• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN MASALAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MASALAH

2.1 Tinjauan Teori

Proses perumusan dan pembatasan masalah dari Perancangan Branding Volkswagen Club Tasikmalaya (VECTA) telah selesai ditentukan, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai teori-teori yang mendasari perancangan Branding Volkswagen Club Tasikmalaya. Langkah berikutnya adalah menjelaskan teori yang mendasari perancangan branding. Fungsi dari teori itu sendiri adalah untuk mempermudah perencanaan dan konsep yang telah disusun dan ditentukan melalui langkah kerja yang lebih terperinci, sehingga teori dapat dipertanggungjawabkan dalam perancangan branding yang akan digunakan.

2.1.1 Devinisi Branding

Brand atau merek merupakan hal yang diperlukan suatu perusahaan karena dapat mewakili suatu produk secara keseluruhan. Branding adalah suatu topik yang relatif baru, teori- teori mengenai brand dan strategi branding masih terus berkembang hingga kini. Umumnya berbagai teori tersebut dikembangkan dari telaah-telaah keberhasilan strategi brand-brand terkemuka kelas dunia.

Landa (2006: 4), menyatakan bahwa kini istilah brand telah berkembang, dari sekedar merek atau nama dagang dari suatu produk, jasa atau perusahaan, yang berkaitan dengan hal-hal yang kasat mata dari merek; seperti nama dagang, logo atau ciri visual lainnya; kini juga berarti citra, kredibilitas, karakter, kesan, persepsi dan anggapan di benak konsumen.

8

(2)

Secara ringkas Landa (2006: 4-7) menyatakan bahwa makna brand terbangun oleh tiga aspek: identitas visual (brand identity:

logo dengan seluruh sistem visual penerapannya), kumpulan karakter khusus suatu brand (hal-hal yang tidak kasat mata dari suatu produk / jasa: daya guna, kemampuan, nilai, gaya pemasaran, hingga ke budaya perusahaan), dan yang terpenting adalah bahwa brand ditentukan juga oleh audience perception (tafsiran atau anggapan pemirsa).

Gambar 2.1

The three integrated meanings of brand.

Sumber : Robin Landa (2006).

Designing Brand Experienc

Neumeier (2003: 54) menyimpulkan bahwa brand berarti suatu pernyataan mengenai siapa (identitas), apa yang dilakukan (produk/jasa yang ditawarkan), dan mengenai kenapa suatu merek layak dipilih (keistimewaan). Brand adalah reputasi, merek yang memiliki reputasi adalah merek yang menjanjikan, sehingga publik mempercayai dan memilih merek tersebut.

Jadi brand dalam pengertian sekarang menjadi luas: suatu bauran berbagai atribut, baik berwujud maupun tidak kasat mata, yang dapat membangun nilai, pengaruh dan anggapan di benak konsumen. Neumeier (2003: 14) menegaskan bahwa brand adalah

(3)

semacam “firasat” (gut feeling) konsumen terhadap suatu produk, jasa, atau suatu organisasi (lembaga, perusahaan).

2.1.2 Manfaat Branding

Dari sejarah kelahirannya, brand hadir sekedar sebagai tanda pembeda kepemilikan atas suatu komoditi. Seiring perkembangan dunia industri yang sangat panjang rentang waktu dan sekaligus sangat pesat, terjadilah ledakan jumlah dan ragam komoditi; terjadi ledakan jumlah pilihan atau penawaran di pasar, yang menyulitkan konsumen untuk memilih, karena menurut Landa (2006: 4) seluruh produk atau jasa yang ditawarkan memiliki kesetaraan nilai dan kelebihan. Brand-lah yang berperan membangun perbedaan dan kekhususan, tanpa brand semua produk dan jasa hanyalah komoditi biasa.

Selain untuk diferensiasi, Neumeier (2003: 35) menyatakan bahwa konsumen tidak memiliki keluangan waktu untuk bersikap rasional menimbang-nimbang pilihan di antara penawaran yang setara bersaing sama baik. Maka brand berfungsi sebagai shortcut dalam keputusan membeli, karena brand yang “ternama” atau memiliki reputasi adalah sesuatu yang dianggap “menjanjikan”

atau bisa dipercaya.

Manfaat brand yang lebih jauh menurut Neumeier (2003:46) adalah, brand mampu memenuhi perkembangan tuntutan kebutuhan konsumen. Karena di masa kini konsumen tidak lagi sekedar membeli produk dalam kerangka memenuhi keperluan yang bersifat fungsi, fisikal dan rasional; konsumen masa kini membeli sekaligus untuk memenuhi keinginan yang diwarnai unsur non-fungsional, psikis, aspirasional, dan emosional. Berikut ilustrasi evolusi perubahan alasan konsumen membeli produk atau memilih suatu brand.

