• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM EXPERIENTIAL BASED GROUP COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN MULTIBUDAYA CALON KONSELOR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROGRAM EXPERIENTIAL BASED GROUP COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN MULTIBUDAYA CALON KONSELOR."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

B. Rumusan Masalah Penelitian... 17

C. Tujuan Penelitian... 20

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian……... E. Asumsi Penelitian……….. 21 23 F. Hipotesis Penelitian…... 24

BAB II : PROGRAM EXPERIENTIAL BASED GROUP COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN MULTIBUDAYA……… 25

A. Kepekaan Multibudaya dalam Layanan Konseling ... 25

B. Konsep Experiential Based Group Counseling... 50

C. Rasional Experiential Based Group Counseling dalam Layanan Bimbingan dan Konseling... 75

D. Tahap-tahap Dinamika Kelompok dalam Experiential Based Group Counseling………. 77

(2)

A. Pendekatan, Metode dan Desain Penelitian... 85

B. Populasi dan Sampel……… 90

C. Definisi Operasional Variabel ... 91

D. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 99

E. Teknik Pengolahan dan Pengumpul Data …... 106

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 112

A. Hasil Penelitian ... 112

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 158

BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 177

A. Kesimpulan ... 177

(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1

Tabel 3.2

Tahapan Program Experiential Based Group Counseling Untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor……….. Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Sebelum Ditimbang dan Pengujian Validitas………...

97

100 Tabel 3.3 Indeks Korelasi………... 106 Tabel 3.4 Pola Skor Opsi Alternatif Respon…... 107 Tabel 3.5 Skor Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon

Konselor………... 109

Tabel 4.1 Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

angkatan 2008 FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012... 112 Tabel 4.2 Gambaran Aspek Kepekaan Multibudaya Mahasiswa

Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

angkatan 2008 FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012... 114 Tabel 4.3 Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum

Mengikuti Program Experiential Based Group Counseling.... 115 Tabel 4.4 Isi Program Experiential Based Group Counseling Untuk

Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor... 130 Tabel 4.5 Gambaran Perbedaan Kepekaan Multibudaya Calon

Konselor Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum & Setelah Mengikuti Program Experiential Based

(4)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1 Perbedaan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum & Setelah Mengikuti Program Experiential Based Group

(5)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1 The Lewinian Experiential Learning Model………... 68 Skema 2.2 Dewey’s Model of Experiential Learning………. 69 Skema 2.3 Piaget’s Model of Learning and Cognitive Development… 70 Skema 2.4 Experiential Learning Cycle………. 72 Skema 2.5 The Experiential Learning Cycle and Basic Learning

Styles………... 74

(6)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kecenderungan perubahan dan arah tatanan kehidupan masyarakat dunia menuju kearah modernisasi secara tidak langsung mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan profesi. Merupakan suatu hal yang nyata bagi kehidupan masyarakat dunia untuk mampu bertahan (survive) dalam menghadapi segala bentuk pengaruh dari perubahan tatanan kehidupan yang terjadi.

(7)

2 satu pihak dengan dorongan kuat untuk ikut serta dalam arena global dan mengambil manfaat darinya.

Munculnya tarikan yang kuat untuk ikut serta dalam arena global menyebabkan semakin intensnya kontak-kontak antar individu, masyarakat, negara dan bangsa. Dapat diartikan bahwa tarikan antara kehendak mempertahankan identitas dan kehendak untuk larut dalam perubahan menjadi suatu persoalan yang dilematis. Dengan adanya persoalan yang dilematis tersebut maka diperlukan suatu sikap yang tepat dalam bertindak dan berinteraksi dalam kehidupan global.

(8)

3 terhubung dengan adanya proses interaksi. Proses interaksi yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman yang dapat menjembatani proses interaksi antar individu. Pemahaman akan budaya atau lintas budaya dalam hal ini sangat diperlukan (Matsumoto, 1996). Dengan adanya pemahaman budaya yang tepat sangat memungkinkan untuk terbentuknya kehidupan antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Namun sebaliknya jika kondisi tersebut tidak terjadi carut marutnya kehidupan sosial-ekonomi, konflik rasial, etnik, pendidikan, politik dan agama semakin nyata.

Kecenderungan perubahan arah tatanan hidup masyarakat dewasa ini yang mengarah pada dinamika multikulturalisme (multibudaya) yang mendesak individu sebagai anggota masyarakat dan kelompok masyarakat untuk mampu berevolusi secara tepat mencakup seluruh segi kehidupan. Azra (Hufad, 2007 : 13) memandang multibudaya merupakan suatu pandangan terhadap dunia yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keberagaman yang pluralis dan multikultural dalam kehidupan bermasyarakat. Keberagaman tersebut mencakup segi ideologis, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan politis merupakan segi kehidupan manusia yang harus dirubah secara tepat. Individu berevolusi secara tepat merupakan suatu tuntutan bagi individu yang harus dilakukan secara bekesinambungan. Perubahan secara tepat dilakukan dengan adanya penyesuaian kemampuan dan keterampilan dengan perubahan yang terjadi.

(9)

4 pada dasarnya budaya tidak hanya menitikberatkan pada kesamaan secara bilogis atau generic saja melainkan budaya merupakan sebuah konstruk sosiopsikologis, suatu kesamaan dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan dan perilaku (Matsumoto, 2004: 5).

(10)

5 antar sesama yang berdasarkan aneka warna masyarakat di bumi tempat individu berpijak.

Layanan bimbingan dan konseling sebagai salah satu bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan, mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam membina perkembangan peserta didik untuk mampu membantu diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab sehingga menjadi manusia yang berkembang optimal, produktif dan berbudaya. Sejarah menunjukkan bahwa tiga dekade terakhir pada abad ke-20 program bimbingan dan konseling dirancang untuk melayani semua siswa (peserta didik) atau “Guidance For All” (Kartadinata 2009: 15). Pemaparan tersebut dapat diartikan individu memiliki hak yang sama dalam mendapatkan layanan bimbingan dan konseling, siapa pun individu itu, dari mana pun individu itu berasal, dan bagaimana pun kondisi individu itu, semua mempunyai hak layanan. Hal ini senada dengan pendapat Kartadinata (2009: 15) program bimbingan dan konseling komprehensif melayani siswa, orangtua, guru, dan stakeholder lain secara seimbang tanpa membedakan gender, ras, etnik, latar belakang budaya, disabilitas, struktur keluarga, dan status ekonomi.

(11)

6 kemampuan siswa menuntut terlaksananya pendidikan yang berimbang dan bermutu.

Konselor dalam proses layanan bimbingan dan konseling memiliki peran utama dan signifikan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Salah satu peran konselor sebagai seorang pendidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat sehingga peningkatan mutu dan pembaharuan kompetensi konselor menjadi suatu aspek yang mutlak terjadi seiring dengan semakin kompleksnya ruang lingkup permasalahan yang ditangani layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dengan semakin luasnya penyebaran informasi dan luasnya determinasi budaya yang menjadikan karakteristik peserta didik selalu berbeda dari generasi kegenerasi maka konselor diharuskan memiliki kompetensi yang harus selalu ter-update agar setiap permasalahan dapat terselesaikan dengan optimal.

Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007) menyatakan salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa konselor harus mampu memahami dan peka (sensitif) dengan adanya perubahan dan keberagaman individu.

(12)

7 perbedaan atribut budaya antara konseli dan konselor sehingga menimbulkan jarak antara konseli dan konselor dalam proses konseling. Dalam proses konseling konselor maupun konseli membawa serta atribut-atribut psikofisik seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi dan sosio-budaya. Bolton-Brownlee (Supriadi, 2001: 23) menyatakan proses konseling yang dilakukan oleh konselor sejauh ini hanya menitikberatkan pada aspek-aspek psikologis (kecerdasan, minat, bakat, kepribadian, dll) dan masih kurang memperhatikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun konseli yang ikut membentuk prilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling. Selain itu Gielen, Draguns & Fish (2008: 2) menyatakan

“Because many modern societies are steadily becoming more diverse, multicultural, and complex in nature, they are in need of counselors, psychotherapists, social workers, and healers who are able to interact eff ectively with clients from a broad variety of cultural, ethnic, social, political, and religious backgrounds.”

(13)

8 the client’s particular group and culture..., If a counsellor can do this successfully, they may be able to further their knowledge about the client’s family, values, attitudes, beliefs and behaviours”.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diartikan seorang konselor harus memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri dan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan baik maka konselor akan mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang latar belakang konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan berjalan efektif. Namun akan menjadi suatu halangan yang sangat berarti jika dalam proses konseling terjadi pertentangan budaya antara konseli dan konselor jika konselor kurang mampu menyikapi hal tersebut. Pertentangan budaya yang terjadi antara konselor dan konseli dalam proses konseling akan berimbas pada kebungkaman konseli dalam proses konseling serta menjadi suatu kekurangan yang signifikan bagi konselor dalam proses penentuan pendekatan dan pengetahuan lebih jauh mengenai masalah yang dihadapi konseli. Hal ini sedana dengan pernyataan Stewart yang menyatakan “when the cultures of the participant in counseling differ, counselor often lack implicit inferent to create coherent image of counselees. Significant aspects of perceptions, memories, and histories remain silent.” (Pedersen, et. al. 1981: 61).

(14)

9 selalu dinamis. Kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Supriadi (2001: 32) memaparkan perlunya konselor yang memiliki kepekaan multibudaya (culturally sensitive counselor) untuk dapat memahami dan membantu klien/konseli. Konselor yang demikian adalah yang menyadari benar bahwa secara budaya, inidvidu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling konseli membawa serta karakteristik tersebut.

Kepekaan multibudaya konselor akan diuji dalam proses konseling yang melibatkan dua orang yang berbeda budaya yaitu konselor dan konseli. Jika konselor yang memiliki kepekaan yang baik terhadap perbedaan atribut psikofisik yang dibawa oleh konseli dengan dirinya maka sangat mungkin konselor tersebut akan mampu mewujudkan relasi konseling yang efektif. Dan akan menjadi suatu kesulitan yang sangat berarti bagi seorang konselor jika tidak memiliki kepekaan yang cukup terhadap perbedaan atribut psikofisik antara konselor dan konseli dalam mewujudkan relasi konseling yang efektif.

(15)

10 context of multiple cultural identities.” Dapat diartikan konselor yang peka terhadap keberagaman budaya konseli yang dihadapi dalam layanan konseling adalah konselor yang mengerti, paham dan mampu meramu konteks budaya secara tepat.

Kepekaan multibudaya bagi konselor dalam layanan konseling merupakan suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai salah satu akumulasi dari identifikasi secara akurat dan intervensi yang tepat terhadap keragaman budaya konseli. Untuk memiliki kepekaan multibudaya konselor dituntut untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya klien/konseli (Supriadi, 2001: 33). Kepekaan dalam layanan konseling merupakan jembatan bagi konselor untuk lebih mengetahui pengalaman budaya yang dimiliki oleh konseli dan memahami konseli secara utuh sebagai seorang individu yang unik. Konselor yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perbedaan budaya antara dirinya dan konseli akan mampu mengarahkan konseli untuk dapat mempersepsikan dirirnya sebagai suatu individu yang total.

(16)

11 konseli sehingga kompetensi kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepekaan multibudaya sangat penting dalam keefektifan layanan konseling yang terbangun dari kemampuan/kompetensi dan keterampilan multibudaya dimana didalamnya terdapat kesadaran dan pemahaman akan budaya konselor sendiri serta kesadaran dan pemahaman budaya konseli. Hal ini senada dengan pendapat Hackney & Cormier (2009: 15) yang menyatakan bahwa konselor yang peka adalah konselor yang menyadari dan memahami konteks budaya sendiri dan konseli.

(17)

12 kemampuan konselor dalam menempatkan diri beserta atribut psikologisnya secara tepat dalam proses layanan konseling.

Penelitian ketercapaian kompetensi konselor multikultural yang dilakukan oleh Herdi (2009) terhadap mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) angkatan 2006 (n= 76) tahun akademik 2008/2009 menunjukkan bahwa kompetensi konseling multikultural (KKM) berada pada kategori kompeten 51,3 %, cukup kompeten 38,2 %, sangat kompeten 5.3%, dan kurang kompeten 5,3%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi konseling multikultural yang dicapai belum mencapai harapan. Hal ini merupakan suatu tantangan dan peluang untuk lebih meningkatkan kompetensi konseling multikultural. Selanjutnya Holcomb-McCoy dan Myers (1999: 300) memaparkan hasil penelitiannya mengenai peningkatan kompetensi konselor multibudaya melalui pelatihan dan seminar menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan sebesar 46% peningkatan kompetensi konselor multibudaya.

(18)

13 Mencermati pentingnya kepekaan multibudaya terbangun secara dini dalam diri konselor dan sebagai salah satu penyokong dalam proses layanan konseling maka diperlukan suatu upaya yang difokuskan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya.

(19)

14 “Group members come to function not just as counselees but also as a combination of counselees but also as combination of counselees at times in the sessions and at other times as helpers or therapists. Through the process of this experience, group members seem to learn to be better helpers or member-therapists.”

Bergh, Landerth & Fall (2006: 5-7) serta Gladding (2008: 147) memaparkan bahwa melalui group counseling individu sebagai anggota kelompok diberi kesempatan untuk mengembangkan kesadaran hubungan antar pribadi anggota kelompok (developing self awareness), mendapatkan pengalaman yang signifikan dalam hubungan antar pribadi anggota kelompok (experiencing significant relationships), tekanan dinamis untuk perkembangan (dynamic pressure for growth), mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk saling berkembang satu sama lain (supportive environment), meningkatkan kepekaan terhadap prilaku baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota kelompok lainnya.

Selanjutnya unsur pengalaman yang didapat dalam suatu kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya klien/konseli. Hal ini senada dengan pendapat Kim & Lim yang menyatakan

(20)

15 Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu yang bertenaga yang mampu merangsang kesadaran multibudaya dan dapat digunakan untuk membantu individu dalam mengahadapi bias budaya. Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai proses pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience). Pengetahuan yang didapat merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Model peningkatan pengetahuan ini lebih menekankan pada model pembalajaran yang holistik (kognitif, afektif dan konasi) Kolb (1984).

