• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DEMAM TIFOID DENGAN TITER AGLUTININ O DAN H 1:320 MENGGUNAKAN UJI WIDAL PADA LABORATORIUM KLINIK NIKI DIAGNOSTIC CENTER TAHUN 2012.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PREVALENSI DEMAM TIFOID DENGAN TITER AGLUTININ O DAN H 1:320 MENGGUNAKAN UJI WIDAL PADA LABORATORIUM KLINIK NIKI DIAGNOSTIC CENTER TAHUN 2012."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

PREVALENSI DEMAM TIFOID DENGAN TITER AGLUTININ

O

DAN

H

’ 1:

320 MENGGUNAKAN UJI WIDAL PADA

LABORATORIUM KLINIK NIKI

DIAGNOSTIC CENTER

TAHUN

2012

Ni Nyoman Ayu Laksmi Trimurti,1 I Wayan Putu Sutirta Yasa,2 A.A. Wiradewi Lestari2

1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,2 Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Sanglah /Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

E-mail : laksmytrimurti@ymail.com

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akibat suatu bakteri yaitu Salmonella enterica serotype typhi dan parathypi. Penyebaran penyakit ini berkaitan dengan tingkat sanitasi yang rendah, kepadatan penduduk, urbanisasi, keterbatasan sumber air maupun pengolahan limbah industri pangan yang buruk. Luasnya spektrum gejala klinis demam tifoid menjadi alasan yang kuat perlu dilakukannya pemeriksaan laboratorium seperti uji widal pada pasien yang dicurigai menderita demam tifoid agar dapat menegakkan diagnosis pasti. Prinsip kerja uji Widal adalah terbentuknya aglutinin apabila serum pasien yang diduga menderita demam enterik dicampurkan dengan suspensi antigen Salmonella enterica serotype thypi maupun parathypi. Metode penelitian ini adalah studi retrospektif dengan mengambil data sebanyak 1.110 sampel darah dari pasien yang diduga menderita demam tifoid berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik di Laboratorium Klinik Niki

Diagnostic Center dari tahun 2012. Hasil pemeriksan menunjukkan 120 (10,8%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi O 1:320, 37 (3,3%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi A-H 1:320 dan 124 (11,2%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi B-H 1:320. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi antibodi O, A-H dan B-H yang terdeteksi dengan titer 1:320 pada tahun 2012 pada Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center cukup tinggi jika dibandingkan dengan studi lainnya.

(2)

2

PREVALENCE OF TYPHOID FEVER WITH O AND H AGGLUTININ

TITER 1:320 BY USING WIDAL TEST AT NIKI DIAGNOSTIC

CENTER CLINICAL LABORATORY IN 2012

ABSTRACT

Typhoid fever is one of the systemic infections which cause by Salmonella enterica serotype typhi and parathypi. The spreading of this infection is related to the bad sanitation, urbanization, ingestion of food or water contaminated, and low standard hygiene for the food industry. The wide spectrum of the typhoid fever clinical presentation become a strong evidence to do laboratory examination such Widal test to the patient that suspected tifoid fever to get definitive diagnosis. The principal of Widal test is some agglutinins are produced in the patient’s serum which reacts with antigen suspensions Salmonella enterica serotype thypi or parathypi. This studied method is retrospective studied by collected 1.110 blood sample from patients which suspected from typhoid fever based on anamnesis, clinical presentation and physical examination in Niki Diagnostic Center Clinical Laboratory in 2012. The result of the studied there are 120 (10.8%) of blood sample is detected have O antibody titer 1:320, 37 (3.3%) of blood sample is detected have A-H antibody titer 1:320 and 124 (11.2%) of blood sample is detected have O antibody titer 1:320. It can be concluded that prevalence of antibody O, A-H, B-H are detected with titer 1:320 in 2012 at Niki Diagnostic Center Clinical Laboratory quite high if compare with another studied.