(4)

Jadi suatu brand yang telah terbentuk lengkap dengan berbagai atribut diferensiasi, kekhususan, manfaat rasional- emosional, dan kesan atau persepsi yang terkandung, dapat memenuhi kebutuhan atau hasrat atas aspirasi, nilai, identitas dan status atau pengakuan bagi konsumennya.

2.1.3 Unsur - unsur Brand

Pada mulanya unsur pembentuk wujud brand cukup tercakup dalam istilah brand identity; yaitu suatu artikulasi visual dan verbal dari brand.

Blackett (dalam Clifton dan Simmons, 2003: 16) menekankan bahwa unsur terpenting dari suatu brand adalah nama dagang atau merek. Alasannya, terkadang suatu brand berganti- ganti (dipermak) “wajah” atau penampilan, terbatas dalam hal logo. Namun dalam soal nama brand, langka terjadi pergantian.

Bahkan Blackett (2003: 16) menetapkan bahwa nama brand sebaiknya tidak pernah diubah atau diganti.

Seiring perkembangan dalam dunia brand dan strategi branding, Dubberly (www.dubberly.com, diakses 26 Juni 2012) menyimpulkan bahwa nama brand tidak cukup bila hanya didukung dengan lambang atau simbol identitas visual yang secara konsisten dan sistematis diterapkan pada berbagai media pendukung komunikasi pemasaran suatu brand. Secara lengkap, Dubberly menguraikan bahwa unsur-unsur suatu brand adalah terdiri dari beberapa unsur atau hal (www.dubberly.com, diakses 26 Juni 2012):

1. Nama Merek

2. Peranti grafis (graphic device): logo, logotype, monogram, bendera.

3. “Pakaian” (penampilan visual) pendukung daya jual:

desain kemasan, desain produk, desain seragam, desain bangunan, desain kendaraan.

(5)

4. Juru bicara: pesohor, tokoh pendiri, tokoh perusahaan, tokoh ciptaan, mascot.

5. Kata-kata: akronim, nama panggilan, slogan, tag line, jingle.

6. Suara: lagu, icon bunyi / nada, lagu tematik.

Semua unsur di atas merupakan lambang-lambang yang jika dirancang secara utuh, sistematis dan sinergis dapat mendukung eksistensi dan persepsi positif suatu brand di dalam pemikiran konsumen sasaran.

2.1.4 Strategi Branding

Terdapat tiga tujuan atau tiga langkah utama dalam membangun brand menurut Neumeier (2003: 41), yaitu:

membentuk persepsi, membangun kepercayaan dan membangun cinta (kepada brand). Dari ketiga hal tersebut, Dubberly (www.dubberly.com, diakses 26 Juni 2012) menekankan hanya kepada satu hal; bahwa suatu merek bisa dikatakan telah menjelma menjadi suatu brand bila: ketika merek tersebut terindra (terdengar / terlihat) oleh konsumen, lalu muncul suatu anggapan atau persepsi positif tertentu atas merek tersebut.

Untuk mencapai terbentuknya suatu persepsi atas suatu brand, Dubberly (www.dubberly.com, diakses 26 Juni 2012) menyatakan bahwa strategi kuncinya adalah: menciptakan pengalaman dari produk. Singkatnya, persepsi terbentuk oleh pengalaman konsumen atas produk (produk di sini berarti suatu hasil produksi yang ditawarkan).

Landa (2006: 30-37) dalam ulasannya mengenai proses branding, menekankan pentingnya brand essence, brand promise, dan brand personality, sebagai unsur-unsur inti dari strategi branding. Bahwa suatu brand harus memiliki jati diri yang terbentuk dari keunggulan khusus yang menjanjikan dan dibutuhkan konsumen.

(6)

Landa (2006: 36) menekankan bahwa suatu brand harus memiliki kepribadian (brand personality), khas dengan segala ciri, sifat dan perilakunya. Ketiga modal inti brand tersebut harus memiliki diferensiasi, relevansi dengan konsumen (audience), dan memiliki gaung (resonance). Pada akhirnya, konsep inti ini kemudian diejawantahkan dalam desain berbagai aplikasi / media;

dari perancangan nama merek (brand name), logo (brand identity), hingga masalah desain kemasan, iklan di berbagai media dan aneka pendekatan kepada konsumen yang pada akhirnya semua kegiatan tersebut menghasilkan suatu brand experience.