Pengalaman yang didapat peserta saat mengikuti program experiential based group counseling diharapkan mampu menjadi stimulus bagi peserta untuk lebih meningkatkan kepekaan multibudayanya dan diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan konseling multibudaya. Lebih jauh lagi Atkinson, Morten, et al., 1998; Ponterotto, Casas, Suzuki, & Alexander, 1995; Sue & Sue, 1999), menyatakan “as a result the theoretical and empirical literature on ways in which counselors can provide more culturally relevant and sensitive services has increasingly highlighted the importance of the relationship between counselors multicultural counseling competence and positive counseling outcome.” (Kim and Lyons, 2003: 400).

(21)

16 sebagai upaya seorang calon konselor menuju konselor profesional dan sesuai dengan Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007: 110) yang menyatakan salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa konselor harus mampu memahami dan peka (sensitif) dengan adanya perubahan dan keberagaman individu. Oleh karena itu sudah seharusnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon konselor khususnya Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) untuk mengakomodir, meningkatkan, mengevaluasi, dan merevisi kurikulum untuk meningkatkan kepekaan, pengetahuan, dan keterampilan konseling multibudaya. Konsekuensinya, seluruh pendidik calon konselor perlu menyiapkan seluruh calon konselor untuk meningkatkan/meningkatkan kompetensi konseling multibudaya khususnya kepekaan multibudaya. Pentingnya peningkatan kepekaan multibudaya secara dini bagi calon konselor sangat diperlukan dimana kepekaan multibudaya sebagai salah satu aspek terdepan dalam proses layanan konseling terutama dalam menghadapi dan melayani konseli dan masyarakat yang beragam latar belakang budayanya.

(22)

17 peserta (calon konselor) berbagi dalam tugas-tugas tertentu serta materi-materi ilustratif untuk meningkatkan kepekaan multibudaya yang spesifik dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu program experiential based group counseling ini menyediakan pedoman (manual) meningkatkan kepekaan multibudaya, mengahadapi bias budaya dalam proses layanan konseling serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam proses layanan konseling.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan budaya yang muncul seiring dengan perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan manusia dewasa ini memberikan pengaruh terhadap peningkatan disiplin ilmu. Layanan konseling sebagai salah satu disiplin ilmu yang berada pada koridor layanan yang membantu individu dalam peningkatan seluruh potensi individu secara optimal memiliki tantangan dan peluang untuk meningkatkan diri. Dengan adanya permasalahan budaya dan individu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda target layanan konseling menjadi lebih terbuka dan berada dalam tatanan kehidupan yang lebih terbuka, seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, industri dan seluruh lingkungan tempat individu berinteraksi dalam peningkatan potensi dan pemenuhan kebutuhannya.

(23)

18 Peran utama dalam proses layanan konseling ialah konselor. Konselor berperan dalam mengarahkan layanan konseling yang sedang berlangsung. Dalam kajian layanan konseling multibudaya, agar konselor mampu berperan secara optimal maka konselor dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri dan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan berjalan efektif. Namun akan menjadi suatu halangan yang sangat berarti jika dalam proses konseling terjadi pertentangan budaya antara konseli dan konselor.

Pengetahuan lebih jauh dan mendalam bagi seorang konselor terhadap fenomena multibudaya dapat diterjemahkan sebagai suatu bentuk kemampuan, penghayatan dan sikap peka seorang konselor dalam menyikapi perkembangan isu-isu multibudaya yang selalu dinamis. Kemampuan dan sikap peka tersebut dapat diartikan sebagai suatu kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh seorang konselor. Kepekaan multibudaya akan sangat berguna pada saat konselor dihadapkan dalam proses konseling terutama dengan konseli yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan konselor.

(24)

19 kepekaan multibudaya dapat diartikan juga sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli sebagai suatu individu total yang terbentuk dari pengalamannya.

Kepekaan multibudaya bagi konselor dalam layanan konseling merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang konselor sebagai salah satu akumulasi dari identifikasi secara akurat dan melakukan intervensi yang tepat guna terhadap keragaman budaya konseli.

(25)

20 pendidik calon konselor perlu menyiapkan seluruh calon konselor untuk meningkatkan/meningkatkan kompetensi konseling multibudaya khususnya kepekaan multibudaya. Pentingnya peningkatan kepekaan multibudaya secara dini bagi calon konselor sangat diperlukan dimana kepekaan multibudaya sebagai salah satu aspek terdepan dalam proses layanan konseling terutama dalam menghadapi dan melayani konseli dan masyarakat yang beragam latar belakang budayanya.

Berbagai kajian teoritik maupun empirik mengenai isu-isu konseling multibudaya beserta implikasinya yang telah dipaparkan memberikan suatu kerangka pemikiran masalah yaitu “apakah peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor dapat meningkatkan akurasi (ketepatan) layanan konseling?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan memperoleh tingkat keefektifan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor. Sehingga penelitian ini menghasilkan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor yang secara empiris dapat digunakan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor.

(26)

21 1. Seperti apa profil kepekaan multibudaya calon konselor/mahasiswa

jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012? 2. Seperti apa rumusan program experiential based group counseling untuk

meningkatkan kepekaan multibudaya bagi calon konselor/mahasiswa jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012? 3. Bagaimana efektivitas program experiential based group counseling

untuk meningkatkan kepekaan multibudaya bagi calon konselor/mahasiswa jurusan PPB FIP UPI Angkatan 2008 Tahun Akademik 2011/2012?

D. Signifikasi Dan Manfaat Penelitian 1. Signifikasi Penelitian

Signifikansi program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor didasarkan pada kebutuhan dan pemikitan berikut.

a. Masyarakat Indonesia yang heterogen secara logis akan mengalami berbagai permasalahan kehidupan.

b. Layanan bimbingan dan konseling memiliki tantangan dan peluang dalam upaya untuk mengatasi isu multibudaya sebagai ajang untuk membangun sistem layanan jasa bimbingan dan konseling yang kompeten dan optimal.

(27)

22 menimbulkan kesalahan praktik yang berujung pada penurunan mutu layanan bimbingan konseling.

2. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan khazanah keilmuan mengenai isu kepekaan multibudaya bagi calon konselor .

b. Memberikan gambaran program experiential based group counseling yang dapat memfasilitasi peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor.

Manfaat praktis yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut.

a. Bagi Program Studi Bimbingan Konseling

Bagi program studi bimbingan konsleing, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan bimbingan dan konseling. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam peningkatan dan peningkatan kepekaan multibudaya calon konselor yang terintegrasi dalam penyelenggaraan pedidikan calon konselor.

b. Bagi peneliti selanjutnya

(28)

23

E. Asumsi Penelitian

1. Efektivitas hubungan konseling sangat tergantung pada kualitas hubungan antara klien/konseli dan konselor (David Gerldard & Kathryn Geldard, 2001: 12).

2. Salah satu kompetensi konselor adalah harus menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan sub kompetensi peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan (Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).

3. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang konseli yang berasal dari kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil, konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli. Sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna (David Geldard & Kathryn Geldard, 2001: 336). 4. Konselor perlu memiliki kepekaan multibudaya (culturally sensitive

counselor) untuk dapat memahami dan membantu klien/konseli Supriadi (2001: 32).