Keywords : Typhoid Fever, Salmonella enterica serotype thypi, Sallmonella enterica serotype parathypi, Widal Test

PENDAHULUAN

Travel medicine merupakan salah satu disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari tentang kondisi kesehatan wisatawan (travellers) dalam hal pencegahan maupun penanganan masalah kesehatan. Disiplin ilmu ini dikembangkan sebagai salah satu upaya dalam merespon peningkatan arus perjalanan nasional maupun internasional. Adanya peningkatan arus perjalanan yang sebagian besar untuk tujuan pariwisata tersebut tentunya akan menimbulkan dampak pada kesehatan karena risiko terpajan suatu penyakit infeksi akan semakin tinggi serta penyebaran pathogen ke berbagai daerah ataupun negara akan lebih mudah. Selain itu, beberapa daerah

(3)

3 Salah satu penyakit wabah di daerah Bali adalah demam tifoid. Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella enterica serotype typhi, parathypi A dan parathypi B. Negara berkembang yang khususnya memiliki daerah tropis dan subtropis, bakteri tersebut masih sering dijumpai secara luas. Bakteri Salmonella enterica adalah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, dan memiliki kemampuan untuk invasi.2

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : Antigen O, H dan Vi. Antigen O (Antigen somatik) terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. Antigen H (Antigen Flagella) terletak pada flagella, fimbriae atau vili dari bakteri. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol. Antigen Vi terletak pada kapsul dari bakteri dan dapat melindungi bakteri terhadap fagositosis.3

Penyakit ini umumnya bersifat akut dengan manifestasi demam yang berlangsung selama satu minggu atau lebih dan disertai dengan gangguan saluran pencernaan. Gangguan kesadaran merupakan salah satu manifestasi klinis cukup serius yang dapat terjadi pada demam tifoid. Penyebaran demam tifoid berkaitan dengan dengan tingkat sanitasi yang rendah, kepadatan penduduk, urbanisasi, keterbatasan sumber air maupun pengolahan limbah industri pangan yang buruk.4 Luasnya spectrum manifestasi klinis dari demam tifoid menyebabkan sulit menentukan angka

kasus demam tifoid di Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut menegaskan bahwa pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis demam tifoid.4,5,6

Uji widal yang termasuk uji serologis merupakan salah satu uji paling umum yang digunakan sebagai penunjang dalam penegakkan diagnosis demam tifoid. Prinsip kerja uji widal adalah terbentuknya aglutinin apabila serum pasien yang diduga menderita demam enterik dicampurkan dengan suspensi antigen Salmonella enterica serotype

thypi maupun Salmonella enterica

serotype parathypi A dan B. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa uji ini kurang spesifik dan sensitif karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dan belum adanya nilai batas dasar titer (cut-off point) yang baku untuk penegakan diagnosis.7 Positif palsu atau negatif palsu juga dapat terjadi pada hasil uji widal sehingga uji ini sudah mulai ditinggalkan pada negara-negara maju mengingat pemeriksaan kultur dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Namun terlepas dari hal tersebut, uji widal masih sering dilakukan terutama di daerah endemis yang memiliki keterbatasan fasilitas metode kultur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi antibodi O, A-H, dan B-H dengan titer 1/320 terhadap antigen O Salmonella thypi, antigen H

Salmonella parathypi A dan B pada hasil pemeriksaan sampel darah pasien yang diduga demam tifoid dengan uji widal di Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center.

MATERI DAN METODE

(4)

4 Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center sebanyak 1.110 sampel darah dari pasien yang diduga menderita demam tifoid berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik oleh dokter di Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center dari tahun 2012.

Sampel darah pasien kemudian diperiksa dengan menggunakan uji widal. Terdapat 2 jenis metode dalam melakukan uji widal, yaitu Slide Test

dengan memakai lempengan dan Tube Test dengan memakai tabung.8 Prinsip kerja uji widal berdasarkan reaksi aglutinasi secara imunologis antara antibodi dalam serum darah pasien dengan suspensi antigen O (somatik) dan/atau antigen H (flagellar) Salmonella enterica serotype thypi dan paratyhpi. Interpretasi umum uji widal adalah positif (+) apabila terdapat aglutinasi dan negatif (-) apabila tidak terdapat aglutinasi.

Berdasarkan hasil titer antibodi dengan pemeriksaan uji widal, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila dalam satu kali pemeriksaan langsung didapatkan hasil titer antibodi O ataupun H ≥ 1: 320 atau, apabila hasil titer antibodi O dan H adalah 1:160, harus dievaluasi dalam satu mingu ke depan untuk dilihat ada tidaknya kenaikan titer kembali, jika terdapat kenaikan titer, barulah dapat ditegakkan diagnosis demam tifoid. Apabila kurang dari titer 1:160, harus dievaluasi kembali dalam dua hingga tiga minggu ke depan, jika didapatkan peningkatan titer sebanyak empat kali, barulah diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, parathypi A dan parathypi

B yang masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang. Bali termasuk negara berkembang yang sering terkena wabah dari demam tifoid. Bakteri

Salmonella enterica serotype typhi dan

parathypi ini dapat hidup lama di alam bebas sehingga dapat dengan mudah menular dan menginfeksi individu. Penularan dan penyebaran penyakit ini berkaitan dengan dengan tingkat sanitasi yang rendah, kepadatan penduduk, urbanisasi, keterbatasan sumber air maupun pengolahan limbah industri pangan yang buruk.4 Dengan kata lain, penyakit ini dapat digunakan sebagai barometer penilaian kebersihan dari suatu daerah.