Jadi menurut Landa (2006: 37), akumulasi dari berbagai gerakan branding melalui bauran berbagai media lah yang dicakup sebagai brand experience yang akan membangun posisi dan anggapan positif akan suatu brand di benak konsumen.

Neumeier (2006: 43) dan Brier (2013) sama-sama menekankan pada pentingnya diferensiasi sebagai nyawa dari suatu brand. Karena jika tidak berbeda (atau biasa saja) tidak akan terlihat, dan jika tidak berbeda tidak akan bernilai jual. Branding is

“the art of differentiation” and is the tool that will elevate your brand above the noise (www.risingabovethenoise.com, diakses 17 Januari).

Untuk mengoptimalkan brand experience pada konsumen, maka suatu brand perlu berhubungan erat dengan budaya khas kelompok konsumen sasaran, demi menjangkau hati konsumen.

Senjata untuk mencapainya adalah dengan desain yang emosional (emotional design); yang memiliki prinsip: inspiratif, kaya rasa (multi-sensory), tidak generic (pasaran), dan dapat memuaskan hasrat alam bawah sadar manusia.

2.2 Kerangka Pemikiran

Branding sendiri merupakan sebuah konsep dari kegiatan manajemen yang digunakan untuk mempromosikan produk/jasa

(7)

perusahaan. Branding dilakukan untuk lebih mengenalkan produk perusahaan kepada khalayak. Branding sendiri memiliki 4 tahapan, yaitu;

Brand Recognize, Brand Experience, Brand Perception, dan Lovely Brand. Berikut akan dijelaskan ke-4 tahap branding tersebut terhadap komunitas pecinta Harley Davidson yang dibuat sesuai dengan pengalaman personal anggota yang dibuat secara subjektif.

Gambar 2.2 Logo HDCI

Sumber: Baradesain.wordpress.com

1. Brand Recognize

Disaat mendengar kata Harley Davidson, maka kebanyakan orang akan berpikir mengacu kepada produk-produk yang berhubungan dengan motor-motor besar. Dalam tahap brand recognize ini, Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) berhasil melewatinya dengan menciptakan komunitas dengan mengedepankan Brand Identity mereka yaitu dibidang otomotif motor besar. Harley Davidson pertama kali dikenal sebagai kendaraan dinas di instasi militer dan kepolisian Indonesia paska ditinggal oleh Sekutu dan Belanda. Harga motor ini terbilang sangat mahal, bisa mencapai empat ratus lima puluh juta rupiah untuk motor baru. Motor buatan Amerika Serikat ini memiliki cc yang besar dan desain yang terkesan sangar dan elegan pada saat yang bersamaan.

(8)

2. Brand Experience

Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) merupakan komunitas pecinta Harley Davidson di Indonesia. Kebanyakan para anggotanya adalah pemilik, pengguna dan kolektor jenis motor ini. HDCI terbentuk karena kesamaan hobi para anggotanya. Kegiatan yang dilakukan di HDCI ini berupa touring, berkumpul, memamerkan kendaraan, pelatihan keselamatan dan kesehatan selama berkendara, juga membantu aparat dalam mengamankan dan disiplin di jalan raya. HDCI juga melakukan banyak kegiatan bakti sosial dan memperkenalkan pariwisata nasional. Visi dari HDCI ini adalah menjadikan HDCI sebagai organisasi yang terpandang dan memiliki reputasi baik dimata publik dalam maupun luar negeri.

3. Brand Perception

Dalam tahap ini Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) memberikan perspsi berdasarkan pengalaman anggota dan juga sebaliknya, bahwa HDCI adalah komunitas motor besar yang

‘mahal’ dan terpandang, didasari atas harga per motornya juga kegiatan komunitas yang menjadikan konsumen benar-benar puas terhadap produk dan juga komunitas. HDCI juga membantu mencitrakan identitas anggotanya.

4. Lovely Brand

Tahapan ini adalah tahapan tertinggi dari tahapan brand. Pada tahapan inilah Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) menjadi brand yang dicintai oleh konsumennya. Di mana pelanggan akan tetap memilih merek produk dari waktu ke waktu lagi, bahkan sekalipun mereka mengalami layanan yang buruk atau jika produk lain muncul dan kelihatan lebih cocok dengan kebutuhan mereka.

(9)

2.3 Kerangka Kerja

Tahap dalam merancang strategi branding diperlukan suatu perencanaan untuk menciptakan keteraturan dan kejelasan arah tindakan.

Teknis perencanaan harus dilaksanakan agar branding dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Branding memerlukan perencanaan dengan alasan untuk memfokuskan usaha, mengembangkan sudut pandang berjangka waktu panjang, mengurangi kemungkinan kegagalan, mengurangi konflik, dan memperlancar kerjasama dengan pihak lain.

