi

mempengaruhi Ilinkage disequilibrium dimana ekspresi gen RVD ini mengatur polimorfisme fungsional yang lain. LD yang kuat menjelaskan hubungan polimorfisme

ApaI, BsmI dan TaqI dalam pengaturan ekspresi khususnya stabilitas VDR – mRNA (Lee et al, 2016).

Tabel 5.1. Hasil penelitian tentang polimorfisme di Indonesia dan Luar Negeri

Penelitian Negara

Frekuensi Pasien TB

AA Aa aa

Seri (2016) Indonesia (Sumut) 4 15 23

Rashedi (2015) Iran/Tabriz 29 42 13

Haddad (2014) Syrian 33 37 8

Simon (2013) Romania 19 49 0

Laida, Ida (2012) Indonesia/Makassar 63 50 10

Selvaraz (2008) India/Tamil 24 19 8

Hemant K (2005) Indian 53 66 30

Etnis yang sama di Afrika pada negara yang berbeda didapatkan hasil yang

berbeda (Gambia = signifikan; Afrika Selatan dan Tanzania = tidak signifikan).

Heterogenitas genetik pada pasien TB paru berbeda pada populasi yang berbeda. Ada

tidaknya hubungan polimorfisme dengan kerentanan terhadap TB paru juga dipengaruhi

perbedaan klinis pasien TB pada setiap etnis dan populasi. Pada penelitian ini didapatkan

genotip yang terbanyak adalah aa berbeda dengan luar negeri bahwa genotip yang

(28)

resistensi terhadap perkembangan TB, sedangkan genotif Aa lebih rentan terhadap TB.

Dari hasil penelitian luar negeri dan Indonesia terdapat perbedaan distribusi frekuensi

genotip Apa1 pada tiap Negara/etnik yang berbeda. Pada masyarakat makasar ditemukan

yang rentan terkena TB paru adalah genotif AA sebesar 63.4% dibandingkan pada

penelitian ini yang rentan terkena TB paru adalah genotip aa sebesar 23 orang (54.8%),

perbedaan genotip yang rentan terhadap TB didukung oleh kadar vitamin D. Adanya

perbedaan genotif pada setiap negara Asia maupun Eropa diikuti dengan adanya

perbedaan kadar vitamin D hal ini kemungkinan yang menjadi hubungan polimorfisme

pada etnik batak, bahwa polimorfisme gen RVD ApaI memiliki jumlah yang berbeda pada setiap penelitian sebelumnya.

5.3. Kadar Vitamin D Pasien TB Paru Etnis Batak

Kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang diberi

vitamin D mengalami peningkatan. Rerata kadar vitamin D sebelum dan sesudah

perlakuan pada kelompok yang diberikan vitamin D adalah 31,35± 1,99 ng/ml dan

60,62±4.63 ng/ml, rerata perbedaan sesudah diberikan vitamin D adalah 29.27 ng/ml.

Kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang diberikan

plasebo juga mengalami peningkatan. Rerata kadar vitamin D sebelum dan sesudah

perlakuan pada kelompok vitamin D adalah 29,81±7,54 ng/ml dan 31,18±8,23 ng/ml,

rerata perbedaan kadar vitamin D 1.36 ng/ml.

Analisa data dengan uji statistik kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan

(29)

jumlah pasien 21 orang nilai p=0.000 (p<0,05). Kelompok perlakuan yang diberikan

plasebo dengan subyek penelitian berjumlah 21 orang nilai p=0.27.

Peningkatan kadar vitamin D pada kedua kelompok terjadi dari asupan makanan

sehari-hari dan paparan sinar matahari yang cukup. Perbedaan kenaikan kadar vitamin D

antara kelompok intervensi dan pembanding disebabkan kelompok intervensi diberi

perlakuan konsumsi vitamin D dosis 100.000 IU per 2 (dua) minggu selama 2 (dua)

bulan, sedangkan kelompok pembanding tidak. Vitamin D2 dan D3 mengikuti jalur

metabolisme yang sama, sedangakan paparan sinar matahari dianggap sama karena

berada dalam demografi dan iklim yang sama.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian di luar negeri seperti Afrika (Gao et al,