(29)

24 6. Kelompok dengan beragam budaya (heterogen) mampu meningkatkan kepekaan terhadap prilaku baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota kelompok lainnya Gladding (2008: 147).

7. Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu yang bertenaga yang mampu merangsang kesadaran multibudaya dan dapat digunakan untuk membantu individu dalam mengahadapi bias budaya (Baruth & Manning 2007: 57).

F. Hipotesis Penelitian

(30)

85 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan, Metode dan Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan

kuantitatif memungkinkan dilakukannya pencatatan dan analisis data hasil penelitian

secara matematis dengan menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai

tingkat efektivitas program experiential based group counseling dalam

meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor secara nyata dalam bentuk

angka sehingga memudahkan proses analisis dan penafsirannya, sedangkan

pendekatan kualitatif memungkinkan dilakukannya pencatatan selama observasi

sebagai penunjang dalam meningkatkan program experiential based group

counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor.

Selanjutnya metode penelitian yang digunakan yaitu pra eksperimen, yakni

mengujicobakan program experiential based group counseling untuk meningkatkan

kepekaan multibudaya calon konselor pada satu kelompok eksperimen tanpa

kelompok kontrol. Desain penelitian ini menggunakan desain Pretest-Postest One

Group Design dengan adanya pemberian tes awal sebelum diberi tindakan dan tes

(31)

86 Berdasarkan pada tujuan penelitian maka secara operasional langkah-langkah

pengembangan program experiential based group counseling yang akan digunakan

untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor yaitu sebagai berikut.

1. Studi eksploratif, merupakan langkah awal yang dilakukan dalam rangka

memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kondisi objektif lapangan

dalam mendukung terselenggarakannya penelitian. Dalam studi eksploratif

dilkukan dua kegiatan yakni (a) pemahanan tentang tingkat urgensi masalah

penelitian (need assessment) dan (b) pemahaman yang mendalam tentang

kondisi objektif lapangan dalam mendukung keterlakasanaan penelitian.

Hal-hal yang dilakukan pada langkah need assessment adalah mengumpulkan

informasi tentang kepekaan multibudaya yang dimiliki oleh calon konselor

mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 tahun

akademik 2011/2012.

2. Studi pustaka. Dalam studi pustaka dilakukan proses pencarian informasi

tentang kerangka teoritik program experiential based group counseling dalam

meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor khususnya yang berkaitan

dengan konsep, teori, dan laporan penelitian tentang (a) konseling

multibudaya, (b) kepekaan multibudaya, (c) kompetensi kepekaan multibudaya,

(d) kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya dan (d)

experiential based group counseling dalam meningkatkan kepekaan

(32)

87 3. Penyusunan program hipotetik. Dalam kegiatan ini dirumuskan tujuan

penyusunan program experiential based group counseling, yaitu dihasilkannya program experiential based group counseling yang dapat

meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor. Selanjutnya penetapan

kriteria program experiential based group counseling, yaitu kriteria materi

kegiatan disesuaikan dengan aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan

dikembangkan seperti ; (a) empathy; (b) awareness of own cultural values

and biases; (c) awareness of client’s world view; dan (d) culturally appropriate intervention strategies. Program experiential based group counseling yang dikembangkan merupakan kegiatan yang praktis dan layak

secara teoritis untuk meningkatkan kepekaan multibudaya. Model hipotetik

yang dikembangkan dibangun dengan komponen model yang meliputi (a)

rasional, (b) tujuan, (c) mekanisme dan langkah-langkah, (d) strategi dan

teknik pelaksanaan, (e) kriteria keberhasilan, dan (f) model evaluasi.

4. Verifikasi dan validasi oleh Pakar dan Praktisi; Pada tahap ini dilakukan proses

pengujian rasional program hipotetik dengan meminta pendapat dari para

pakar dan praktisi. Pakar yang akan diminta untuk memberi timbangan

tentang kelayakan model hipotetik adalah : (1) pakar bimbingan dan konseling

kelompok dan (2) pakar konseling multibudaya. Praktisi yang akan diminta

untuk memberi timbangan kelayakan model adalah (1) calon konselor dan

(2) relawan atau praktisi yang berkecimpung program experiential based

(33)

88 5. Revisi model. Pada tahapan revisi program dilakukan perumusan kembali

model hipotetik yang telah ditimbang oleh para pakar dan praktisi dengan

mengakomodasi saran-saran dan rekomendasi yang telah diberikan. Target

utama dari tahapan ini adalah diperolehnya rumusan model operasional yang

siap diujicobakan.

6. Uji coba lapangan untuk mengetahui keterlaksanaan dan keefektifan bentuk

program hipotetik experiential based group counseling yang telah teruji

menurut uji kelayakan.

Selanjutnya alur tahapan pelaksanaan program experiential based group

counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor dalam

penelitian ini meliputi beberapa tahap sebagai berikut.

1. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut:

a.Penyusunan proposal penelitian dan konsultasi proposal dengan dosen

pengampu pembimbing akademik dan disahkan dengan persetujuan dari

dewan penguji proposal penelitian dan ketua program studi.

b.Mengajukan permohonan pengangkatan dosen pembimbing tesis pada

tingkat Sekolah Pascasarjana.

c.Mengajukan permohonan izin penelitian dari Pogram Studi Bimbingan

Konseling yang memberikan rekomendasi untuk melanjutkan ke tingkat

Sekolah Pascasarjana dan rektor UPI. Selanjutnya mengajukan

(34)

89 2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data studi pendahuluan untuk mengetahui need assessment

dan juga sebagai data pre-test dengan menyebarkan instrumen pada 75

orang responden calon konselor mahasiswa jurusan Psikologi Pendidikan

dan Bimbingan angkatan 2008 FIP UPI tahun akademik 2011/2012 pada

tanggal 21- 25 Oktober 2011.

b. Menentukan sampel penelitian yaitu mahasiswa jurusan Psikologi

Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 FIP UPI tahun akademik

2011/2012. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan tingkat kepekaan

multibudaya yang berada dibawah kategori mampu.

c. Pelaksanaan program experiential based group counseling untuk

meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor dilaksanakan pada

tanggal 26 Oktober - 28 November 2011 bertempat di ruang kelas 3.04

lantai 3 FIP UPI.

d. Mengumpulkan data post-test untuk memperoleh data efektivitas program

experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan

(35)

90 3. Tahap Akhir

Pada tahap akhir dilakukan pengolahan dan menganalisis data tentang efektivitas

program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan

multibudaya calon konselor serta kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi

untuk penelitian selanjutnya.

B.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa dari Program Studi

Bimbingan dan Konseling (BK) Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) angkatan

2008 dengan kriteria: a) terdaftar secara administratif sebagai mahasiswa Prodi BK

jurusan PPB; b) masih aktif mengikuti perkuliahan; c) telah mengikuti perkuliahan

pada mata kuliah konseling lintas budaya; d) pernah melakukan praktikum konseling,

baik individual maupun kelompok di sekolah-sekolah; dan e) berasal dari lebih latar

belakang budaya dan suku bangsa yang berbeda.

Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,

yaitu teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan atas

pertimbangan-pertimbangan tertentu atau tujuan tertentu. (Riduwan, 2006). Studi pendahuluan yang

dilakukan terhadap 75 calon konselor mahasiswa jurusan PPB FIP UPI angkatan

2008 tahun akademik 2011/2012 diketahui sebanyak 15 orang tingkat kepekaan

(36)

91 pada kategori mampu sehingga 15 orang tersebut diidentifikasi perlu dikembangkan

kepekaan multibudayanya dan mendapatkan intervensi sesuai dengan fokus masalah

penelitian.

C. Definisi Operasional Variabel

1. Kepekaan Multibudaya

Berdasarkan beberapa batasan definisi teoritis dan empiris yang dimaksud dengan

kepekaan multibudaya dalam penelitian ini merupakan kemampuan calon konselor

untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik

konseling yang ditandai dengan aspek, sub aspek dan indikator sebagai berikut.

A. Empathy (A), yaitu kemampuan pribadi calon konselor untuk memahami

(kognitif) dan merasakan (afektif) secara akurat kondisi yang sedang dialami

oleh konseli yang terdiri atas sub aspek dan indikator-indikator sebagai

berikut.

1) Fantasy (A.1) merupakan kecenderungan calon konselor untuk

mengubah diri secara imajinatif dalam mendalami perasaan dan

tindakan individu lain. Kecenderungan respon secara imajinatif dalam

mendalami perasaan/tindakan konseli tersebut ditandai dengan a)

membayangkan diri berada pada posisi konseli (A.1.a); b)

membayangkan kondisi yang dialami oleh konseli sebagai pengalaman

(37)

92 2) Prespective Taking (A.2) mencerminkan kecenderungan atau

kemampuan calon konselor dalam mengambil sudut pandang

psikologis konseli secara spontan yang ditandai dengan kemampuan

dalam mengangkat visi atau segi pandang dari konseli (A.2.a).

3) Empathic Concern (A.3) merupakan ekspresi perhatian calon

konselor terhadap kemalangan konseli yang ditandai dengan a)

memiliki perhatian terhadap konseli yang sedang mengalami

pengalaman negatif/kemalangan (A.3.a) dan b) memilki dorongan

untuk membantu konseli yang sedang mengalami pengalaman

negatif/kemalangan (A.3.b).

d) Personal Distress (A.4) menitikberatkan pada ketidaknyamanan

pribadi dalam menghadapi kondisi negatif yang dialami konseli

ditandai dengan menunjukkan perasaan ketidaknyamanan ketika

berjumpa dengan kondisi negatif yang dialami oleh konseli (A.4.a).

B. Kesadaran calon konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias

budaya sendiri (awareness of own cultural values and biases) (B) yaitu

kemampuan calon konselor untuk menyadari secara mendalam mengenai

nilai, sikap, kepercayaan, pandangan hidup dan warisan budaya yang

dimilikinya sehingga memberi pengaruh terhadap perwujudan diri konselor

(38)

93 1. Kepercayaan dan prilaku (B.1)

a) Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap budaya warisan budaya

adalah hal yang penting dalam proses konseling (B.1.a).

b) Menyadari sumber ketidaknyamanan antara perbedaan budaya diri

sendiri dengan konseli (B.1.b).

2. Pengetahuan (B.2)

a) Memiliki pengetahuan mengenai budaya sendiri (B.2.a).

b) Mengetahui perbedaan gaya komunikasi diri sendiri berpengaruh

terhadap proses konseling (B.2.b).

3. Keterampilan (B.3)

a) Aktif mencari pengalaman pendidikan, konsultasi, atau pelatihan

untuk memperkaya pemahaman budaya sendiri (B.3.a).

b) Aktif mencari pemahaman diri sebagai makhluk hidup yang memiliki

kebudayaan (B.3.b).

C. Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budayanya

(awareness of client’s world view) (C) yaitu kemampuan calon konselor

untuk menyadari secara mendalam mengenai mengenai nilai, sikap,

kepercayaan, pandangan hidup dan warisan budaya yang dimiliki oleh

konseli sehingga memberi pengaruh terhadap perwujudan diri konseli yang

(39)

94 1) Kepercayaan dan prilaku (C.1)

a) Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap pandangan hidup

konseli adalah hal penting dalam proses konseling (C.1.a).

2) Pengetahuan (C.2)

a) Memiliki pengetahuan mengenai kelompok budaya tertentu yang

diajak bekerja sama (C.2.a).

b) Memahami pengaruh budaya terhadap formasi pribadi, pilihan

vokasional, manifestasi gangguan psikologis dan perilaku mencari

bantuan (C.2.b).

3) Keterampilan (C.3)

a) Mampu mengakses informasi yang relevan mengenai keragaman

budaya (C.3.a).

b) Terlibat secara aktif dengan kehidupan kelompok budaya tertentu

(C.3.b).

D. Mampu mengembangkan strategi dan intervensi konseling budaya

yang tepat (culturally appropriate intervention strategies) (D) yaitu

kemampuan calon konselor dalam mengembangkan strategi intervensi

konseling yang akurat berlandaskan pengetahuan menggenai perbedaan

budaya antara konselor dan konseli yang terdiri atas sub aspek dan

(40)

95 1) Keterampilan dan Prilaku (D.1)

a) Menghargai keberagaman kepercayaan dan nilai religius konseli

(D.1.a).

b) Menghargai kealamian praktik membantu dan menghargai jaringan

kerja pemberi bantuan bagi masyarakat kaum minoritas (D.1.b).

c) Menghargai bilingualisme dalam praktik konseling (D.1.c).

2) Pengetahuan (D.2)

a) Memiliki pengalaman pendidikan yang memperkaya wawasan

konseling multibudaya (D.2.a).

3) Keterampilan (D.3)

a) Mampu mengirim pesan utama kepada kosneli secara akurat

(D.3.a).

b) Mampu menerima pesan utama dari konseli secara akurat (D.3.b).

c) Mampu memodifikasi gaya membantu ketika merasa tidak sesuai

dengan budaya konseli (D.3.c).

d) Mampu untuk mencari konsultasi dengan penyembuh tradisional,

pemimpin religious dab spriritual atau para praktisi perawatan

konseli yan memiliki budaya berbeda (D.3.d).

e) Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta

(41)

96 f) Mengikuti pelatihan keahlian dalam penggunaan asesmen dan

instrumen tes (D.3.f).

g) Bertanggung jawab dalam mendidik konseli pada proses intervensi

psikologis/konseling, seperti tujuan, harapan, hak-hak, dan orientasi

(D.3.g).

2. Program Experiential Based Group Counseling

Program experiential based group counseling yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah bentuk konseling kelompok dimana terdapat transformasi

pengalaman dari kegiatan ilustratif yang diikuti calon konselor, melibatkan

aktivitas kognitif, afektif dan konasi dalam suasana yang menyenangkan sebagai

sumber belajar dengan tujuan untuk meningkatkan kepekaan multibudaya. Materi

program experiential based group counseling yang diaplikasikan disusun berdasarkan

aspek-aspek kepekaan multibudaya yang akan dikembangkan dan berdasarkan hasil

kebutuhan dasar (need assessment) dari studi pendahuluan. Program experiential

based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon

konselor secara operasional dilakukan dengan proses dinamika kelompok. Daftar

materi program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan

(42)

97 Tabel 3.1

Tahapan Program Experiential Based Group Counseling Untuk Meningkatkan Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

SESI FOKUS MATERI

Sesi pembentukan (Forming stage)

Pada tahap ini setiap peserta dibentuk dalam suatu kelompok serta

pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa

anggotanya dan jumlahnya. Dalam tahapan ini juga dipaparkan mengenai

kesepakatan kegiatan seperti peraturan kegiatan yang akan dilakukan dan

batasan kegiatan (setting limit). Selain itu dalam tahap ini anggota kelompok

melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai

hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba

berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya.