Banyaknya daerah wisata yang belum sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan maupun makanan yang akan dihidangkan tentunya akan berdampak pada kesehatan para wisatawan. Oleh sebab itu, warga maupun para pedagang yang berjualan di daerah wisata tersebut perlu untuk diberikan penyuluhan mengenai pentingnya kebersihan dan kehigenisan makanan serta cara mencegah penyebaran bakteri, virus dan kuman khususnya demam tifoid yang sering menjadi wabah di Bali. Penyakit ini memiliki masa inkubasi 8-14 hari dengan range 3-60 hari, namun hal tersebut dipengaruhi pula oleh kesehatan dan status imunitas host.8 Pada umumnya, pasien yang datang ke praktek dokter ataupun yang langsung datang ke laboratorium klinik menampakkan gejala penyakit demam tifoid seperti demam yang tidak turun selama satu minggu, nyeri otot, sukar buang air besar (konstipasi) ataupun diare.9

Sebanyak 1110 sampel darah pasien yang diduga menderita demam tifoid pada Laboratorium Klinik Niki Diagnostic

(5)

5 menggunakan uji widal. Terdapat perbedaan jumlah pasien dimasing-masing kelompok usia setelah dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan usia menurut DEPKES RI (2009). Jumlah pasien dari terbanyak hingga terendah secara berurutan sebagai berikut: kelompok usia 26-45 tahun kelompok usia 46-65 tahun (masa lansia) sebanyak 125 orang (11,3%) dan terakhir kelompok usia 65 tahun ke atas (masa manula) sebanyak 18 orang (1,6%). Sehingga dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien terbanyak terdapat pada kelompok usia 26-45 tahun (masa dewasa) dan terendah terdapat pada kelompok usia 65 tahun ke atas (masa manula).

Dilihat dari jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (Tabel 2). Sedangkan data hasil pemeriksaan uji widal dapat dilihat pada Table 3.

Tabel 3, menunjukkan bahwa prevalensi antibodi O, A-H dan B-H sangat berfluktuatif dari bulan ke bulan. Dari 1110 pasien yang melakukan uji widal, sebanyak 120 (10,8%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi O dengan titer 1:320, 37 (3,3%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi A-H dengan titer 1:320 dan 124 (11,2%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi B-H dengan titer 1:320. Sisanya terdeteksi dengan titer antibodi di bawah 1:320 atau negatif (tidak terjadi aglutinasi).

Tabel 2. Distribusi Pasien Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin

Frekuen

Dilihat dari tabel tersebut, pada bulan April terdapat lonjakan frekuensi pasien yang melakukan uji widal, namun hanya terdapat 19 (11,3%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi O 1:320, 11 (6,5%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi A-H 1:320 dan 15 (8,9%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi B-H 1:320.

(6)

6 terdapat 13 (10,3%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi O 1:320, 4 (3,2%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi A-H 1:320 dan 15 (11,9%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi B-H 1:320.

Tabel 3. Data Hasil Pemeriksaan Sampel Darah Pasien Menggunakan Uji Widal

Bulan Januari dan Maret, jumlah pasien yang melakukan uji widal tidak begitu banyak, namun pada bulan Januari terdapat 25 (27,8%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi B-H 1:320. Sedangkan pada bulan Maret terdapat 22 (19,0%) sampel darah terdeteksi dengan titer antibodi O 1:320. Kedua jumlah tersebut adalah jumlah sampel darah terbanyak yang terdeteksi dengan titer antibodi B-H 1:320 dan titer antibodi O 1:320 pada tahun 2012.