2010) dan (Keflie et al, 2015) Pakistan (Junaid et al, 2015) dan Inggris (Martineau, 2011)

kadar vitamin D kelompok yang diberi perlakuan vitamin D lebih tinggi dibandingkan

dengan plasebo. Perbedaan kadar vitamin D terjadi akibat perbedaan paparan sinar

matahari dan faktor asupan makanan yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan Chan

et al pada tahun 1994 di Hongkong, Davies et al di Thailand (1987) dan Kenya (1998) menunjukkan level vitamin D yang optimal pada kelompok Kasus. Penelitian lain di

Indonesia juga sejalan dengan penelitian ini, Siswanto et al, 2009 penelitian di kota

Malang terdapat perbedaan bermakna kadar vitamin D pada kelompok intervensi dan

plasebo, dimana kelompok yang diberikan vitamin D lebih tinggi kadar vitamin D.

Vitamin D2 dan D3 mengikuti jalur metabolism yang sama, sedangakan paparan sinar

matahari dianggap sama karena berada dalam demografi dan iklim yang sama.

Vitamin D memiliki peranan penting dalam peningkatan produksi katelisidin dan

(30)

vitamin D pada setiap pasien TB paru akan berkurang karena digunakan untuk aktivitas

sistem imun ini. Dari hasil penelitian ini status vitamin D pada kelompok yang diberikan

vitamin D adalah defisiensi 3 orang insufisiensi 6 orang, optimal 12 orang sedangkan

kadar vitamin D yang diberikan plasebo adalah insufisiensi 2 orang, optimal 8 orang

sedangkan optimal 11 orang.

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian yang tinggi di dunia dengan estimasi

kematian dan morbiditas 1,5 juta orang pada tahun 2014. Hal ini sejalan dengan

penelitian sebelumnya melaporkan bahwa secara independen defisiensi vitamin D

memiliki hubungan dengan kerentanan terhadap TB. Penelitian Junaid et al, 2016 pada pasien TB di Pakistan melaporkan bahwa defisiensi vitamin D pada pasien TB terjadi

karena aktifitas dalam melawan kuman TB dan secara independen berhubungan dengan

kerentanan terhadap TB aktif.

Secara teoritis pasien TB yang telah konsumsi OAT dan tambahan suplemen akan

memberikan perlawanan terhadap kuman M. tuberculosis. Respon beberapa kuman M. tuberculosis selain mati dalam melawan sistem imun host akan ditanggapi dengan

melakukan dormansi. Pemeriksaan sputum dengan BTA akan memberikan hasil negatif

untuk kuman M. tuberculosis yang mengalami dorman.

Penelitian lain Salahuddin et al, dengan desain yang sama pada 259 pasien TB dengan pemberian vitamin D injeksi dosis 600.000 iu 2 kali pemberian didapatkan hasil

konversi sputum tidak signifikan (p=0,39) sedangkan perbaikan radiologi signifikan

(p=0,004). Perbedaan ini mungkin terjadi karena efek yang luas dari Vitamin D pada otot,

(31)

5.4. Zona pada Foto Thoraks

Pada penelitian ini ditemukan adanya perbedaan perbaikan jika dilihat dari jumlah

pengurangan zona yang dijabarkan sebagai berikut berdasarkan zona lapangan paru yang

mengalami perbaikan pada foto toraks pada kelompok vitamin D adalah 7 orang (33.3%)

tidak mengalami perbaikan, 10 orang (47,6%) mengalami perbaikan 1 zona, 4 orang

(19%) mengalami perbaikan 2 zona sedangkan pada kelompok plasebo tidak mengalami

perbaikan 14 orang (66.7%), 3 orang (14.3%) mengalami perbaikan 1 zona, 3 orang

(14.3%) mengalami perbaikan pada 2 zona. Ada 1 orang (4.8%) mengalami perbaikan

sejumlah 3 zona. Pada kelompok vitamin D yang mengalami perbaikan sebanyak 14

orang (66.7%), 7 orang (33,3%) tidak mengalami perbaikan. Sedangkan pada kelompok

plasebo yang mengalami perbaikan sebanyak 7 orang (33,3%) sedangkan yang tidak

mengalami perbaikan sebanyak 14 orang (66.7%).