1. Bola berantai

upaya peningkatan partisipasi dari peserta dan pengurangan resistensi.

Peserta diarahkan untuk menditeksi dan sadar mengenai tujuan kegiatan

sehingga rasa keengganan dan keraguan dalam mengikuti kegiatan mulai

terkikis. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan berbagai cara apapun

anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain sudah mulai mengenal

siapa dirinya dan siapa orang lain dalam peran masing-masing.

4. Susun baris

5. Holahoop

Sesi pembentukan norma (Norming stage)

Tahap ini peserta diarahkan untuk membentuk pemahaman, ikatan (cohesi),

rasa percaya (trust) dan kesiapan peserta secara penuh. Peserta mulai

merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan

(43)

98 yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma

kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam

memecahkan masalah yang dihadapi bersama serta menggapai tujuan

kegiatan secara optimal.

Sesi kerja (Performing stage)

Pada tahap ini kelompok sudah dibekali dengan suasana hubungan kerja

yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma

kelompok telah disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran

masing-masing anggota telah jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam

kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan

pendapat ditolelir, inovasi berkembang (ibid) serta produktivitas kinerja

meningkat. Dengan iklim kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan

tercapai, sehingga kelompok mampu menampilkan prestasi kerja yang

optimal. Selain itu dalam sesi ini kegiatan-kegiatan yang diberikan sudah

menitikberatkan pada pengembangan kepekaan multibudaya beserta

aspek-aspek kepekaan multibudaya seperti empati, kesadaran pada nilai budaya

sendiri (konselor), kesadaran dan pemahaman budaya konseli dan mampu

mengembangkan strategi intervensi konseling yang sesuai dengan budaya

konseli.

7. Muticultural Counseling

8. Pertukaran jeruk lemon

9. Sarang korek api

10. Pesan berantai

11. Persamaan & Perbedaan

12. Sungai berbuaya

13. Wanita tua/muda/ wajah dan piala

14. Videotherapy ”We are Family”

Sesi terminasi (Adjourning stage)

Pada tahap ini merupakan tahap effect of termination on individual atau

tahap dimana peserta menunjukkan hal-hal, kinerja yang terpikir dan terasa

sebagai hasil dari pengalamannya dalam mengikuti kegiatan. Selain itu

dalam tahap ini terdapat proses refleksi dan aplikasi terhadap pengalaman,

wawasan dan ketercapaian tujuan yang tebangun selama peserta mengikuti

kegiatan

(44)

99 D. Pengembangan Instrumen Penelitian

1. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua instrumen, pertama instrumen pengungkap data

yang dikembangkan berdasarkan konstruk kompetensi kepekaan multibudaya

konselor yang dikemukakan oleh Pedersen et. al. (1981: 62-84); Sue & Sue (2003:

17-21); Gysbers & Henderson (2006: 455-457) ;Hays dan Erford (2010 : 22); Baruth

& Manning (2007: 51-54); Pedersen, Crether & Carlson (2008: 41-58 ); Ivey &

Auther (1978: 128-155) dan Herdi (2009: 113-116), sebagai berikut.

Kedua, instrumen yang dikemas dalam bentuk jurnal kegiatan harian. Jurnal

kegiatan harian adalah instrumen yang digunakan untuk mengungkap apresiasi

peserta terhadap proses pelaksanaan program experiential based group counseling

pada setiap sesi.

Selanjutnya kisi-kisi instrumen Skala Kepekaan Multibudaya disajikan dalam

(45)

100 Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Kepekaan Multibudaya Calon Konselor Sebelum Ditimbang dan Pengujian Validitas

Aspek Sub Aspek Indikator

b. Membayangkan kondisi yang

dialami oleh konseli sebagai

pengalaman sendiri (A.1.b).

4 , 5, 6, 7 - 4

A.2. Prespective Taking (pengambilan sudut pandang)

a. Mampu dalam mengangkat visi atau

sudut pandang dari individu lain

a. Memiliki perhatian terhadap individu

lain yang sedang mengalami

pengalaman negative/kemalangan

(A.3.a).

15, 16,17 13, 14 5

b. Memiliki dorongan untuk membantu

konseli yang sedang mengalami

pengalaman negatif/kemalangan

(A.3.b).

18, 19, 20 - 3

A.4. Personal Distress (ketegangan pribadi)

1. Menunjukkan perasaan

ketidaknyamanan ketika berjumpa

dengan pengalaman negatif/

kemalangan yang dihadapi oleh

- 21,

(46)

101

B.1. Kepercayaan dan prilaku a. Mempercayai bahwa kesadaran diri terhadap budaya adalah hal yang

penting dalam proses konseling

(B.1.a).

24, 25, 26, 27, 28, 29

- 6

b. Menyadari sumber ketidaknyamanan

antara perbedaan budaya diri sendiri dengan konseli (B.1.b).

b. Mengetahui perbedaan gaya

komunikasi diri sendiri berpengaruh terhadap proses konseling (B.2.b)

46, 47, 48 - 3

B. 3. Keterampilan a. Aktif mencari pengalaman

pendidikan, konsultasi atau pelatihan

untuk memperkaya pemahaman

C. 1. Kepercayaan dan prilaku a. Mempercayai bahwa kesadaran diri

terhadap pandangan hidup konseli adalah hal penting dalam proses konseling (C.1.a).

56, 57, 58, 59 - 4

C. 2. Pengetahuan a. Memiliki pengetahuan mengenai

kelompok budaya tertentu yang diajak

60, 61, 62, 63, 64

(47)

102

formasi pribadi, pilihan vokasional, manifestasi gangguan psikologis dan perilaku mencari bantuan (C.2.b).

C. 3. Keterampilan a. Mampu mengakses informasi yang

relevan mengenai keragaman budaya (C.3.a).

81, 82, 83, 84, 85

- 5

b. Terlibat secara aktif dengan kehidupan kelompok budaya tertentu (C.3.b).

D.1 Kepercayaan dan prilaku a. Menghargai keberagaman

kepercayaan dan nilai religious konseli (D.1.a).

89, 90, 91, 92 - 4

b. Menghargai kealamian praktik

membantu dan menghargai jaringan

kerja pemberi bantuan bagi

masyarakat kaum minoritas (D.1.b).

93, 94, 95, 96 - 4

c. Menghargai bilingualisme dalam

praktik konseling (D.1.c).

97, 98, 99 - 3

D. 2. Pengetahuan a. Mencari pengalaman pendidikan yang

memperkaya wawasan konseling

c. Mampu memodifikasi gaya membantu ketika merasa tidak sesuai dengan budaya konseli (D.3.c).