Langkah perancangan Branding Volkswagen Club Tasikmalaya adalah sebagai berikut.

1. Brand Recognize

Disaat mendengar kata Volkswagen, maka kebanyakan orang akan berpikir mengacu kepada produk-produk yang berhubungan dengan mobil-mobil untuk keluarga dengan desain classic. Dalam tahap brand recognize ini, Volkswagen Club Tasikmalaya (VECTA) berhasil melewatinya dengan menciptakan komunitas dengan mengedepankan Brand Identity mereka yaitu dibidang otomotif mobil keluarga yang classic. Volkswagen adalah mobil keluaran Jerman yang diciptakan untuk mobil keluarga dengan harga terjangkau pada saat itu. Volkswagen dalam Bahasa Jerman berarti mobil rakyat. Harga mobil keluaran baru dengan desain lebih modern bisa terbilang sangat mahal, mencapai satu milyar rupiah. Untuk mobil bekas atau rangka mobil desain lama (1980an) sepuluh juta hingga delapan puluh juta rupiah. Volkswagen memiliki desain yang classic, retro namun sangat nyaman untuk keluarga.

2. Brand Experience

Volkswagen Club Tasikmalaya (VECTA) merupakan komunitas pecinta Volkswagen di Kota Tasikmalaya. Anggota dari VECTA ini adalah pecinta yang memiliki atau tidak memiliki kendaraan merek ini, penjual onderdil dan mekanik khusus Volkswagen. Anggota

(10)

VECTA memiliki keragaman usia, gender, pekerjaan, pendidikan dan latar belakang sosial. Mobil yang menjadi anggota dalam VECTA kebanyakan merupakan mobil tua dengan desain interior yang unik dan menawan walau dalam eksterior mobil yang tua dan classic. VECTA dibentuk karena para anggotanya memiliki kesamaan rasa cinta terhadap Volkwagen. Kegiatan yang dilakukan di VECTA ini berupa touring, kopdar, halal bihalal, qurban dan buka puasa bersama, bakti sosial dan event-event tahunan berskala kota maupun nasional. Visi dari VECTA ini adalah menjadikan VECTA sebagai komunitas yang menjunjung tinggi kekeluargaan antar anggota baik dalam satu atau club yang berbeda.

3. Brand Perception

Dalam tahap ini Volkswagen Club Tasikmalaya (VECTA) memberikan perspsi berdasarkan pengalaman anggota dan juga sebaliknya, bahwa VECTA adalah komunitas mobil tua dan classic yang merakyat dimana menjungjung tinggi persaudaraan dan sosial terhadap lingkungan sekitar, didasari atas segala kegiatan komunitas dan anggota komunitas yang tidak pandang bulu. VECTA juga membantu mencitrakan identitas anggotanya.

4. Lovely Brand

Tahapan ini adalah tahapan tertinggi dari tahapan brand. Pada tahapan inilah Volkswagen Club Tasikmalaya (VECTA) menjadi brand yang dicintai oleh konsumennya. Di mana pelanggan akan tetap memilih merek produk dari waktu ke waktu lagi, bahkan sekalipun mereka mengalami layanan yang buruk atau jika produk lain muncul dan kelihatan lebih cocok dengan kebutuhan mereka.

Gambar

Gambar 2.2 Logo HDCI

Referensi

Dokumen terkait

(3) Pembantu Direktur III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat huruf c merupakan dosen yang diberi tugas tambahan membantu Direktur dalam memimpin pelaksanaan

1) Biaya pendidikan untuk level yang ditempuh sebesar Rp1.650.000 (satu juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai ketentuan Pimpinan Pusat.. OIAA di Kairo. Biaya itu

Pertamina telah mempunyai rencana yang tersusun dalam road map atau peta jalan untuk menuju Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia selama 15 tahun yakni pada tahun

GCF | Rangkuman Pertemuan Tahunan Kalimantan Tengah | 20-22 September 2011 4 Sesi ini menyoroti perlunya mengembangkan peluang peningkatan kapasitas tambahan pada

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Secara total prosentase pencapaian skor pada tes diagnostik oleh mahasiswa pendidikan fisika ini masih relatif rendah yaitu

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Rokhmah yang menunjukkan mayoritas ODHA memiliki sikap yang positif terhadap HIV/AIDS dan

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak

banyak dipengaruhi oleh pengalaman panjang yang telah dilaluinya.. 9 Disamping itu, kemampuan sosial guru, khususnya dalam berinteraksi dengan peserta didik merupakan suatu hal