Hasil penelitian Salahudin, 2012 pada kelompok kasus dengan perbedaan rerata

mean 3.61 standar deviasi 1.40 sedangkan pada kelompok plasebo perbedaan rerata mean

3.64 standar deviasi 1.48 dengan selisih mean 0.3 dan selisih standar deviasi 0.8. Ozsahin

at al, 2011 di Turkey dengan jumlah sampel 800 orang dengan hasil yang terkena 1 zona

214 orang (26.8%), 2 zona 251 orang (31.4%), 3 zona 144 orang (18%), 4 zona 111

orang (13.9%) 5 dan 6 zona 79 orang (9.9%) Hal ini mungkin dapat menjadi alasan

bahwa proses penyembuhan penderita tuberkulosis dapat dipengaruhi banyak faktor

selain kadar vitamin D, diantaranya faktor imunitas tubuh, virulensi kuman dan pola

hidup atau kebiasaan (merokok dan alkohol) dari hasil penelitian diketahui bahwa

(32)

kepadatan setelah diberikan intervensi. Perbedaan hasil ini bias disebabkan oleh banyak

hal selain status imunitas pasien, yaitu virulensi kuman dan etnisitas. Sutaria et al (2014).

5.5. Luas Lesi dan Kepadatan pada Foto Thoraks

Berdasarkan luas lesi foto toraks yang paling banyak memiliki lesi moderate.

Pada kelompok vitamin D tidak ditemukan subjek dengan luas lesi minimal, sedangkan

kelompok plasebo 1orang (4,8%). Pada kelompok vitamin D ada 7 orang (33,3%) yang

mengalami perubahan luas lesi moderate menjadi minimal sedangkan pada kelompok

plasebo ada 1 orang (4,8%). Ada 1 orang ((4,8%) pada kelompok vitamin D yang

mengalami perubahan foto toraks dari far advance menjadi lesi minimal. Pada kelompok

plasebo ada 1 orang (4.8%) yang mengalami perubahan foto toraks dari luas lesi far

advance menjadi negative.

Pada kelompok vitamin D 8 orang tidak mengalami perubahan luas lesi

sedangkan pada kelompok plasebo 15 orang tidak mengalami perubahan. Jadi pada

kelompok yang diberikan vitamin D menunjukkan jumlah total perbaikan lebih banyak

(66,67%) dibandingkan pada kelompok plasebo (33,33%).

Hasil penelitian perbedaan jumlah lesi dalam penelitian ini tidak diketahui

penyebabnya kemungkinan ada kaitannya dengan perbedaan jumlah kadar vitamin D

pada setiap sampel. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Salahudin et al

tahun 2013 di Arab Saudi. Hasil penelitian Mulyadi, et al., 2011, di Aceh, dari 34 penderita TB paru, luas lesi foto toraks minimal sebesar 17,6%, lesi sedang 35,3% dan

lesi luas 47,1% Mulyadi, et al., 2011 sedangkan Djaharuddin, 2012 penelitian di

(33)

47,7% lesi luas, Salahudin, 2012 di Arab Saudi dari 132 sampel kelompok kasus 10

orang (7.6%) orang lesi minimal, 77 orang (58.3%) lesi moderate, 45 orang (34.19%)

lesi far advance sedangkan pada kelompok plasebo dari 127 sampel 13 orang (10.2%)

orang lesi minimal, 62 orang (48.8%) lesi moderate, 52 orang (40.9%) lesi far advance.

5.6. Hubungan polimorfisme terhadap perbaikan foto thoraks pada suku batak

Berdasarkan hasil penelitian pada kedua kelompok genotif aa lebih banyak

terkena TB paru dibandingkan dengan genotif AA dan Aa bahwa pada suku batak yang

berperan protektif terhadap perkembangan TB adalah genotif aa. Hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian Gao bahwa polimorfisme gen reseptor vitamin D

dipengaruhi oleh ras suku bangsa.