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa prevalensi antibodi O, A-H dan B-H yang terdeteksi dengan titer 1:320 pada tahun 2012 di Laboratorium Klinik Niki

Diagnostic Center dapat dikatakan tinggi

jika dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Aftab et al. pada Sir Gangga Ram Hospitals, Lahore mulai Januari 2001 sampai Juni 2007. Studi tersebut menggunakan 733 sampel darah pasien yang diperiksa menggunakan uji widal dengan hasil akhir terdapat 18 (2%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi O dengan titer 1:320, 8 (1%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi A-H dengan titer 1:320 dan 9 (1%) sampel darah terdeteksi memiliki antibodi B-H dengan titer 1:320.7 Begitu juga apabila dibandingkan dengan studi yang dilakukan di bangsal anak RSUP Dr. Kariadi Semarang dari bulan Maret hingga Juni 2011 oleh Rachman, A.Fatmawati et al. Studi tersebut menggunakan 49 sampel darah pasien berusia 2-14 tahun yang diperiksa menggunakan uji widal. Hasil dari studi tersebut terdapat 2 (4,1%) sampel darah yang terdeteksi memiliki antibodi B-H dengan titer 1:320 dan tidak terdapat sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi O dan A-H 1:320.15

Dari perbandingan dengan kedua studi tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila dilakukan penegakkan diagnosis hanya berdasarkan hasil titer antibodi uji widal, cukup banyak jumlah pasien yang dapat ditegakkan langsung terdiagnosis demam tifoid pada Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center tahun 2012, walaupun lebih dari setengah jumlah pasien terdeteksi dengan titer di bawah 1:320 dan negatif (-), sehingga tidak dapat langsung terdiagnosis demam tifoid dan harus dievaluasi dalam beberapa minggu ke depan.

SIMPULAN

Terdapat sebanyak 1110 sampel darah pasien yang diduga menderita demam tifoid diperiksa menggunakan uji widal di

(7)

7 Laboratorium Klinik Niki Diagnostic Center pada tahun 2012. Dari data tersebut 120 (10,8%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi O 1:320, 37 (3,3%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi A-H 1:320 dan 124 (11,2%) sampel darah yang terdeteksi memiliki titer antibodi B-H 1:320. Sisanya terdeteksi dengan titer antibodi di bawah 1:320 atau negatif (tidak terjadi aglutinasi) sehingga harus dievaluasi dalam beberapa minggu ke depan agar dapat ditentukan diagnosis selanjutnya.

SARAN

Diperlukan pemeriksaan dan penelitian lebih lanjut terhadap sampel darah pasien yang diduga menderita demam tifoid dengan titer antibodi di bawah 1:320 menggunakan uji widal dalam jangka waktu 1 minggu ke depan untuk memastikan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pakasi, Levina S. Pelayanan Kedokteran Wisata : Suatu Peluang. Cermin Dunia Kedokteran 2006; (152):5-8 2. Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo,

M.Y. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 2005; 12(1): 1-7

3. Ali Soegianto. Aspects Of Environment, Host and Pathogen interaction In Typhoid fever. 2009; 9-127

4. Shanthi J, Usha Rani R, Balagurunathan R. A brief study of diagnosis and frequency of typhoid fever incidence by Widal test. Annals of Biological Research 2012; 3 (4):47-51

5. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, Seidlein L, Hendriksen I, Mwambuli A, Shoo A, Malahiyo R, Ame SM, Kim DR, Ochiai LR, Clemens JD, Reyburn H, Wilfing H, Magesa S, Deen JL. Evaluation

of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infectious Diseases 2010; 10(180):1-9.

6. Sen MR, Shukla BN, Banerjee T, Goyal RK. Comparative Evaluation Of Dot Enzyme Immunoassay (Typhidot) And Widal Test With Respect To Blood Culture In The Serodiagnosis Of Typhoid Fever. International Journal of Biology, Pharmacy, and Allied Science 2012; 1(7):20-4

7. Aftab R, Khurshid R. Widal Agglutination Titre: A Rapid Serological Diagnosis of Typhoid Fever in Developing Countries. Pak J Physiol 2009; 5(1)

8. Wardana TN. Diagnosis Demam

Thypoid Dengan Pemeriksaan

(8)

8 9. Harti AS, Saptorini. Pemeriksaan

Widal Slide untuk Diagnosa Demam Tifoid. STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2012. h 1-7 10.Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode

Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya

11.Rachman AF, Arkhaesi N, Hardian. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan Dengan Kultur Darah Sebagai Baku Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2011. h 3-7

Gambar

Tabel 2. Distribusi Pasien Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin

Referensi

Dokumen terkait