(48)

103

Aspek Sub Aspek Indikator

Sebaran Butir Pernyataan

(+) (-)

d. Mampu untuk mencari konsultasi dengan penyembuh tradisional, pemimpin religius dan spiritual atau para praktisi perawatan konseli yang memiliki budaya berbeda (D.3.d).

115, 116, 117 - 3

e. Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh konseli (D.3.e).

118, 119, 120 - 3

f. Mengikuti pelatihan keahlian dalam menggunakan instrumen tes (D.3.f).

121, 122, 123 - 3

g. Bertanggung jawab dalam mendidik konseli pada proses intervensi psikologis/konseling, seperti tujuan, harapan, hak-hak, dan orientasi (D.3.g).

124, 125, 126, 127, 128, 129,

130, 131

(49)

104 2. Penimbangan (Judge) Instrumen Penelitian

Penimbangan instrumen penelitian berdasarkan pada kisi-kisi yang

dipaparkan pada tabel 3.2 lalu dikembangkan instrumen kepekaan multibudaya

calon konselor yang dilanjutkan dengan tahap penimbangan (judge) kepada empat

orang pakar bimbingan dan konseling yang semuanya berasal dari program studi

Bimbingan dan Konseling (BK) jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB)

Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Proses penimbangan instrument ini berorientasi pada validitas konstruk dan

validitas isi, berupa aspek dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir

pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang

digunakan. Berdasarkan beberapa masukan dari para penimbang, kemudian

dikembangkan revisi kisi-kisi penelitian serta instrumen penelitian penilaian

kepekaan multibudaya calon konselor.

3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian

Uji keterbacaan instrumen penelitian ditujukan kepada mahasiswa Prodi

Bimbingan Konseling Jurusan PPB angkatan 2008 yang dipilih secara acak. Hal

ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang

terdapat dalam inventori dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya, telah

sesuai/menggambarkan tentang apa yang dirasakan, dialami, dan dihadapi saat

(50)

105 4. Uji Coba Instrumen Penelitian

a. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian

Pengujian korelasi item-total product moment untuk mencari validitas item

dan untuk melihat signifikansinya menggunakan bantuan program Microsoft Office

Excel 2007. Hasil pengujian validitas instrumen SPK-MB dengan menggunakan

teknik korelasi item-total product moment, dari 131 item pernyataan yang disusun

didapatkan 113 item pernyataan dinyatakan valid. Sementara item pernyataan yang

tidak valid sebanyak 18 item pernyataan dengan nomor pernyataan 2, 3, 9,13, 15, 16,

17, 19, 20, 22, 23, 28, 30, 31, 33, 34, 42, dan 43.

b. Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat seberapa besar tingkat kesamaan data

dalam waktu yang berbeda. Untuk menguji reliabilitas instrumen penelitian ini

digunakan rumus dari Alpha sebagai berikut:

= − 1 . 1 −

(Riduwan, 2006:115)

Keterangan:

= Nilai Reliabilitas

∑ = Jumlah Varians Skor Tiap-tiap Item

= Varians Total

(51)

106 Sebagai kriteria untuk mengetahui tingkat reliabilitas, digunakan klasifikasi

perbandingan r11 dengan rtabel, dimana:

Kaidah Keputusan : Jika r11 > rtabel berarti reliabel, dan

Jika r11 < rtabel berarti tidak reliabel

Untuk menafsirkan hasil perhitungan korelasi atau koefisien korelasi

menggunakan kriteria sebagai bersadarkan klasifikasi Guilford (Subino, 1987).

Tabel 3. 3 Indeks Korelasi

No. Indeks Koefisien

Korelasi

Kualifikasi

1 = 1,00 Korelasi sempurna

2 0,90 – 1,00 Korelasi sekali

3 0,70 – 0,90 Korelasi tinggi

4 0,40 – 0,70 Korelasi sedang

5 0,20 – 0,40 Korelasi rendah

6 Kurang dari 0,20 Tidak ada korelasi

Hasil uji reliabilitas instrument SPK-MB dengan menggunakan bantuan

program Microsoft Office Excel 2007 diperoleh koefisien reliabilitas (a) sebesar 0,963

Mengacu pada klasifikasi rentang koefisien Guilford (Subino, 1987), koefisien

reliabilitas (a) sebesar 0,963 ternasuk ke dalam kategori korelasi sekali.

E. Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data

1. Pedoman Skoring

Jenis instrumen pengungkap data dalam penelitian ini adalah skala psikologi yang

(52)

rating-107

scales yang digunakan yaitu summated ratings (Likert) dengan alternatif respons

pernyataan subjek skala 3 (lima). Ketiga alternatif respons tersebut diurutkan dari

kemungkinan kesesuaian tertinggi sampai dengan kemungkinan kesesuaian

terendah, yaitu : 1) Tidak Mampu (TM); 2) Kurang Mampu (KM); 3) Mampu (M).

Secara sederhana, tiap opsi alternatif respon mengandung arti dan nilai skor seperti

tertera pada tabel berikut.

Tabel 3. 4

Pola Skor Opsi Alternatif Respon

Pernyataan

Opsi Alternatif

Respons

M KM TM

Favorabel (+) 3 2 1

Un-Favorabel (-) 1 2 3

2. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen angket dan

observasi agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan dan dapat menunjang

tujuan penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data tentang

kepekaan multibudaya dan efektivitas program experiential based group counseling

untuk meningkatkan kompetensi kepekaan multibudaya calon konselor. Oleh karena

itu dalam pengambilan data dilakukan dalam dua kali, yaitu pre-test dan post-test

dengan menggunakan instrumen yang sama disertai dengan observasi yang dilakukan

dengan menggunakan pedoman observasi berupa daftar cek yang terdiri atas sejumlah

(53)

108 3. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk persentase. Selain itu untuk

mengelompokkan sampel atau peserta menggunakan skor ideal. Penentuan

kedudukan sampel atau peserta dengan skor ideal yaitu penentuan kedudukan dengan

membagi kepekaan multibudaya yang didapat. Selanjutnya penentuan kedudukan

dengan skor ideal ini dilakukan dengan cara pengelompokkan atas lima ranking.

Secara spesifik penentuan skor dari data responden diperoleh Xmaks dan Xmin .

Untuk memperoleh rentang data skor ideal responden adalah Xmaks - Xmin, dan untuk

memperoleh interval untuk tabel konversi skor adalah sebagai berikut :

rentang = Xmaks - Xmin (skormaksimal dikurangi skorminimal)

kelompok = kategori konversi skor

Sehingga skor berkisar pada interval 113-188 untuk kategori tidak mampu

(M); 189-263 untuk kategori kurang mampu (KM) dan 264-339 untuk kategori

mampu (M). Kategori kepekaan multibudaya calon konselor dapat diamati pada tabel

berikut.