Hasil penelitian Hadad pada populasi orang sehat di Syria ditemukan bahwa

polimorfisme gen RVD dipengaruhi oleh etnis, hasilnya menunjukkan distribusi

polimorfisme gen TaqI dan ApaI dipengaruhi etnis, hal ini menjelaskan bahwa faktor

etnis mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit (Haddad, 2014).

Penelitian pada populasi Eropa Chen et al, polimorfisme ApaI gen RVD yang berperan protektif terhadap perkembangan TB adalah genotif aa. Populasi Romania

Simon et al, genotif aa berhubungan dengan resistensi terhadap perkembangan TB, sedangkan genotif Aa lebih rentan terhadap TB.

Hasil penelitian ini menunjukkan pertentangan antara hubungan polimorfisme

terhadap perbaikan foto toraks pada etnik dan budaya yang berbeda. Perbedaan hasil

kemungkinan berhubungan dengan genotif aa suku Batak yang lebih banyak karena pada

(34)

eror mengakibatkan transkripsi salah sehingga akan menghasilkan protein yang salah

yaitu Cathelicidin, chathelicidin yang salah tidak akan mampu melawan kuman TB.

Sehingga dengan alel a kecil kemungkinan akan lama sembuh. Dari hasil penelitian uji

statistik ternyata hasilnya tidak berhubungan artinya tidak ada hubungan polimorfisme

dengan etnis batak terhadap perbaikan foto toraks.

Penelitian Siswanto menunjukkan terdapat perbedaan proporsi yang bermakna

pada foto thoraks antara kelompok vitamin D dan plasebo pada 1 bulan pengobatan

namun pada 2 bulan pengobatan perbedaan foto thoraks menjadi tidak bermakna antara

kedua kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Martineu et al 2011 juga menunjukkan

hasil tidak ada perbedaan yang bermakna pada zona yang terlibat pada foto thorak

(Martineu et al, 2011). Wejse et al menunjukkan pemberian vitamin D (dosis 100.000IU,

dua kali pemberian) tidak mempengaruhi perbaikan klinis pada pasien. Hal yang berbeda

dijumpai pada penelitian Salahuddin et al tahun 2013 di Arab Saudi yang menunjukkan perbedaan yang bermakna pada rata-rata jumlah zona yang terlibat antara kelompok

vitamin D dan kelompok plasebo serta terjadi perbedaan pengurangan ukuran kavitas

yang bermakna antara kedua kelompok. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan oleh banyak

hal diantaranya status imunitas pasien, virulensi kuman, gaya hidup dan etnisitas seperti

yang dikemukakan oleh Sutaria et al (2014).

Hasil pemeriksaan foto thoraks sebelum dan sesudah perlakuan menunjukkan

tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok vitamin D dan kelompok

plasebo. Uji statistik untuk membandingkan perbedaan perbaikan foto thoraks sebelum

dan sesudah pemberian vitamin D menunjukkan hasil p=1.00 yang berarti tidak terdapat

(35)

vitamin D, sedangkan pada kelompok yang diberikan plasebo tidak terdapat perbedaan

sebelum dan sesudah diberikan plasebo dengan nilai p= 0.387. Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian vitamin D tidak mempengaruhi perbaikan foto thoraks pada subjek

penelitian.

Hasil yang sama dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Martineau di

London, Inggris (dosis 2,5 mg, 3 kali pemberian, p=0,62), dan Siswanto di Indonesia

(dosis 8 IU per hari selama 2 bulan, p=0,06). Penelitian Siswanto menunjukkan terdapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok vitamin D dan plasebo pada 1 bulan

pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Wejse et al juga menunjukkan pemberian vitamin D (dosis 100.000IU, dua kali pemberian) tidak mempengaruhi perbaikan klinis

pada pasien. Hal ini mungkin disebabkan karena dosis vitamin D yang diberikan masih

(36)

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Keseluruhan subjek penelitian ini berjumlah 42 orang dan dibagi atas kelompok

vitamin D sebanyak 21 orang dan kelompok plasebo sebanyak 21 orang.

1) Frekuensi karakteristik tertinggi pada pasien TB paru pada usia 35-52 tahun

(52,4%), jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (62.5%)

2) Distribusi polimorfisme gen RVD Apa1 pada pasien TB paru etnik Batak yang

banyak dijumpai pada kedua kelompok adalah tipe homozygote aa (54.8%) tipe

polimorfisme tidak mempengaruhi perbaikan foto thoraks sebelum dan sesudah

(37)

3) Kadar vitamin D (25,OH-vitamin D) pada pasien TB paru etnik Batak sebelum dan

sesudah perlakuan selama 8 minggu pada kelompok yang diberi vitamin D

terdapat perbedaan bermakna yang signifikan p=0.000

4) Kadar vitamin D pada pasien TB paru etnik Batak sebelum dan sesudah

pengobatan selama 8 minggu pada kelompok yang diberi plasebo tidak terdapat

perbedaan bermakna yang significancy p=0.27

5) Perbandingan kadar vitamin D pada pasien TB paru beretnis Batak pada kedua

kelompok, Kadar vitamin D mempengaruhi kerentanan terhadap tuberkulosis,

karena sebagian besar subjek pada penelitian ini kedua kelompok menunjukkan

status kadar vitamin D yang berbeda. Terdapat perbedaan rerata kadar vitamin D

yang signifikan sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok yaitu

rata-rata kadar vitamin D 29,27 + 22 ng/ml (p=0.00) sedangkan pada kelompok yang

diberi plasebo 1.36 + 5.53 ng/ml (p=0.27).

6) Perbedaan perbaikan foto toraks pada kedua kelompok berdasarkan distribusi

frekuensi sesudah perlakuan adalah pada kelompok vitamin D yang mengalami

perbaikan foto toraks sebanyak 14 orang (66.7%), 7 orang (33,3%) tidak

mengalami perbaikan foto toraks. Sedangkan pada kelompok plasebo yang

mengalami perbaikan foto toraks sebanyak 7 orang (33,3%) sedangkan yang tidak

mengalami perbaikan foto toraks sebanyak 14 orang (66.7%).

7) Hubungan perbaikan foto toraks dengan polimorfisme pada kelompok vitamin D

tidak terdapat hubungan signifikan antara perbaikan foto toraks dengan

polimorfisme yang dimiliki dengan nilai p= 1.000 dan kelompok plasebo tidak

(38)

Pemberian vitamin D dengan dosis 2,5 mg (100.000 IU) selama 4 kali (minggu ke 0, 2,

4, 6) pada kelompok vitamin D meningkatkan kadar vitamin D secara bermakna dan

mempengaruhi perbaikan foto toraks namun dari hasil uji statistik tidak terdapat

hubungan signifikan.

6.2. Saran

1) Perlu penyusunan program untuk memberikan penyuluhan kemasyarakat untuk

meningkatkan konsumsi Vitamin D pada penderita TB paru

2) Penelitian lanjutan untuk polimorfisme gen RVD diperlukan untuk membuktikan

apakah ada pengaruh polimorfisme terhadap kerentanan, kadar vitamin D dan

Gambar

Tabel 3.2 Parameter proses amplifikasi DNA
Tabel. 4.1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden Penderita TB Paru
Tabel 4.2. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Polimorfisme Responden  Penderita TB Paru
Tabel 4.3.  Distribusi Frekuensi Terhadap Jumlah Zona Pada Kelompok Vitamin D dan Plasebo
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses enkripsi yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang dilakukan pertama- tama adalah mengubah value char menjadi biner pada Plaintext setelah itu akan dimasukkan nilai

Analisis data disajikan dalam tabel distribusi dan variabel yang diteliti meliputi pola konsumsi ikan yang terdiri dari jenis ikan yang dikonsumsi, jumlah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Agus Suprijono, Cooperatif Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.. Dilaksanakan secara kelompok yang beranggotakan dua orang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan mengajar guru, mendeskripsikan peningkatan dan mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa

Gambar 4.12 Diagram Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus I pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan Menggunakan Model Pembelajaran Think Pair Share

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa melalui model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Penerapan Model