(54)

109 Tabel 3.5

Skor Gambaran Umum Kepekaan Multibudaya Calon Konselor

KATEGORI RENTANG SKOR ƑƑƑƑ %

1 2 3 4

M 264 – 339

KM 189 – 263

TM 113 – 188

a. Persentase

Persentase digunakan untuk mengungkap karakteristik kepekaan multibudya

calon konselor yang dialami. Bila persentase semakin tinggi, maka karakteristik

kepekaan multibudaya calon konselor termasuk dalam karakteristik tinggi. Namun

sebaliknya, bila persentase rendah, maka karakteristik kepekaan multibudaya calon

konselor termasuk dalam karakteristik rendah. Selain itu untuk mendapatkan

gambaran tingkat kepekaan multibudaya calon konselor secara lebih rinci, dilakukan

perhitungan persentase distribusi respon data terhadap masing-masing indikator

dengan rumus:

(55)

110 Setiap kategori interval diasumsikan mengandung pengertian sebagai berikut.

MAMPU : Calon konselor pada level ini memiliki kepekaan multibudaya

sangat optimal pada setiap aspeknya ( 79 – 100 %), dengan kata lain calon konselor pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling sangat optimal.

KURANG MAMPU

: Calon konselor pada level ini memiliki kepekaan multibudaya

yang kurang optimal pada setiap aspeknya ( 57 – 78 %), dengan kata lain calon pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling kurang optimal.

TIDAK MAMPU

: Calon konselor pada level ini memiliki kompetensi kepekaan

multibudaya yang belum optimal pada setiap aspeknya (35 - 56 %), dengan kata lain calon konselor pada level ini memiliki kemampuan calon konselor untuk memahami perbedaan budaya antara diri sendiri dan konseli dalam praktik konseling tidak optimal.

b. Uji Komparatif ( Uji t )

Uji t digunakan untuk menganalisis perbedaan skor pre-test dan post- test

calon konselor yang mengikuti program experiential based group counseling untuk

meningkatkan kepekaan multibudaya calon kosnelor. Untuk menganalisis hasil

eksperimen yang menggunakan pre-test dan post-test one group design maka

digunakan rumus berikut (Furqon, 2002: 1993).

(56)

111 Keterangan :

t = t hitung N = Subyek pada sampel

1

Y = nilai rata-rata sampel 1 d.b = Ditentukan dengan N- 1 2

(57)

177

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Merujuk dan memperhatikan hasil analisis serta pembahasan data empiris penelitian, dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian telah tercapai yaitu dengan diperolehnya program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor. Selanjutnya secara rinci terdapat beberápa kesimpulan yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, yaitu sebagai berikut.

1. Pada umumnya mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008 FIP UPI Tahun Akademik 2011/2012 memiliki kemampuan optimal untuk memahami dan menyadari perbedaan budaya di antara konselor dan konseli; memahami dan merasakan secara akurat kondisi yang sedang dialami oleh konseli; menyadari secara mendalam budaya sendiri; menyadari dan memahami budaya konseli serta mampu mengembangkan strategi intervensi konseling yang akurat berlandaskan pengetahuan menggenai perbedaan budaya antara konselor dan konseli. 2. Program experiential based group counseling mampu meningkatkan

(58)

178 signifikan pada aspek empati dan aspek kesadaran konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias budaya sendiri.

3. Program experiential based group counseling mampu untuk meningkatkan kepekaan multibudaya calon konselor secara signifikan. Keberhasilan program experiential based group counseling untuk meningkatkan kepekaan mulibudaya dapat terjadi tidak terlepas dari pelaksanaan, pengorganisasian dan penyampaian (delivery system) yang baik serta sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan maka hasil tujuan yang diharapakan pun akan tercapai.

B. Rekomendasi

Hasil penelitian ini memberikan implikasi kepada berbagai pihak atau bidang sehingga disarankan untuk perlunya pengkajian lebih jauh untuk meningkatkan bidang keilmuan bimbingan dan konseling multibudaya, seperti hal-hal berikut ini.

1. Bagi Jurusan dan Prodi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (BK)

(59)

179

2. Bagi peneliti selanjutnya

(60)

159

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaran Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung.

Arredondo, P. et al. (1999). “Multicultural Counseling Competencies as Tools to Address Oppression and Racism”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 1, Winter 1999, pp. 102-107.

Baruth, Leroy G. & Manning, M. Lee. (2007). Multicultural Counseling and Psychotherapy; A Lifespan Approach. New Jersey: Pearson.

Berg, Robert C., Landerth, Garry L., & Fall, Kevin A. (2006). Group Counseling: Concepts and Procedures. New York: Routledge.

Berne, Eric M. D. (1966). Principles of Group Treatment. New York: Grove Press.

Chung, Rita Chi-Ying. (2005). “Women, Human Rights, and Counseling: Crossing International Boundaries”. Journal of Counseling & Development, Vol. 83, No. 1, Summer 2005, pp. 262–268.

Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Davis, M. H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy. Austin: The University of Texas.

Geldard, David & Geldard, Kathryn. (2001). Basic Personal Counseling; A Training Manual for Counsellors. Australia: Prentice Hall.

Gielen, Uwe P., Draguns, Juris G., & Fish, Jefferson M. (2008). Principles of Multicultural Counseling and Therapy. Ney York: Routledge.

Gladding, Samuel T. (2008). Groups a Counseling Specality. New Jersey: Pearson.

Hackney, Harold L. & Cormier, Sherry. (2009). The Professional Counselor; A Process Guide to Helping. New Jersey: Pearson.

(61)

160 Herdi. (2009). Model Pelatihan Untuk Meningkatkan Kompetensi Konseling Multikultural Calon Konselor. Tesis. Bandung: SPS UPI Bandung.

Hojat, Mohammadreza .(2007). Empathy in Patient Care; Antecedents, Development, Measurement, and Outcomes. New York: Springer. Holcomb-McCoy, Cheryl C. dan Myers, Jane E. (1999). “Multicultural

Competence and Counselor Training: A National Survey”. Journal of Counseling & Development, Vol. 77, No. 3, Summer 1999, pp. 46–54.

Hufad, Ahmad. (2007). ”Panorama Multikulturalisme Dalam Pengembangan antropologi Pendidikan (Isu-Isu dan Relevansinya Di Indonesia”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Sosiologi-Antrolpologi Pendidikan” Pada Fakultas Ilmu Penididkan UPI, tidak diterbitkan.

Ivey, Allen E. & Auther, Jerry. (1978). Micro Counseling; Innovations in Interviewing, Counseling, Psychotherapy, and Psychoeducation: Second Edition. USA: Charles C Thomas Publisher.

Kartadinata, Sunaryo. (2009). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik. Bandung: UPI. Kartadinata, Sunaryo. (2009). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling

Dalam Pendidikan; Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Bandung: UPI.

Kim, Bryan S. K. and Lyons, Heather Z. (2003). “Experiential Activities and Multicultural Counseling Competence Training”. Journal of Counseling & Development, Vol. 81, No. 4, Fall 2003, pp. 400–408. Kolb, David. A. (1984). Experiential Learning. Englewood Cliffs, NJ:

Prentice Hall.

Matsumoto, David. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McGill, Ian and Weil, Susan W. (1989). A Framework for Making Sense of Experiential Learning. Milton Keynes: Shere/Ou Press.

Gambar

Grafik 4.1 Perbedaan Kelompok Eksperimen Pada Setiap Aspek Sebelum &
tabel 3.1
Tabel 3.1  Experiential Based Group Counseling
tabel berikut.
+5

Referensi

Dokumen terkait